You are on page 1of 6

Banyak ahli pemerintahan yang berusaha untuk memaparkan fungsi dan peran pemerintah.

Salah satunya Kaufman (dalam Thoha, 1995 : 101) menyebutkan bahwa fungsi pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi. Selain itu, pemikiran 2 tokoh, John Lock dan Montesqiue yang membahas mengenai Trias Politica, fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif dipaparkan sebagai Chief of State, Head of Government, Party Chief, Commander in Chief, Chief Diplomat, dan Chief Legislation. Pendapat lain dikemukakan oleh Rasyid (2000 : 13) yang memaparkan enam tugas umum pemerintah antara lain menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara kekerasan, memelihara ketertiban dan menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat, melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, dan menerapkan kebijakan untuk memelihara sumber daya alam dan lingkungan Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka fungsi dan peran pemerintah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Fungsi Regulasi Pemerintah pusat akan memfasilitasi daerah dalam bidang regulasi melalui komunikasi yang efektif. Fungsi pemerintah dalam bidang regulasi khususnya bergerak dalam bidang kesehatan sebagai regulator pelayanan kesehatan. Contoh kasusnya adalah Badan Mutu Pelayanan Kesehatan di Propinsi Yogyakarta. Badan ini mengoptimalkan implementasi regulasi di dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten atau kota, sarana akuntabilitas lembaga regulator melalui strategi kemitraan dan meningkatkan keterlibatan lintas sektoral dalam pelaksanaan program kegiatan lembaga regulator. Selain itu, contoh lain daln menerapkan fungsi pemerintah dalam regulasi adalah regulasi desentralisasi kesehatan. Pemerrintah melakukan regulasi tenaga kesehatan dan lembaga kesehatan. Pada awal pelaksanaan desentralisasi, daerah yang telah memiliki kewenangan untuk mengatur sistem kesehatan kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena sebelum desentralisasi daerah hanya menjalankan tugas dari kanmil pemerintah pusat atau provinsi. Oleh karena itu, pemerintah melaksanakan fungsi regulasinya dengan mendukung dan meregulasi peran pemerintah daerah serta memfasilitasi daerah dalam hal regulasi melalui komunikasi yang efektif. 2. Fungsi Alokasi Fungsi Alokasi adalah fungsi pajak sebagai sumber pemasukan keuangan negara untuk kemudian dialokasikan untuk pengeluaran rutin negara. Anggaran negara harus diarahkan untuk

mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. 3. Fungsi Distribusi Menurut Musgrave pemerintah bertanggung jawab untuk mendistribusikan pendapatan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Hanya Negara yang bisa memaksa golongan masyarakat kaya untuk menyisihkan penghasilannya dengan mewajibkan mereka membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. 4. Fungsi Stabilisasi Fungsi stabilisasi pemerintah dilakukan dengan menggunakan kebijakan anggaran sebagai alat untuk menjaga agar tingkat tenaga kerja tetap tinggi, tingkat stabilitas harga yang pantas, pertubuhan ekonomi yang tepat, dan mempertimbangkan dampaknya bagi perdagangan dan keseimbangan pembayaran. Selain itu, contoh lain peran dan fungsi pemerintah dalam stabilisasi adalah sebagai mediator ketika terjadi konflik antara nelayan Bangkalan dan Pasuruan. Pemerintah sebagai fasilitator dalam proses meyelesaikan konflik tersebut. Metode yang digunakan adalah persuasive secara institusional. Seperti telah disinggung pada dua artikel terlebih dahulu mengenai keterlibatan sektor keuangan (financial inclusion) di Indonesia, perluasan akses terhadap layanan keuangan memberikan kontribusi bagi pengentasan kemiskinan maupun pertumbuhan ekonomi. Ketidakmerataan distribusi sektor keuangan merintangi pertumbuhan perusahaan-perusahaan berukuran kecil maupun rumah tangga yang miskin. Meningkatkan akses terhadap layanan keuangan akan membutuhkan tindakan dari sisi permintaan maupun penawaran, oleh sektor pemerintah maupun swasta. Pada negara-negara seperti Indonesia, dengan porsi besar penduduk yang hanya memiliki akses minim terhadap layanan keuangan dan rata-rata bahkan belum pernah membuka rekening bank, pertanyaannya adalah: apa peran pemerintah dan sektor swasta dalam meningkatkan keterlibatan keuangan bagi bagian penduduk yang lebih besar, dan sampai sejauh mana terdapat kesempatan bagi kemitraan pemerintah-swasta yang inovatif untuk mendorong keterlibatan sektor keuangan yang lebih besar bagi bagian penduduk yang saat ini belum dilayani/ belum tersentuh oleh bank? Pemerintah berada pada posisi yang tepat untuk mengambil prakarsa untuk meningkatkan akses terhadap layanan keuangan di Indonesia pada berbagai bidang. Selain itu, sektor swasta harus melihat potensi pasar sangat besar bagi layanan keuangan yang belum tersentuh oleh pasar saat ini. Bersama-sama, dapat dijumpai kesempatan-kesempatan bagi solusi dan kemitraan yang inovatif untuk memanfaatkan segmen pasar yang baru ini. Dari sudut pandang sektor publik, pertama-tama suatu strategi dan kebijakan keterlibatan sektor keuangan nasional harus ditempatkan untuk memberikan pedoman umum dan berjangka panjang bagi penyusun kebijakan dan pemain pasar. Kedua, pengumpulan data dan analisis secara berkala mengenai akses terhadap keuangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran dibutuhkan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan yang efektif. Ketiga, memperkuat kerangka hukum dan

