You are on page 1of 25

KOMUNITAS I

Masalah Kesehatan Kelainan Tulang/Patah Tulang pada Lansia

Oleh : KELOMPOK 7 1. Widani Ni Nyoman 2. Widia Mahardani Ni Komang 3. Yogi Aristana Putra I Putu Gede 4. Yuni Dwi Antari Ni Kadek 5. I Nengah Nadiartawan 6. Anak Agung Ayu Ari Yundari (11.321.1186) (11.321.1187) (11.321.1188) (11.321.1189) (10.3210953) (10.321.0937)

ILMU KEPERAWATAN STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI 2013

DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... i BAB I ................................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................................. 1 A. B. 1. 2. C. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1 Bagaimana Konsep Dasar Penyakit Fraktur pada Lansia? ..................................................... 1 Apa Saja Kemunduran dan kelemahan lansia(14 Impairment) .............................................. 1 Tujuan ................................................................................................................................... 1

BAB II ................................................................................................................................................ 2 PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 2 A. 1. 2. 3. 4. KONSEP DASAR PENYAKIT............................................................................................... 2 Pengertian ............................................................................................................................... 2 Epidemiologi ......................................................................................................................... 2 Etiologi .................................................................................................................................. 3 Patofisiologi ........................................................................................................................... 3

5. Klasifikasi .................................................................................................................................. 4 6. Gejala Klinis............................................................................................................................... 6 7. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................................................... 7 8. Pemeriksaan Diagnostik ............................................................................................................. 9 9. Therapy .................................................................................................................................... 10 10. Penatalaksanaan ..................................................................................................................... 11 11. Komplikasi ............................................................................................................................. 12 B. KEMUNDURAN DAN KELEMAHAN LANSIA(14 IMPAIRMENT) ............................... 14 BAB III............................................................................................................................................. 20 PENUTUP ........................................................................................................................................ 20 A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 21

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putar mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Konsep Dasar Penyakit Fraktur pada Lansia? 2. Apa Saja Kemunduran dan kelemahan lansia(14 Impairment)

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Konsep Dasar Fraktur 2. Untuk mengetahui kemunduran dan kelemahan lansia (14 impairment)

BAB II PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Pengertian Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2002) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahan tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik(prices, 19950. Sedangkan fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patahan tulang yang utuh. Berdasarkan batasan di atas dapat di simpulkan bahwa,fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh,yang biasanya di sebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di tentukan jenis dan luasnya trauma. 2. Epidemiologi Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,64 berbanding 1, dengan kejadian terbanyak pada kelompok umur decade kedua dan ketiga yang relative mempunyai aktivitas fisik dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40% fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah, terutama daerah tibia dan femur tengah.

3. Etiologi Hal-hal yang dapat menyebabkan fraktur : Benturan langsung ( paling sering terjadi pada tulang tepat pada bagian yang terkena benturan ). Gerakan kontraksi otot yang kuat dan secara tiba-tiba ( contohnya patah tulang iga dapat disebabkan batuk yang kuat ). Patah tulang karena letih. Patah karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan terlalu lama. Kondisi patologi : kekurangan mineral sampai batas tertentu pada tulang dapat menyebabkan patah tulang: contohnya osteoporosis, tumor tulang ( tumor yang menyerap kalsium tulang ).

4. Patofisiologi Setiap trauma dapat mengakibatkan cedera pada tulang. Pada umumnya patah tulang tidak merupakan keadaan yang kritis, kecuali diikuti dengan perdarahan atau syok atau keduanya. Tulang mempunyai kekuatan dan kekerasan yang optimal, serta kemampuan untuk sembuh dengan cepat. Pada umumnya hanya benturan yang sangat keras yang dapat mematahkan tulang. Bila hal ini terjadi, maka timbul kerusakan hebat pada struktur jaringan lunak yang mengelilingi, periosteum terkelupas dari tulang. Bila terjadi ruptur pembuluh darah di dalam tulang, periosteum akan membentuk hematom disekeliling tempat fraktur, dan darah keluar ke otot-otot sekitarnya disertai pembengkakan dalam berbagai tingkatan. Kerusakan tersebut akan menimbulkan nyeri deformitas, bengkak, krepitasi, perubahan suhu dan warna kulit, sehingga bila pertolongan terlambat dapat menyebabkan mal union ( tulang tidak dapat menyatu ).

