You are on page 1of 14

LATAR BELAKANG Metformin tergolong obat antihipoglikemik oral yang telah luas digunakan dalam penatalaksanaan diabetes melitus

yang tidak tergantung insulin. Bioavailabilitas oral metformin berkisar antara 40 % - 60 %, utamanya diekskresikan melalui urin dalam bentuk senyawa utuh, 20 % - 30 % dari dosis ditemukan dalam feses sebagai senyawa utuh. Tingginya absorpsi oral metformin disebabkan sifat hidrofilik-nya (log D -6,13 pada pH 7) dan muatan positif pada pH intestinal (pKa 13,8). Metformin diyakini diabsorpsi predominan di bagian atas intestinal, dan perkiraan waktu absorpsi sepenuhnya adalah 6 jam. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral merupakan refleksi laju absorpsi daripada eliminasi obat. Dengan kata lain, metformin menunjukkan profil kinetik flip flop di mana absorpsi lambat metformin menjadi rate limiting step dalam proses disposisi metformin. Uji klinik metformin telah mendemonstrasikan penurunan bioavailabilitas pada dosis tinggi, menunjukkan terjadi absorpsi terjenuhkan di intestinal. Ketika metformin diberikan p.o bersama antagonis reseptor H2 histamin (cimetidin), konsentrasi plasma metformin meningkat dan sekresi tubulus renal menurun, mengimplikasikan peran transporter kation organik pada eliminasi metformin. Tetapi, dalam studi yang serupa, perubahan signifikan absorpsi metformin yang disebabkan oleh pemberian cimetidin belum diobservasi. Penentuan nilai recovery urin total metformin, menunjukkan tidak terjadi interaksi yang berhubungan dengan absorpsi intestinal. Penelitian terbaru yang menggunakan perfusi intestinal single pass pada tikus yang diberikan metformin, memperlihatkan permeabilitas duodenum yang tergantung konsentrasi, yang berarti melibatkan mekanisme saturasi termediasi oleh carrier. Sebaliknya, penelitian lain menyimpulkan terdapat absorpsi linear tidak tergantung dosis dari metformin pada tikus, walaupun dosis yang diberikan tergolong tinggi (50 200 mg/Kg), sehingga absorpsi termediasi oleh carrier melebihi range dosis perlu diamati. Jelas, mekanisme yang bertanggung jawab dalam absorpsi tergantung dosis metformin pada manusia perlu dipahami dengan baik. Beberapa penelitian menyatakan bahwa metformin ada pengaruhnya pada transpotertransporter yang ada pada saluran ekskresi tubuh manusia. Misalnya berupa transporter kation organik (TKO) yang dijumpai pada organ-organ ekskresi, ginjal (TKO1) dan hati (TKO2). Maka dari itu perlu dipastikan lebih lanjut lagi kondisi absorpsi metformin dalam saluran cerna, apa saja faktor yang terkait dengan kondisi absorpsi metformin dalam saluran cerna. Penelitian saat ini dilakukan untuk memahami mekanisme transpor dalam absorpsi intestinal metformin. Pendekatan yang digunakan serupa dengan pendekatan untuk mengelusidasi

