You are on page 1of 28

Efektivitas Hukum Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas membicarakan dan mengkaji mengenai ketaatan manusia terhadap

hukum yang berlaku. Jika suatu aturan hukum ditaati maka dapat dikatakan aturan hukum tersebut efektif. Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat efektifitasnya. Untuk mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan hukum dapat kita lihat pada hubungan teori ketaatan hukum dari H.C Kelman yaitu Compliance (taat karena sanksi), Identification (taat karena menjaga hubungan baik), Internalization (taat karena nilai intrinsic yang dianut). Sehinnga berbicara efektif tidaknya suatu aturan hukum dilihat dari seberapa besarnya masyarakat mentaati aturan hukum tersebut dan tergantung dari kepentingannya, jika masyarakat taat hukum karena kepentingan Compliance (taat karena sanksi), Identification (taat karena menjaga hubungan baik), maka derajat ketaatnya sangat rendah dan dapat disimpulkan bahwa suatu aturan hukum tidak efektif dimasyarakat tersebut. Tetapi apabila ketaatn masyarakat karena Internalization (taat karena nilai intrinsic yang dianut) maka dapat diartikan bahwa masyarakat tersebut sudah taat hukum dan aturan hukum tersebut sangat efektif. Ada dua hal yang dapat dikaji dalam efektifitas hukum : 1. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan factor-faktor apa yang mempengaruhinya ; 2. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan factor-faktor apa yang mempengaruhinya. Maka untuk mengkaji factor-faktor apa yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum umum menurut Achmad Ali, C.G Howard dan R. S Mumners antara lain : 1. Relevansi aturan hukum umum dengan kebituhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu jika yang dimaksud adalah undanundang, maka pembuat undan-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang itu dalam hal ini masyarakat dan badan hukum. 2. Kejelasan dari rumusan substansi dari aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi perumusn substansi aturan hukum itu harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertilis maka harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya akan membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannyadalam artian untuk menghindari multitafsir. 3. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target atau masyarakat aturan hukum itu. 4. Jika yang dimaksud adalah perundang-undangan maka lebih baik yang bersifat melaran dari pada yang mengharuskan karena aturan yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang yang mengharuskan (mandatur) 5. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar. 6. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sanksi yang terlalu berat akan sulit untuk dilaksanakan dan dapat membuat rasa ketidak adilan sebaliknya sanksi yang terlalu

ringan membuat target aturan hukum tidak segan untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran. 7. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum itu adalah memang memungkinkan karena tindakan yang diatur dan diancam sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk dip roses disetiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, dan penghukuman) 8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relative akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan atau tidak diatur sebagai norma moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam sanksi bagi tindakan atau perbuatan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi o0leh norma lain, seperti : Norma agama, Norma adat istiadat, Norma Moral dan lainnya. 9. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum dalam menegakkan berlakunya aturan hukum secara umum. 10. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal didalam masyarakat. Jika yang ingin kita kaji adalah efektifitas aturan tertentu atau maka akan tampak perbedaan factor-faktor yang mempengaruhi efektifitas dari setiap aturan hukum yang berbeda tersebut. Jika yang ingin kita kaji adalah efektifitas perundang-undangannya, maka kita dapat mengatakan efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa factor antara lain : 1. 2. 3. 4. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan tersebut. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya Bagaimana proses lahirnya suatu undang-undang secara tergesa-gesa untuk kepentingan yang instant atau sesaat sehinnga memiliki kualitas yang buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Menurut Achmad Ali factor yang mempengaruhi efektifitas hukum dan perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari penegak hukum, baik dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka maupun dalam menegakkan hukum dan undang-undang. Bekerjanya undang-undang dapat dilihat dari dua perspektif, antara lain : 1.Perspektif Organisatoris Memandang undang-undang sebagai institusi yang ditinjau dari cirr-cirinya. Didalam perspektif ini tidak terlalu memperhatikan pribadi-pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-undangan. 2.Perspektif Individu Ketaatan, yang lebih berfokus pada segi Individu atau pribadi dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundang-undangan. Foku perspektif Individu adalah kepada masyarakat sebagai