aturan yang ada bagi berbagai lembaga keuangan resmi akan menjadi suatu langkah yang penting dalam meningkatkan akses terhadap keuangan. Bagi setiap pemberi layanan keuangan utama, terdapat aspek-aspek kerangka peraturan yang dapat direformasi demi peningkatan akses terhadap keuangan tanpa melanggar prinsip kehati-hatian. Di titik ini, Indonesia dapat mencermati contoh-contoh yang berasal dari negara-negara berkembang lainnya untuk mendapat ide-ide yang telah berhasil dilaksanakan di tempat lain. Sebagai contoh, pemerintah dapat memperluas kerangka peraturan bagi pemberi layanan untuk menggunakan perbankan lewat ponsel (mobile banking). Saat ini peraturan Bank Indonesia memperkenankan pemberi layanan non-bank untuk menerbitkan uang elektronik hanya untuk kepentingan pembayaran. Rintangan utama adalah persyaratan ijin yang dibutuhkan. Selain itu, peraturan mengenal nasabah (know-your-customer, KYC) dapat disesuaikan untuk memperkenankan agen pihak ketiga untuk mendaftarkan nasabah baru atau memperkenankan aplikasi jarak jauh untuk rekening bank baru dalam suatu batasan tertentu yang relatif rendah. Saat ini, nasabah harus datang ke kantor lembaga keuangan, yang dapat menjadi hambatan bagi mereka yang hidup di daerah yang lebih terpencil di pedesaan. Berkaitan dengan bank-bank umum, salah satu masalah utama yang dihadapi banyak nasabah dengan rekening yang kecil adalah biaya administrasi bulanan. Dapat diluncurkan peraturan yang mempermudah bank-bank untuk menutup rekening tidak aktif yang belum mencapai saldo nol, karena tidak ada kebijakan mengenai rekening tidur tampaknya merupakan salah satu alasan yang cukup berarti mengenai adanya biaya administrasi bulanan tersebut. Reformasi kebijakan juga dapat membantu memperluas peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR), terutama untuk membantu mereka yang beroperasi di daerah-daerah yang lebih terpencil. BPR berukuran kecil dapat memperoleh manfaat dari keringanan persyaratan laporan dan reformasi peraturan KYC, dan Indonesia dapat memetik manfaat dari pengalaman negara lain yang terdokumentasi dengan baik seperti dari Afrika Selatan, Kenya dan Filipina dalam meninjau peraturan seperti itu. Selain itu, pengecualian persyaratan NPWP dari syarat pemberian kredit berukuran kecil dapat membuka akses terhadap banyak rumah tangga miskin dan usaha mikro. Sejumlah perubahan kebijakan yang berguna dapat menetapkan suatu tingkat yang rendah bagi modal awal minimum untuk BPR kecil di lokasi terpencil dan memperkenankan investor dan LSM asing untuk bermitra dengan BPR yang lebih besar yang mencari permodalan. Sebagai penjamin simpanan bank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah berprestasi baik sejak pendiriannya di tahun 2005 dalam menutup BPR yang mengalami masalah dan membayar kembali simpanan yang dijamin. Selain memastikan bahwa LPS terus mendapat pendanaan yang memadai, juga terdapat kebutuhan akan komunikasi yang lebih baik akan batas jaminan simpanan kepada para penabung, terutama di daerah-daerah dengan pemahaman keuangan yang masih rendah. Indonesia memiliki sejumlah besar koperasi simpan pinjam yang memberikan layanan keuangan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah. Dibutuhkan pengawasan koperasi yang memadai untuk memastikan sektor koperasi yang sehat dan memangkas risiko yang dapat dihadapi oleh penabung UMKM dan rumah tangga miskin yang disebabkan oleh kepailitan suatu koperasi. Selain itu, penyesuaian lain terhadap kebijakan dapat memperkenankan suku bunga berbasis

