You are on page 1of 18

Emosi dan Perspektif Lintas Budaya

Emosi merupakan kajian dalam lintas budaya dan psikologi yang sangat popular dalam beberapa dekade terakhir ini. Emosi tidak hanya ada pada setiap manusia, tetapi juga hewan. Sehingga kajian mengenai emosi ini pada dasarnya sangat besar (e.g., Ekman dan Davidson, 1994). Kajian mengenai lintas budaya ini merujuk pada upaya untuk mengungkapkan keseimbangan antara emosi sebagai keadaan psikologis yang mungkin dalam keanekaragaman lintas budaya dan emosi sebagai konstruksi social yang berbeda dalam cara pandang lintas budaya. Sementara itu, Shweder(1994) menyatakan bahwa emosi sebenarnya adalah konsep yang dibicarakan itu sendiri. Dan segala bentuk substansi untuk pendistribusian menuju bentuk logis yang disebut perdebatan (Shweder 1994). Lebih lanjut lagi Shweder menjelaskan bahwa emosi adalah transenden narasi ataupun naskah, catatan biokimia, aktivitas social, sinyal ekspresif, hasil fenomenologi, kecenderungan tindakan, maupun penilaian yang dikaitkan dengan emosi sebagai symptom yang tidak terhubung dengan cara yang sama seperti halnya atribut alam.(Shweder 1944) Menurut Ekman(1994) terdapat enam emosi yang ada dalam manusia. Antara lain marah, takut, sedih, senang, terkejut, dan jijik Bukti perbandingan dari budaya yang berbeda menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki kemiripan mengekspresikan emosi di wajah, suara, maupun gerak badan. Pada bagian berikutnya ada perbedaan sudut pandang yang menjelaskan bahwa emosi adalah budaya dalam Negara, yang menyiratkan bahwa emosi merupakan konstruksi social atau konstruksi kognitif dan dimanapun juga bukti yang berasal dari etnografi dan lingustik. Russell (1991) menelaah literatur lintas budaya dan antropologis tentang konsepkonsep emosi yang menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara budaya yang kadang mencolok, dalam bagaimana definisi dan pemahaman emosi. Dalam budaya lain emosi memiliki peranan yang berbeda. Misalnya, banyak budaya yang menganggap

emosi

sebagai

pernyataan-pernyataan

tentang

hubungan

antar

orang

dan

lingkungannya yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain. Adapun faktor yang mempengaruhi emosi adalah: 1. Cultural Differences in Emotion Antecedents Peristiwa atau situasi yang dapat memicu munculnya suatu emosi. 2. Cultural Differences in Emotion Appraisal Proses dimana orang berusaha untuk menilai peristiwa, kejadian dan situasi yang menyertai emosi mereka. 3. Cultural Differences in Expressive Behavior Ekspresi wajah dari emosi ini pada dasarnya bersifat genetic dan bukan dari belajar social. Understanding Others Penelitian yang dilakukan oleh Charles Osgood (1977; Osgood et al 1975) yang mengambil tema utama bagaimana anggota berbagai pengalaman kelompok budaya sendiri dan lingkungan sosial mereka. Pembedaan dapat dibuat antara aspek obyektif dan subyektif budaya (Herskovits, 1948). Aspek obyektif tercermin dalam indikator tentang kondisi iklim, jumlah tahun sekolah, produk nasional, indeks, dll. Subyektif mencerminkan bagaimana anggota budaya yang melihat diri mereka dan bagaimana mereka menilai cara hidup mereka. Ini mencerminkan budaya subyektif mereka. Menurut Triandis dan Vassiliou (1972) menemukan bahwa orang-orang Yunani cenderung menggambarkan diri mereka sebagai philotimous. Sebanyak 74 persen dari sampel responden menggunakan istilah ini dalam deskripsi diri. Triandis dan Vassiliou (1972, hlm 208-9) menulis: Seseorang yang memiliki karakteristik ini sopan, berbudi luhur, dapat dipercaya, bangga, memiliki jiwa yang baik, berperilaku benar, memenuhi kewajibannya, melakukan tugasnya adalah benar, murah hati, rela berkorban, bijaksana, menghormat, dan bersyukur. Mereka meringkas dengan

menyatakan bahwa orang yang philotimous berperilaku terhadap anggota in groupnya adalah cara mereka berperilaku.