kumpulan pribadi-pribadi. Factor kepentingan yang menyebabkan orang taat atau tidak taat terhadap Undang-undang, dengan kata lain pola-pola perilaku masyarakat yang banyak mempengaruhi efektifitas perundang-undangan. Factor individu dapat dibagi menjadi dua hal antara lain : 1.Faktor-faktor Individual yang Objektif Seperti, usia, gender, pendidikan, profesi dan pekerjaan latar belakang sosisal dan domisili. 2.Faktor-faktor Individual yang Subjektif Penyesuaian sosial, perasaan tidak tenteram, pola piker rasional atau dogmatis dan lainnya. Suatu perundang-undangan jika dihubungkan dengan fenomena-fenomena yang timbul dalam masyarakat, dapat dipandang dari dua prinsip, yaitu : a.Prinsip pasif-dinamis. Dalam hal ini, yang pasif adalah penetapannya, sedang yang dinamis adalah masyarakatnya. Jadi yang dimaksud dengan prinsip pasif-dinamis, adalah bahwa, hukum atau perundang-undangan berbunyi demikian, karena masyarakat bertindak demikian. Oleh Karena itu, dalam prinsip pasif dinamis ini, fenomena-fenomena masyarakat lebih dahulu timbul, barulah perundang-undangan dibuat, untuk mengakomodasinya, yaitu untuk mengatasi situasi yang timbul di dalam masyarakat tersebut. b.Prinsip actief-oorzakelijk. Prinsip ini adalah masyarakat bertindak demikian, karena hukumnya atau perundang-undangannya berbunyi demikian. Oleh karena itu, dalam prinsip ini, perundang-undangan yang lebih dahulu ada, barulah muncul fenomenafenomena dalam masyarakat sebagai akibat atau reaksi dari adanya perundang-undangan tersebut. Reaksi mungkin bersifat ketaatan, tetapi juga dapat berwujud ketidaktaatan. Apa yang dapat saya simpulkan dari kajian Stanly Milgram bahwa potensi ketaatan setiap orang terhadap suatu otoritas adalah beragan dan tidak seragam. Sebagian orang sangat tinggi kadar ketaatannya terhadap apa saja yang berwujud otoritas yang dianggap sah, termasuk tentunya otoritas hukum; tetapi sebaliknya, sebagian orang memiliki kadar penolakan yang cukup tinggi, untuk menolak atau tidak mentaati suatu perintah otoritas, termasuk otoritas hukum sekalipun, jika perintah itu bertentangan dengan nilai-nilai intristik serta logika dan rasionalitasnya, termasuk pandangan moral dan agama yang dianutnya. http://www.scribd.com/doc/51630964/Efektivitas-Hukum

kumpulan makalah
semoga bermanfaat sista, n mas bRoo... :)

Jumat, 29 Juni 2012

EFEKTIFITAS HUKUM Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektifitas hkum dapat diukur maka kita juga harus tau sejauh mana hukum tersebut ditaati atau tidak. Jika suatu hukum telah ditaati oleh sebagian besar target maka dapat dikatakan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun sebenarnya ditaati atau tidaknya suatu hukum tergantung pada kepentingan seseorang. Dan kepentingan tersebut bersifat macam-macam. Jika mengkaji mengenai ketaatan hukum secara umum, maka ada beberapa faktorfaktor yang perlu diuraikan seperti halnya sebagai berikut : a. Relevansi aturan hukum secara umum dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum. Jika suatu aturan hukum berupa undang-undang, maka si pembuat undang-undang dituntut untuk paham akan kebutuhan hukum tersebut, dan mengenai subtansinya sebaiknya suatu perundang-undanag bersifat melarang, karena hukum yang bersifat melarang lebih mudah untuk diterapkan atau dilaksnakan dari hukum yang hanya bersifat mengaruskan, khususnya pata aturan hukum yang mengandung nilai moral b. Sosialisasian yang optimal pada seluruh target aturan hukum. Semua penduduk dimanapun, tidaka akan mungkin mengetahui keberadaan suatu hukum ketika tidak adanya suatu pensosialisasian yang optimal. Oleh karena itu sangatlah penting peran sosialisasi itu sendiri, khususnya untuk suatu aturan hukum yng baru saja dibuat. c. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum Harus adanya perumusan subtansi aturan hukum yang jelas dan baik agar mudah dipahami sehingga tidak memunculkan suatu keambiguan dalm aturan hukum, meskipun nantinya tetap membutuhkan suatu interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya. d. Sanksi Dalam pelaksanaan sanksi itu sendiri sebenarnya harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar, karena tidak semua sanksi yang dijatuhkan dirasa tepat, Namun tetap saja harus adanya sangsi yang tegas agar segala aturan hukum dapat berjalan dengan baik dan terarah. Sedangkan ketika dilihat dari nilai proporsionalnya terkadang akan menimbulkan suatu ketidak adilan bagi seseorang walaupun dia memang divonis bersalah. Jadi menenai penjatuhan suatu sanksi dirasa juga harus mempertimbangkan kondisi, karena kodisi tiap pelanggar aturan hukum tidak semua sama. Itulah yang perlu jadi pertimbangan bagi aparat pelaksana penegak hukum. e. Profesional tidaknya aparat penegak hukum Efektif tidaknya suatu aturan hukum juga ditentukan oleh keprofesionalan para aparat penegak hukum dalam penegakan aturan hukum tsb, karena mereka memiliki peran yang cukup besar terkait pelaksanaan hukum itu sendiri, mulai dari tahapan penemuan hingga pemecahan suatu kasus. Terkadang sangat disayangkan banyak sekali sebagian dari mereka terkadang lengah bahkan tidak terlalu memperhatikan hal-hal kecil padahal mereka sendiri merupakan contoh bagi masyarakat sipil. f. Standart hidup sosial-ekonomi dalam masyarakat Di era global seperti saat ini permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh masyarakat adalah masalah ekonomi yang merupakan penyebab timbulnya suatu kemiskinan yang merajalela. Kemiskinan mendesak masyarakat untuk tetap bertahan hidup di tengah-tengah posisi yang sangat sulit dengan cara apa-pun, inilah salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan dimana-mana. Sedangkan mengenai efektifitas suatu perundang-undangan ditentukan oleh : a. Pengetahuan tentang subtansi perundang-undangan itu sendiri. b. Cara untuk memperoleh pengetahuan tsb. c. Institusi yang terkait dengan ruang-lingkup perundang-undangan di dalam masyarakat. d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan. Jadi suatu aturan hukum dapat memengaruhi fenomena dalam masyarakat, yakni seperti adanya ancaman sanksi atas kesalahan yang dilakukan, sehingga dapat mencegah suatu tindakan bahkan mendorong terjadinya suatu tindakan pula. Dengan begitu memunculkan terbentuknya suatu peraturan untuk ditaati, jika subtansinya sesuai dengan norma hukum dalam masyarakat. Karena efektiitas hukum itu sendiri dikaji dengan ketaatannya terhadap suatu norma hukum.

