You are on page 1of 46

BAB I PENDAHULUAN

Melena adalah feses yang berwarna hitam dan berbau busuk karena bercampur produk darah dari saluran cerna. Adanya melena menunjukkan bahwa darah telah berada di saluran cerna dalam waktu setidaknya 14 jam dan biasanya terjadi pada saluran cerna bagian atas, walaupun terkadang melena dapat pula timbul akibat perdarahan dari colon. 1 Perdarahan saluran gastrointestinal merupakan keadaan emergensi yang membutuhkan penanganan segera. Insiden perdarahan gastrointestinal mencapai lebih kurang 100 kasus dalam 100.000 populasi per tahun, umumnya berasal dari saluran cerna bagian atas. Perdarahan saluran cerna bagian atas muncul 4 kali lebih sering dibandingkan perdarahan pada bagian bawah, serta merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas untuk kasus gangguan pada saluran cerna. Mortalitas akibat perdarahan saluran cerna bagian atas ditemukan sebanyak 6-10% dari seluruh kasus. 1 Perdarahan saluran gastrointestinal dapat muncul dalam lima macam manifestasi, yaitu hematemesis, melena, hematochezia, occult GI bleeding yang bahkan dapat terdeteksi walaupun tidak ditemukan perdarahan pada pemeriksaan feses, serta tanda-tanda anemia seperti syncope dan dyspnea. 1 Berikut di bawah ini dilaporkan suatu kasus pada pasien perempuan berusia 46 tahun yang datang dengan BAB hitam yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin di bangsal penyakit dalam wanita. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MELENA 2.1.1. Definisi Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau yang khas, lengket dan menunjukkan perdarahan saluran pencernaan atas serta dicernanya darah pada usus halus. Melena juga diartikan sebagai pengeluaran kotoran yang hitam seperti tar karena adanya darah yang berubah bentuknya. 1,2 Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Sumber perdarahannya biasanya juga berasal dari saluran cerna atas. 2 2.1.2. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan2,3 Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan (alimentar) yaitu tubamuskular panjang yang merentang dari mulut sampai anus dan organorgan aksesoris seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pankreas. Menurut Brunner and Suddarth saluran gastrointestinal adalah jalur (panjang totalnya 23 sampai 26 kaki) yang berjalan dari mulut melalui esofagus. Lambung dan usus sampai anus. Organ saluran cerna (gastrointestinal) adalah membentuk suatu lumen kontinyu yang berawal di mulut dan berakhir di anus, fungsi utama saluran cerna adalah mencerna

makanan dan menyerap cairan dan zat gizi yang diperlukan untuk energi dan sebagai bahan dasar (building bloks) untuk pertumbuhan 2.1.2.1. Rongga oral Rongga oral adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ aksesoris yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. a. Bibir tersusun dari otot rangka (orbikularis mulut) dan jaringan ikat organ ini berfungsi untuk menerima makanan dan produksi wicara. b. Pipi Mengandung otot buksinator mastikasi lapisan epitelial pipi merupakan subject abrasi dan sel secara konstan terlepas untuk kemudian diganti dengan sel-sel baru yang membelah dengan cepat. c. Lidah Diletakkan pada dasar mulut oleh frenulum lingua, lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan saat dikunyah atau ditelan, untuk pengecapan, dan dalam produksi wicara. d. Kelenjar saliva atau ludah Mensekresi saliva ke dalam rongga oral, saliva terdiri dari cairan encer yang mengandung enzim dan cairan kental yang mengandung mukus, fungsi saliva adalah melarutkan makanan secara kimia, melembabkan dan melumasi makanan, sebagai zat anti bakteri dan antibody yang membantu memelihara kesehatan oral serta mencegah kerusakan gigi.

