You are on page 1of 12

Tinjauan Pustaka Sistematis.

PENDAHULUAN Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menimbulkan/ menghasilkan hilangnya sensasi dan blok motorik, dengan jalan memasukkan obat lokal anestesi kedalam ruang subarachnoid 1. Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling sering terjadi 2,3. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang mendapat anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal, mayoritas ( 16 % ) berupa hipotensi 3. Carpenter dkk. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi spinal sebesar 33 % 4,5. Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi 2,3. Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis preganglionik 2,3,11, yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah perifer 18. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan pemberian infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopresor 6,7,8. Banyak penelitian telah dilakukan baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopresor dengan berbagai macam cara / metode dan jenis yang berbeda. INSIDEN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul pada anestesi spinal sebagai akibat blok simpatis 16(9). Untuk kepentingan klinis praktis, diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 30 % dari tekanan darah sistolik semula 2,3,9(2,3,10) atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg 11,. Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal sekitar 1/3 dari seluruh 2 kasus . Carpenter dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya juga mengalami komplikasi lain dan biasanya terjadi lebih awal dengan insiden 33 % 5. Peneliti lain melaporkan dari sekitar 26 % pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi spinal, 16 % disertai dengan hipotensi 3.

PATOFISIOLOGI. Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis preganglionik 2,3,11, yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah perifer 17(12). Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blokade vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri, tetapi tidak semuanya hilang dan masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi arteri tidak merata, bahkan di daerah yang mengalami blokade simpatis. Vasodilatasi daerah yang di blok membuat kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak di blok 2. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Walaupun terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, volume darah tetap dalam keadaan normal, sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi anoksia/ hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi akibat hipovolemia 2. Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg 2, tetapi ada pendapat lain yang mengatakan sistolik 80 mmHg 18. Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi 2,3. UMUR Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10% menjadi 30% pada umur 80 tahun2,4. JENIS KELAMIN Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun jumlah anestesi lokal yang diberikan sama. Perbandingan insiden komplikasi spinal antara wanita dan pria adalah 32 % dan 20 % 3. BERAT BADAN Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI ) > 30 % 3. KONDISI FISIK

Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis hingga pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi atau hanya hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau hipovolemia atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat 4. JENIS OBAT ANESTESI LOKAL Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata rata timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering. Bupivakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit pertama 3. TINGKAT PENGHAMBATAN SENSORIK. Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal sangat tergantung dan berhubungan erat dengan tingginya blok. Pada tingkat T 1 T 5 25 % pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat servikal 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi 3. POSISI PASIEN Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal pada operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi 4. MANIPULASI OPERASI Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi 3. Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia jaringan, yaitu berupa gelisah, ketakutan, tinitus, pusing dan sakit kepala, biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian 3. MEKANISME KOMPENSASI AKIBAT HIPOTENSI Hipotensi biasanya terjadi pada 15 20 menit pertama setelah penyuntikan subarachnoid dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu 20 25 menit. Setelah tekanan darah mencapai penurunan yang terendah, secara spontan akan naik kembali sekitar 5 10 mmHg setelah 10 15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok dan bukan karena naiknya curah jantung, yang kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat anestesi lokal habis 2. Kontrol aliran darah oleh sistim saraf otonom berlangsung cepat ( 1 detik ) , komponen terpenting adalah saraf simpatis. Mekanisme cepat untuk regulasi tekanan darah diatur oleh refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, refleks atrium, dan refleks iskemik sistem saraf pusat19.