Diposkan oleh kumpulan makalah di 06:30

http://makalahjenius.blogspot.com/2012/06/efektifitas-hukum.html

EFEKTIFITAS PENERAPAN HUKUM


Opini - Artikel Hukum
Muhammad Joni Nov 03 |17:07

Apakah itu implementasi hukum? Yakni Pelaksanaan norma hukum dalam kasus/putusan/tindakan, atau hukum dalam keadaan konkrit (Law in concreto; Living law), menerapkan hukum dari Law in Book kepada Law in Action, apakah identik atau tidak identik? Dengan kata lain, efektifitas hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya. Bisa juga karena kepatuhan masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari hukum. Hukum yang dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya bukan abstraksi nilai dalam masayarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum tidak efektif, tidak bisa dijalankan (unworkable), atau bahkan atas hal tertentu terbit Pembangkangan Sipil. Menurut Yehezkel Dror, seorang pakar sosiologi hokum, Adanya kesenjangan antara perilaku sosial masyarakat dengan norma hukum, menciptakan ruang ketegangan (tention), sehingga perlu penyesuaian dengan norma yang baru. Selanjutnya, menurut Antony Alloott yang menulis artikel The Effectiveness of Law, dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter 1981], memaparkan alasan mengapa Hukum iidak tfektif? Pertama: Problem dalam pemancaran akhir norma hukum, disebabkan tidak menyebarnya norma hukum yang diterbitkan. Hukum tidak bisa diadaptasi subyek sebagai pesan instruksional (instructional messages) karena membutuhkan lawyer sebagai special decoders namun tidak bisa/mampu menyediakannya.

Kedua: Kemungkinan konflik antara arah dan tujuan legislator dengan kebiasaan sosiologis masyarakat (nature of society). Terjadi kesenjangan antara masyarakat moderen (modern society) dengan masyarakat adat (customary society). Ketiga: kegagalan implementasi hukum itu sendiri. Seringkali tidak cukup tersedia perangkat norma (norms), perintah (orders), institusi (institutions), atau proses (processes) yang berkaitan dengan Undang-undang.

Kadar efektifitas dan ketidakefektifan penerapan hukum itu berbeda-beda pada tiap norma hokum yang merupakan norma kuratif, preventif, fasilitatif. Berbeda pula akseptasi subyek antara jenis norma antara hukum netral (misalnya hukum kontrak, hukum jual beli), dan norma hukum non netral (misalnya sons preference dalam Hukum keluarga, status non marital child, dll.). Karena itu, efektifitas dipengaruhi ada atau tidak dan bagaimana kesenjangan dan tention antara norma dengan perilaku/keadaan masyarakat.

Sanksi sebagai alasan mematuhi hukum Pertanyaan besar yang mengagitasi hakim dan filsuf, berabad-abad: why do people obey the law. Sistem hukum didukung dengan sanksi (supported by sanction). Sanksi dibutuhkan namun tidak selalu diperlukan untuk setiap UU dalam sistem hukum (the need for having sanction arises but not necessarily for every law). DEmikian pendapat Prof.Hari Chand, Morend Jurisprudence, International Law Book Services, 1994, p.111. Kita pun patut menyoal efektifitas pidana penjara yang sudah berlangsung sangat panjang dalam sejarah hukum. Menurut R.M. Jackson : l Pidana penjara termasuk jenis pidana yang relatif kurang efektif, dalam hal menekan tidak berulangnya suatu perbuatan pidana. l Angka rata-rata residivis (bagi yang pertama kali melakukan tindak pidana) berbanding terbalik dengan usia pelaku.

Sementara itu, Barda Nawawi Arief mendalilkanm pidana penjara membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya. Pandangan Richard Posner: Dilihat dari segi ekonomi pidana denda mengandung nilai yang tidak ditemukan pada pidana penjara sehingga lebih menguntungkan daripada pidana penjara. Biaya sosial pidana penjara lebih besar. Phil Dickens, yang mengemukakan bahwa The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense. Berdasarkan Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and

The Treatment of Offenders Report, bahwa pada umumnya diakui mekanisme peradilan dan kepenjaraan (the judicial and prison mechanism) mempunyai pengaruh yang kondusif untuk timbulnya kejahatan dalam hal tertentu menciptakan karir-karir penjahat.