e. Gigi Tersusun dalam kantong-kantong (alveoli) pada mandibula dan maksila. Manusia memiliki 2 susunan gigi : gigi primer (desiduous, gigi susu) yang totalnya 20 gigi, dan gigi sekunder (permanen) yang total keseluruhan 32 gigi, yang digunakan untuk pengunyahan (mastikasi) 2.1.2.2. Faring Faring merupakan penghubung rongga mulut dengan esofagus, aksi penelanan meliputi tiga fase (volunter, faring, esofagus) 2.1.2.3. Esofagus Esofagus menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltik, mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus untuk melumasi dan melindungi esofagus, esofagus tidak memproduksi enzim pencernaan. 2.1.2.4. Lambung Lambung adalah organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri rongga abdomen di bawah diafragma. Semua bagian kecuali bagian kecil terletak pada bagian sisi garis tengah. Regia-regia lambung terdiri dari bagian-bagian jantung, fundus, badan organ dan bagian pilorus. a. Bagian jantung lambung adalah area di sekitar pertemuan esofagus dan lambung (pertemuan gastroesofagus). b. Fundus adalah bagian yang menonjol ke sisi kiri atas mulut esofagus.

c. Badan lambung adalah bagian yang terdilatasi di bawah fundus yang membentuk dua pertiga bagian lambung. d. Bagian pilorus lambung menyempit di ujung bawah lambung dan membuka ke duodenum. Fungsi lambung terdiri dari penyimpanan makanan, produksi kismus, digesti protein, produksi mukus, produksi faktor intrinsik (glikoprotein, vitamin B12 dan absorpsi. 2.1.2.5. Usus halus Keseluruhan usus halus adalah tuba terlilit yang merentang dari sfingter pilorus sampai ke katup ileosekal, tempatnya menyatu dengan usus besar. Diameter usus halus kurang lebih 2,5 cm dan panjangnya 3 sampai 5 meter saat bekerja. Panjang 7 meter pada mayat dicapai saat lapisan muskularis eksterna berelaksasi. Divisi usus halus ada 3 yaitu: duodenum yaitu bagian yang terpendek (25 cm sampai 30 cm), yeyenum adalah bagian yang selanjutnya, panjangnya kurang lebih 1 meter sampai 1,5 meter, ileum (2 m sampai 2,5 m) merentang sampai menyatu dengan usus besar. Dan gerakan usus ada 2 jenis yaitu segmentasi irama adalah gerakan pencampuran utama, segmentasi mencampur kismus dengan cairan pencernaan dan memaparkannya ke permukaan absorptif. Gerakan peristaltis adalah kontraksi ritmik otot polos longitudinal dan sirkular. Kontraksi ini adalah daya dorong utama yang menggerakkan kimus ke arah bawah di sepanjang saluran.

2.1.2.6.Usus besar Begitu materi dalam saluran pencernaan masuk ke usus besar, sebagian besar nutrien telah dicerna dan diambil dan hanya menyisakan zat-zat yang tidak tercerna. Makanan biasa memerlukan waktu 2 sampai 5 hari untuk menempuh ujung saluran pencernaan yang satu ke ujung lainnya. Bagian-bagian usus besar antara lain sekum, apendik, dan kolon terdiri dari asenden, tranversum, desenden dan sigmoid. Usus besar berfungsi sebagai tempat absorbsi air, natrium, dan mineral lain, sebagai tempat tinggal bakteri colli dan tempat feses. 2.1.2.7.Rectum Rectum terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigis. Fungsi rektum adalah sebagai jalannya feses dari kolon menuju anus. 2.1.2.8. Anus Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar. Fungsi anus adalah mengeluarkan feses. Dinding anus di perkuat oleh 3 sfingter antara lain sfingter ani internus, levator ani, dan sfingter ani eksternus. Dalam membantu terlaksananya pencernaan makanan secara kimiawi dibutuhkan organ-organ aksesoris yang meliputi hati, kantong empedu dan pankreas.

2.1.2.9. Hati Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh, permukaan atas berbentuk cembung, dan terletak di bawah diafragma, terdapat lobus kanan dan kiri yang berfungsi memecah steroid, membuat empedu, membantu katabolisme karbohidrat, protein, lemak dan vitamin, memecah obat-obatan tertentu 2.1.2.10 Kantong empedu Getah empedu adalah cairan yang dihasilkan oleh hati bersifat alkali untuk mencerna lemak 80 % getah empedu adalah pigmen zat warna antara lain strekobillin yang merupakan warna feses, berfungsi sebagai diabsorbsi kembali oleh darah dan memberi warna pada urin (urobilin) 2.1.2.11. Pankreas Pankreas mempunyai dua kelenjar utama yaitu endokrin yang mengeluarkan insulin dan eksokrin yang meneruskan salurannya ke saluran pankreatik interna lalu ke saluran pankreatik eksterna yaitu duktus wirsung dan santorini Fisiologi yang akan dibahas yaitu fisiologi saluran cerna terhadap makanan yang masuk melalui mulut sampai masuk ke gaster. Faring dan Oesofagus memiliki fungsi yang utama yaitu untuk mentransfer makanan dari mulut masuk ke lambung. Stimulus yang dihasilkan oleh makanan yang masuk ke esofagus berupa rangsangan mekanik. Menelan menghasilkan rangsangan mekanis terhadap faring dan masuknya bolus ke esofagus memberikan efek distensi terhadap esofagus. Kemudian juga

