You are on page 1of 4

Dalam hal perkembangannya, seseorang yang mengalami gejala depresi akan merasa peka dengan tipe situasi kehidupan

tertentu yang tidak ia sukai, misalnya kehilangan orang tua atau penolakan kronis oleh teman-temannya. Kondisi tak disukai lainnya yang mungkin tidak begitu nampak bisa menghasilkan kerentanan akan depresi. Pengalaman traumatis yang dialami sebelumnya menjadikan orang tersebut bereaksi berlebihan terhadap kondisi serupa yang dialami kemudian dalam perjalanan hidupnya. Ia memiliki kecenderungan untuk melakukan penilaian yang ekstrim, absolut, ketika situasi semacam itu timbul. Kehilangan dianggap sebagai sesuatu yang tak tersembuhkan dan tidak berbeda sebagaimana halnya penolakan total. Terapi kognitif dan gangguan emosional Kecenderungan depresi lainnya terjadi pada seseorang menetapkan sasaran yang kaku dan sempurna untuk diri mereka pada masa kanak-kanak, sehingga dunia mereka runtuh ketika menemui kekecewaan dalam hidup. Tekanan yang bertanggungjawab atas timbulnya depresi pada orang dewasa memang tergantung pada kerapuhan orang tersebut. Sejumlah laporan klinis dan penelitian menyetujui bahwa pada berbagai tipe peristiwa yang telah diduga sebelumnya: gangguan hubungan pada seseorang dimana pasien menggantungkan diri, gagal mencapai tujuan penting, kehilangan pekerjaan, kemunduran finansial, cacat fisik yang tak diduga, dan kehilangan status sosial atau reputasi. Jika peristiwa tersebut merupakan bagian dari kehidupan seseorang, maka peristiwa tersebut bisa memicu depresi. Untuk menilai label, peristiwa pemicu, pengalaman kehilangan haruslah memiliki signifikansi secara substansial bagi pasien. Faktor pemicu, tidak selalu merupakan peristiwa yang berlainan; stres dari dalam seperti penarikan kasih sayang oleh pasangan atau perbedaan yang mencolok antara tujuan dan capaian juga bisa mempengaruhi domain pribadi secara menyeluruh sehingga menimbulkan tingkatan depresi tertentu. Individu, bisa jadi tidak puas terus menerus dengan kinerjanya sebagai orang tua, istri, pencari rezeki, siswa, atau seniman kreatif. Lebih lanjut, timbulnya gap berulang antara apa yang diharapkan seseorang dengan yang ia terima dari sebuah hubungan interpersonal, dari karirnya atau dari aktivitas lain bisa memicu depresi. Ringkasnya, rasa kehilangan bisa jadi merupakan hasil dari tujuan tinggi yang tak realistis dan dan harapan yang luar biasa tinggi. Pengalaman yang mengawali munculnya depresi seringkali tidak lebih parah dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami depresi. Kecenderungan depresi berbeda dalam hal

bagaimana ia menanggapi suatu kehilangan. Hal ini melekatkan makna yang berlebihan atau sangat kuat terhadap suatu peristiwa kehilangan. Sikap dimana kejadian traumatis yang melihatkan kehilangan membawa konstelasi depresi dapat dilukiskan dalam gambaran kasus: Seseorang memiliki istri yang meninggalkannya tanpa diduga-duga. Dampak ditinggalkannya sang suami mungkin tidak dapat diprediksi. Jelas tidak semua orang yang ditinggalkan pasangannya akan menjadi depresi. Meskipun mungkin peristiwa dimana pasangan meninggalkannya merupakan sebuah kehilangan yang menyakitkan, ia mungkin masih memiliki sumber kepuasan lain anggota keluarga dan teman-teman yang membantu mengisi kekosongan. Apabila permasalahan tersebut secara sederhana bisa tidak dipedulikan dalam hidupnya, maka kita bisa menduga bahwa dalam waktu tersebut, ia akan mampu mengatasi kehilangan tanpa perlu menjadi depresi. Namun, kita juga mengetahui bahwa beberapa individu yang rapuh bisa merespon kehilangan dengan gangguan psikologis yang besar. Dampak kehilangan adalah tergantung, jenis dan intensitas makna yang dilekatkan terhadap sosok kunci tersebut. Istri yang meninggalkan rumah tangga merupakan penghubung dari pengalaman, fantasi, dan ekspektasi yang dibagi bersama. Suami yang ditinggalkan dalam contoh kami telah membangun jaringan pemikiran positif mengenai istrinya, seperti dia adalah bagian dari diriku; dia adalah segalanya bagiku; saya menikmati hidup karenanya; dia adalah yang utama; dia menyejukkanku kala terpuruk. Asosiasi positif ini memiliki rentang realistis hingga sangat tak realistis atau bahkan imajiner. Semakin ekstrim dan kaku konsep positif tersebut, maka akan makin besar dampak kehilangan dalam domain tersebut. Jika kerusakan pada domain tersebut cukup besar, maka ini akan menimbulkan reaksi berantai. Aset positif diwakili oleh istrinya akan terhapus seara total. Hilangnya atribut yang bernilai tersebut sebagai satu-satunya orang yang mamu membuatku bahagia atau esensi dari eksistensiku akan memperbesar dampak kehilangan dan menimbulkan kesedihan yang lebih besar. Akibatnya, suami yang ditinggalkan akan menarik suatu kesimpulan yang ekstrim dan negatif yang pararel dengan asosiasi positif terhadap istrinya. Ia akan menginterpretasikan konsekuensi kehilangan tersebut sebagai: Aku tak berarti tanpanya; aku tidak akan pernah dapat bahagia lagi; aku tak dapat melanjutkan hidup tanpanya Akibat lanjutan dari perginya sang istri akan menjadikan sang suami mempertanyakan makna dirinya: Jika aku orang yang lebih baik, ia tak akan meninggalkanku. Lebih lanjut, ia kemudian melihat konsekuensi negatif lain dari putusnya pernikahan mereka. Semua teman

