You are on page 1of 2

Dia terlambat setengah jam, terengah-engah namun tersenyum sumringah. Dadaku sesak melihatnya.

Bagaimana pula urusan ini akan mudah jika melihat senyumnya saja membuatku ingin menangis. Kami memesan makanan dan berbincang ringan sambil menghabiskannya. Hal ini membuatku sedikit rileks. Well, jadi ada apa? tanyanya saat kami telah menghabiskan semua makanan kami. Kamu tau aku masih mencintaimu? Ya. Dan kamu masih belum bisa memastikan perasaanmu kepadaku? Maaf. Dia menunduk. Tapi kita sepakat untuk tidak menutup hati untuk yang lain. Sambungnya. Ya! Dan 2 bulan ini aku dekat dengan seseorang. Dia mencintaiku dan aku juga. Semalam, dia melamarku! aku mengatakannya dalam satu tarikan napas. Dia tercengang. Raut wajahnya terluka. Lima menit penuh keheningan pun berlalu. Aku merasa berdosa karena telah mengatakannya. Tapi akan lebih berdosa lagi jika terus menyimpan luka ini, sendiri. Apa aku harus menerimanya? tanyaku. Edo, lelaki yang selalu kucintai ini justru tersenyum. Meskipun senyum itu tak lagi serenyah dulu, tapi kedua lesungpipit itu masih terlihat jelas. Bagiku wajahnya tetaplah rupawan. Itulah bagian yang aku suka dari dirinya. Aku harus pergi. Edo angkat bicara. Aku tak tertarik untuk menggubris perkataannya. Setiap kali terdesak dia selalu begitu, pergi dan pergi lagi. Benang kusut diantara kami tak kunjung selesai. Tak sekalipun ia memberanikan diri untuk menyelesaikan masalah. Sebagai lelaki, ia telah gagal menurutku. Edo meninggalkan sejumlah uang di atas meja dan kemudian pergi menyusuri kegelapan yang tak ketahuan dimana ujungnya. Aku hanya terdiam dan tak sedikit pun terbesit keinginan untuk mencegah langkah kakinya.

Jika dia masih mencintaiku dia pasti kembali. Pun jika tidak, aku masih punya lelaki lain yang mencintaiku gumamku menghibur hati sendiri. Benar saja, perkiraanku tak pernah meleset. Lelaki pengecut yang juga plinplan itu berlari kearahku. Entah apa yang akan terjadi. Maaf Riska. ia menunduk. Tapi kita tak bisa melanjutkan hubungan gelap ini. Sambungnya. Aku masih terdiam. Kucermati tiap setiap kata yang keluar dari bibirnya. Apalagi yang bisa dilakukan si bodoh ini selain meminta maaf. Ambillah semua uang di ATMku, dan setelahnya gugurkan kandungan itu. Itu akan membuatku sedikit lebih tenang. Kemudian kau harus melepaskan aku. berpura-pura lah bahwa selama ini kita tak pernah saling mengenal. ucapnya serius. Aku mulai memainkan peranku. Edo telah masuk dalam perangkapku. Sebagai wanita hamil dan sebentar lagi akan tunangan, jelas ini adalah situasi yang rumit untuknya. Baiklah, ini pertemuan terakhir kita. Dengan senang hati aku meraih dompet beserta seluruh isinya. Kemudian aku melenggok girang menuju parkiran. Mobil mewah kesayangannya itu telah jadi milikku. Apalagi yang perlu aku cemaskan. Testpack yang merupakan senjata pamungkasku itu telah kubuang jauh bersama Edo dan segala kebodohannya. Dalam sandiwaraku, Edo telah sukses memainkan peran sebagai lekaki bodoh. Dan aku adalah pemenang. Kuinjak pedal gas dalam-dalam untuk merayakan kemenangan. Bagiku, ada dua tempat untuk Lelaki yang tak punya prinsip.

Hidup di ruang kedap udara meski tanpa nafas, atau Di panggung sandiwara yang wanita ciptakan.

You might also like