5. Klasifikasi Jenis- jenis fraktur dapat dibagi sebagai berikut :

a) Fraktur komplet adalah patah seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (pergeseran dari posisi normal). b) Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. c) Fraktur tertutup (fraktur simple tidak menyababkan robekan kulit). d) Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks/compound) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi grade 1 dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya : grade 2 luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif : dan grade 3, yang sengat terkontaminasi dan mengalami kurusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat. Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang fraktur bergeser/tidak bergeser. Berikut ini adalah berbagai jenis khusus fraktur :

Greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainya membengkok. Tranversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang Oblik : fraktur bentuk sudut pada garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal). Spiral : fraktur memuntir sekitar batang tulang Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah) Kompresi : fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang) Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit (kista tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor) Avulsi : tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlekatan. Epifiseal : fraktur melalui epifisis Impaksi : fraktur dimana fragmen tulang terdorong kefragmen tulang lainnya

Fraktur yang sering terjadi pada lansia 1. Fraktur Kompresi Vertebra Suatu gejala osteoporosis yang sering dijumpai adalah sakit punggung, akibat fraktur kompresi vertebra. Fraktur kompresi vertebra ini dapat terjadi setelah trauma minimal, seperti melepaskan kancing pada bagian punggung, membuka jendela, atau bahkan merapikan tempat tidur. Focus dari perawatan untuk fraktur kompresi akut adalah mengurangi gejala sesegera mungkin dengan tirah baring pada posisi apapun yang mampu memberikan kenyamanan maksimum. Relaksan otot, seperti panas dan analgesic dapat digunakan jika ada indikasi. Penggunan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur ini.

2. Fraktur Panggul Klien lansia biasanya mengalami cedera ini karena jatuh. Walaupun hanya 3% dari semua fraktur adalah fraktur panggul, tipe cedera ini diperhitungkan menimbulkan 5 sampai 20% kematian diantara lansia akibat fraktur. Fraktur panggul adalah hal yang tidak menyenangkan karena fraktur tersebut dapat juga menyebabkan cedera intraabdomen yang serius, seperti laserasi kolon, paralysis ileum, perdarahan intrapelvis, dan rupture uretra serta kandung kemih.

3. Fraktur Pinggul Walaupun fraktur tulang belakang yang mengarah pada deformitas dan fraktur panggul menyebabkan disfungsi tubuh, tetapi fraktur pinggullah yang sangat berat memengaruhi kualitas hidup dan menantang kemampuan bertahan hidup pada lansia. Manifestasi klinis dari fraktur tulang pinggul adalah rotasi eksternal, pemendekan ekstremitas yang terkena, dan nyeri berat serta nyeri tekan di lokasi fraktur. Perubahan letak akibat fraktur pada bagian leher tulang femur dapat menyebabkan gangguan serius pada suplai darah ke kaput femur, yang dapat mengakibatkan nekrosis avaskular. Perbaikan dengan pembedahan lebih disukai dalam menangani fraktur tulang pinggul. Penanganan melalui pembedahan memungkinkan klien untuk bangun dari tempat tidur lebih cepat dan mencegah komplikasi yang lebih besar yang dihubungkan dengan immobilitas. 6. Gejala Klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagia-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen paa fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
6

deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membangsingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai i5 cm (1-2inci). 4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat) 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat taruma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah kejadian.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala dan tanda fisik dan pemeriksaan sinar x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

7. Pemeriksaan Fisik Hal yang perlu diketahui dalam pemeriksaan fisik klien fraktur adalah sebaai berikut 1. Gambaran umum. Perawat pemeriksa perlu memperhatikan pemeriksaan secara umum yang meliputi hal-hal sebaggai berikut Keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien. Hal yangg perlu dicatat adalah tanda-tanda sebaai berikut : Kesadaran klien: apatis, sopor, koma, gelisah, compos mentis yang bergantung pada keadaan klien. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik fungsi maupun bentuk.
7

Secara sistemik, dari kepala sampai kelamin. Perawat harus memperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal klien, terutama mengenai status neurovaskuler.