Universalitas Emosi Ada berbagai teori dalam biologi dan neurosains tentang sejarah evolusi dari emosi dan lokasinya dalam struktur otak (Gazzaniga, 1995; McNaughton, 1989 dalam Berry et.al., 2002). Dalam ilmu psikologi ada tradisi penelitian yang panjang dimana proses psikologi dan proses biologis, seperti ekspresi wajah telah ditemukan sebagai dorongan internal yang dirasakan sebagai emosi. Sifat hubungan antara apa yang dirasakan dan proses yang mendasari tidak begitu jelas, dan beberapa peneliti setuju bahwa dasar bilogis dari emosi tidak begitu jelas dibedakan. (Cacioppo & Tassinary, 1990 dalam Berry et.al., 2002). Ekspresi wajah Menurut Darwin, universalitas dari kesamaan ekspresi wajah sama pentingnya dengan bukti bahwa emosi bersifat alami. Pengalaman awal yang sama pada manusia di masa balita dan anak-anak membentuk penjelasan alternatif. Menurut Klineberg and Birdwhistell (dalam Berry et.al., 2002), perbedaan ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi manusia dikenali dalam proses sosialisasi, setikdaknya sudah menjadi pertimbangan. Dalam Berry et.al., 2002, dijelaskan bahwa studi yang paling dikenal dan mendukung pertanyaan perbedaan lintas budaya mengenai ekspresi wajah dilakukan oleh Ekman melalui the Fore in East New Guinea. Ekman telah mempublikasikan berbagai foto yang menunjukkan kemiripan ekspresi emosi seperti yang ditemukan di negara industrialisasi. Walaupun secara subyektif meyakinkan, penelitian ini tidak menunjukkan keilmiahan yang memadai. Ekman dan timnya juga melakukan dua jenis eksperimen. Jenis pertama, mereka memunculkan responden dengan tiga foto manusia yang menunjukkan emosi yang berbeda. Mereka juga meminta subyek mengindikasikan

apa yang terjadi pada orang dalam foto. Dalam jenis kedua, responden diminta untuk membuat wajah yang akan mereka tunjukkan ketika mereka senang. Ekspresi wajah ini difoto dan nantinya akan dianalisis untuk menentukan apakah pola muscular (jaringan) emosi yang sama di wajah dapat ditemukan seperti yang ditunjukkan pada responden sebelumnya. Di sisi lain, Tomkins (dalam Berry et.al., 2002) menunjukkan hubungan antara aktivitas central nervous system dan kontraksi dari jaringan wajah. Ekman and Friesen (1969 dalam Berry et.al., 2002) menemukan bahwa banyak ekspresi wajah merefleksikan lebih dari satu emosi. Sebuah postulat yang mengikuti teori adalah adanya pola karakteristik dari jaringan wajah untuk tiap emosi dasar. Dalam dasar ini mereka memilih foto yang menunjukkan bahwa enam emosi dasar, yaitu happiness, sadness, anger, fear, surprise, and disgust. Dalam penelitian selanjutnya, pola jaringan wajah dibedakan lagi dan menjadi tujuh ekspresi emosi dasar. Bukti lintas budaya yang pertama didapat ketika responden dalam lima wilayah (Argentina, Brazil, Chile, Japan, USA) ditunjukkan foto yang menunjukkan enam emosi. Istilah emosi ini disebut sebagai respon alternative pada tiap stimulus. Penelitian yang dilakukan Ekman dan timnya mereplikasi Dani, suku yang tinggal di Papua. Hasil menunjukkan bahwa ekspresi dasar dari emosi diinterpretasikan dalam cara yang serupa seperti pada kelompok industrialisasi. Studi independent lain, seperti yang dilakukan Izard (1971 dalam Berry et.al., 2002), juga telah menyediakan hasil bahwa mereka setuju dengan penemuan Ekman dan timnya. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana tingkat kognisi yang rendah merefleksikan artefak dari metode tes (misalnya keistimewaan budaya dalam stimulus) dan sejauh mana mereka merefleksikan dampak dari factor budaya pada emosi. Penelitian yang didesain untuk menyelesaikan masalah ini tidak membuahkan hasil. Ada beberapa variasi yang muncul dalam mengenali emosi spesifik. Di sisi lain, Ekman dan timnya dalam studi sepuluh budaya menunjukkan bahwa ekspresi emosi campuran juga dikenal dalam berbagai budaya. Perbandingan antara sampel orang Asia dan Barat terkait dengan tingkat intensitas stimulus wajah menunjukkan tingkat intensitas yang rendah pada reponden dari Asia. Oleh karena itu, Ekman dan timnya
4