mekanisme absorptif kation hidrofilik, yaitu ranitidin. Penelitian yang sedang berlangsung menyingkapkan bahwa mekanisme transpor kompleks yang terlibat dalam interaksi metformin dengan AP uptake dan transporter effluks serta mekanisme transpor paraseluler tersaturasi. Mekanisme transpor metformin membantu menjelaskan absorpsi metformin oral yang tergantung dosis yang terjenuhkan sebagaimana yang diamati pada manusia. METODE Bahan Caco-2 sel; Eagles minimum essential medium mengandung garam Earles dan L-glutamate, asam amino nonesensial, penicillin streptomycin-amphotericin B solution, fetal bovine serum, dan HEPES(1 M). Hanks balanced salt solution yang mengandung kalsium dan magnesium. Metformin, quinidine, 1-methyl-4-phenyl pyridinium (MPP), tetraethylammonium bromide (TEA), Triton X-100, and D-glucose; N-(4-[2-(1,2,3,4tetrahydro-6,7-dimethoxy-2-isoquinolinyl)ethyl]-phenyl)-9,10-dihydro-5-methoxy-9- oxo-4acridine carboxamide (GW918); [14C]Metformin (54 _Ci/_mol); [14C]mannitol (53 _Ci/_mol). Caco-2 Monolayer Dalam studi ini dilakukan uji permeasi secara in vitro suatu obat. Metode CACO-2 monolayer menjadi pilihan peneliti untuk memperoleh data.Yang mendasari perkembangan penggunaan metode ini adalah sebagian besar obat yang diberikan secara oral akan mengalami absorpsi melalui usus tanpa menggunakan pompa sel (tanpa aktivasi energi) sehingga bisa dikatakan permeabilitasnya dengan mekanisme yang pasif (Anonim, 2011). Metode ini dianggap cukup relevan dengan transport/ difusi secara in vivo, kemiripan model proses absorpsi ini menjadikan metode CACO-2 monolayer menjadi penting dalam proses skrining kemampuan suatu obat untuk penghantaran secara oral. Sampel dan Media Media uji yang digunakan adalah CaCo-2 yang diperoleh dari American Type Culture Collection (Marassas, VA).Dimana dilakukan perlakuan terhadap Caco-2 dengan dikultur pada suhu 37oC dalam medium essensial Eagle minimum beserta 10% serum bovine, 1% asam amino non esensial, 100U/ml penisilin, 100g/ml streptomisin dan 0,25 g/ml amfoterisin B dalam suasana 5% CO2 dan 90% kelembapan relative. Pengaturan yang dilakukan terhadap kultur Caco-2 monolayer ini bertujuan untuk mengkondisikan kultur sel dalam keadaan yang siap digunakan dan terhindar dari faktor-faktor yang bisa mengganggu

studi permeasi. Karena Caco-2 merupakan sel hidup yang rentan terhadap intervensi bakteri dan virus maka dibutuhkan beberapa antibiotik dan antifungal dalam kulturnya.

Gambar 1. Caco-2 Monolayer Caco-2 monolayer sendiri merupakan selapis sel yang diperoleh dari kultur sel human colon carcinoma yang mempunyai karakteristik sangat mirip dengan sel absorbtif pada epitel usus sehingga merupakan metode uji permeasi in vitro yang paling ideal untuk digunakan. Sel-sel yang bagiannya sudah terbentuk 90% kemudian dikumpulkan menggunakan tripsinEDTA dan dilapisi dengan rasio 1:5 dalam wadah seluas 75cm 2. Sel-sel (nomor bagian 2540) dibiakkan pada membran polikarbonat Transwells dengan konsentrasi 60.000 sel/cm 2. Media diganti sehari setelah pembiakan agar sel yang ditambahkan sudah cukup mantav\b menempel pada wadah sehingga ketika media diganti tidak ikut terambil/ terbuang. Penggantian media dilakukan setiap hari untuk menjaga media dalam kondisi yang memungkin kultur sel untuk tetap hidup. Sel Caco-2 monolayers digunakan pada usia 21 sampai dengan 28 hari setelah penananam. Dilakukan pengukuran hambatan listrik transepitelial (TEER) untuk memastikan bobot lapisan sel tersebut. Sel monolayers dengan nilai TEER lebih besar dari 300 .cm2 dapat digunakan dalam percobaan transportasi. Nilai TEER ditentukan lebih besar dari 300 .cm 2 agar sel cukup kuat ketika diintervensi perlakuan. Selain itu nilai TEER juga harus diukur setelah perlakuan hal ini ditujukan untuk memastikan integritas data yang diperoleh, jikalau tidak ada perubahan nilai TEER maka bisa dikatakan sel masih dalam keadaan yang normal/ tidak rusak akibat perlakuan sehingga data yang diperoleh bisa dipastikan bahwa data yang valid. Jikalau nilai TEER berubah signifikan maka dikhawatirkan data absorpsi diperoleh tidak valid, bisa jadi absorpsi terjadi karena kultur sel sudah rusak sehingga memudahkan transport sampel dari bagian AP menuju BL. Sel monolayer yang telah dipreinkubasi dalam buffer pada suhu 37oC selama 30 menit, ditempatkan pada sisi AP selama 60 menit beserta 0,5mM metformin. Sel-sel tersebut kemudian dicuci tiga kali pada suhu 4oC transport buffer pada kompartemen AP dan BL, kemudian jumlah metformin yang muncul dalam setiap kompartemen ditentukan sesuai

