You are on page 1of 13

MEMPERTEMUKAN FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN : Pragmatisme Oleh : Rum Rosyid, Untan Pontianak Pragmatisme adalah aliran pemikiran

yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce , yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (18591952). Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa ke Asia,Asia tenggara, hingga ke nanggroe Aceh William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan "nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama". Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke , Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia atas dasar kebebasan berpikir objek positif bebas pula subjek negatif mencampur adukkan antara batas hak dan kewajiban manusia sebagai ciptaan Tuhan, kebebasan akal mengolah tindakan, hendaknya membuka mata melihat lingkungan apakah suatu tindakan dari kebebasan berfikir itu menjadi ancaman lingkungan itu sendiri. Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.(Muhajir, 2007). Baginya, yang terpenting dalam berpolitik adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat. Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dari pragmatisme adalah seberapa besar "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori tersebut dapat diaplikasikan). Awalnya pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Istilah pragmatisme datang dari Immanuel Kant yang menurutnya adalah "keyakinankeyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan riil untuk mencapai tujuan tertentu". Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berkembang di Amerika Serikat. Filsafat ini berkembang di Amerika pada abad ke-19 sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander Peirce, William James, dan John Dewey. Aliran ini menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika. Pragmatisme mencerminkan pandangan hidup bangsa Amerika secara keseluruhan. Pada praktiknya, pragmatisme menuntut dua syarat; Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak bisa dipisahkan.Bagi kalangan pragmatis, sesuatu dianggap benar jika berguna bagi manusia, bermanfaat dalam praktek dan dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Sepintas pragmatisme seperti cara berpikir yang benar. Mudahnya, jika sebuah gagasan atau ideologi tidak bisa diterapkan dan diambil manfaatnya dalam praktik, maka buat apa dipertahankan. Kebenaran menurut kaum pragmatis adalah yang terbukti bermanfaat dalam praktik. Bukan teori an sich. Jika sesuatu tidak memberikan keuntungan bagi manusia, ia layak ditinggalkan. Sekalipun hal itu bernilai ideologis dan idealis. Inilah sebenarnya mudlorot (bahaya) pragmatisme. Ia dengan mudah mengkhianati kebenaran sejati dalam pandangan ideologi dan tataran idealis. Pragmatisme mendorong manusia selalu menginginkan keuntungan yang seketika. Akibatnya ia akan melakukan tindakan apapun untuk mewujudkannya. Faktanya, keuntungan itu sering bersifat subyektif. Bergantung pada manusia itu sendiri dan kelompoknya. Belum tentu sesuatu yang dianggap benar oleh sekelompok orang,

adalah kebenaran yang sejati. Begitupula manfaat yang dirasakan seketika bisa jadi membawa mudlorot di waktu lain. Di kancah politik kekinian, pragmatisme dijadikan world of view oleh banyak insan politik dan parpol. Walau saat kampanye banyak menjanjikan keberpihakan pada rakyat, tapi ucapan dan tindakan mereka bisa ditebak sekedar mengamankan kedudukan mereka. Masyarakat sering melihat parpol-parpol yang seolah bermusuhan, tapi kemudian mudah berangkulan dalam waktu singkat. Banyak insan politik dan pejabat yang mengumbar kalimat berpihak pada rakyat, tapi membiarkan hajat hidup rakyat naik harga atau dikuasai pihak asing. Menilik dari sisi ajarannya, maka pragmatisme sebenarnya merugikan dan membahayakan masyarakat. Siapapun yang memakainya sebagai cara berpikir dan bertindak, tidak lagi mengindahkan rasa keadilan dan kebenaran yang objektif. Kaum pragmatis tidak membutuhkan lagi ideologi dan nilai-nilai idealis. Bagi mereka, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan spontan bagi dirinya dan kelompoknya. Dengan demikian aturan dan nilai-nilai ideologi rawan untuk dimanipulasi. Dengan demikian pragmatisme menjadikan pelakunya senantiasa bersikap oportunis dan hipokrit. Bagi mereka yang terpenting bukanlah mempertahankan idealisme dan ideologi, tetapi mendapatkan keuntungan dari tindakan yang mereka lakukan. Tidak peduli bahwa keuntungan itu hanya bersifat jangka pendek. Dalam kehidupan sehari-hari pragmatisme diterjemahkan dalam sebuah peribahasa lama; tiada rotan, akar pun berguna. Atau dalam praktiknya pragmatisme digunakan masyarakat dengan istilah "daripada". Logika "daripada" ini padahal seringkali menyesatkan. Orang merasa aman melakukan sesuatu yang keliru dengan cara pandang daripada. Misalnya, daripada parlemen dikuasai orang-orang jahat, mending kita yang kuasai. Meski realitanya mereka sendiri berkoalisi dengan orang-orang yang mereka sebut daripada. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat populer untuk di pakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut pengalaman manusia sendiri. Namun filsafat ini akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model praktis Amerika. Tiga kritik yang dapat dikemukakan terhadap pragmatisme adalah : Pertama, pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan kegunaan praktisnya. Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang

pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu. Menurut Abraham Maslow (1943;1970) manusia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam teori hierarki of need menyatakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ada 5 tingkatan yang berbentuk piramid, setiap orang memulai bertindak untuk memenuhi tingkatan terbawah menuju puncak piramida. Secara garis besar teori Maslow dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar terdiri dari kecukupan fisiologis, keselamanatan dan keamanan. Sedangkan kebutuhan pertumbuhan terdiri dari keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal, sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dari kesesuaian ide itu dengan realita atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Sejarah telah mencatat gerakan kebangkitan nasional pertama Boedi Oetomo 1908 yang dipelopori oleh Dr Sutomo dan kawan-kawan dalam menggugah semangat kebangsaan atau nasionalisme sebagai dasar dari kebangkitan nasional dalam melawan penjajahan asing. Kesadaran moral kebangsaan ini dua puluh tahun kemudian telah melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang intinya membangun rasa persaudaraan senasib, sebangsa, setanah air, serta satu bahasa nasional, Indonesia. Ikrar suci itu pun kemudian menjelma menjadi gerakan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian. Tepatnya 17 Agustus 1945 yang dipelopori oleh Soekarno-Hatta dan kawan-kawan yang tak lain adalah orang-orang muda. Begitu pula gerakan mahasiswa 66 (Tritura), gerakan mahasiswa 74 (peristiwa Malari), gerakan mahasiswa 78 (tentang Aliran Kepercayaan), gerakan mahasiswa 80-an, dan gerakan mahasiswa Mei 1998, merupakan gerakan revolusioner pemuda Indonesia yang gigih berani membela dan memperjuangkan suara rakyat kecil yang tertindas. Sikap idealisme dan patriotisme mahasiswa/ pemuda yang rela mengorbankan apa saja. Bahkan, nyawa sekali pun inilah yang perlu ditauladani oleh para elit politik kita yang tengah mengalami demoralisasi dan mediokrasi. Kini para elit politik kita mulai dari eksekutif, legeslatif, sampai yudikatif tengah terjerembab dalam kubangan kedangkalan moral. Paradigma politik para elit politik mengalami pendangkalan berpikir. Semuanya asal instan saja tanpa memikirkan rambu moral, hukum, dan tata nilai yang ada. Korupsi menjadi momok yang amat memalukan dan memprihatinkan di negeri ini. Setiap hari kita disuguhkan sajian amat tak bermoral

oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene adalah wakil rakyat yang harus memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Tapi, apa lacur. DPR malah menggerogoti uang negara yang sejatinya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Demi hidup yang mewah dan kesenangan pribadi mereka menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa rasa malu sedikit pun. Tak jarang dari mereka yang terang-terangan melakukan korupsi. Mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa, program studi banding ke luar negeri yang banyak menguras kocek negara, sampai praktik jual-beli hukum. Perilaku elit-elit politik kita makin hari makin memuakkan nurani saja. Tanpa ada niatan mereka untuk berubah. Kita menyaksikan bagaimana sesama mereka saling "membunuh" dan membuka aib sesama. Mereka terus berebut kue kekuasaan yang menggerus nurani dan akal sehat mereka. Demi kekuasaan yang sesaat mereka rela mengebiri dan mengorbankan apa saja. Termasuk hak rakyat kecil untuk hidup layak. Sementara itu perbaikan kehidupan rakyat ditelantarkan begitu saja. Rakyat dibiarkan miskin dan terlunta-lunta menanti nasibnya yang tak kunjung pasti. Kemakmuran dan kesejahteraan semakin menjauh dari relung kehidupan mereka. Kelaparan karena tak bisa membeli makan, putus sekolah kerana tak punya biaya, menjadi pengemis di jalan hanya demi sesuap nasi menjadi pemandangan rutin yang tak sedap dipandang mata kita. Tanpa disadari kalau perilaku elit politik kita telah mengimbas di dunia akademikmahasiswa (aktivis pemuda). Tak sedikit dari mereka yang "berjuang" di organisasinya masing-masing hanya untuk menjadi anggota dewan yang terhormat. Dengan berpartisipasi menjadi ketua cabang, ketua daerah, sampai menjadi ketua umum organisasinya di tingkat nasional. Kemudian, setelah lulus dari organisasinya masingmasing, mereka ramai-ramai mencalegkan diri menjadi anggota dewan. Mereka berharap, akan terjadi sebuah transformasi diri dari hidup yang biasa menjadi sejahtera. Dari yang "miskin" menjadi tidak terlalu "miskin". Harapan akan transformasi diri pribadi inilah telah menanamkan sikap atau mental korup dalam benak anak-anak muda ini. Tanpa disadari bahwa perilaku dan sikap korup seharihari sedang mereka jalani. Banyak contoh kasus sikap pragmatisme yang dilakukan pemuda. Misalnya, tertangkapnya politisi muda kita Al Amin Nasution atas dakwaan korupsi/ suap miliaran rupiah dana alih fungsi lahan. Al Amin merupakan anggota DPR RI dari fraksi PPP dan mantan aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Kasus AlAmin merupakan cerminan pragmatisme seorang mantan aktivis muda yang ingin mentransformasi diri pribadi secara instan tanpa harus bekerja keras. Contoh lain dari sikap pragmatisme politik pemuda adalah masuknya para mantan aktivis pemuda ke dalam lingkaran kekuasaan. Sederet nama seperti: Andy Arif, Syahganda Nainggolan, Aam Sapulete, Anas Urbaningrum, Rama Pratama, dan Nusron Wahid, semuanya masuk dalam lingkaran kekuasaan. Andi, mantan aktivis mahasiswa yang diculik Tim Mawar Kopassus, kini diangkat menjadi komisaris PT Pos Indonesia. Syahganda didaulat menjadi komisaris PT Pelindo. Adapun Aam Sapulete menjadi komisaris PT Perkebunan VII (Lampung). Nusron Wahid dan Rama Pratama merupakan

anggota DPR RI dari fraksi Golkar dan PKS. Sedangkan Anas yang mantan Ketua Umum HMI kini menjadi salah satu ketua DPP Partai Demokrat. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan masuknya mereka ke dalam kekuasaan. Akan tetapi, apakah setelah masuk ke dalam kekuasaan mereka tetap komitmen dan konsisten dengan suara rakyat miskin. Apakah semangat mereka membela kaum susah masih sama seperti dulu ketika mereka masih menjadi seorang aktivis. Pertanyaan inilah yang harus mendapatkan jawaban. Sebab, selama ini kita merasa sepi akan suara para mantan aktivis muda itu membela rakyatnya yang kini sedang dilanda kesulitan ekonomi. Kita sudah tidak mendengar lagi suara lantang mereka membela kaum yang tertindas. Kini para aktivis muda baru lainnya bermunculan mewarnai setiap aksi demostrasi di tiap daerah atau pun ibu kota. Atas nama rakyat kecil mereka berteriak lantang akan nasib dan kesejahteraan masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memenuhi kocek pribadi mereka saja. Memang, tidak semua demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa/ aktivis seperti itu. Saya yakin masih ada sebagian dari mereka yang betul-betul ikhlas membela rakyat kecil. Contohnya, masih ada sebagian dari aktivis pemuda yang melakukan advokasi untuk memberdayakan masyarakat pinggiran. Mereka berusaha mengimpower masyarakat dengan memberikan penyadaran politik (civic education) dan penguatan nalar publik, dengan menanamkan pemahaman masyarakat atas hak dan kewajibannya di dalam berbangsa dan bernegara. Mereka dengan keterbatasannya tetap sukarela menolong rakyat kecil tanpa pamrih. Seharusnya sikap dan mental seperti inilah yang harus dimiliki oleh para elit politik, politisi muda, dan juga para aktivis mahasiswa di negeri ini. Sikap mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi, menolong kaum papa yang tak berdaya. Menyikapi perbedaan sebagai rahmat, bukan sebagai musuh yang harus disingkirkan. Membangun rasionalitas berpolitik yang mengedepankan etika moral dan akal sehat. Menjauhkan diri dari sikap tamak harta dan benda yang menghalalkan segala cara. Berpolitik luhur untuk membangun peradaban bangsa yang mulia, tanpa harus menghancurkan sesama kita. Dengan rasionalitas dan moralitas politik akan terlihat lebih seperti seni dan kemuliaan. Bukan kejam dan busuk yang selama ini kita lihat. Kasantunan, kedewasaan, dan keluhuran budi dalam berpolitik merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Tanpa itu semua nihil rasanya kalau peradaban yang agung akan tercipta. Maka dari itulah mulai saat ini juga, baik elit politik maupun para (aktivis) pemuda/ mahasiswa wajib mengedepan etik moral berpolitik, berbangsa, dan bernegara. Karena politik tanpa rasionalitas moral dan ilmu pengetahuan akan menjadi sangat jahat. Sebaliknya, moral saja tanpa diimbangi kesadaran politik (kerakyatan dan kebangsaan) hanya akan menjadi tatanan kehidupan yang sia-sia. Maka berpolitiklah dengan akal sehat dan kejernihan nurani. Demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Kedua, identifikasi naluriah sebagai ukuran kebenaran Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan

kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi naluriah. Hubungan antar parpol masih saling tegang pasca pemungutan suara di DPR dalam kasus Bank Century. Parpol-parpol koalisi masih bersitegang urat syaraf dan leher, dan kelihatannya menjurus kepada saling intimidasi untuk melemahkan posisi rekan parpolnya. Adalah PKS dan Partai Golkar vis a vis Partai Demokrat yang kini gencar melakukan manuver politik. Kedua politisi parpol tersebut rajin saling mengingatkan supaya sekutu koalisinya mengundurkan diri dari koalisi jika memang tidak senang bergabung kembali. Sementara mereka yang dituding juga tidak sungkan menyatakan bahwa mereka akan keluar hanya jika diminta SBY. Posisi demikian memang terasa sulit dan dilematis. Di atas kertas, jika Presiden SBY meminta PKS dan Partai Golkar hengkang dari koalisi, keruwetan baru akan terjadi dan muka pemerintah akan menjadi tidak ada artinya karena menjadi minoritas jika kedua parpol tersebut bersanding dengan PDI-P. Tidak heran kemudian kalau Partai Demokrat dan Presiden SBY dikabarkan mencoba memainkan jurus politik baru. Dihembuskanlah kabar bahwa PDI-P akan bergabung dengan mereka. Hal ini bahkan sudah disampaikan oleh Taufik Kiemas secara terbuka kepada kalangan media. Tetapi ide itu memang tidak mudah diterima oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ia menyatakan bahwa yang dipentingkan sekarang ini adalah konsistensi dan ketegaran menghadapi perjalanan sesuai dengan posisinya. Di hadapan kaderkadernya Megawati menyampaikan bahwa kader yang bergerak kemana arah menentukan adalah kader yang tidak loyal. Megawati sendiri memang mengalami tekanan di dalam persoalan ini. Selain bahwa ada tawaran untuk bergabung dengan pemerintah, beberapa kader PDI-P kini dibidik untuk dijadikan target pelaku korupsi. Megawati bahkan pernah mengeluh atas hal ini dan kembali menyebutnya sebagai tebang pilih. Hembusan lain yang disampaikan kepada masyarakat untuk membangun opini adalah mengenai pentingnya menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara. Dicoba dibangunlah pengertian kepada masyarakat bahwa tersendatnya pembangunan adalah karena parpol-parpol tertentu, menjegal kebijakan pemerintah. Sungguh model demokrasi sekarang ini memang tidak ubah dari saling bentur kepentingan. Ketika masing-masing parpol merasa bahwa mereka memiliki kepentingan tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan, maka tanpa ragu mereka melakukan koalisi. Tetapi ketika kemudian mereka melihat adanya sumbatan yang sangat besar, maka mereka mencari konfigurasi baru. Sesungguhnya hal ini tidak mudah diselesaikan mengingat tiadanya mayoritas di parlemen kita.