kami akan memihaknya; Anak-anak akan ingin tinggal bersamanya, bukan denganku; Aku akan hancur mencoba mempertahankan rumah tangga ini. Seiring dengan berkembangnya reaksi berantai tersebut, akan tercipta hantaman depresi, keraguan diri, dan juga prediksi yang suram memicu generalisasi negatif tentang dirinya, dunianya, dan masa depannya. Ia akan mulai melihat dirinya makin kehilangan dalam hal kepuasan emosional, juga secara finansial. Sebagai tambahan, ia akan melebih-lebihkan penderitaannya dengan mendramatisasi peristiwa tersebut secara berlebihan: Ini terlalu berat untuk ditanggung seseorang atau, Ini merupakan bencana yang sangat buruk. Pemikiran semacam itu akan mengurangi kemampuan dan motivasinya untuk menyerap guncangan. Suami memisahkan dirinya sendiri dari aktivitas dan tujuannya yang sebelumnya memberikannya kepuasan. Ia mungkin menarik investasinya dalam tujuan karirnya (karena semuanya tak berarti tanpa istriku). Ia tidak termotivasi untuk bekerja ataupun merawat diri (karena ini tak ada gunanya). Stressnya diperburuk oleh depresi yang muncul bersamaan secara fisiologis, seperti hilangnya selera dan gangguan tidur. Pada akhirnya, ia akan memikirkan bunuh diri sebagai jalan keluar (karena hidup terlalu menyakitkan). Karena reaksi berantai tersebut melingkar, depresi akan semakin memburuk secara progresif. Berbagai gejala kesedihan, berkurangnya aktivitas fisik, gangguan tidur akan memberikan umpan balik terhadap sistem fisiologis. Dalam hal ini, seiring ia mengalami kesedihan, pesimismenya akan membawanya ke tingkat kesedihan yang lebih jauh diinterpretasikan secara negatif. Serupa dengan hal tersebut, ia akan berpikir, Aku tak akan bisa makan atau tidur lagi, dan menyimpulkan bahwa ia makin memburuk secara fisik. Ketika ia mengamati berbagai manifestasi dari gangguan yang ia alami (berkurangnya produktivitas, pengabaian tanggungjawab, penarikan diri dari orang lain), maka ia akan menjadi sangat kritis terhadap dirinya sendiri. Kritisisme-nya sendiri membawanya kepada kesedihan lebih lanjut, dan disini kita menyaksikan sebuah siklus yang sangat kejam. Anekdot mengenai orang yang ditinggalkan istrinya tersebut menggambarkan dampak dan makin membesarnya kehilangan bagi individu yang rapuh. Kita bisa beranjak dari kasus umum untuk menetapkan suatu generalisasi mengenai perkembangan depresi. Reaksi berantai depresi bisa dipicu oleh berbagai kehilangan seperti kegagalan di sekolah atau pekerjaan. Kehilangan yang lebih kronis, seperti gangguan dalam hubungan interpersonal, juga bisa menjadi pemicunya.

Konsep mengenai reaksi berantai depresi bisa diperluas untuk memberikan jawaban atas permasalahan berikut: Mengapa pasien yang depresi memiliki penghargaan diri yang sangat rendah? Mengapa ia sangat pesimis? Mengapa ia menilai dirinya sendiri begitu kejam? Mengapa ia menyerah? Mengapa ia percaya bahwa tak ada seorang pun yang dapat membantunya?

You might also like