menyatakan bahwa emosi yang tidak terlalu intens diatribusikan pada ekspresi dari wajah asing. Dalam studi perbedaan lain, ditemukan perbedaan persepsi pada ekspresi emosi. Dimensi budaya yang luas dapat menjadi sebuah penjelasan. Misalnya, Matsumoto (1992 dalam Berry et.al., 2002), menggunakan wajah Jepang dan Amerika dengan sampel dari Jepang dan USA, ditemukan bahwa tingkat intensitas pada emosi negatif pada sampel Jepang lebih rendah daripada Amerika. Ia menunjukkan bahwa di Jepang, sebagai negara kolektivis, penunjukan emosi negative dapat mengecilkan hati. Oleh karena itu, kemampuan pengenalan mereka adalah lebih rendah, karena emosi negatif akan mengganggu hubungan sosial. Di USA, sebuah Negara individualis, ekspresi yang lebih terbuka lebih ditoleransi dan mengarahkan pada pengenalan yang baik. Ekspresi vokal/ Intonasi Penelitian tentang pengakuan lintas budaya intonasi emosional dalam suara telah menunjukkan hasil yang sama dengan yang diperoleh untuk ekspresi wajah. Albas, McCluskey, dan Albas (1976) contoh pidato dikumpulkan dimaksudkan untuk mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan, cinta, dan kemarahan dari Inggris dan Cree berbahasa responden Kanada. Ekspresi ini dibuat semantik dimengerti melalui suatu penyaringan prosedur elektronik yang meninggalkan intonasi emosional utuh. Responden dari kedua kelompok bahasa mengakui emosi yang dimaksudkan oleh pembicara jauh melampaui tingkat kebetulan, tetapi kinerja lebih baik dalam bahasa sendiri daripada dalam bahasa lain. Dalam studi lain McCluskey, Albas, Niemi, Cuevas, dan Ferrer (1975) membuat perbandingan antara Meksiko dan Kanada (anak/enam hingga sebelas tahun). Dengan prosedur yang sama mereka menemukan bahwa anak-anak Meksiko tidak lebih baik dari responden Kanada juga pada identifikasi ekspresi bahasa Inggris Kanada, sebuah temuan yang sementara dianggap berasal dari kepentingan yang lebih besar dari intonasi dalam berbicara Meksiko. Van Bezooijen, Otto dan Heenan (1983) mencoba menjelaskan mengapa ekspresi vokal emosi tertentu nampaknya dapat diakui lebih mudah daripada orang
5

lain. Mereka membuat perbandingan antara responden Belanda, Taiwan, dan Jepang, dengan menggunakan kalimat singkat tunggal di Belanda yang telah diungkapkan oleh pembicara yang berbeda dalam sembilan nada emosional yang berbeda (yaitu, jijik, terkejut, malu, senang, takut, jijik, sedih, marah , serta nada netral suara). Dengan satu pengecualian semua emosi yang diakui di lebih baik daripada tingkat kesempatan oleh ketiga kelompok, tapi skor dari responden Belanda jauh lebih tinggi, menunjukkan cukup banyak kehilangan informasi karena perbedaan budaya dan / atau linguistik antara tiga sampel. Berdasarkan analisis tingkat kebingungan antara berbagai emosi Van Bezooijen et al. menyarankan bahwa emosi lebih sulit untuk membedakan ketika mereka mencerminkan tingkat lebih mirip aktivasi atau gairah. Tingkat aktivasi ditemukan lebih penting untuk pengakuan dari dimensi evaluasi (yaitu, emosi positif dan negatif). Dalam analisis skala jarak antara, misalnya, emosi pasif rasa malu dan kesedihan dan bahwa antara emosi aktif sukacita dan kemarahan ternyata kecil, sedangkan jarak antara rasa malu dan kemarahan itu jauh lebih besar. Hal ini sejalan dengan literatur umum pada pengakuan ekspresi vokal emosi (misalnya, Scherer, 1981). Display Rules Meskipun telah disebutkan beberapa macam emosi yang bersifat universal, tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan lintas budaya tetap memberi pengaruh dalam manifestasi emosi seseorang. Paul Ekman menemukan fakta menarik bahwa budaya mempengaruhi bagaimana sebuah emosi akan ditampilkan dalam situasi tertentu. Pada penelitiannya di tahun 1973, Ekman melakukan eksperimen pada orang Jepang dan Amerika. Eksperimen dilakukan dengan memutarkan dua buah video, yang mengandung unsur stresful dan film netral (yang tidak mengandung unsur stresful) kemudian diamati ekspresi yang muncul. Masing-masing kelompok dibagi subjek menjadi 2, yaitu kelompok yang menyaksikan film secara individual dan kelompok yang menyaksikan secara bersama-sama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok individual, subjek Jepang maupun Amerika menunjukkan ekspresi yang sama ketika menyaksikan video. Pada video yang mengandung stresful, ekspresi yang muncul adalah takut maupun jijik, sedangkan pada video yang lebih netral kedua kelompok menunjukkan ekspresi kegembiraan yang sama di kedua kelompok budaya tersebut. Kemudian hasil yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok yang menyaksikan film secara bersama-sama. Kelompok Amerika lebih banyak menunjukkan emosi negatif pada video yang mengandung stresful, sedangkan kelompok Jepang lebih banyak menahan emosi negatif tersebut untuk tidak diekspresikan di hadapan banyak orang. Hal ini menunjukkan kesimpulan bahwa ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan dan universal, akan tetap dipengaruhi oleh aturan-aturan pengungkapan yang bersifat kultural. Aturan kultural ini meliputi bagaimana, kapan, dan dimana sebuah ekspresi emosi tersebut ditampilkan. Aturan ini disebut sebagai aturan pengungkapan kulturan (cultural display rules). Pada eksperimen kelompok Amerika dan Jepang diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya Jepang mengajarkan agar menahan ekspresi emosi negatif dihadapan orang lain, sedangkan budaya Amerika lebih bersifat terbuka dalam pengungkapan ekspresi emosi negatif. Komunikasi non-verbal Emosi merupakan fungsi komunikatif dalam interaksi sosial. Menurut Fridlund (1997) ekspresi wajah telah berevolusi dalam sejarah evolusi spesies manusia untuk tujuan ini. Menurut Frijda (1986, hal 60) itu merupakan pertanyaan terbuka apakah ekspresi emosi telah berevolusi filogenetis untuk tujuan komunikasi, mereka mungkin telah terjadi untuk alasan yang sangat berbeda. Namun demikian, eksresi emosional seringkali dapat melayani komunikasi. Ada juga saluran komunikasi lainnya non verbal, beberapa di antaranya akan disebutkan di sini. Untuk gambaran umum dari literatur ini kita merujuk ke Argyle (1988). Pada bagian ini kita sangat tertarik pada pertanyaan sejauh mana saluran komunikasi lainnya menegaskan