2. Keadaan lokal. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut Look (inspeksi). Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain sebagai berikut Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi) Fistula Warna kemeraan atau kebiruan (livid) atau hiperpigmentasi. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). Posisi dan bentuk ekstremitas (deformitas). Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar pemeriksa).

Feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya, hal ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Hal-hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktasi atau edema terutama di sekitar persendian. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu, periksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, peraat perlu

mendeskripsikan

permukaannya,

konsistensinya,

pergerakan,

terhadap dasar atau permukaan, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

Move (pergerakan

terutama rentang gerak).

Setelah melakukan

pemeriksaan feel, perawat perlu meneruskan pemeriksaan dengan


8

menggerakkan ekstremitas, kemudian mencatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakkan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada ganguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. 8. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksan radiologi. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Selain foto polos Sinar-X mungkin diperlukan teknik kusus, seperti hal-hal berikut Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga struktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Mielografi, menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibat trauma. Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa. Computed Tomography-Scanning, menggambarkan potongan secara tansversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.

2. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih jauh kelainan yan terjadi meliputi hal-hal sebagai berikut Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

Enzim otot seperti kreatinin kinase laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat amino transerase (AST), dan aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

3. Pemeriksaan lain-lain. Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 9. Therapy Bila dicurigai adanya fraktur ,penting untuk melakukan imobilisasi bagian tubuh segera sebelum klien dipindahkan. Bila klien mengalami cedera , sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas sampai dibawah tempat patahan untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan linak oleh fragmen tulang. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut . nyeri yang terjadi karena fraktur yang sangat berat dapat dikurangi dengan menghindari fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai ,dan kemudian dibebat dengan kencang namun tetap harus memperhatikan nadi perifer. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama ,dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagian ekstremitas yang cedera. Luka ditutup dengan pembalut steril (bersih) untuk memcegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam pada luka terbuka .jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur ,bahkan bila ada pragmen tulang yang keluar melalui luka /menembus kulit . evaliasi klien dengan lengkap .pakaian dilepas dengan lembut ,diawali dari bagian
10

Biopsi tulang dan otot-otot pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

tubuh yang sehat dan dilanjutkan pada sisi yang cedera. Pakaian mungkin harus dipotong pada sisi yang cedera .ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan jaringan lunak yang lebih lanjut 10. Penatalaksanaan Prinsip Penatalaksanaan Fraktur Ada empat prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur (disebut empat R ) yaitu: a. Rekognisi Pengenalan riwayat kecelakaan : patah/ tidak. Menentukan perkiraan tulang yang patah. Kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan bentuk tulang dan ketidakstabilan. Tindakan apa yang harus cepat dilaksanakan misalnya pemasangan bidai. b. Reduksi Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Cara pengobatan fraktur secara reduksi : 1. Pemasangan gips Untuk mempertimbangkan posisi fragmen fraktur. 2. Pemasangan traksi Menanggulangi efek dari kejang otot serta meluruskan atau mensejajarkan ujung tulang yang fraktur. 3. Reduksi tertutup Digunakan traksi dan memanipulasi tulang itu sendiri dan bila keadaan membaik maka tidak perlu diadakan pembedahan. 4. Reduksi terbuka Beberapa fraktur perlu pengobatan dengan pembedahan secara reduksi terbuka, ini dilakukan dengan cara pembedahan. c. Retensi Reduksi Mempertahankan reduksi seperti melalui pemasangan gips atau traksi d. Rehabilitasi Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk mengembalikan ke fungsi normal.
11