Apakah indikasi hukum tidak efektif l Kabur dan multitafsir. l Inkonsistensi norma. l Kekosongan hukum (rechvacuum). l Tidak ada/segera dibuat peraturan pelaksana/organik, walaupun ada perintah batas waktu. l Sering dan cepat berubah (amandemen atau diganti). l Menuai kritik tajam masyarakat. l Inkonsisten dengan konvensi internasional l Inkonsistensi dengan UU/peraturan horizontal. l Pembahasannya lambat, a lot, dan tarik manarik politik. l Saat pembahasan adanya berbagai draf alternatif. l Inkonsistensi dgn UUD 1945 sehingga dibatalkan MK (negative legislation). l Tidak diterapkan dalam praktek (minim fasilitas). l Tidak ada lembaga pelaksana (legal structure).

Bagaimana mengupoayakan hukum yang efektif? l Pemerintahan yang efektif dan clean governance l Lembaga pelaksana (legal structure). l Lembaga penegakan hukum (law enforcer). l Lembaga advokasi (legal advocacy) l Kesesuaian/penerimaan sebagai budaya hukum (accepted as legal culture). l Norma/substansi (legal substance).

l Pengawasan dan partisipasi luas masyarakat (public watch and participation). l Kepercayaan dan kepatuhan kepada hukum. l Tidak main hakim sendiri atau pembangkangan sipil.

http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html

Efektivitas Hukum

Salah satu cara pemberantasan peredaran gelap narkotika yang dipandang efektif perlu dicari pemecahan masalah ialah dengan mencari akar masalahnya dalam kehidupan sosial masyarakat. Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto (2011: 26) berpendapat tentang pengaruh hukum Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.

Ketaatan seseorang bersikap tindak atau berperilaku sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse) dan penyalahgunaan (misuse); hal tersebut adalah lazim dalam bidang hukum perikatan. Efektifitas penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum threats dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan mendapatkan legitimasi bila tidak ada faedahnya untuk dipatuhi atau ditaati. Internal values merupakan penilaian pribadi menurut hati nurani dan ada hubungan dengan yang diartikan sebagai suatu sikap tingkah laku. Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif. Sanksi merupakan aktual dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya. Disamping itu, sanksi ialah penilaian pribadi seseorang yang ada kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan, dapat dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, berpengaruh positif atau efektifitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut.

Hubungan antara hukum dan sikap, agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia, perlu diciptakan kondisi-kondisi yang harus ada, antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan, sebagaimana dikemukakan Friedmann (1975:111) a legal act (rule, doctrine, practice), whatever functions it serves, is message.

Komunikasi itu sendiri merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan lambinglambang yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama, dengan maksud agar terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku. Masalah sanksi sebagai aktivitas hukum, Soerjono Soekanto (1985:82) mengemukakan bahwa kalangan hukum lazimnya kurang memperhatikan masalah sanksi positif. Sanksi negatif lebih banyak dipergunakan karena adanya anggapan kuat bahwa hukuman lebih efektif. Dapatlah dikatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut tidak mempunyai efek yang bersifat universal. Efek suatu sanksi merupakan masalah empiris, oleh karena itu manusia mempunyai persepsi yang tidak sama mengenai sanksi-sanksi tersebut. Dalam sanksi negatif, yang penting adalah kepastiannya. Pentingnya kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa yang penting pada sanksi negatif adalah kepastiannya. Pentingnya kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut harus dilakukan secara ketat. Suatu ancaman hukuman benarbenar efektif atau tidak untuk mencegah terjadinya kejahatan, tergantung pula pada persepsi manusia terhadap resiko yang dideritanya apabila melanggar suatu norma tertentu. Pokok masalahnya adalah bagaimana menimbulkan anggapan bahwa kalau seseorang melanggar ketentuan tertentu akan mendapat risiko ancaman hukuman yang berat ? Disamping itu, kecepatan penindakan pelaksanaan hukuman dengan kepastian dan beratnya hukuman mempunyai efek yang lebih besar daripada hal itu ditunda. Ancaman hukuman dalam sanksi negatif akan lebih berpengaruh terhadap perilaku instrumental dari pada perilaku kriminal ekspresif. Karakteristik suatu ancaman dan harapan dari sebuah sanksi ialah The nature of the sanction, reward and punishment, perception of risk and the speed of enforcement. Sanksi secara konvensional dibagi dalam dua bagian besar yaitu imbalan (reward) dan penghukuman (punishment). Reward dan punishment merupakan konsep sanksi yang selalu banyak didiskusikan oleh semua orang dalam kaitan dengan sebuah pertanyaan mana yang lebih efektif antara reward dan punishment. Punishment (penghukuman) kelihatannya tidak sebaik apabila dikenakan suatu reward (imbalan). Kecepatan dalam memberikan hukuman atau imbalan akan mendatangkan kepastian yang amat penting dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sangat pelik. Penghukuman atau imbalan secara lebih awal akan memberikan pengaruh, dibanding dengan menunda-nunda permasalahannya. Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan pembahasan tentang peranan penegak hukum terlebih dahulu diketahui tentang pengertian sistem hukum. Menurut Friedmann (2001: mengemukakan bahwa sebuah sistem hukum, pertama mempunyai struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem itu pula. Aspek ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal culture) adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus digunakan.