kesan kesamaan mendasar lintas budaya yang telah muncul dari studi tentang ekspresi wajah dan vokal. Penelitian mengenai gerak tubuh sebagai suatu bentuk komunikasi disebut kinestetik. Ini adalah bentuk komunikasi non verbal yang lebih familiar dan meliputi bidang-bidang seperti gerak isyarat tubuh, postur tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan mata. Sistem kategori untuk perilaku kinestetik dikembangkan oleh Ekman dan Friesen (1969 dalam Berry et.al., 2002) yang membagi perilaku non verbal menjadi empat tipe, yaitu: 1. Tanda atau isyarat Tindakan non verbal yang dapat diterjemahkan secara langsung ke dalam pesan-pesan verbal tertentu yang memiliki makna khusus. 2. Ilustrator Gerakan tubuh yang memiliki hubungan satu demi satu dengan pesan yang dikomunikasikan secara verbal. Tipe ini menggambarkan apa yang dikatakan dan terkait dengan bahasa. Ilistrator memiliki makna kognitif sendiri yang dekat dengan budaya. 3. Regulator Digunakan untuk menyesuaikan dan mempertahankan aliran komunikasi dalam sebuah percakapan. Gestur ini seperti gerak kepada dan lengan atau postur tubuh yang lebih berperan dalam mendengarkan dan berbicara dalam percakaan antara dua orang atau lebih. 4. Adaptor atau manipulator tubuh Digunakan oleh seseoran ketika dia terlibar dalam sebuah percakapan dengan orang lain, adaptor sering digunakan apabila seseorang sesndirian, gestur yang nampak seperti menggaruk hidung. Gerakan yang dihubungkan dengan kebutuhan tubuh atau hubungan interpersonal. Argyle (1988 dalam Berry et.al., 2002) meyakini bahwa beberapa dari gestur yang umum, seperti mengangkat bahu, yang mungkin berasal dari bawaan dapat menjadi suatu hal yang umum karena mereka mengikuti dari sifat ruang dan fisik.
8

Misalnya gerakan lengan ayo kesini juga dipahami di seluruh dunia. Hal tersebut merupakan hasil budaya yang dipelajari seseorang melalui lingkungan. Penelitian lain yang dilakukan oleh seorang antropolog, Hall (1996 dalam Berry et.al., 2002) menemukan hal yang menrik perhatian dalam perbedaan lintas budaya, yang menuliskan bahwa orang Arab, Eropa Selatan dan Amerika Latin berdiri berdekatan ketika berbicara, dan cenderung saling menyentuh. Sedangkan orang-orang keturunan Eropa utara lebih menjaga jarak fisik ketika berbicara dengan lawan bicaranya. Emotion as Cultural States Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal dan memandang inner feeling yang subjektif merupakan karakteristik utama pada emosi. Jika kita mendefinisikan emosi seperti itu maka peran emosi adalah memberikan informasi tentang kita sendiri. Dalam budaya, emosi mempunyai peran yang berbeda. Peran emosi dalam budaya, misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan mengenai hubungan orang dan lingkungannya yaitu benda-benda atau orang lain. Sebuah analisa etnografi yang dilakukan oleh Lutz (1988 dalam Berry et.al., 2002) menolak gagasan bahwa emosi manusia pada dasarnya sama pada setiap kebudayaan. Lutz melakukan studi analisa pada kehidupan emosional suku Ifaluk yang tinggal di sebuah atoll di Pasifik Selatan. Dia memulai studinya dengan adanya pemikiran yang kontras mengenai asumsi budaya yang ada pada masyarakat. Lutz memfokuskan analisisnya pada dua emosi yang tidak ditemukan di Amerika Serikat yaitu yang dinamakan fago (campuran antara ekspresi belas kasih, cinta, dan kesedihan) dan song (diartikan sebagai marah yang dibenarkan). Seperti kemarahan, song dianggap sebagai ekpresi dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh diri sendiri atau dengan yang lainnya. Tidak seperti kemarahan, song tidak mengandung terlalu banyak ketidaksenangan secara personal, misalnya sesuatu yang disalahkan secara sosial. Ada kata lain yang dapat merujuk pada kemarahan, dalam hal ini kemarahan dibedakan menjadi kemarahan
9