11. Komplikasi a. Komplikasi Awal Komplikasi setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi lama 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilanga fungsi ekstremitas permanen jika tidak segera ditangani. Komplikasi awal lainnya yang

berhubungan dengan fraktur adalan infeksi, tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera, dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Syok, syok hipopolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksternal atau yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, verterbra. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibta trauma. Khususnya ada fraktur femur dan pervis. Sindrom emboli lemak, setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel, atau cedera remuk, dapat tejadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak adapat masuk kedalam darah karena tekanan susmsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globulan lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia. Gangguan serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang berfariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai responterhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak diotak. Sindrom kompartemen, sindrom kompertemen merupakan maslah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebebkan oleh:
12

1. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus ototterlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat. 2. Peningkatan isi kompartemen otot karene edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. Kompartemen lengan bawah atau tungkai paling sering tekena. Kehilangan fungsi permanen dapat terjadi bila keadaan ini berlangsung lebih dari 6-8 jam dan terjadi iskemia dan nekrosis mioneural (otot dan saraf). Kontraktur volkaman merupakan contoh dari komplikasi ini. Komplikasi awal lainnya, tromboemboli, infesi (semua fraktur terbuka dianggap mengalami kontaminasi), dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID) merupakan kemungkinan komplikasi akibat fraktur. KID meliputi sekelompok kelainan perdarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma masif. Manifestasi KID meliputi ekimosis, perdarahan tak terduga stelah pembedahan, dan perdarahan dari membran mukosa, tempat tusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih. b. Komplikasi lambat Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan. Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh. Reaksi terhadap alat fiksasi internal, alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namuan pada kebanyakan pasien alat tersebuat tidak diangkat samapai timbul gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan makanis ( pemasangan dan stabilisasi yang tak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alesgi terhadap campuran logam yang dipergunakan , dan modeling osteoporotik disekitar alat fiksasi (stres yang dibutuhkan untuk memperkuata tulang diredam oleh alat tersebut, menyebabkan oeteoporosis disease). Bila alat diangkat, tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali
13

sehubungan dengan osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma. Remodeling tulang akan mengembalikan kekuatan struktural tulang. B. KEMUNDURAN DAN KELEMAHAN LANSIA(14 IMPAIRMENT) Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainankelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Demikian juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi),

impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence (impotensi). Masalah kesehatan utama tersebut di atas yang sering terjadi pada lansia perlu dikenal dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan perawatan lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat kesehatan yang seoptimal mungkin. 1. Kurang bergerak Gangguan fisik, jiwa, dan faktor lingkungan dapat menyebabkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, dan penyakit jantung dan pembuluh darah. 2. Instabilitas Penyebab terjatuh pada lansia dapat berupa faktor intrinsik (hal-hal yang berkaitan dengan keadaan tubuh penderita) baik karena proses menua, penyakit
14

maupun faktor ekstrinsik (hal-hal yang berasal dari luar tubuh) seperti obat-obat tertentu dan faktor lingkungan. Akibat yang paling sering dari terjatuh pada lansia adalah kerusakan bahagian tertentu dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit, patah tulang, cedera pada kepala, luka bakar karena air panas akibat terjatuh ke dalam tempat mandi. Selain daripada itu, terjatuh menyebabkan lansia tersebut sangat membatasi pergerakannya. Walaupun sebahagian lansia yang terjatuh tidak sampai menyebabkan kematian atau gangguan fisik yang berat, tetapi kejadian ini haruslah dianggap bukan merupakan peristiwa yang ringan. Terjatuh pada lansia dapat menyebabkan gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaan takut akan terjatuh lagi, sehingga untuk selanjutnya lansia tersebut menjadi takut berjalan untuk melindungi dirinya dari bahaya terjatuh. 3. Beser Beser buang air kecil (bak) merupakan salah satu masalah yang sering didapati pada lansia, yaitu keluarnya air seni tanpa disadari, dalam jumlah dan kekerapan yang cukup mengakibatkan masalah kesehatan atau sosial. Beser bak merupakan masalah yang seringkali dianggap wajar dan normal pada lansia, walaupun sebenarnya hal ini tidak dikehendaki terjadi baik oleh lansia tersebut maupun keluarganya. Akibatnya timbul berbagai masalah, baik masalah kesehatan maupun sosial, yang kesemuanya akan memperburuk kualitas hidup dari lansia tersebut. Lansia dengan beser bak sering mengurangi minum dengan harapan untuk mengurangi keluhan tersebut, sehingga dapat menyebabkan lansia kekurangan cairan dan juga berkurangnya kemampuan kandung kemih. Beser bak sering pula disertai dengan beser buang air besar (bab), yang justru akan memperberat keluhan beser bak tadi. 4. Gangguan intelektual Merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari. Kejadian ini meningkat dengan cepat mulai usia 60 sampai 85 tahun atau lebih, yaitu kurang dari 5 % lansia yang berusia 60-74 tahun mengalami dementia (kepikunan berat) sedangkan pada usia setelah 85 tahun
15