Ancaman hukuman dalam sanksi negatif Lawrence Friedman (2001: 11-18) selanjutnya menguraikan tentang fungsi sistem hukum yakni: 1. Fungsi kontrol (social control), yang menurut Donald Black bahwa semua hukum berfungsi sebagai kontrol social pemerintah. 2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentanganpertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik. 3. Fungsi redistribusi atau rekayasa social (redistributive function or social engineering function). Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan social yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. 4. Fungsi pemeliharaan social (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan susuai dengan aturan mainnya (rule of the game). Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah ditetapkan oleh suatu undang-unang atau hukum. Pengertian sistem penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto (1985:13) adalah:kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup. Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat, karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi. Mengenai hal ini, dalam mengidentifikasi tentang hubungan penegakan hukum pidana dengan politik kriminal dan politik sosial menyatakan bahwa penegakan hukum pidana

merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat wajarlah bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan integral dari rencana pembangunan nasional. Berdasarkan orientasi pada kebijakan sosial itulah, dalam menghadapi masalah kriminal atau kejahatan, menurut Djoko Prakoso (1999:12), harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: 1. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituiil berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan spirituiil atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil. 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas (overbelasting). Disamping itu, beberapa sarjana hukum mengemukakan tentang tujuan hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Sunar Agus, (2006:19) sebagai berikut: 1. Untuk menakut-nakuti orang, jangan sampai melakukan kejahatan baik dengan menakut-nakuti orang banyak (general preventive), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman Negara, masyarakat dan penduduk yakni: 1. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna. 2. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. tujuan hukum pidana di atas bahwa proses sosialisasi dari perbuatan kriminal dapat mencakup lapangan sosioekonomi dan patologi sosial. Hasil penelitian kriminologi dapat menunjang politik kriminal dan politik hukum pidana. Hasil penentuan sebab perbuatan kriminal dan penggolongan jenis kejahatan bermanfaat untuk kebijaksanaan penerapan pidana. http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas-hukum.html

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah sesungguhnya yang berperan untuk mengefektifkan hukum itu?

Sebenarnya pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dan sosiologis.

Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan

Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Hukumnya sendiri. Penegak hukum. Sarana dan fasilitas. Masyarakat. Kebudayaan. A. Faktor Hukum Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsurunsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu. Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku

kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

B. Faktor Penegakan Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan : Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan. Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut. Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya. Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.

C. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional ? Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

D. Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

E. Faktor Kebudayaan Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan

oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif. Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum. Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah abu-abu tidak jelas dan samarsamar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa di hukum dan orang yang bersalah menjadi bebas. Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus, semisal kasus Ryan yang cukup menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini terjadi salah tangkap pelaku yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak hukum bekerja tanpa bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di tahan. Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum, dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa dan hakim (penegak hukum), dituntut untuk menjunjung tinggi hukum. Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Polisi dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak terutama dalam melakukan penangkapan. Tetapi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH. MH. membicarakan asas praduga ini haruslah berhati-hati karena masyarakat bisa saja keliru memahami, khususnya membicarakan asas praduga bersalah. Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja menganut asas praduga bersalah karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam proses hukum haruslah mengedepankan asas praduga tak bersalah. Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada Garda terdepan karena Polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan Penegak Hukum lainnya yang berada dibalik tembok tinggi perkantoran tempat mereka bekerja sehari-hari. Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-faktor tersebut, ada juga pandangan lain seperti ajaran realisme yaitu pengindentikan hukum dengan proses pengadilan. Salmond, misalnya memperbaiki pandangan kaum positivis, khususnya uraian Austin tentang wujud

atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan positivisme itu menjadi pendekatan yang realistis. Salmon mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. Hukum boleh tumbuh di luar kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru memperoleh karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan dalam putusan yang dijatuhkannya. Menurut Salmond, pengujian hukum yang sebenarnya adalah ketika ia dilaksanakan oleh pengadilan. Salmond melalui definisi hukumnya yang dikaitkan dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan keadilan. Pandangan-pandangan Salmond ini di kecam dan di bantah bahwa keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum. Dimasa moderen ini, tujuan hukum seperti yang tampak diterima, secara universal adalah terjaminnya ketertiban di dalam masyarakat, kebahagian sebesar-besarnya warga masyarakat dan merekonsiliasi atau penyesuaian antara keinginan seseorang dengan kebebasan orang lain. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala. Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan kekecewaannya selama mengamati pelaksanaan penegakan hukum di Negara yang berlambang Burung Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam suatu tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak peduli pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh putus asa. Hal ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, dimana pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan, pelaksanaan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis. Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum dengan persoalan-persoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut, tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa penerapan pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang efektif. Hal ini disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berakibat tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari hukum. Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai. Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini, memandang efektifnya suatu hukum dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-mana dengan berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan, walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi termasuk pelaksanaan hukumnya. Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih saja ada pelanggaran hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja ada yang membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan tidak habis untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas dengan sangsi-sangsinya. Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana dengan baik,

manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu.