yang benar, kemarahan yang dibenarkan (song), dan kemarahan yang disetujui secara moral. Studi yang dilakukan Lutz mungkin akan menimbulkan pertanyaan apakah studi tersebut dapat diterima dan dimengerti oleh penduduk dari Barat karena sebelumnya terdapat studi etnografi yang menunjukkan konsistensi yang rendah (Kloos, Russel, 1991 dalam Berry et.al., 2002). Terlepas dari asumsi kita mengenai keakuratan gambaran song yang diberikan oleh Lutz, muncul pertanyaan baru yaitu apakah masyarakat Amerika Serikat dan Barat lainnya mengerti mengenai keadaan emosi? Salah satu contoh song terlihat dari ekspresi kemarahan yang ditunjukan oleh seorang pemimpin serikat buruh mengenai gaji buruh yang rendah yang diberikan oleh manajemen, menurutnya hal ini tidak dapat diterima secara sosial dan moral. Studi lainnya dilakukan oleh Harvey, Frank, dan Verdun (2000 dalam Berry et.al., 2002) mengenai perbedaan-perbedaan serupa di Amerika Serikat dari orangorang suku Ifaluk atau di tempat lainnya. Bedford (1994 dalam Berry et.al., 2002) mendeskripsi lima bentuk rasa malu di Cina, Bedford menulis skenario yang berbeda untuk menangkap perbedaan ekspresi dan menentukan skala ekspresi, misalnya merasa tak berdaya, dipermalukan diri sendiri, dan berharap untuk bersembunyi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat yang berasal dari Amerika juga mengalami macam-macam rasa malu yang dibedakan oleh Cina. Dalam studi yang dilakukan Frank, Harvey, dan Verdun ini menyatakan bahwa tidak mencerminkan kemungkinan adanya perbedaan yang penting pada varietas rasa malu ini padakehidupan sehari-hari. Penekanan terhadap konstruksi sosial emosi bukan berarti adanya penolakan terhadap aspek biologis. Menurut Averill (1980 dalam Berry et.al., 2002), teori-teori yang tidak sesuai hanya mengindikasikan pada aspek-aspek yang berbeda dalam fenomena yang sama. Menurut Averill, emosi bukan biologis tetapi konstruksi sosial (peran sosial sementara untuk menjadi peran yang sesuai dengan aturan yang relevan dalam bentuk norma-norma dan harapan mengenai perilaku sosial yang diberikan).

10

Deskripsi arti dan istilah emosi tertentu tidaklah mudah untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain karena emosi tersebut muncul dengan adanya konteks budaya dimana emosi tersebut terjadi. Istilah emosi adalah song, contoh lainnya adalah liget pada suku Ilongots di Filipina yang dikemukakan oleh Rosaldo (1980 dalam Berry et.al., 2002). Liget merupakan bentuk kemarahan yang mencakup kesedihan dan adanya praktek pemenggalan kepala musuh. Terkadang banyak kata yang dapat menjelaskan emosi tetapi tertutup pada sebuah kata dalam bahasa Inggris. Contohnya, beberapa kata dalam bahasa Jawa yang hampir sama artinya dengan emosi malu pada bahasa Inggris (Geertz, 1961 dalam Berry et.al., 2002). Dalam keadaan lainnya terlihat tidak ada kata yang mewakili beberapa emosi yang dibedakan oleh Ekman, misalnya kata kesedihan yang luput di Tahiti (Levy dalam Berry et.al., 2002). Wierzbicka (dalam Berry et.al., 2002) adalah seorang peneliti yang memberikan peran sentral pada bahasa. Hal ini bermula karena kata terjemahan dari suatu bahasa pasti akan terdistorsi oleh sebab itu perlu dibentuknya metabahasa melalui penelitian cross-linguistic. Terdapat kata-kata dalam suatu bahasa yang tidak terdapat pada bahasa lain tetapi juga ada kata-kata yang memiliki makna yang sama pada setiap bahasa. Intinya adalah representasi dari konseptual primitif dan kosa kata universal. Beberapa primitif mengacu pada emosi. Dengan demikian, secara umum universalitas emosi tidak dipertanyakan tetapi mereka harus dikonseptualisasikan dalam tema-tema tertentu yang terkait dengan skenario kognitif yang mendasari konsep emosi kelompok. Emosi universal yang dikemukakan Wierzbicka, membuatnya mengeluarkan beberapa asumsi tentang hal tersebut. Berikut adalah asumsi yang diberikan Wierzbicka. Semua bahasa memiliki kata untuk merasa dan beberapa perasaan dapat menyatakan sebagai sesuatu yang baik dan lainnya menyatakan sebagai sesuatu yang buruk. Semua bahasa memiliki kata yang menghubungkan perasaan dengan pemikiran yang pasti, misalnya dalam pikiran menyatakan terjadi sesuatu yang buruk pada diri saya pikiran tersebut dekat dengan takut. Selain itu, skenario
11