waktu. Untuk memastikan kultur sel bisa diberikan perlakuan untuk mengetahui permeasi dari suatu obat biasanya dilakukan uji pendahuluan diantaranya : Pengukuran permeabilitas Mannitol < 20 nm/s Propranolol > 5x permeabilitas Mannitol Pgp Expression > 1.5x permeabilitas vinblastine dengan adanya verapamil (Anonim, 2011). Percobaan dimulai dengan mengganti kompartemen donor bufer (0,4 ml untuk AP dan 1,5 ml untuk BL) dengan bufer yang mengandung berbagai konsentrasi metformin. Percobaan dilakukan dalam buffer dengan pH 7,2. Adanya metformin di kompartemen AP dan BL dan ditentukan dalam kisaran linier. Akumulasi sel selama 60 menit ditentukan pada saat dimulainya setiap percobaan sebagai konsentrasi intraseluler awal (Co) metformin dan perhitungan klirens. Untuk pengukuran sampel hasil proses permeasi Caco-2 monolayer maka perlu dilakukan beberapa langkah berikut : 2,6 ml media kultur baru yang diletakkan pada bagian basolateral. 1,5 ml sampel uji atau pembanding ditambahkan pada bagian apikal dari monolayer. 1,5 ml media kultur kemudian juga ditambahkan pada bagian apikal tersebut yang difungsikan sebagi kontrol. Selanjutnya monolayer diinkubasi pada suhu 37oC selam jangka waktu tertentu sesuai dengan waktu pencuplikan sampel. Untuk setiap waktu pencuplikan, media kultur diambil dari bagian basolateral dan dikuantifikasi, namun secara langsung media kultur digantikan dengan media kultur yang baru sejumlah 2,6 ml sesuai volume awal (Anonim, 2011). Analisis Sampel dan Data Sampel yang dicuplik pada setiap waktu pencuplikan diukur kadar metforminnya menggunakan Liquid Scintillation Counting. Pada studi ini digunakan dua jenis metformin, yang pertama adalah metformin yang tidak dilabeli radioaktif, sedangkan yang kedua digunakan metformin yang dilabeli oleh radioaktif yaitu [14C] Metformin. Metformin berlabel ini dapat diukur kadarnya menggunakan Liquid Scintillation Counting berdasarkan aktifitas radioaktif label yang dilekatkan pada Metformin sehingga secara representative menggambarkan jumlah metformin dalam cuplikan sampel.

Menurut Leswara (2007) Detektor sintilasi merupakan suatu tranduces tranduces yang mengubah energy kinetic partikel pengion menjadi kedipan cahaya. Jadi, cahaya yang terjadi akan dilihat secara elektronis melalui tabung photomultiplier yang selanjutnya akan menghasilkan denyut output listrik yang dapat diperkuat dan dipilih menurut ukurannya dan kemudian dicacah.

Gambar 2. Skema Kerja Liquid Scintillation Counting Hasil pengukuran kadar metformin kemudian diolah secara matematis per satuan waktu dan kemudian data-data tersebut ditarik kesimpulan secara umum yang menggambarkan kondisi studi yang dilakukan berdasarkan perhitungan matematisnya. Sehingga muncul parameter-parmeter yang memungkinkan sebagai prediksi kondisi pengujian.

Persamaan ini digunakan untuk mengetahui kemampuan permeabilitas dari metformin.

Persamaan ini digunakan untuk mengetahui konstanta kinetika dari transport metformin

Persamaan ini digunakan untuk mengetahui kecepatan uptake metformin baik di bagian apikal ataupun basolateral.