kejadian ini meningkat mendekati 50 %. Salah satu hal yang dapat menyebabkan gangguan interlektual adalah depresi sehingga perlu dibedakan dengan gangguan intelektual lainnya. 5. Infeksi Merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada lansia, karena selain sering didapati, juga gejala tidak khas bahkan asimtomatik yang menyebabkan keterlambatan di dalam diagnosis dan pengobatan serta risiko menjadi fatal meningkat pula. Beberapa faktor risiko yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit infeksi karena kekurangan gizi, kekebalan tubuh:yang menurun, berkurangnya fungsi berbagai organ tubuh, terdapatnya beberapa penyakit sekaligus (komorbiditas) yang menyebabkan daya tahan tubuh yang sangat berkurang. Selain daripada itu, faktor lingkungan, jumlah dan keganasan kuman akan mempermudah tubuh mengalami infeksi. 6. Gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit Akibat proses menua semua pancaindera berkurang fungsinya, demikian juga gangguan pada otak, saraf dan otot-otot yang digunakan untuk berbicara dapat menyebabkn terganggunya komunikasi, sedangkan kulit menjadi lebih kering, rapuh dan mudah rusak dengan trauma yang minimal.

7. Sulit buang air besar (konstipasi) Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi, seperti kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang sekali mengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada daerah perut. 8. Depresi

16

Perubahan

status

sosial,

bertambahnya

penyakit

dan

berkurangnya

kemandirian sosial serta perubahan-perubahan akibat proses menua menjadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia. Namun demikian, sering sekali gejala depresi menyertai penderita dengan penyakit-penyakit gangguan fisik, yang tidak dapat diketahui ataupun terpikirkan sebelumnya, karena gejala-gejala depresi yang muncul seringkali dianggap sebagai suatu bagian dari proses menua yang normal ataupun tidak khas. Gejala-gejala depresi dapat berupa perasaan sedih, tidak bahagia, sering menangis, merasa kesepian, tidur terganggu, pikiran dan gerakan tubuh lamban, cepat lelah dan menurunnya aktivitas, tidak ada selera makan, berat badan berkurang, daya ingat berkurang, sulit untuk memusatkan pikiran dan perhatian, kurangnya minat, hilangnya kesenangan yang biasanya dinikmati, menyusahkan orang lain, merasa rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah dan tidak berguna, tidak ingin hidup lagi bahkan mau bunuh diri, dan gejala-gejala fisik lainnya. Akan tetapi pada lansia sering timbul depresi terselubung, yaitu yang menonjol hanya gangguan fisik saja seperti sakit kepala, jantung berdebar-debar, nyeri pinggang, gangguan pencernaan dan lain-lain, sedangkan gangguan jiwa tidak jelas. 9. Kurang gizi Kekurangan gizi pada lansia dapat disebabkan perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, isolasi sosial (terasing dari masyarakat) terutama karena gangguan pancaindera, kemiskinan, hidup seorang diri yang terutama terjadi pada pria yang sangat tua dan baru kehilangan pasangan hidup, sedangkan faktor kondisi kesehatan berupa penyakit fisik, mental, gangguan tidur, alkoholisme, obat-obatan dan lain-lain. 10. Tidak punya uang Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaannya sehingga tidak dapat memberikan penghasilan. Untuk dapat menikmati masa tua yang bahagia kelak
17