kognitif dari emosi cenderung mengarah ke isu-isu sosial dan moral, serta untuk interaksi interpersonal. Ini menggambarkan bahwa esensi dari emosi terletak dalam pemikiran dan bahasa. Dalam studi arti kata-kata emosi pada bahasa tertentu, Wierzbicka (1998 dalam Berry et.al., 2002) mendeskripsikan secara terperinci kelekatan budaya dan spesifikasi makna. Contohnya adalah arti dari kata Angst (anxiety) di Jerman yang berbeda dari kata Furcht (fear). Bertentangan dengan Furcht yang memiliki objek (takut akan sesuatu), Angst adalah rasa takut tanpa obyek yang ditakuti. Kata-kata tersebut sering digunakan dan merupakan istilah penting dalam bahasa Jerman serta merupakan emosi dasar yang menjadi akar dikatakan kembali ke tulisan-tulisan para teolog abad keenam belas, Martin Luther atau seperti banyak orang sezamannya yang berjuang dengan ketidakpastian hidup dan kehidupan setelah kematian. Tidak semua orang yakin bahwa penjelasan budaya sebagaimana membenarkan kesimpulan bahwa Angst di Jerman adalah ciptaan budaya berbeda yang juga penting sebagai emosi dasar dalam masyarakat lain. Ini belum ditunjukkan dalam cara yang sistematis dengan membandingkan negara-negara Jerman dengan perasaan orang-orang dari kelompok bahasa lainnya. Isu utama telah diungkapkan oleh Frijda, Markam, Sato, dan Wiers (1995 dalam Berry et.al., 2002) adalah sebagai berikut: "Kita dapat berasumsi bahwa terdapat kata (mengenai emosi) yang mencerminkan cara hal-hal tersebut terlihat atau seseorang dapat berasumsi bahwa terdapat hal-hal (emosi) yang diberikan nama dan dengan demikian memiliki katakata ditugaskan kepada mereka. Ekman menggunakan cross-culture untuk membuktikan perbedaan antara emosi dasar diyakini berakar pada suatu negara tertentu secara internal. dalam Berry et.al., 2002 dijelaskan bahwa Lutz (1988) dan Wierzbicka (1999) melihat esensi dari emosi manusia adalah tidak memiliki karakteristik yang melekat pada organisme manusia namun dalam proses konstruksi sosial budaya, bahasa, dan kognisi. Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, ekspresi emosi pada seseorang diekspresikan dengan cara yang sama secara universal. Kenyataan ini mungkin akan
12

sulit diterima dan dipercaya oleh beberapa orang karena menurut mereka budaya sangat mempengaruhi ekspresi emosi seseorang. Emosi yang dirasakan oleh seseorang akan diekspresikan dengan melibatkan aturan-aturan yang telah dipelajari dalam budaya masing-masing. Ekspresi emosi yang direpresentasikan dapat sesuai ataupun tidak dengan emosi yang sebenarnya dirasakan bergantung pada ajaran budaya yang diterima selama ini. Hal ini disebabkan oleh interaksi antar manusia bersifat sosial yang tidak terlepas dengan budaya. Interaksi antar individu membuat individu berperilaku sesuai dengan budaya setempat dan kebanyakan. Dengan demikian, orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda memang dapat mengekpresikan emosinya dengan cara yang berbeda pula sesuai kebiasaan dan ajaran yang didapat dari budaya masing-masing. Pendekatan Komponensial Pendekatan ini adalah saat emosi tidak lagi dianggap sebagai kesatuan entitas tetapi sebagai komponen emosi ganda yang telah banyak diperoleh pada tahun 1990an. Pendekatan ini menekankan bahwa emosi lintas-budaya dapat secara bersamaan dalam beberapa hal dan berbeda dalam hal lain. Hal ini telah dikembangkan dalam konteks tradisi kognitif dalam psikologi (Frijda, 1986 dalam Berry et.al., 2002) untuk melihat emosi sebagai suatu proses dimana beberapa aspek dapat dibedakan. Banyak informasi tentang lintas budaya yang relevan yang dapat ditemukan dalam dua hasil tinjauan oleh Mesquita dan Frijda (1992 dalam Berry et.al., 2002) dan Mesquita,Frijda, dan Scherer (1997 dalam Berry et.al., 2002). Komponen tersebut adalah antecedent event (kondisi atau situasi yang menimbulkan emosi), appraisal (evaluasi situasi mengenai kesejahteraan masyarakat atau mengenai tujuan kepuasan), subjective feeling, physiological reaction pattern (Levenson et al, 1992 dalam Berry et.al., 2002.), action readiness (impuls perilaku bagi beberapa jenis tindakan), behavior expression (misalnya ekspresi wajah), dan regulation (hambatan dan kontrol atas ekspresi).

