You are on page 1of 9

Rinitis Atrofi pada Wanita dengan Sinusitis Maksilaris Kronis Pasien perempuan, berumur 40 tahun mengeluh Keluar ingus

berbau sejak 1 tahun yang lalu. Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Komplikasi dari rinitis atrofi salah satunya adalah sinusitis, infeksi sekunder dapat terjadi melalui meatus nasi medius yang menghubungkan sinus maksilaris dengan rongga hidung. Pasien perempuan, berumur 40 tahun mengeluh Pasien mengeluhkan keluar ingus berbau dari hidung kanan dan kirinya sejak 1 tahun yang lalu, nafas pasien juga berbau. Dari hidung kanan dan kirinya keluar ingus yang berwarna kehijauan, kental dengan bau tidak sedap, ingus yang keluar sering mengering atau menjadi kerak di sekitar lubang hidung. Pasien juga berkurang pembauannya. Pasien juga mengalami rasa hidung tersumbat di sebelah kanan dan kiri, hidung terutama tersumbat di sebelah kanan. Pasien sering mengalami nyeri kepala, bau mulut pasien juga tidak sedap. Riwayat penyakit pasien menderita sinusitis diperkuat dengan hasil rontgen sinus paranasal. Tanda tanda vital : TD : 120/80 mmhg, N : 85x per menit, RR : 18x per menit. Pada inspeksi hidung didapatkan pada konka media dan inferior tampak atrofi dan pucat (D/S), terdapat sekret mucopurulen, hijau dan berbau (D/S). Terdapat sekret pada meatus media dan meatus inferior, sekret mukopurulen, hijau, berbau (D/S), terdapat krusta di meatus media, krusta hijau, kering, krusta tanpa darah. Rinitis Atrofi (Ozaena) disertai Sinusitis Maksilaris Kronis. Topikal : obat cuci hidung : - Nacl - Na4Cl - NaHCO3 - Aqua 300cc Antibiotik : Vitamin A 3x50.000 IU Cefixim 2 x 100 mg Ferosus sulfat 3x325 mg

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal. Oleh arena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan pemberian antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Obat cuci hidung juga diberikan untuk menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Patologi dan Patogenesis. Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young

mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang. Gejala Klinis dan Pemeriksaan. Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran. Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami

hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1 a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan. Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca. Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain : Foto rontgen sinus paranasalis. CT scan sinus paranasalis. Pemeriksaan mikroorganisme. Uji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya

berkurang dan bentuknya mengecil. Pemeriksaan serologi darah. Diagnosis Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain : 1. Rinitis kronik TBC 2. Rinitis kronik lepra 3. Rinitis kronik sifilis Komplikasi Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa : 1. Perforasi septum 2. Faringitis 3. Sinusitis 4. Miasis hidung 5. Hidung pelana Penatalaksanaan Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi. Konservatif Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik. 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf

melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. 2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe. 3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu. 5) Preparat Fe. 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Operasi Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan 2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam. Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1) Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masingmasing selama periode tiga tahun. 2) Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaska Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering

terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal. Suci Nurannisa Yusuf, Bagian Ilmu Penyakit Telinga Tenggorokan, RSUD Panembahan Senopati Bantul, Kab. Yogyakarta. Hidung Bantul,

1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16 th Ed. Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751. 2. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic Rinitis Dalam: Lalwani AK.Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. New York: McGrawhill; 2007 Ch:13 3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 4. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. 2008 h:1-11 5. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999. 6. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT . Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.1997 7. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006

You might also like