You are on page 1of 19

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang Penyakit Alzheimers pertama kali ditemukan pada tahun 1906 oleh

seorang ahli psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi mayat seorang wanita berumur 51 tahun yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya. Wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak,koordinasi dan refleks1. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary2. Hal ini cukup umum terjadi, terutama akibat peningkatan usia harapan hidup, dan menjadi penyebab kurang lebih sekitar 65% dari total kasus demensia di Inggris. Onset dan progresi dari penyakit berjalan cepat, dimana kerusakan pada memori terjadi duluan, diikuti oleh kemampuan bahasa dan spasial. Kemampuan berpikir dan menilai masi berfungsi pada fase awal, namun akan terpengaruhi dalam jangka waktu beberapa tahun3. Demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Definisi demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi4. Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (5060%) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama jumlah kasus penderita Alzheimer pada abad terakhir semakin meningkat sehingga diduga akan menjadi epidemi seperti di Amerika dengan insidens demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita Alzheimer 123/100.000/tahun dan menjadi penyebab kematian keempat atau kelima3.

1.2

Tujuan penulisan Menelaah lebih dalam mengenai penyakit Alzheimers, baik dari segi etiologi, patologi, maupun klinis.

1.3 1.3.1

Manfaat penulisan Bagi masyarakat awam Mengetahui mengenai penyakit Alzheimers secara umum.

1.3.2

Bagi mahasiswa fakultas kedokteran Sebagai masukan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran yang ingin

mengetahui lebih lanjut mengenai penyakit Alzheimers. 1.3.3 Bagi penulis Mengembangkan kemampuan dan mengasah daya analisis serta

menambah pengetahuan penulis mengenai penyakit Alzheimers sehingga dapat memberikan penanganan yang lebih baik untuk penderita-penderita penyakit Alzheimers.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyakit Alzheimers adalah suatu kelainan yang didapat, dimana terjadi gangguan kognitif dan perilaku yang mengganggu fungsi kerja dan sosial dari penderita. Penyakit ini memiliki progresifitas yang lama dan panjang serta tidak dapat disembuhkan5.

2.2

Etiologi Beberapa teori yang menyatakan mengenai penyebab penyakit

Alzheimers berupa6: 1. Teori kimia Penelitian awal menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar alumunium didalam otak penderita Alzheimers. Hal ini dibantah oleh berbagai hasil penemuan terbaru. Namun kadar zat kimia tertentu yang bervariasi tetap ditemukan pada otak penderita. 2. Teori genetik Penderita Alzheimers cenderung memiliki anggota keluarga yang mengalami penyakit Alzheimers juga, namun pengaruh genetik pada penurunan penyakit Alzheimers masi belum diketahui secara jelas. 3. Teori autoimun Beberapa penelitian menyatakan Alzheimers adalah hasil dari penyakit autoimun, namun belum ditemukan bukti pasti akan hal tersebut. 4. Teori infeksi virus secara lambat Adanya suatu infeksi virus yang memiliki masa inkubasi cukup panjang sebelum terjadinya onset penyakit Alzheimers.

2.3

Patogenesis1 1. Faktor genetik Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang

menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer. 2. Faktor infeksi Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain: A. manifestasi klinik yang sama

B. Tidak adanya respon imun yang spesifik C. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat D. Timbulnya gejala mioklonus E. Adanya gambaran spongioform 3. Faktor lingkungan Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan

neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron. 4. Faktor imunologis Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas 5. Faktor trauma Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang

menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles. 6. Faktor neurotransmiter Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti7: A. Asetilkolin Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnyadaya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer B. Noradrenalin Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik. Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan

konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.