13

Antecedent of Emotion Beberapa penelitian membahas tentang anteseden emosi yaitu hal-hal yang memicu atau terjadi sebelum adanya emosi. Anteseden emosi dapat bervariasi dari kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Penelitian-penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan. Apakah dengan peristiwa yang sama dapat menghasilkan emosi yang sama, pada frekuensi peristiwa yang serupa dan pada kebudayaan yang berbeda-beda. Penelitian mengenai antesedent emosi dilakukan oleh Boucher. Penelitian ini (Brandt & Boucher, 1985 dalam Berry et.al., 2002) sebagian besar didasarkan pada sampel dari responden yang berasal dari Koera, Samoa, dan Amerika Serikat. Responden diminta untuk menuliskan cerita tentang peristiwa yang menyebabkan salah satu dari enam emosi yaitu marah, jijik, takut, kebahagiaan, kesedihan, atau terkejut. Kesepakatan emosi ditemukan pada cerita antar budaya dan dalam satu kebudayaan. Dalam hal harapan, responden lebih baik mengekspresikannya pada kebudayaan mereka sendiri. Hasil penelitian menyatakan bahwa antecedents events pada emosi hampir serupa pada orang-orang yang berbeda kebudayaan. Kesamaan juga ditemukan pada pola menangis dan anteseden menangis pada mereka (Becht, Poortinga, & Vingerhoets, 2001 dalam Berry et.al., 2002). Perbedaan lintas budaya dalam anteseden ini berhubungan dengan perbedaan interpretasi situasi dan keyakinan budaya secara spesifik. Interpretasi yang sangat spesifik dapat menyebabkan respon emosi yang berbeda (Mesquita et. al, 1997 dalam Berry et.al., 2002). Interpretasi situasi yang berbeda dan keyakinan budaya yang berbeda secara sangat spesifik dapat melakukan evaluasi situasi dengan cara yang berbeda serta respon emosi yang juga berbeda. Appraisal Kecepatan appraisal pada setiap orang akan berbeda saat dihadapkan pada suatu situasi, ada yang cepat dan otomatis menilai dan ada juga yang membutuhkan
14

waktu lebih untuk memahaminya. Hal ini menunjukkan elisitas emosi dalam memahami situasi yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (Frijda, 1993 dalam Berry et.al., 2002). Emosi seperti bahagia dan takut memiliki pola karakteristik yang berbeda pada dimensi appraisal ini. Dalam sebuah penelitian yang diprakarsai oleh Scherer (Scherer et.al., 1988 dalam Berry et.al., 2002), responden ditanya mengenai salah satu dari empat emosi (suka cita, kesedihan, marah,dan takut). Penelitian ini dilakukan dalam bentuk kuisioner terbuka tersebut dapat terlihat perasaan emosional, appraisal, dan reaksi para responden. Ada perbedaan yang ditemukan pada beberapa negara di Eropa. Perbedaan utama yang terjadi antara Amerika serikat, Eropa, dan Jepang adalah dalam kepentingan relatif dari suatu situasi tertentu. Dalam hal tersebut, responden Amerika Serikat memiliki nilai yang lebih tinggi dan responden Jepang memiliki reaktivitas yang rendah serta emosional daripada responden Eropa. Intensitas ketakutan cukup tinggi pada responden Jepang dan intensitas kegembiraan serta kemarahan lebih tinggi pada responden Amerika Serikat. Penelitian berikutnya dilakukan pada 37 negara, responden diminta untuk berpikir kembali tentang pengalaman emosional (sukacita, marah, takut, sedih, jijik, malu, dan rasa bersalah) kemudian diberi pertanyaan mengenai apakah mereka mengharapkan peristiwa tersebut terjadi, apakah itu menyenangkan, apakah itu menghambat tujuan mereka. Scherer (1997a, 1997b dalam Berry et.al., 2002) menemukan bahwa berbagai emosi menunjukkan perbedaan kuat dalam pola penilaian. Perbedaan besar antara negara juga ditemukan, ada yang menunjukkan bahwa beberapa dimensi penilaian lebih menonjol di negara tertentu. Perbedaan terbesar yang ditemukan untuk aitem yang menanyakan bagaimana peristiwa tersebut terjadi, jika disebabkan oleh orang lain maka akan dianggap tidak pantas atau tidak bermoral. Perbedaan terbesar berikutnya ditemukan untuk aitem menanyakan ketidakadilan suatu peristiwa. Penilaian peristiwa oleh responden di Afrika cenderung tinggi pada imoralitas dan ketidakadilan sedangkan di Amerika Latin cenderung rendah pada imoralitas.
15