Andi Mallarangeng bantah terlibat kasus Wisma Atlet


Terbaru 22 Februari 2012 - 14:55 WIB Menegpora Andi Malarangeng membantah tuduhan yang menyebutnya terkait kasus suap Wisma Atlet SEA Games 2011. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang bersaksi dalam sidang kasus suap Wisma Atlet SEA Games untuk tersangka Muhammad Nazaruddin, membantah berbagai tuduhan yang menyebut dirinya terkait dalam kasus tersebut. Kehadiran Andi Mallarangeng sebagai saksi diperlukan karena proyek Wisma Atlet dianggap berada dalam tanggung jawab kementeriannya. Tetapi di hadapan majelis hakim, Rabu (22/02), Andi mengaku tidak pernah meminta fee sebesar 8% kepada Mindo Rosalina Manulang, mantan anak buah Nazarudin, terkait proyek wisma atlet tersebut. "Bukan saya," kata Andi, menjawab pertanyaan kuasa hukum Nazarudin, Hotman Paris Hutapea. Andi juga mengaku tidak mengenal Mindo Rosalina. Sebelumnya, nama Andi dikaitkan dengan tuduhan kuasa hukum Rosalina, Achmad Rifai, yang menyebut ada seorang menteri meminta jatah uang kepada Rosa terkait dua proyek dengan nilai total Rp 180miliar.

Tentang informasi yang menyebut dirinya menerima uang pelicin proyek wisma atlet yang diterima tim suksesnya dari Mindo Rosalina saat Kongres Partai Demokrat di Bandung, Andi mengaku tidak mengetahuinya. "Yang jelas, saya tidak menerima itu. Kalau tim sukses yang menerima, saya ingin tahu siapa tim sukses yang mana, kapan dan di mana".

Dana Rp10 miliar


Dalam persidangan, Andi Malarangeng juga mengaku tidak mengetahui bahwa anak buahnya, Wafid Muharram, mengembalikan dana talangan seberar Rp10miliar ke Mindo Rosalinda. "Saya tidak tahu, saya tidak pernah dilapori," tandas Malarangeng. Dalam keterangannya, mantan Sesmenpora Wafid Muharram mengaku telah mengembalikan Rp10 miliar kepada Mindo Rosalina. "Yang jelas, saya tidak menerima itu. Kalau tim sukses yang menerima, saya ingin tahu siapa tim sukses yang mana, kapan dan di mana." Menegpora Andi Mallarangeng Saat ini, Wafid dan Rosa telah divonis bersalah terlibat kasus suap dalam proyek wisma atlet SEA Games. Andi Malarangeng dipanggil bersaksi dalam kasus suap Wisma Atlet dengan tersangka Nazaruddin, anggota DPR Partai Demokrat sekaligus pimpinan PT DGI. Nazarudin didakwa menerima pelicin atau fee sebesar Rp 4,6 miliar melalui Permai Group, atas upayanya mengawal pemenangan proyek Wisma Atlet ke tangan PT DGI. Sementara itu, tersangka lainnya adalah Muhammad El Idris, manajer Marketing PT DGI; Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin; serta Wafid Muharram, sekretaris kementerian Kemenegpora. Mereka dibekuk penyidik KPK pada 21 April 2011 lalu, seusai transaksi uang pelicin atas proyek tersebut. Tiga orang ini telah dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum pidana penjara.

Perjalanan Angelina dalam Kasus Wisma Atlet


Angelina Sondakh resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Jum'at, 3 Februari 2012, 15:55 WIB Anggi Kusumadewi, Dedy Priatmojo, Ita Lismawati F. Malau

VIVAnews Jumat, 3 Februari 2012, KPK resmi menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games berdasarkan dua alat bukti. Kementerian Hukum dan HAM juga mengeluarkan pencegahan ke luar negeri terhadap Angelina, atas permintaan KPK.

Nama Angelina memang kerap disebut-sebut oleh Nazaruddin. Anggota Badan Anggaran DPR itu makin tersudut ketika namanya semakin intens disebut dalam persidangan Nazaruddin. Terlebih sejumlah saksi yang merupakan mantan anak buah Nazar, yaitu Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis, juga menguatkan tudingan Nazaruddin dengan membeber peran Angelina dalam kasus tersebut.

Sudah sejak lama Nazaruddin menuding Angelina menerima uang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Nazar bahkan menyatakan, Angelina pernah mengakui perbuatannya itu di hadapan Tim Pencari Fakta Fraksi Demokrat pada 12 Mei 2011, dalam pertemuan yang digelar di ruangan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah.

Saya mendengar pengakuan dari Angie (Angelina) dalam pertemuan yang dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi Sitanggang, Max Sopacua, Ruhut Sitompul, M. Nasir, dan saya sendiri. Angelina mengakui adanya penerimaan uang Rp9 miliar dari Menpora, dalam hal ini Andi Mallarangeng, dan (Sekretaris Kemenpora) Wafid Muharram, kata Nazaruddin dalam nota eksepsinya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.