terjadi reflex berupa relaksasi dari proximal dari esofagus dan pada bagian distal terjadi kontraksi refleks ini juga disebut peristaltik yang berfungsi untuk mendorong makanan masuk ke lambung. Stimulasi dari esofagus bagian proxismal mengakibatkan lower esofagus sfingter relaksasi dan membuka sehingga makanan masuk ke lambung. Lambung mempunyai 2 mekanisme untuk mencerna makanan yaitu fungsi mekanik dengan cara distensi dan kotraksi dari otot polos dari lambung dan dengan cara kimiawi dengan cara mengeluarkan asam lambung untuk mencerna protein di lumen. Perlu diketahui bahwa asam lambung yang dikeluarkan mempunyai pH yang sangat rendah sehingga bakteri yang tidak tahan asam akan mati sesaat setelah masuk ke lambung. Mukosa lambung menjaga dirinya dari efek buruk dari asam lambung dengan adanya prostaglandin

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pencernaan2,3

2.1.3. Etiologi 4 2.1.3.1 Kelainan di esophagus a. Varises esophagus Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan massif. Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung. b. Karsinoma esophagus Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis, hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak massif. c. Sindroma Mallory Weiss Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada akhirnya baru timbul perdarahan. misalnya pada peminum alcohol atau pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah-muntah hebat dan terus-menerus. d. Esofagitis dan tukak esophagus Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermitten atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemesis. Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingka dengan tukak lambung dan duodenum.

10

2.1.3.2. Kelainan di lambung a. Gastritis erisova hemoragika Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati. b. Tukak lambung Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan melena lebih dominan dari hematemesis. 2.1.3.3. Kelainan darah Polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,

trombositopenia purpura. 2.1.4. Patofisiologi Pada melena dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi berwarna merah gelap bahkan hitam. Perubahan warna disebabkan oleh HCL lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Kadang-kadang pada perdarahan saluran cerna bagian bawah dari usus halus atau kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang / gelap. Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan pada saluran cerna sekitar 6 -8 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50 -100cc baru dijumpai keadaan melena. Feses tetap berwarna hitam seperti tar selama

11

48 72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang berwarna hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat pada feses selama 7 10 hari setelah episode perdarahan tunggal. 2.1.5. Manifestasi Klinis Gejala yang tampak yaitu :4,5 a. Muntah darah (hematemesis) b. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena) c. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia) d. Denyut nadi yang cepat, TD rendah e. Akral teraba dingin dan basah f. Nyeri perut g. Nafsu makan menurun h.Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing. 2.1.6. Komplikasi4,5 2.1.6.1.Syok hipovolemik Disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel. Pada klien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-28 jam. 4,5

12

2.1.6.2. Gagal Ginjal Akut Terjadi sebagai akibat dari syock yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syock, diobati dengan menggantikan volume intravaskuler. 2.1.6.3 Penurunan kesadaran Terjadi penurunan transportasi O2 ke otak, sehingga terjadi penurunan kesadaran. 2.1.6.4. Ensefalopati Terjadi akibat kersakan fungsi hati di dalam menyaring toksin di dalam darah. Racun-racun tidak dibuang karena fungsi hati terganggu. Dan suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati. 2.1.7. Pemeriksaan Penunjang6

2.1.7.1. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan esofagogram untuk radiologic daerah dilakukan esophagus dengan dan pemeriksaan dengan

diteruskan

pemeriksaan double contrast pada lambung dan duodenum. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi terutama pada daerah 1/3 distal distal esophagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada atau tidaknya varises.

