You are on page 1of 3

Hubungan Hukun dengan Pelayanan Gawat Darurat Penerapan doktrin Good Samaritan di USA dalam peraturan perundangundangan pada

hampir seluruh negara bagian. Doktrin terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah (Holder, 1972): 1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. 2. Itikad baik Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.

Dalam hal pertanggungjawaban hokum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakkan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab keruguannya/ cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu perbandingan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada situasi harus mendapatkan persetujuan (Soekanto, 1987). Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat dimana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi, pasien

tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam rekam medis (Undangundang, 1992; Permenkes 1989).

Kematian pada Instalasi Gawat Darurat Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dialporkan kepada phak berwajib. Di Negara Anglo-Saxon digunakan terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut (Soekanto, 1987). Indonesia tidak menganut system tersebut, sehingga fungsi semacam coroner diserahkan kepada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang ajan menentukan apakah jenazah akan di autopsy atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada POLRI (Soekanto, 1987). Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI No.3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo utnuk dilakukan visum et repertum (Soekanto, 1987). Kasus yang tidak boleh diberiak srat keteangan kematian adalah: a. Meninggalpada saat dibawa ke IGD b. Meninggal akibat berbagai kekerasan c. Meninggal akibat keracunan

d. Meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa ecelakaan kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan

Dapus : Holder AR. 1972. Emergency Room Liability. JAMA. 220(5):761-2. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/5067162. Soekanto S, Herkutanto. 1987. Pengantar Hukum Kesehatan. Jakarta: CV. Remadja Karya.

You might also like