Sedangkan persamaan ini digunakan untuk mencari konstanta-konstanta kecepatan transport metformin pada setiap bagian chamber. Dengan menginputkan data jumlah metformin per satuan waktu dan mengetahui jumlah metformin yang ada pada setiap chamber melalui hasil analisis, maka nilai-nilai k dapat ditentukan. HASIL 1. Transpor absorpsi dan Uptake apikal Sebagai definisi operasional, transport absorbtif (selanjutnya disebut sebagai "transport") mengacu pada gerakan obat dari kompartemen AP di sel mono layer dan ke dalam kompartemen BL (Basolateral). Serapan dan effluks akan mengacu pada pergerakan obat di satu membran penghalang (AP atau BL). Nilai Papp menurun memberikan bukti untuk transport metformin terjenuhkan pada media Caco-2 monolayers (Gambar 3A, bagian kiri). Transport, dalam hal fluks (J), dimodelkan sebagai fungsi konsentrasi donor metformin (Gambar 3A, bagian kanan).
SATURATE D

Gambar 3. Kurva Data Transport Absorpsi dan Uptake Uptake Metformin (0,5 mM) di bagian AP cepat tetapi gagal mencapai steady state pada menit 45 (gambar 3B).

Tabel 1. Perbandingan Transport dan Efluks Sebuah perbandingan dari penyerapan pada AP terhadap transport menunjukkan bahwa serapan saturable AP clearance jauh lebih efisien daripada clearance transport saturable metformin (Tabel 1), menunjukkan bahwa efflux keluar BL dari sel dapat membatasi transport transelular. Dalam artian uptake metformin melalui AP sudah cukup lancar, namun hasil transport tidak menunjukkan nilai yang sebanding dengan hasil yang bagus pada uptake AP. Jadi bisa dikatakan bahwa ada faktor yang mempengaruhi metformin dikeluarkan dari sel kultur, yaitu efluks keluar BL.

Gambar 4. Perbandingan Efluks AP dan BL Effluks Metformin digambarkan 7 kali lipat lebih tinggi pada clearance AP daripada BL, menunjukkan bahwa effluks melintasi membran AP dibantu oleh transporter effluks dan efflux pada BL dianggap tidak efisien. Nilai Polaritas efflux antara AP dan BL menunjukkan bahwa membran BL adalah pembatas/rate limiting step untuk transport transelular. Efflux AP tidak dihambat oleh 1 _M GW918, P-gp inhibitor (Hyafil et al., 1993.) (Gambar 4b), namun efflux AP secara signifikan dihambat oleh quinidine (p 0,001). Hasil ini mendukung laporan sebelumnya bahwa metformin bukanlah substrat untuk P-gp (Song et al., 2006). Efflux trans-stimulasi AP dirangsang oleh metformin berlabel (5 mM), MPP (0,05 mM), dan TEA (10 mM). Stimulasi [14C] metformin pada effulks AP oleh metformin berlabel dan prototipikal OCT substrat, TEA dan MPP, mendukung kehadiran kation selektif transporter dua arah dalam membran AP yang memfasilitasi penyerapan dari metformin dan sekresi dari sel. Efflux BL tidak mampu ditrans-stimulation/inhibition oleh berlabel metformin, MPP, TEA, atau quinidine (Gambar 4C).

Gambar 5. Perbandingan Flux Transport dan BL Peningkatan 26 kali lipat dari efflux BL berkorelasi dengan perkiraan konsentrasi metformin intraseluler (Co), yang meningkat dari 0,19 0,02 ke 4,93 0,19 mM (26 kali lipat) loading concentration meningkat ( 0,05 ke10 mM )(inset 5B Gambar.). nilai efflux BL untuk 0,05 dan 10 mM loading concentration hanya bisa menjelaskan _25 dan _6% dari transportasi secara keseluruhan, masing-masing (Gambar 5A). Hasil ini mengarah pada kesimpulan bahwa metformin transport harus terjadi terutama melalui rute paraseluler. Transport(fluks) dan rate efflux BL tergantung pada konsentrasi donor atau konsentrasi intraseluler awal.