Sekalipun kita tidak menganut sistem parlementer dimana pemerintah bisa dijatuhkan, namun kewenangan yang sangat besar dari DPR di dalam menjalankan fungsi budget, legislasi dan pengawasannya bisa menjadi persoalan kepada pemerintah ini, termasuk Presiden SBY. Tetapi kita memang masih belum terbiasa dengan membangun parpol berdasarkan ideologi. Mendirikan dan menjalankan parpol masih untuk kepentingan segelintir elit parpol. Mereka tidak menjadikan parpol sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan pendidikan politik bagi masyarakat sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang. Pragmatisme sempit inilah yang menjadi godaan besar parpol kita. Tawaran kekuasaan bisa menyebabkan mereka kehilangan ideologi mereka. Padahal para pendiri negeri ini mengajarkan sebuah ideologi besar bernama ideologi kebangsaan, yang diabdikan bagi kepentingan masyarakat kecil yang lama berada di bawah penjajahan. Kalau nasib masyarakat kecil tak juga beranjak, maka sifat-sifat pragmatisme politik inilah yang menjadi biang keladi dari semuanya itu. Ketiga, relativitas dan kenisbian kebenaran Relativitas dan kenisbian kebenaran pragmatisme sesuai dengan perubahan subyek penilai ide baik individu, kelompok, maupun masyarakat serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pragmatisme berarti telah menunjukkan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri. Beberapa hari yang lalu cukup banyak pihak yang berkomentar positif terhadap pidato politik seorang ketua partai besar di Indonesia. Pidato tersebut bisa menjadi gambaran tentang kegelisahan partai politik terhadap perpolitikan bangsa. Dengan bersemangat, tegas, lugas dan ideologis, beliau mengingatkan warga partai bahkan seluruh bangsa untuk kembali merevitalisasi basis ideologi partai politik yang saat ini dikalahkan oleh pragmatisme dan politik pencitraan. Pidato itu juga mengingatkan kita pada cita-cita pendiri bangsa bahwasannya martabat bangsa menjadi keharusan dan ideologi merupakan kendaraan utama yang patut dipegang semua pihak, termasuk partai politik. Ada makna yang cukup eksplisit dalam pidato tersebut yang kemudian menggelitik banyak pihak untuk berfikir bahwasannya ada yang salah dengan politik kita. Tanpa bermaksud mereduksi keseluruhan isi pidato tersebut, ada beberapa catatan penting yang perlu dianalisis lebih lanjut, terutama dalam kaitannya dengan ideologi. Pertama, ada sebuah kesadaran bahwasannya sistem politik di Indonesia sedang mengalami pragmatisasi berat dimana politik dianggap sebagai sebuah arena kontraktual yang sarat dengan pertimbangan untung rugi. Kedua, ada ketidakrelaan jika pencitraan yang dibentuk oleh sebuah sistem kapitalistik mengalahkan kesadaran ideologis yang seharusnya menjadi substansi gerak perubahan. Dua catatan tersebut memiliki kaitan kuat karena lahir dari alam sistem demokrasi modern daan paradigma politik yang sama. Keduanya lahir dari pola berfikir behavioristik dan determinasi interaksi simbolis yang menganggap simbol, maka, rasio sebagai hukum penentu perilaku dan tindakan manusia.

Pragmatisme lahir dari sebuah cara berfikir behavioristik yang menawarkan konsekuensi, rasio, untung-rugi, kesuksesan, stimulus dan nilai hasil sebagai pendorong dan pembentuk perilaku atau tindakan manusia. Paradigma berfikir seperti ini tak memberi tempat atau berlawanan dengan asas konsistensi, komitmen, kesetiaan dan prinsip sebagai fundamen hidup manusia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rasio manusia, kesuksesan, untung rugi dan pertimbangan logislah yang menjadi patokan manusia dalam bertindak. Berkaca dari realitas politik sekarang jelas pola fikir pragmatisme memang dominan. Baik politisi, masyarakat maupun lembaga-lembaga politik cenderung menganggap politik sebagai arena bertarung kepentingan sesaat selayaknya jual beli produk pada pasar ekonomi. Segala sesuatu yang dianggap menguntungkan dan menjauhkan diri dari kerugian menjadi landasan perilaku politik. Wajar saja jika kemudian kita banyak menemukan pola tindakan seperti ini. KEPUSTAKAAN Achmad An'am Tamrin Demokrasi voorskot: strategi resistensi terhadap politik uang, Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politika Achwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010 Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009, http://www.hmifebugm.com Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010 admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme, Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/ Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute. Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia: Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007 ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008 Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010. Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis, 17/07/2008 08:49 WIB Dimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October 2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/ Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita, 27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/id Ediwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme, ediwahyu.multiply.com/journal Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010 Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01 Kompas Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009) Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/ Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm

M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001. Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik 09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009 Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia", Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 83 Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/ Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8. Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15 October. Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20. VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIB Wishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33 Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37. Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24 Pebruari 2006 M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009 Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992. A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996 Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988. Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987. Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I) Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998. Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967. Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag. Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003. Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth, Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.

Hill, Hal (ed), Indonesias New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation. Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 1977. Masoed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994. Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995. Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980. Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju, hlm 264. Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York:The Free Press. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT. Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia. Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992. A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996 Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988. Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia, LP3S, Jakarta 1987. Max Weber. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I) Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik?, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998. Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967. Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag. Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.

Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM http://adetaris.multiply.com Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University Press Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:Pantheon Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward Arnold Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage Publication Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage Public Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing Company Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOI Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:Routledge Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil Blackwall Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuails Reader in Mass Communication Theory. London:Sage Publications Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage Publication Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press

Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:Longman Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PC Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:Routledge Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976 Anderson, Benedict, R. OG., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990. Emmerson, Donald, K., Indonesias Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987. Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975. Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992. Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

You might also like