Interpretasi yang berbeda pada tiap negara ini sedikit terhambat oleh kenyataan bahwa peristiwa emosional yang dipilih responden adalah dari pengalaman mereka sendiri, hal ini mungkin menyebabkan perbedaan sistematis pada setiap aspek kecuali emosi yang ditargetkan. Walaupun begitu, kita setuju dengan Scherer bahwa data yang mendukung universalitas dan spesifisitas budaya dalam proses emosi. Mesquita et al. (1997 dalam Berry et.al., 2002) menunjukkan bahwa kesamaan dalam dimensi penilaian yang berada pada tingkat tinggi dapat mengaburkan masalah yang lebih spesifik seperti perhatian untuk kehormatan yang telah menjadi lazim di negaranegara Mediterania (Abu-Lughod, 1986 dalam Berry et.al., 2002). Other Components Dalam Berry et.al., 2002 dijelaskan bahwa penelitian yang dilakukan pada 37 negara, responden juga ditanya mengenai komponen lain dari pengalaman emosional, termasuk ekspresi motor, gejala fisiologis, dan perasaan subjektif (Scherer & Wallbott, 1994 dalam Berry et.al., 2002). Berdasarkan hasil dari responden dapat dilakukan estimasi terhadap ukuran (1) perbedaan antara emosi, (2) perbedaan antara negara-negara, dan (3) interaksi antara negara-negara dan emosi. Perbedaan besar yang ditemukan antara emosi. Perbedaan antara negara-negara itu kurang besar, dan interaksi antara negara dan emosi masih kecil. Temuan terakhir dapat diartikan sebagai indikasi konsistensi pola perbedaan antara negara-negara dan antara emosi. Scherer dan Wallbott (1994, dalam Berry et.al., 2002) menginterpretasikan hasil mereka sebagai pendukung teori-teori yang mendalilkan perbedaan universal pada pola emosi dan perbedaan budaya yang berperan penting dalam elisitasi emosi, regulasi, representasi simbolis, dan peranan sosial. Pendekatan komponensial emosi dapat dilihat sebagai upaya untuk membebaskan emosi dari kendala fokus pada suatu emosi dasar dengan menggunakan perspektif yang lebih luas dengan penekanan pengaruh budaya yang konkret dalam kehidupan emosional (Mesquita et al., 1997). Secara konseptual tercermin diferensiasi dari berbagai komponen. Contohnya adalah berbagi sosial
16

emosi, komunikasi dengan orang lain tentang peristiwa emosional. Ada pola yang berbeda dalam prevalensi dan preferensi komunikasi dengan orang lain dengan membedakan kategori sosial orang lain tersebut seperti orang tua, mitra, teman, atau yang lainnya (Rime et.al., 1992 dalam Berry et.al., 2002). Dalam studi lintas budaya mengenai struktur kognitif emosi, membedakan emosi positif dibandingkan negatif, cenderung muncul. Pada tingkat yang lebih rendah dari inklusivitas empat kategori emosi dasar telah diidentifikasi yaitu marah, takut, sedih, dan positif emosi (Shaver et al., 1992 dalam Berry et.al., 2002). Metodologis memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan emosi tunggal kepada responden tetapi membutuhkan deskripsi yang lebih rumit dengan informasi kontekstual yang lebih terperinci, termasuk aspek sekuensial suatu peristiwa emosi. Skenario seperti ini disebut sebagai "emotion scripts" (Fischer, 1991 dalam Berry et.al., 2002). Pada emotion scripts ini dapat dilihat representasi emosi yang berbeda secara halus. Walaupun pada kenyataannya, kita bahkan tidak memiliki ide tentang sejauh mana terdapat perbedaan lintas-budaya yang melampaui generalisasi kategori situasi budaya spesifik. Mesquita et al. (1997 dalam Berry et.al., 2002) menyatakan bahwa substansial perbedaan lintas-budaya telah ditemukan untuk berbagai komponen. Namun, dalam kajian mereka juga ada bukti banyak kesamaan.

17

DAFTAR PUSTAKA Berry. J. W., dkk. (2002). Cross & Culture Psychology. Second Edition. New York: Cambridge University Press.

18

You might also like