Penurunan tekanan darah setelah anestesi spinal 5 atau setelah perubahan posisi dari baring ke berdiri19,20 akan merangsang baroreseptor di arkus aorta, sinus karotikus, atrium dan ventrikel. Jaras aferen dari baroresertor melalui N IX dan N X memproyeksikan ke pusat vasomotor di medulla oblongata. Jaras eferen dari lengkung refleks terdiri dari serabut parasimpatis menuju ke jantung malaui N X dan serabut simpatis menuju ke jantung dan pembuluh darah mengakibatkan vasokontriksi arteri dan vena, peningkatan laju jantung, peningkatan kontraksi miokardium20 Barorefleks memberikan mekanisme kontrol umpan balik negatif untuk mempertahankan tekanan darah sistemik pada level relatif konstan20. Bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal harus segera diterapi dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi jaringan, yaitu dengan meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah 3. Jika hipotensi tidak segera diatasi akan menimbulkan efek yang lebih berat yaitu syok dan kematian3,12. USAHA PENCEGAHAN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL. 1. Pemberian cairan preload. a.Cairan preload kristaloid. Crichley, Short dan Gin dalam satu penelitiannya mendapatkan bahwa preload NaCl 0,9% 16 ml/kg gagal mempertahankan tekanan darah sistolik pada 5 dari 10 pasien, meskipun mampu mempertahankan cardiac index, systemic vascular resistance index dan tekanan vena sentral (10). McCrae dkk juga menyimpulkan bahwa preload cairan kristaloid 16 ml/kgBB gagal mempertahankan tekanan darah sistolik yang adekuat pada beberapa pasien yang mendapat anestesi spinal 12. Sternio dkk. Menyatakan bahwa pemberian cairan preload kristaloid saja kurang efektif untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal terutama pada pasien tua dengan kelainan jantung 12. Penggunaan preload larutan dextrosa 5% juga kurang efektif mencegah hipotensi pada seksio sesaria dengan tehnik anestesia regional23. Larutan NaCl hipertonik dextran menjadi topik utama dalam majalah Acta Anaesthesiologica Scandinavca volume 42 bulan Februari 1988. Sejak Valesco dkk.(1980) pertama kali menguraikan manfaat larutan NaCl hipertonik 7,5 % sebagai small volume resuscitation untuk syok hemoragik berat, penelitian tentang pemakain larutan ini baik secara sendiri maupun sebagai kombinasi dengan koloid berkembang pesat hingga kini 13. Mekanisme cairan NaCl hipertonis dalam melawan perubahan-perubahan hemodinamik akibat anestesi spinal adalah terutama melalui mobilisasi cairan

hjhjjendogen sepanjang gradien tekanan osmotik dari intraseluler dan interstisiil ke dalam intravaskuler 15. Larutan NaCl hipertonik 3% memiliki kadar natrium lebih dari 3,3 kali daripada laruatan NaCl 0,9% dan memiliki tekanan osmotik 1026 mOsm/l 16. b. Cairan koloid. Koloid jarang dipakai oleh karena pertimbangan biaya dan resiko anafilaktik 11,14. Hiroshi Ueyama dkkmencoba menggunakan preload hydrokxyethyls Shiv K Sarma juga meneliti preload larutan hetastrach 6% 500 ml yang ternyata lebih efektif mencegah hipotensi dibandingkan dengan larutan ringer laktat 1000 ml21. Pada pasien tua, derajat hipotensi atau kebutuhan obat vasopresor tidak berhubungan dengan preload kristaloid atau koloid22. 2. Pemakaian obat-obat vasopresor. Obat-obat vasopresor yang biasa digunakan pada hipotensi selama anestesi spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin, metaraminol, dopamin dan dobutamin 2,3,14. TERAPI HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal : 1. Posisi head down/ Trendelenberg. Tindakan memposisikan pasien head down/ trendelenberg yaitu Kepala pasien diturunkan sekitar 5 8 derajat merupakan tindakan yang sederhana, mudah dan sangat bermanfaat. Adanya gravitasi dari posisi tersebut akan meningkatkan venous return dan curah jantung sehingga tekanan darah akan meningkat 2,3. Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70 mmHg menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini telah dibuktikan oleh Gordh ( 1945 ). Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi pada 15 menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya penyebaran anestesi lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi 3. 2. Pemberian oksigen. Tujuan pemberian oksigen selama hipotensi untuk meningkatkan kandungan oksigen darah arteri sehinga dapat mengurangi hipoksia sekaligus mual dan muntah 2,3.