13

2.1.7.2. Pemeriksaan endoskopik Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendokop, maka pemeriksaan secara endoskopik menjadi sangat penting untuk

menentukan dengan tepat tempat asal dan sumber perdarahan. keuntungan lain dari dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan infuse untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sendiri mungkin setelah hematemesis berhenti. 2.1.8. Penatalaksanaan7,8 Setiap penderita dengan perdarahan saluran cerna bagain atas dalam penatalaksanaan hematemesis melena ada 2 tindakan yaitu tindakan umum dan khusus. Tindakan umum bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien, apapun penyebab perdarahannya. Tindakan khusus,

biasanya baru dikerjakan setelah diagnosis penyebab perdarahan sudah dapat dipastikan. 2.1.8.1.Tindakan Umum a. Infus dan transfusi darah Tindakan pertama yang dilakukan adalah resusitasi, untuk

memulihkan keadaan penderita akibat kehilangan cairan atau syok. Yaitu cairan infus dekstrose 5% atau Ringer laktat atau NACL O,9% dan transfusi Whole Blood atau Packed Red Cell

14

b. Psikoterapi Sebagai akibat perdarahan yang banyak, dapat membuat penderita menjadi gelisah. Maka diperlukan psikoterapi. c. Istirahat mutlak Istirahat mutlak sangat dianjurkan, sekurang kurangnya selama 3 hari setelah perdarahan berhenti d. Diet Dianjurkan puasa jika perdarahan belum berhenti. Dan penderita mendapat nutrisi secara parenteral total sampai perdarahan berhenti. Jika perdarahan berhenti, diet biasa dimulai dengan diet cair HI/LI. Selanjutnya secara bertahap diet beralih ke makanan padat e. Pemasangan Nasogastric Tube, kemudian dilakukan lavage Lambung dengan air es yang dimasukkan, di tunggu 5 menit, dan dikeluarkan.Ini dilakukan berulang-ulang sampai cairan lambung jemih. Tindakan ini biasa perdarahan. f. Medikamentosa Antasida cair, untuk menetralkan asam lambung. Injeksi Simetidin atau injeksi Ranitidine, yaitu antagonis reseptor H2 untuk mengurangi sekresi asam lambung. Injeksi Traneksamic acid, jika ada peningkatan aktifitas fibrinolisin. Injeksi Vitamin K, jika ada tanda-tanda Sirosis hati. Sterilisasi usus dengan Laktulosa oral serta Clisma tinggi, jika ada tanda-tanda sirosis hati, ditambahkan Neomycin atau Kanamycin. diulang 1-2 jam kemudian jika masih ada

15

2.1.8.2. Tindakan Khusus Tindakan khusus ini ditujukan pada penyebab perdarahan yang dapat dibagi atas dua penyebab, yaitu karena pecahnya varises esofagus dan bukan karena varises. a. Pengobatan perdarahan non varises : 1. Injeksi Simetidin 200mg/8jam atau injeksi Ranitidin 50mg/8jam. Jika perdarahan sudah berhenti dapat diberikan per oral. 2. Antasida, dapat diberikan bila perdarahan sudah berhenti. 3. Selain obat-obat di atas, untuk mengurangi rasa sakit atau pedih dapat diberikan obat golongan anti kolinergik. Bila tata cara tersebut setelah 72 jam pengobatan konservatif tidak berhasil, dan perdarahan masih tetap berlangsung, maka ini indikasi untuk dilakukan pembedahan

2.2.

DIABETES MELLITUS

2.2.1. Definisi Diabetes melitus adalah sekumpulan penyakit metabolik yang dtandai dengan adanya hiperglikemik atau peningkatan kadar glukosa darah melebihi dari kadar glukosa darah normal, sebagai akibat dari defisiensi hormon insulin, gangguan kerja insulin, ataupun kombinasi dari keduanya. Menurut WHO, ada empat klasifikasi klinis untuk gangguan toleransi glukosa, yaitu DM tipe 1 & 2, diabetes gestasional, dan tipe khusus lain. 9

16

Diabetes tipe II: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM]), terjadi akibat

penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin 9 2.2.2. Etiologi Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempuyai pola familiar yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anaknya adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. diabetes tipe 2 ditandai dengan adanya kelainan sekresi insulindan gangguan kerja insulin. Akan tetapi, pada DM tipe 2 ini hanya terjadi defisiensi insulin relatif, tidak absolut seperti pada DM tipe 1.Gangguan kerja insulin dapat berupa berkurangnya jumlah reseptor hormon insulin pada permukaan membran sel. 9,10 Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah: 10 1) Usia (meningkat pada usia di atas 65 tahun) 2) Obesitas 3) Riwayat keluarga 4) Kelompok etnik