C. Dopamin Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda. D. Serotonin Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior

peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis E. MAO (Monoamine Oksidase) Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert. Manifestasi Klinis5 Perubahan kognitif penderita Alzheimers cenderung mengikuti pola karakteristik yang dimulai dengan gangguan memori dan menyebar ke bahasa dan defisit visuospatial. Namun, sekitar 20% pasien datang dengan keluhan non-memori seperti penggunaan kata, menyusun, atau kesulitan menentukan arah. Pada tahap awal penyakit, defisit memori mungkin tidak dikenali atau dianggap proses lupa yang ringan, namun

2.4

setelah defisit memori mulai mempengaruhi kegiatan sehari-hari atau turun di bawah 1,5 standar deviasi dari normal pada tugas-tugas yang membutuhkan kemampuan memori standar, penyakit ini didefinisikan sebagai Mild Cognitive Impairment (MCI). Sekitar 50% penderita MCI akan mengalami progresifitas penyakit ke Alzheimers dalam waktu 5 tahun. Secara bertahap masalah kognitif akan mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti mengatur keuangan, mengikuti instruksi pada pekerjaan, mengemudi, belanja, dan kegiatan rumah tangga. Sebagian penderita tidak menyadari kesulitan-kesulitan yang muncul (anosognosia), sementara sebagian lainnya menyadari perubahan-perubahan yang muncul. Lingkungan sekitar membingungkan penderita, dan penderita dapat tersesat atau kehilangan arah. Pada stadium II penyakit Alzheimers, pasien tidak dapat bekerja, mudah bingung, dan membutuhkan pengawasan setiap hari. Kemampuan sosial, rutinitas, dan percakapan sehari-hari masih dapat dilakukan oleh pasien. Afasia muncul pertama kali pada pasien, menyebabkan gangguan pada fungsi komunikasi, diikuti oleh apraksia dan gangguan visual-spasial yang menyebabkan kesulitan bagi pasien untuk melakukan gerak-gerak motorik dan rutinitasnya sehari-hari. Pada stadium III atau tahap akhir dari penyakit Alzheimers, telah terjadi kehilangan nalar, penilaian dan fungsi kognitif. Delusi yang sederhana dan umum seperti pencurian, perselingkuhan dapat muncul pada pasien. Salah satu sindroma yang khas adalah Capgrass syndrome, dimana penderita percaya bahwa pengasuhnya telah digantikan oleh pencuri. Pada akhirnya, pasien menjadi kaku, bisu, dan mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi normal dan dasar dari tubuhnya seperti miksi atau defekasi sehingga membutuhkan bantuan. Durasi khas penyakit Alzheimers adalah 8-10 tahun, namun dapat berkisar antara 1 sampai 25 tahun. Tanpa alasan yang jelas, sebagian penderita Alzheimers mengalami penurunan fungsi otak yang menurun

secara tetap dan progresif, namun pada sebagian lainnya, fungsi otak hanya menurun sebagian dan cenderung menetap namun tidak memburuk secara signifikan. Secara garis besar, Alzheimers dapat dibagai atas beberapa stadium sebagai berikut1: 1. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun) A. Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired B. Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions C. Language : poor woordlist generation, anomia D. Personality : indifference,occasional irritability E. Psychiatry feature : sadness, or delution in some F. Motor system : normal G. EEG : normal H. CT/MRI : normal I. PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion 2. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun) A. Memory : recent and remote recall more severely impaired B. Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions C. Language : fluent aphasia D. Calculation : acalculation E. Personality : indifference, irritability F. Psychiatry feature : delution in some G. Motor system : restlessness, pacing H. EEG : slow background rhythm I. CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent J. PET/SPECT : bilateral parietal and frontal

hypometabolism/hyperfusion 3. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun) A. Intelectual function : severely deteriorated B. Motor system : limb rigidity and flexion poeture

C. Sphincter control : urinary and fecal D. EEG : diffusely slow E. CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent F. PET/SPECT : bilateral parietal and frontal

hypometabolism/hyperfusion Diagnosa8

2.5

Diagnosa penderita penyakit Alzheimers dapat dilakukan dengan penilaian dalam berbagai bidang, yaitu: 1. Kemampuan hidup sehari-hari Meliputi kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk mandi, makan, berpakaian, bergerak, buang air, dan kemampuan mengatur keuangan dan obat-obatan. 2. Status kognitif Status kognitif dapat dinilai dengan berbagai test, antara lain

3. Kondisi medis komorbid Penilaian kondisi medis yang muncul bersamaan dengan perburukan mendadak dalam kemampuan kognisi, fungsi, ataupun perubahan perilaku.