pasar yang lebih lentur, kemudahan untuk membuka kantor cabang baru, dan memberikan kriteria yang lebih longgar bagi pelaporan dan pengungkapan. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan revitalisasi rancangan UU keuangan mikro yang akan memperkenankan lembaga keuangan lain (lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi) untuk mendapatkan status hukum yang kuat untuk memberikan akses terhadap layanan keuangan, dan membantu daya jangkau mereka di luar daerah operasi tradisional mereka di pulau Jawa dan Bali. Sangatlah penting bahwa UU itu mendorong akses terhadap keuangan berdasarkan praktik terbaik dari pengalaman internasional dan memberikan kerangka peraturan yang kuat dan pengawasan yang optimal mengenai peran yang harus dimainkan oleh pemerintah. Sementara itu, ketetapan bersama yang ditandatangani pada bulan Desember 2009 memberikan kerangka hukum sementara bagi lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi untuk memastikan keberlanjutan akses terhadap keuangan hingga UU Keuangan Mikro resmi ditetapkan. Sektor swasta dan pemerintah harus bekerja sama dalam memaksimalkan penggunaan teknologi baru untuk menawarkan solusi-solusi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap keuangan. Sebagai contoh, Indonesia telah maju dengan cepat dalam pengembangan layanan perbankan lewat ponsel. Tetapi Indonesia dapat melangkah lebih maju dengan memanfaatkan potensi pemberi layanan telekomunikasi untuk menjangkau kaum miskin yangbelumtersentuh bank di daerah-daerah pedesaan . Akan tetapi, peraturan yang sekarang berlaku membatasi para pemberi layanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin: tidak ada fasilitas layanan penarikan uang maupun pengiriman uang antar individu. Pada bagian ini, Bank Indonesia menjadi penentu dalam mereformasi peraturan untuk memberdayakan pemberi layanan uang elektronik non-bank dan memperkenankan bank-bank dan non-bank untuk memberikan layanan yang lebih luas melalui solusi perbankan lewat ponsel yang berbiaya rendah. Dengan sangat dikenalnya layanan pesan singkat ponsel (short-messaging services, SMS), maka jika bank-bank dan pemberi layanan telekomunikasi dapat menawarkan layanan perbankan lewat ponsel dengan menggunakan SMS sebagai mekanisme transaksi, maka kemungkinan besar layanan itu akan mendapatkan minat besar, termasuk yang berasal dari segmen pasar masyarakat miskin yang sebelumnya belum tersentuh oleh perbankan. Di Filipina, pengiriman dana antar individu (person-to-person transfer) diperkenankan lewat perbankan melalui ponsel, sehingga pekerja migran Filipina di luar negeri dapat mengirim uang bernilai jutaan dolar Amerika ke kampung halamannya setiap bulan. Indonesia juga dapat melakukan hal yang sama, jika diperkenankan oleh kerangka peraturan yang berlaku. Dengan demikian, terdapat alasan yang kuat bagi program percontohan yang memperkenankan pengiriman uang seperti demikian, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk kemitraan pemerintahswasta. Dengan kepemimpinan dari sektor publik untuk memberikan insentif bagi sektor swasta untuk meningkatkan keterlibatan, segmen berukuran besar dari penduduk Indonesia yang belum tersentuh bank dapat secara cepat mencapai sasaran pemerintah dalam keterlibatan sektor keuangan.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 (UU No. 17 Tahun 2003) tentang Keuangan Negara mengatur kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai berikut (Pasal 6): (1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan Kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud di sini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara. (2) Kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut: (a) dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia. (b) dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara. Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan. (c) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan (d) tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

You might also like