3. Pemberian cairan intra vena. Hipotensi selama anestesi spinal dapat juga diterapi dengan infus cairan iv cepat dengan volume cairan yang relatif besar, biasanya 1 1,5 liter per 70 kgBB dalam waktu kurang dari 10 menit. Larutan yang sering digunakan larutan seimbang elektrolit2. Pemberian cairan ini akan meningkatkan venous return dan curah jantung. Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan dan membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan mengganggu transport oksigen 14. Pada penderita normovolemik penurunan tekanan darah arteri tidak dapat dipertahankan hanya dengan infus iv larutan kristaloid, tetapi harus dikombinasi dengan posisi head down dan penggunaan vasopresor2. 4. Terapi vasopresor. Obat vasopresor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung pada otot arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat vasomotor, stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan meningkatkan curah jantung dan venous return 3. Obat-obat vasopresor yang biasa digunakan pada hipotensi selama anestesi spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin, metaraminol, dopamin dan dobutamin 2,3,14. 4.a. Efedrin. Efektifitas efedrin dalam mencegah hipotensi yaitu karena efedrine mempunyai sifat dan adrenergik16. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sternio dkk membuktikan bahwa pemberian efedrin 0,6 mg/kg intramuskuler paravertebral dalam yang diberikan segera setelah dilakukan anestesi spinal efektif untuk mencegah hipotensi. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Mc Crae dkk pemberian efedrin 25 mg atau 50 mg intramuskuler yang diberikan setelah preload cairan kristaloid 1000 ml efektif untuk mencegah hipotensi 11. Robin dkk mengatakan bahwa pemberian efedrin intramuskuler pada seksio sesaria tidak efektif mencegah hipotensi, disamping juga mengakibatkan perubahan status asam basa pada janin 12 . Kafle dkk menyatakan bahwa pemberian efedrin 30 mg peroral yang diberikan 30 45 menit sebelum dilakukan anestesi spinal merupakan cara sederhana dan efektif menurunkan kejadian hipotensi. Pemberian efedrin selain peroral menimbulkan kerugian berupa meningkatkan tekanan darah, takikardi, takifilaksis dan merangsang sistim saraf pusat 13. 4.b. Metoksamin.

Adalah obat yang bekerja secara langsung bekerja pada reseptor . Efek utama pada sistim kardiovaskuler peningkatan tekanan darah baik sistolik mmaupun diastolik karena vasokontriksi pembulluh darah perifer. Kontra indikasi penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jamtung berat, penyakit jantung koroner dan pasien yang sedang mendapat terapi monoamin oksidator inhibitor (MAOI). Untuk terapi hipotensi karena anestesi spinal dengan dosis 2 5 mg iv pelanpelan memiliki onset 2 menit dengan durasi lebih dari 1 jam. 10 15 mg im, memiliki onset 20 menit dengan durasi yang lebih panjang dari iv. Sedangkan penggunaan secara infus ( drip ) dapat dengan dosis 5 g/menit14 . 4.c. Fenilefrin. Bekerja secara langsung pada 1-agonis. Berefek pada reseptor- pada konsentrasi yang tinggi. Dosis terapi 2-5 mg im atau subkutan. Atau 100-500 g melalui jalur iv pelanpelan. Dosis aman tidak lebih dari 200 g dengan onset 2-5 menit. Harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dan hipertensi 14. 4.d. Adrenalin. Merupakan 80 % dari jumlah total katekolamin pada orang dewasa. Tetapi pada anak-anak yang dominan adalah noradrenalin. Adrenalin juga ditemukan di susunan saraf pusat. Termasuk obat vasopresor yang poten. Dapat menstimulasi baik reseptor mmaupun reseptor sehingaga terjadi vasokontriksi arteri dan vena. Aksi terhadap jantung kronotropik dan inotropik positif. Adrenalin dapat diberikan secara bolus iv pelan-pelan misal dengan dosis 0,1 mg. Kelemahanya adalah durasi yang sangat singkat. Pemberian secara infus dimulai dengan dosis 0,05 g/kgBB/menit14. 4.e. Metaraminol. Metaraminol mempunyai efek menstimulasi reseptor dan , beraksi baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu kronotropik, inotropik dan vasokontriksi pembuluh darah. Dosis yang direkomendasikan yaitu 0,5 5 mg iv dengan onset 1 3 menit dan durasi sekitar 25 menit. Atau 2 10 mg im dengan onset 5 10 menit dan durasi 1 jam lebih 14. 4.f. Dopamin. Dopamin mempunyai durasi yang sangat pendek ( kurang dari 2 menit ) karena itu biasanya diberikan dengan cara perinfus. Efek tergantung dosis. Pada dosis kecil 2 5 g/kgBB/menit dapat mengikat pada reseptor dopaminergik pada vena-vena splanknikus dan sirkulasi koroner, sehingga menghasilkan

vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi (5-20 g/kgBB/menit) akan menstimulasi reseptor 1 adrenergik, sehingga berefek inotropik dan kronotropik pada jantung. Pada dosis yang tinggi ( > 20 g/kgBB/menit) akan menstimulasi reseptor adrenergik, menghasilkan vasokontriksi14. 4.g. Dobutamin. Dobutamin mempunyai struktur yang mirip dengan dopamin. Efek terhadap jantung lebih besar inotropiknya dibandingkan kronotropik.Efek terhadap perifer tergantung keseimbangan konstriksi yang diperantarai oleh 1 dan aksi dilatasi yang perantarai oleh 1. Dobutamin mempunyai waktu paruh sekitara 2 menit sehingga diberikan secara perinfus. Dosis titrasi yang sering digunakan 2,5 10 g/kgBB/menit 14.