Nazar mengatakan, Angie mengaku menyerahkan uang kepada politisi Demokrat yang juga pimpinan

Badan Anggaran DPR Mirwan Amir sebesar Rp8 miliar. Di forum itu, Mirwan juga mengakui telah menerima Rp8 miliar dari Angelina, ujar Nazaruddin. Setelah itu, lanjut Nazar, Mirwan mengaku membagikan uang Rp8 milair tersebut kepada pihak lain, yaitu kepada Anas Urbaningrum sebesar Rp2 miliar, pengurus fraksi sebesar Rp1 miliar, dan selebihnya digunakan oleh Mirwan sendiri.

Hari ini, Jumat 3 Februari 2012, Nazar bahkan mengatakan Angelina seharusnya sudah menjadi tersangka. Yang harusnya jadi tersangka dari awal kasus ini adalah Angelina Sondakh. Dia ngaku nerima uang Wisma Atlet, kata Nazaruddin.

Kesaksian Rosa

Terpidana kasus siap Wisma Atlet, Mindo Rosalina Manulang, juga membeber peran Angelina. Ibu Angie minta uang karena sedang ada pembahasan anggaran Kemenpora. Ada (proyek pembangunan fasilitas olahraga di) Hambalang atau (pembangunan) Wisma Atlet. Dia bilang butuh uang untuk menggolkan anggaran, kata Rosa di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin 16 Januari 2012. Menurut mantan anak buah Nazar di PT Anak Negeri itu, Angelina telah menerima uang dari dirinya terkait proyek pembangunan wisma Atlet SEA Games di Palembang. Waktu itu kantor (PT Anak Negeri) mengeluarkan Rp10 miliar. Sebanyak Rp5 miliar untuk Angie, Rp5 miliar sisanya saya tidak tahu. Sebab, kalau tidak diberi uang, susah turun anggaran, ujar Rosa. Rosa menambahkan, uang yang ia serahkan kepada Angie itu untuk uang muka anggaran proyek. Saya tanya sama Bu Angie, Bu ini untuk apa ya? Terus Bu Angie bilang, Biasa, untuk pimpinanpimpinan kita di Banggar (Badan Anggaran DPR). Kalau Ketua Besar kenyang, kita kan enak, kata Rosa menirukan ucapan Angelina.

Permintaan Angie ini, imbuh Rosa, dia teruskan kepada Nazaruddin selaku atasannya, sebab jika uang tak mengalir, Rosa yakin anggaran akan mandeg dan tidak turun untuk proyek Kemenpora itu.

Kesaksian Yulianis

Sementara itu, mantan anak buah Nazaruddin uyang merupakan Wakil Direktur Keuangan PT Permai Grup, Yulianis, juga membenarkan ucapan Rosa itu. Angelina Sondakh dan Wayan Koster mendapat Rp5 miliar, kata Yulianis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 25 Januari 2012, saat bersaksi untuk terdakwa Nazaruddin.

Yulianis mengungkap adanya catatan pengeluaran uang untuk menggiring proyek di Kemenpora dan Komisi X DPR. Bu Mindo Rosalina Manulang mengatakan ada yang ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Paul Nelwan. Ada juga yang ke Angelina Sondakh dan Wayan Koster, kata dia. Lebih lanjut Yulianis merinci, berdasarkan catatannya, Paul Nelwan mendapat aliran dana sebesar Rp150 juta. Yulianis juga mengatakan, terdakwa Nazaruddin dalam rapat pernah menyebut nama Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Paul Nelwan terkait penggiringan proyek.

Jawaban Angelina

Saya sudah cukup dizalimi, saya ingin tahu apa pernah mereka bicara (dengan saya). Soal Kemenpora tidak pernah membicarakan. Lillahi ta'ala saya, kata Angelina. Mantan putri Indonesia menambahkan, dirinya tidak akan terus berdiam diri. Dia mengatakan akan menjelaskan semuanya suatu saat nanti, bahwa tak ada uang sepeser pun yang pernah diterimanya. Aku selama ini diam. Apa karena aku janda, karena aku diam terus, (maka terus dituding). Pada saatnya aku akan bilang, aku nggak pernah (terlibat), tegas Angelina.

http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html

EFEKTIVITAS hUKUM DALAM mASYARAKAT EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT Oleh: Sahri, Mhs S2 Hukum Untag 1.Latar Belakang Sejak lahir didunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah,

ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan pegangan baginya. Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum,[1]Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hokum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan. Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut gelding (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut: 1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat. 2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas.[2] Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat 2. permasalahan Tidak selalu kehendak hukum selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, maka dalam kehidupan nyata dalam mayarakat kadang-kadang berbeda dengan yang dikehendaki oleh hukum. Contoh kasus yang paling baru adalah kasus Bibit dan Candra yang melibatkan banyak melibatkan para petinggi penegak hukum di Indonesia . Namun kenyataannya kasus tersebut mendapat tantangan dari masyarakat, walaupun kasus tersebut memenuhi unsur pidana, namun dalam prakteknya mendapat tantangan dari msyarakat, padahal sangat mungkin kasus tesebut memenuhi semua unsure pidananya, namun ternyata tidak memenuhi salah satu unsur sosiologi hukumnya. Oleh karena itu dari ketiga unsur tersebut harus berjalan bersama-sama jika salah satunya tidak terpenuhi akan melahirkan ketidak adilan seperti yang terjadi dengan kasusnya Bibit dan Candra contoh diatas.