10

4. Simptom gangguan perilaku, psikosis, dan depresi Memperhatikan perubahan-perubahan yang muncul berkaitan dengan adanya gangguan psikiatri yang muncul pada pasien 5. Medikasi Memperhatikan obat-obatan yang digunakan penderita, baik yang diresepkan ataupun yang tidak diresepkan yang berkaitan dengan perubahan fungsi kognitif yang muncul pada penderita. Diagnosa penyakit Alzheimers dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut1: 1. Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik 2. Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2 3. Tidak ada gangguan tingkat kesadaran 4. Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun 5. Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya Pemeriksaan penunjang8 Neuropatologi Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, seringkali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian

2.6 1.

mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem

somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937) Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari: A. Neurofibrillary tangles (NFT) Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain

11

didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia. B. Senile plaque (SP) Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid

ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer. C. Degenerasi neuron Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.

12

D. Perubahan vakuoler Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital,

hipokampus, serebelum dan batang otak. E. Lewy body Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer. 2. Pemeriksaan neuropsikologik Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena: 1. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal. 2. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.

13

3. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari: a. Verbal fluency animal category b. Modified boston naming test c. mini mental state d. Word list memory e. Constructional praxis f. Word list recall g. Word list recognition Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol 3. CT Scan dan MRI Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya

merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer. Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. Seab et al, menyatakan MRI

14

lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus. 4. EEG Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik 5. PET (Positron Emission Tomography) Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi 6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin. 7. Laboratorium darah Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif. Penatalaksanaan8 Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan. 1. Inhibitor kolinesterase Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer

2.7

15

didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan antikolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer. 2. Thiamin Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. 3. Nootropik Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna. 4. Klonidin Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif 5. Haloperiodol Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari) 6. Acetyl L-Carnitine (ALC)

16

Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.

17

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan Alzheimers adalah suatu penyakit yang umum dialami lansia dan menjadi salah satu penyebab dari demensia yang umum terjadi pada golongan lansia. Penyakit Alzheimers memiliki patogenesis yang tidak jelas walaupun telah ditemukan banyak hipotesa mengenai penyebab Alzheimers. Penatalaksanaan bersifat kontinuum dan harus dilanjutkan seumur hidup, tidak bersifat

menyembuhakn namun menghambat progresifitas penyakit.

3.2. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terutama mengenai Alzheimers Disease khususnya mengenai patogenesis dan patofisiologi agar dapat ditemukan suatu terapi eradikator untuk Alzheimers Disease. Minimnya penelitian yang mengkaji tentang Alzheimers Disease membiarkan penyakit ini tetap menjadi suatu penyakit menyiksa yang harus dialami penderitanya seumur hidup. Hendaknya para peneliti dan kalangan akademis lebih menaruh perhatian pada Alzheimers Disease agar morbiditas penyakit ini dapat teratasi.

18

DAFTAR PUSTAKA

1.

Japardi, I. (2002) Penyakit Alzheimer [WWW] Universitas Sumatera Utara. Diambil dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1996/1/bedahiskandar%20japardi38.pdf [Diakses 24 Maret 2012]

2.

Toga A.W, Mega M.S, dan Thompson, P.M (2001) Neuroimaging Alzheimers Disease. In The Neuropathology of Dementia. London: Cambridge University Press

3.

Wilkinson I dan Lennox G. Dementa. In Essential Neurology. London: Cambridge University Press

4.

Anderson H (2012) Alzheimer Disease [WWW] Medscapes. Diambil dari: http://emedicine.medscape.com/article/1134817-overview [Diakses 24 Maret 2012] Fauci Antony S. et al. (eds.) (2008). Harrisons Principle of Internal Medicine Alzheimers Disease (2007). In Handbook of Disabilities. Missouri: University of Missouri Press.

5.

6.

7.

Thomson and McDonald. Alzheimer disease. In Disease of nervous system clinical neurobiology. Vol.II. Philadelphia : WB Sounders, 1992:795-801 California Department of Public Health (2008) Guideline for Alzheimers Disease Management [WWW]. Available from

8.

www.guidelines.gov/content.aspx?id=12691 [Accessed 24 March 2012]

19

You might also like