Gambar 6. Perbandingan Antara Transport Absorpsi dengan Akumulasi Metformin Akumulasi seluler menggambarkan massa obat terakumulasi dalam sel pada periode waktu tertentu. Nilai ini memperhitungkan beberapa proses, misalnya, penyerapan dan effluks, baik di AP dan BL membran. Akumulasi seluler metformin melebihi transports sepanjang percobaan (Gambar 6A), yang menyatakan bahwa penyerapan/uptake ke dalam sel bukanlah rate limiting step untuk transport metformin. Pada saat terdapat quinidine, akumulasi seluler dan transport menurun secara signifikan dibandingkan dengan kontrol, dan akumulasi seluler gagal melebihi jumlah metformin diangkut (Gambar 6D).

Tabel 2. Konstanta Laju (k) pada Uji Permeasi Caco-2 Monolayer

Dengan adanya keberadaan

quinidine, Ketetapan laju terkait dengan uptake AP

(k12) menurun 90%, yang konsisten dengan penghambatan carrier-dimediasi proses penyerapan dan penurunan berikutnya di akumulasi seluler metformin (Tabel 2;. Gambar 6D). Penghambatan oleh quinidine menyebabkan penurunan 3 kali lipat dalam Papp, total dan penurunan 7 kali lipat dalam akumulasi seluler metformin (Gambar 6D). konstanta laju paraseluler (k13) menurun 50% dengan adanya quinidine (Tabel 2).

Tabel 3. Hubungan Transport Transeluler dan Paraseluler Terkait Konsentrasi Pengaruh relatif transportasi transelular dan paracellular diperkirakan dengan tiga konsentrasi metformin yang terpisah: 0,05 ; 0,5 mM ; dan 10 mM . Nilai total P app menunjukkan penurunan berkaitan dengan konsentrasi. Akumulasi seluler metformin tidak mencapai steady state sebesar 90 menit baik pada konsentrasi 0,05 mM dan 0,5, sedangkan pada konsentrasi metformin 10 mM konsentrasi steady-state dalam sel tampaknya dicapai pada 90 menit (Gambar 6C). Pemodelan Kinetic menghasilkan estimasi parameter yang menggambarkan transport dan data akumulasi (Tabel 2). Jadi dalam menentukan pengaruh transport paraseluler dan transeluler terhadap akumulasi dengan variasi konsentrasi ini dilihat dengan menggunkan 2 metode yang bebrbeda. Hasil yang diperoleh saling menguatkan, maka bisa dikatakan data yang diperoleh cukup kuat. KESIMPULAN Komponen jenuh terlihat tidak memiliki peran yang dominan dalam transport Metformin, khususnya pada konsentrasi tinggi. Ketika dilakukan suatu pembandingan antara afinitas rendah dengan uptake AP berkapasitas tinggi, terdapat perbedaan pola kinetika. Perbedaan parameter kinetika yang ditemukan menunjukkan bahwa transport Metformin ke dalam sel tidak seluruhnya dipengaruhi oleh mekanisme uptake AP namun juga terkait dengan proses penyerapan transeluler.

