You are on page 1of 1

Penentuan mati adalah wewenang dokter atau petugas kesehatan yang ditunjuk.

Maka dari itu hendaknya setiap dokter mengetahui kapan seseorang dinyatakan mati. Di Indonesia ada peraturan dari pemerintah yaitu berupa PP. RI No. 18/1981.1 Tetapi menurut PKGDI (Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia) dan IDI definisi dalam peraturan itu kurang tepat. Dengan berdasarkan hasil lokakarya tentang mati yang diselenggarakan oleh IDI dan PKGDI pada tahun 1985 2 dan lokakarya mengenai penentuan mati dan eutanasia pasif yang diselenggarakan oleh PKDGI tahun 1986.3 Badan Legislasi Medis IDI membuat fatwa tentang mati dan eutanasia pasif. Fatwa ini telah pula disetujui pada Musyawarah Kerja IDI tahun 1987 di Medan dan dipublikasikan dalam bentuk pernyataan IDI No. 336/PB/A.4/88,4 kemudian diperbaharui dengan pernyataan IDI No.231/PB/A.4/07/90.5 Sebelum perkembangan sistem nafas buatan dan sirkulasi buatan atau sistem bantuan hidup pada tahun 1960 an dokter membuat diagnosis mati berdasarkan penghentian ireversibel semua fungsi jantung dan pernafasan.6 Namun untuk mempertahankan viabilitas jaringan donor, semua donor potensial akan memerlukan ventilasi buatan dan sirkulasi darah harus ada. Karena itu harus dicari kriteria mati lain. Kriteria lain tersebut adalah mati batang otak (MBO). Diagnosis MBO (yang dianut oleh IDI) dapat dibuat oleh seorang dokter atau dokter-dokter sebagai dasar pernyataan dan sertifikat mati,6 menurut praktek medis yang diterima masa kini. 7 Penentuan mati secara hukum dibuat sehubungan dengan autopsi dan pemakaman, transplantasi organ jenazah, malpraktek medis, mati tidak sah/salah, warisan dan pembunuhan.

You might also like