17

2.2.3. Patofisiologi Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien DM tipe 2, terdapat kelainan pada pengikatan reseptor dengan insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah empat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi

penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat megganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia.11 DM tipe 2 ini seringkali dikaitkan dengan faktor obesitas. Berdasarkan penelitian, pada orang yang obesitas dengan jaringan lemak yang bayak dan luas memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit dari orang yang tidak obesitas. Hal ini menyebabkan terhambatnya efek insulin di perifer meskipun sekresi insulin sudah cukup. Akibatnya, transpor glukosa ke dalam sel menurun sementara kadar glukosa dalam darah akan meningkat di atas kadar glukosa normal. 11

18

2.2.4. Tanda dan Gejala Diabetes melitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh karena terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi naik tidak terkendali. Kegemukan dan riwayat keluarga menderita kencing manis diduga merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ini. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta yang terdapat dalam pankreas. Pada keadaan normal, kadar insulin dalam darah akan berfluktuasi tergantung kadar gula dalam darah. Kadar insulin akan meningkat sesaat setelah makan dan akan menurun begitu kita tidak memakan sesuatu. Fungsi utama insulin adalah mendistribusikan glukosa yang terdapat dalam darah ke seluruh tubuh guna di metabolisme untuk menghasilkan energi. Bila kadar gula atau glukosa yang ada melebihi kebutuhan maka kelebihan itu akan disimpan dalam hati. Simpanan glukosa ini akan dilepaskan jika diperlukan misalnya saat tubuh kita kelaparan. Saat seseorang menderita diabetes melitus tipe 2 maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu, sel beta yang terdapat dalam pankreas produksi insulinya tidak mencukupi atau produksinya cukup namun tubuh resisten terhadap insulin. Kedua keadaan ini akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Untungnya tubuh mempunyai mekanisme yang sangat bagus untuk memberitahukan kita

19

bila terjadi suatu kelainan. Sangatlah penting untuk mengetahui gejala diabetes melitus tipe 2 secara dini sebab semakin dini pengobatan dilakukan maka akan semakin bagus hasilnya dan semakin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi. Berikut adalah beberapa gejala diabetes melitus tipe 2 yang patut kita waspadai. Kelelahan yang luar biasa merupakan gejala yang paling awal dirasakan oleh penderita diabetes melitus tipe 2. Pasien akan merasakan tubuhnya lemas walaupun tidak melakukan aktifitas yang tidak terlalu berat. Jadi, bila anda selalu merasa lelah dan mengantuk meskipun sebelumnya anda tidak begadang, ada baiknya anda segera menemui dokter. 11 Penurunan berat badan secara drastis. Jika anda memakan makanan yang berlebihan maka tubuh anda akan semakin gemuk. Kelebihan lemak dalam tubuh akan menyebabkan resistensi tubuh terhadap insulin meningkat. Pada orang yang telah menderita diabetes, walaupun ia makan makanan secara berlebihan tubuhnya tidak menjadi gemuk dan malah mengurus hal ini disebabkan karena otot tidak mendapatkan cukup energi untuk tumbuh. 11 Gangguan penglihatan. Kadar gula yang tinggi dalam darah akan menarik cairan dalam sel keluar, hal ini akan menyebabkan sel menjadi keriput. Keadaan ini juga terjadi pada lensa mata, sehingga lensa menjadi rusak dan penderita akan mengalami gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan ini akan membaik bila diabetes melitus berhasil ditangani

20

dengan baik. Bila tidak tertangani, gangguan penglihatan ini akan dapat memburuk dan menyebabkan kebutaan. 11 Sering terinfeksi dan bila luka sulit sekali sembuh. Keadaan ini bisa terjadi karena kuman tumbuh subur akibat dari tingginya kadar gula dalam darah. Selain itu, jamur juga sangat menikmati tumbuh pada darah yang tinggi kadar glukosanya. 11 Keluhan penderita DM tipe 2 dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 11 Keluhan klasik: poliuria, polidipsi, berat badan menurun, lemah badan Keluhan lain: mata kabur, gatal, luka sukar sembuh, kesemutan pada kaki, infeksi di kulit, glikosuria, mulut terasa kering. Pada keadaan berat: kesadaran menurun atau luka pada kaki

2.2.5. Komplikasi12 2.2.5.1. Komplikasi akut 1) Hipoglikemia Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian ini dapat terjadi sebelum makan, khususnya jika makan yang tertunda atau bila pasien lupa makan camilan.