RINGKASAN Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menimbulkan/ menghasilkan hilangnya sensasi dan blok motorik, dengan jalan memasukkan obat lokal anestesi kedalam ruang subarachnoid Carpenter dkk. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi spinal sebesar 33 %. Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis preganglionik, yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah perifer. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Untuk kepentingan klinis praktis, diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg 2, tetapi ada pendapat lain yang mengatakan sistolik 80 mmHg 18. Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi 2,3.

MEKANISME KOMPENSASI AKIBAT HIPOTENSI Tekanan darah arteri secara langsung proposional terhadap tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Tahanan vaskuler perifer tergantung pada tonus otot polos di arteri kecil, arteriol dan sfingter prekapiler. Curah jantung adalah fungsi laju jantung dengan volume sekuncup. Volume sekuncup diatur oleh curah balik ke jantung, dimana curah balik dipengaruhi oleh tonus otot polos sistim vena, terutama vena-vena organ visera abdomen. Pembuluh darah sistim vena dikenal sebagai kapasitas pembuluh darah19. Kontrol aliran darah oleh sistim saraf otonom berlangsung cepat ( 1 detik ) , komponen terpenting adalah saraf simpatis. Mekanisme cepat untuk regulasi tekanan darah diatur oleh refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, refleks atrium, dan refleks iskemik sistem saraf pusat19. Barorefleks memberikan mekanisme kontrol umpan balik negatif untuk mempertahankan tekanan darah sistemik pada level relatif konstan20. Bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal harus segera diterapi dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi jaringan, yaitu dengan meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah 3. TERAPI HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal : 5. Posisi head down/ Trendelenberg. Tindakan memposisikan pasien head down/ trendelenberg yaitu Kepala pasien diturunkan sekitar 5 8 derajat merupakan tindakan yang sederhana, mudah dan sangat bermanfaat. Adanya gravitasi dari posisi tersebut akan meningkatkan venous return dan curah jantung sehingga tekanan darah akan meningkat 2,3. Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70 mmHg menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini telah dibuktikan oleh Gordh ( 1945 ). Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi pada 15 menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya penyebaran anestesi lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi 3. 6. Pemberian oksigen. Tujuan pemberian oksigen selama hipotensi untuk meningkatkan kandungan oksigen darah arteri sehinga dapat mengurangi hipoksia sekaligus mual dan muntah 2,3. 7. Pemberian cairan intra vena. Pemberian cairan preload. Pemberian cairan ini akan meningkatkan venous return dan curah jantung.

Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan dan membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan mengganggu transport oksigen 14. 3.a. Cairan preload kristaloid. Crichley, Short dan Gin dalam satu penelitiannya mendapatkan bahwa preload NaCl 0,9% 16 ml/kg gagal mempertahankan tekanan darah sistolik pada 5 dari 10 pasien, meskipun mampu mempertahankan cardiac index, systemic vascular resistance index dan tekanan vena sentral (10). McCrae dkk juga menyimpulkan bahwa preload cairan kristaloid 16 ml/kgBB gagal mempertahankan tekanan darah sistolik yang adekuat pada beberapa pasien yang mendapat anestesi spinal 12. Sternio dkk. Menyatakan bahwa pemberian cairan preload kristaloid saja kurang efektif untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal terutama pada pasien tua dengan kelainan jantung 12. Larutan NaCl hipertonik dextran menjadi topik utama dalam majalah Acta Anaesthesiologica Scandinavca volume 42 bulan Februari 1988. Sejak Valesco dkk.(1980) pertama kali menguraikan manfaat larutan NaCl hipertonik 7,5 % sebagai smaall volume resuscitation untuk syok hemoragik berat, penelitian tentang pemakain larutan ini baik secara sendiri maupun sebagai kombinasi dengan koloid berkembang pesat hingga kini 13. Mekanisme cairan NaCl hipertonis dalam melawan perubahan-perubahan hemodinamik akibat anestesi spinal adalah terutama melalui mobilisasi cairan endogen sepanjang gradien tekanan osmotik dari intraseluler dan interstisiil ke dalam intravaskuler 15. Larutan NaCl hipertonik 3% memiliki kadar natrium lebih dari 3,3 kali daripada laruatan NaCl 0,9% dan memiliki tekanan osmotik 1026 mOsm/l 16. 3.b. Cairan koloid. Koloid jarang dipakai oleh karena pertimbangan biaya dan resiko anafilaktik 11,14. 8. Terapi vasopresor. Obat vasopresor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung pada otot arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat vasomotor, stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan meningkatkan curah jantung dan venous return 3. Obat-obat vasopresor yang biasa digunakan pada hipotensi selama anestesi spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin, metaraminol, dopamin dan dobutamin 2,3,14.