diperlukan paling sedikit tiga syarat, yaitu :memiliki uang yang diperlukan yang paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memiliki tempat tinggal yang layak, mempunyai peranan di dalam menjalani masa tuanya. 11. Penyakit akibat obat-obatan Salah satu yang sering didapati pada lansia adalah menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebahagian lansia sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obat yaqng digunakan. 12. Gangguan tidur Dua proses normal yang paling penting di dalam kehidupan manusia adalah makan dan tidur. Walaupun keduanya sangat penting akan tetapi karena sangat rutin maka kita sering melupakan akan proses itu dan baru setelah adanya gangguan pada kedua proses tersebut maka kita ingat akan pentingnya kedua keadaan ini. Jadi dalam keadaan normal (sehat) maka pada umumnya manusia dapat menikmati makan enak dan tidur nyenyak. Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh para lansia, yakni sulit untuk masuk dalam proses tidur. tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, tidurnya banyak mimpi, jika terbangun sukar tidur kembali, terbangun dinihari, lesu setelah bangun dipagi hari. 13. Daya tahan tubuh yang menurun Daya tahan tubuh yang menurun pada lansia merupakan salah satu fungsi tubuh yang terganggu dengan bertambahnya umur seseorang walaupun tidak selamanya hal ini disebabkan oleh proses menua, tetapi dapat pula karena berbagai keadaan seperti penyakit yang sudah lama diderita (menahun) maupun penyakit yang baru saja diderita (akut) dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh seseorang. Demikian juga penggunaan berbagai obat, keadaan gizi yang kurang, penurunan fungsi organ-organ tubuh dan lain-lain. 14. Impotensi

18

Merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan sanggama yang memuaskan yang terjadi paling sedikit 3 bulan. Menurut Massachusetts Male Aging Study (MMAS) bahwa penelitian yang dilakukan pada pria usia 40-70 tahun yang diwawancarai ternyata 52 % menderita disfungsi ereksi, yang terdiri dari disfungsi ereksi total 10 %, disfungsi ereksi sedang 25 % dan minimal 17 %. Penyebab disfungsi ereksi pada lansia adalah hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah (arteriosklerosis) baik karena proses menua maupun penyakit, dan juga berkurangnya sel-sel otot polos yang terdapat pada alat kelamin serta berkurangnya kepekaan dari alat kelamin pria terhadap rangsangan.

19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh,yang biasanya di sebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di tentukan jenis dan luasnya trauma. Hal-hal yang dapat menyebabkan fraktur : Benturan langsung ( paling sering terjadi pada tulang tepat pada bagian yang terkena benturan ). Gerakan kontraksi otot yang kuat dan secara tiba-tiba ( contohnya patah tulang iga dapat disebabkan batuk yang kuat ). Patah tulang karena letih. Patah karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan terlalu lama. Kondisi patologi : kekurangan mineral sampai batas tertentu pada tulang dapat menyebabkan patah tulang: contohnya osteoporosis, tumor tulang ( tumor yang menyerap kalsium tulang ) Fraktur di bagi menjadi : - Fraktur Komplet - Fraktur tidak komplet - Fraktur tertutup - Fraktur terbuka Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antara fragmen tulang. Setelah terjadinya fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa ) bukannya tetap rigid seperti normalnya.Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.Biasanya pasien mengeluhkan cedera pada daerah tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA

Doenges. E.Marilynn,dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan ( Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien ). Edisi 3. Jakarta : EGC Muttaqin, Arif. 2005. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC Nurna Ningsih, Lukman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta : Salemba Medika Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta :EGC Price Sylvia, A (1994). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta :EGC

21

22

You might also like