21

Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori : gejala adrenergik dan gejala sistem saraf pusat.

a) Hipoglikemia ringan Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. b) Hipoglikemia Sedang Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, pengllihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan c) Hipoglikemia Berat Fungsi sitem saraf pusat menagalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan kesadaran. 2) Diabetes Ketoasidosis

22

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada diabetes ketoasidosis : (1) Dehidrasi (2) Kehilangan elektrolit (3) Asidosis Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali, kedua faktor tersebut akan mengakibatkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa dalam tubuh, ginjal akan mensekresikan glukosa bersamasama air dan elektrolit (natriun dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. 3) Syndrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK) Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel keruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi,

23

maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas. 2.2.5.2. Komplikasi Kronik Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lajim digunakan adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis. 1) Komplikasi Makrovaskuler Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes. Perubahan aterosklerotik ini serupa degan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi ateerosklerotik. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA (Transiennt Ischemic Attack). Selain itu ateerosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer.

24

2) Komplikasi Mikrovaskeler a) Retinopati Diabetik Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler. b) Nefropati Diabetik Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal ajkan mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati c) Neuropati Diabetikum Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah : (1) Polineuropati Sensorik Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada

25

malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. (2) Neuropati Otonom (Mononeuropati) Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari neuropati otonom antara lain : (a) Kardiovaskuler Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah frekuensi denyut jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark miokard tanpa nyeri atau silent infark. (b) Pencernaan Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas, seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah. Konstipasi atau diare diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyrtai neuropati otonom gastrointestinal. (c) Perkemihan

26

Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih yamg penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi untuk mengalami infeksi saluran kemih. Hal ini terjadi pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol, mengingat keadaan hiperglikemia akan

mengganggu resistensi terhadap infeksi. (d) Kelenjar Adrenal (Hypoglikemik Unawarenass) Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak adanya atau kurangnya gejala hipoglikemia.

Ketidakmampua klien untu mendeteksi tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka kepada resiko untuk mengalami hipogllikemi yang berbahaya. (e) Disfungsi Seksual Disfungsi Seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati otonom pada fungsi seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas 2.2.6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 gr, riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia. 13,14

27

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Cara pemeriksaan TTGO (WHO, 1985) adalah: 13,14 1. Tiga hari sebelum pemerksaan pasien makan seperti biasa. 2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak. 3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam. 4. Perikasa glukosa darah puasa. 5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit. 6. Perikasa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa. 7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperisa tetap istirahat dan tidak merokok. Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang alain atau TTGO yang abnormal. 13,14

28

BAB III LAPORAN KASUS

3.1.

Identitas penderita Nama : Ny.L

Jenis Kelamin : Perempuan Usia Pekerjaan Pendidikan Alamat MRS No.RMK : 46 tahun : IRT : SMP : Rantauan Timur 11 : 27 April 2013 : 1045670

3.2.

Anamnesis Keluhan Utama : Berak Berwarna Hitam Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan BAB yang bercampur darah hitam seperti kopi 2 hari SMRS. Frekuensi BAB 3 kali dalam sehari, konsistensi tinja dikatakan lunak kental, tidak disertai darah berwarna merah segar. BAB warna hitam dikatakan berlangsung terus dan disertai dengan keluhan nyeri ulu hati, yang terasa perih apabila pasien telat makan. Keluhan muntah darah disangkal, mual dan muntah disangkal. Nafsu makan tetap