DAFTAR PUSTAKA 1. Stevens RA. Neuraxial Blocks. In : Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. 1 st ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 : 319. 2. Green NM, Brull SJ. Physiology Of Spinal Anesthesia. 4 th ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1993 : 85 176. 3. Collins VJ. Principles Of Anesthesiology. General and Regional Anesthesia. 3 th ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 1540 53. 4. Concepcion M. Acute Complications and Side Effects Of Regional Anesthesia. In : Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. 1 st ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 : 451 2. 5. Carpenter RL, Caplan RA, Brown DL, at al. Incidence and risk factors for side effects of spinal anesthesia. Anesthesiology 1992; 76 : 906 16. 6. Hemmingsen C, Poulsen JA, Risbo A. Prophylactic ephedrine during spinal anaesthesia : A double-blind study in patiens in ASA group I-III. British Journal of Anaesthesia 1989; 63 : 340 2. 7. Taivainen T. Comparison of ephedrine and etilefrine for the treatment of arterial hypotension during spinal anesthesia in elderly patiens. Acta Anaesthesiologica Scandinavica 1991; 35 : 164 9. 8. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lees Synopsis of Anaesthesia. 12 th ed. Oxford : Butterworth Heinemann, 1999 : 666 97. 9. Critchley LAH, , Short TG, Gin T. Hypotension during subarachnoid anaesthesia : haemodynamic analysis of three treatments. British Journal of Anaesthesia 1994; 72 : 151 55. 10.Jackson R, Reid JA,Thorburn J. Volume preloading is not essential to prevent spinal-induced hypotension at caesarean section. British Journal Anaesthesia 1995; 75 : 262 65. 11.Mc Crae AF, Wildsmith JAW. Prevention and treatment of hypotension during central neural block. British Journal of Anaesthesia 1993; 70 : 672 80. 12.Sternio JE, Rettrup A, Sandin R. Prophylactic i.m. ephedrine in bupivacaine spinal anaesthesia. British Journal Anaesthesia 1995; 74 : 517 20.

13.Kafle S, Malla SM, Lekhak BD. Prophylactic oral ephedrine reduces the incidence of hypotension after subarachnoid block. Canadian Journal of Anaesthesia 1994; 41 : 1091 3. 14.Morgan, Paul. The role of vasopressors in the management of hypotension induced by spinal and epidural anesthesia. Canadian Journal of Anaesthesia 1994; 41 : 5 : 404 13. 15.Critchley L, Conway F. Hypotension during subarachnoid anaesthesia: haemodynamic effects of colloid and metaraminol. British Journal of Anaesthesia 1996; 76 : 734 736. 16.Mc Geachie J, Mc Canachie. Regional anaesthetic techniques. In : Healy TEJ, Cohen PJ. Wylie and Churchill-Davidsons A Practice of Anaesthesia. 6 th ed. London : Edward Arnold, 1995 : 709 18. 17.Baraka A, Taha S, Ghabach M, et al. Hypertonic saline ( 5 % ), isotonic saline and ringers lactate solutions for fluid preloading before lumbar extradural anesthesia. British Journal of Anaesthesia 1992; 69 : 461 4. 18.Critchley LAH, Stuart JC, Short TG, Gin T. Haemodynamic effects of subarachnoid block in erderly patiens. British Journal of Anaesthesia 1994; 73 : 464 470. 19.Stoelting RK, Pharmacology and physiology in anesthetics practice. 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott Co,1991:661-84. 20.Adams RD, Victor M. Principles of neurology. 4 th ed. New York: McGraw Hill Services Co, 1989:422-44. 21.Shiv K Sharma, Noor M Gajraj, J Elaine Sidawi. Prevention of hypotention during spinal anesthesia: a comparation of intravascular administration of hetastarch versus lactated ringers solution. Anesthesia analgesia 1997; 84:111-4. 22.Donal Buggy, Patrick Higgins, Ciaran Moran. Prevention of spinal anesthesia-induced hypotention in elderly : comparation between preanesthetic administration of crystalloid, colloids, and no prehydration. Anesthesia analgesia1997; 84:106-10. Deborah Wilson, Joanne Douglas, Robert Heid. Preoperative dextrose does not affect spinal-induced hypotention in elective cesarean section.

You might also like