3. Analisis kasus Seperti yang katakan oleh Soeryono Soekanto hukum yang baik adalah yang memenuhi ketiga unsure tersebut di atas, dan ketiganya harus berjalan berbarengan jika salah satu unsure ditinggalkan ada kemungkinan tidak akan menghasilkan rasa keadilam dimasyarakat, dengan dasar salah satu unsure sosiologis diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar oleh masyarakat akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Soeryono Soekanto-Pornadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu: (1) Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. (2) Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku. Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa keyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis harus termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memesukkan faktor-faktor kecenderungan dan harapan masyarakat maka perturan perundanganundangan hanya sekedar merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarak. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan keperkembangan masyarakat.[3] Jika teori diatas dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia . Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi.[4] Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c , Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum.[5] Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas

keputusan.[6] Artnya selain pendekatan yuridis nomatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisi yang lainnya, yaitu hukum dalam kenyataanya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum dalam kenyataan dimaksud, bukan bentuk pasal-pasal dalam perundangundangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioprasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehariharinya.[7]Satulagi contoh kasus yang sangat menghebohkan masyarakat tentang sengketa antara Frita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang Banten , dilihat dari sisi hukum formal sudah sangat memenuhi semua unsure delik yang dituduhkan kepadanya, namun dari dilihat sisi keadilan masyarakat sangat tidak adil. Artinya hukum tidak cukup hanya diliha dari sisi formalnya saja akan tetapi harus dilihat dari keadilannya, jika tidak akan mendapat perlawanan yang cukup keras dari masyarakat. Oleh karena itu untuk memberlakukan hukum (Undang-Undang) tidak mungkin meninggalkan rasa keadilan karena antara keadilan dan hukum sama dengan dua sisi mata ung. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan. Saran Bagi para penegak hukum unntuk menerapkan peraturan Perundang-Undangan harus melihat dari sisi tersebut diatas dari sisi formalnya supaya ada kepastian dan yang kedua dari sisi keadilannya.

Penulis Sahri mahasisa Pasca semester1 Kelas Sunter Untag 1945 Jakarta

________________________________________ [1] Soejono soekanto. Pokokpokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2. [2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. hlm. 15. [3] Bagir Manan, Dasar-Dasar perundang-undangan Indonesia . IND-HILL.L.CO Jakarta 1992. hlm ,16. [4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147. [5] Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Penerbit buku Kompas, Jakarta 2009. hlm. 152. [6] Mahfud MD, Kompas tgl7 Januari 2010. hlm 2. [7] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika Jakarta 2005. hlm, 13.

Diposkan oleh http//:Sosiologi Hukum.blog.spon di 03:17

http://s2hukum.blogspot.com/2010/01/efektivitas-hukum-dalam-masyarakat.html

Efektivitas Hukum Hukum dan Masyarakat. Dipandang dari aspek sosial, hukum merupakan bagian atau salah satu dari 4 norma sosial yg berlaku dalam masyarakat, yakni norma agama, norma hukum, norma kesopanan dan norma kesusilaan. Adapun fungsi hukum adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat. Efektifitas hukum dalam masyarakat dilihat dari ; - hukumnya itu sendiri; - profesionalitas aparat hukumnya; - sarana dan prasarana yang tersedia; - dukungan masyarakat; - budaya hukum yang berlaku. Ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridisnya, hukum itu haruslah memenuhi prasyarat berikut; 1.filosofis, hukum itu harus mencapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan 2.sosiologis, hukum yang berlaku haruslah merupakan hal yg dibutuhkan di kalangan masyarakat. 3.yuridis, hukum itu harus sesuai dgn asas-asas tata cara pengaturan pembentukan perundangundangan yang baik.

Teraktualisasinya hukum (aktualisasi hukum) dapat dipelajari lewat teori aktualisasi hukum berikut, yaitu; a. Teori social order - utility - habituation -etc b. Teori social control Masyarakat yang telah terbiasa hidup dalam kebiasaan yg secara tidak langsung mengikat mereka menjalankan suatu aturan yg mengontrol hidup mereka guna mencapai kesejahtraan dan kepastian hukumnya. c. Teori drive reinforcement/ teori pengukuhan Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu : 1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat. 2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat. Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Apabila dalam masyarakat perbuatan mematuhi hukum adalah PR, maka perbuatan melanggar hukum adalah NR, jadi ketika seseorang melakukan pelanggaran thdp hukum, maka ia akan merasa bersalah dan tidak mengulangi lagi pelanggaran tersebut dan mengarah kepada kepatuhan terhadap hukum agar posisinya menjadi PR. d. Teori inferiority complex Teori dimana seseorang yg melanggar hukum akan merasa rendah dimata masyarakat dan dikucilkan, sehingga timbul keinginan kepatuhan terhadap hukum.

e. Teori Etnometodologi Teori dimana hukum dipandang sebagai suatu kewajaran, hal-hal yg wajar berlaku dalam masyarakat, tapi seringkali masyarakat mewajarkan hal-hal yg sebenarnya bertentangan dengan tujuan .asas kemanfaatan, asas kepastian hukum serta asas keadilan. http://blogblasteran.blogspot.com/2012/01/hukum-dan-masyarakat.html

You might also like