Uptake AP dan akumulasi seluler Metformin mencapai kadar steady state pada menit ke 90 dalam konsentrasi 10mM, namun hal ini tidak terjadi pada konsentrasi 0,05 dan 0,5 mM. Sangat mengejutkan, mengingat bahwa kation ranitidine hidrofilik (hasil studi banding) berhasil mencapai kadar steady state dalam waktu 15 menit. Hal ini terjadi mungkin karena efluks BL yang terbatas dan keberadaan jalur dua arah dengan efisiensi tinggi pada transport membran AP. Uptake oleh AP dan akumulasi seluler secara nyata dihambat kuat oleh keberadaan Quinidine. Penghambatan oleh Quinidine menyebabkan pengurangan kemampuan uptake AP lebih dari 5 kali lipat, dimana menyatakan bahwa golongan Quinidine (inhibitor OCT) dapat mempengaruhi uptake AP secara langsung. Efluks pada AP merupakan subjek simulasi-trans oleh Metformin, dimana di tempat itu banyak terdapat tranporter OCT. meskipun hingga kini belum diketahui dengan pasti transporter apa yang terlibat, namun studi ini memberikan bukti yang kuat mendukung bahwa mekanisme transport uptake dua arah ataupun efluks pada membrane AP di sel caco-2monolayer untuk Metformin memakai prinsip OCT-like. Dalam perbandingan antara uptake AP dengan uptake BL Metformin, dapat dilihat bahwa uptake BL dilakukan dengan tidak efisien dan melalui transport difusi pasif. Keterbatasan efisiensi uptake BL nampaknya merupakan salah satu cara untuk membatasi pengangkutan transeluler Metformin sehingga akumulasi di dalam sel plasma dapat terjadi dalam waktu transport 90 menit. Hal ini juga menjelaskan mengapa transport Metformin didominasi oleh transport paraseluler. Hasil percobaan mengenai transportasi, uptake, dan efluks menunjukkan bahwa Metformin dibawa melewati sel membrane caco-2-monolayer melalui mekanisme saturasi paraseluler. Dalam percobaan ini juga dilakukan pemodelan kinetika untuk melihat transport Metformin apabila dibandingkan melalui transeluler dengan paraseluler. Pemodelan kinetic ini mendukung hasil yang menunjukkan bahwa Metformin memang benar diangkut melalui rute paraseluler. Namun sayangnya, ada ketidakcocokan dengan hasil percobaan dimana terlihat bahwa permeabilitas sangat tergantung pada konsentrasi di sel caco-2. Nilai permeabilitas Metformin menurun seiring dengan besarnya konsentrasi dosis yang diberikan. Kemungkinannya, terjadi penurunan permeabilitas paraseluler. Namun berdasar percobaan dengan manitol (penanda transport paraseluler), permeabilitas manitol tidak berubah seiring dengan konsentrasi Metformin yang bervariasi. Kemudian muncul kecurigaan baru, bahwa

penurunan permeabilitas paraseluler mungkin karena interaksi antara Metfromin dengan suatu makromolekul di ruang paraseluler di sel caco-2. Adanya residu suatu asam amino anionic , Claudin, memberikan titik kationik sebuah tenaga untuk selektivitas sehingga Metformin dimungkinan untuk menjenuhkan titik-titik anionic di persimpangan dan akhirnya membatasi transportasi pada konsentrasi tinggi. Hasil lebih lanjut menjelaskan bahwa Metformin masuk ke dalam sel melalui membrane AP dengan transporter kation selektif. Dari percobaan ini dapat dispekulasikan, bahwa sebagian dari dosis Metformin yang diberikan akan ditahan di enterosit karena kurang maksimalnya kemampuan efluks dari BL. Selain itu, Metformin juga dicegah dari uptake membrane AP karena konsentrasi luminal yang lebih tinggi daripada obat.

Gambar 7. Prediksi Kondisi Transport Metformin melalui Caco-2 Monolayer Secara singkat bisa dikatakan bahwa Transport Metformin dipengaruhi faktor kondisi jenuh, adanya transport paraseluler, efluks antara bagian AP dan BL berbeda karena bagian BL melakukan efluks yang tidak sebanding dengan efluks AP yang jauh lebih cepat sehingga efluks BL menjadi rate-limiting step. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011, Caco-2 Cellular System : An Overview, Life Science Technical Bulletin. Hyafil F, Vergely C, Du Vignaud P, and Grand-Perret T., 1993, In vitro and in vivo reversal of multidrug resistance by GF120918, an acridonecarboxamide derivative, Cancer Res, 53:4595 4602. Leswara, D. N., 2007, Buku Ajar Radiofarmasi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 25-26.

Song N, Li Q., and Liu C., 2006, Intestinal permeability of metformin using single-pass intestinal perfusion in rats, World J Gastroenterol, 12:4064 4070.

MAKALAH JURNAL PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

Mechanisms Underlying Saturable Intestinal Absorption of Metformin

Disusun oleh : Jonas Endang Mili Gidion Krisnadi Yoseph A.A. Sagung Intan K. Realita Rosada Maria Carolina Gede Wiwid S. P. Veronica Tata R. Ciptaning Hayu S. Maria Gabriela R. Wuri Kinanti (1081140 (0981140 ) )

(108114081) (108114086) (108114088) (108114091) (108114092) (1081140 (1081140 (1081140 (1081140 ) ) ) )

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013

You might also like