29

baik, namun pasien merasa lemas. Keluhan pusing dan pandangan berkunang-kunang disangkal. Karena keluhan BAB warna hitam dan lemas-lemas, pasien memeriksakan diri ke puskesmas dan diberi 5 macam obat (pasien lupa namanya). Pasien mengatakan keluhan berkurang namun BAB hitam masih ada. Satu hari SMRS keluhan berulang kembali sehingga pasien memeriksakan diri ke RS. Pasien mengaku mempunyai kebiasaan minum obat nyeri sendi sejak 3 tahun yang lalu dan minum jamu-jamuan pada saat sebelum keluhan datang hingga sekarang. Pasien juga mengeluh akhir-akhir (6 bulan) ini menjadi sering kencing, mudah haus dan sering merasa lapar, pasien sering terbangun malam hari untuk kencing. Pasien merasa mudah lelah dan sering kesemutan dan sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini. Dua tahun SMRS (2011) pasien didagnosis parkinson oleh spesialis syaraf dan sejak itu pasien mengkonsumsi obat parkinson teratur (Levodopa/Levoper). Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat sakit serupa (-), Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (+), Asma (-), penyakit kuning (-) Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat sakit serupa (-), Diabetes Mellitus (+-), Hipertensi (+), Asma (-), penyakit kuning (-)

3.3.

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

30

Kesadaran: Komposmentis GCS: 4-5-6 Tanda Vital. Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi Respirasi Suhu :96 x / menit : 24 x/ menit : 37,6 0C

Kepala/ leher. Mata: Konjungtiva pucat (-), Sklera ikterik (-) Mulut: bibir pucat(-). Lidah kotor (-), mukosa bibir kering (+) Pembesaran KGB leher (-/-) leher, axial (-/-), inguinal (-/-) Peningkatan JVP (-/-) Kulit: pucat (-), ikterik (-) Thoraks Inspeksi : Simetris, retraksi (-) Palpasi : Fremitus vokal simetris (+/+) Perkusi : Sonor (+/+) Auskultasi Jantung Abdomen Inspeksi Auskultasi : tampak cembung, vena kolateral (-) : Bising usus (+) normal : Sn. Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),Whezing (-/-) : S1>S2 tunggal, bising (-), gallops (-)

31

Palpasi

: Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar lien tidak membesar, massa tidak teraba, Nyeri ketok ginjal (-/-)

Perkusi Anus

: Timpani : Pada rectal toucher ditemukan tonus sfingter ani baik, ampula tidak kolaps, nyeri -, massa -, pada sarung tangan terdapat feses hitam +, lendir -, darah -.

Ekstremitas atas: Akral hangat (+/+), ikterik (-/-), parese (-/-), tremor (+/+), edema (-/-) Ekstremitas bawah: Akral hangat (+/+), ikterik (-/-), parese (-/-), tremor (+/+), edema (-/-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV MCH MCHC SGOT SGPT GDS GDP G2PP Ureum Kreatinin ELEKTROLIT Natrium Kalium 27/04 13,1 8,5 4,40 38,7 225 13,4 88,1 29,7 33,8 23 16 252 01/05 02/05 03/05 04/05 05/05 NORMAL 12.00-16.00 g/dl 4.0-10.5 ribu/ul 3.90-5.50 juta/ul 37.0-47.0% 150-450 ribu/ul 11.5-14.7% 80.0-97.0 fl 27.0-32.0pg 32.0-38.0% 0-46 U/I 0-45 U/I < 200 mg/dl 70-105mg/dl <140 mg/dl 10-50 mg/dl 0,7-1,4 mg/dl 135-146 mmol/l 3.4-5.4 mmol/l

154 224 15 0,6 135,9 4.3

209 254

140 207

109 206

114

32

Klorida Bil Tot Bil Direct Bil InD LDH CKMB

97,6 0,91 0,31 0,60 4,72 35

95-100 mmol/l 0.20-1.20mg/dl 0.00-0.40mg/dl 0.20-0.60mg/dl 225-450 U/L 0-24 U/L

3.5. Ringkasan: Pasien Ny.L usia 46 tahun MRS RSD Ulin Banjarmasin dengan keluhan utama BAB hitam seperti kopi sejak 2 hari SMRS, Frekuensi BAB 3 kali dalam sehari, konsistensi lunak kental, tidak disertai darah berwarna merah segar, mual muntah darah disangkal. Kebiasaan minum obat nyeri sendi sejak 3 tahun yang lalu dan minum jamu-jamuan. Enam bulan ini menjadi sering kencing, mudah haus dan sering merasa lapar, pasien sering terbangun malam hari untuk kencing. Pasien merasa mudah lelah dan sering kesemutan. didagnosis parkinson sejak 2011. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang TD 160/100 mmHg Nadi 96x/menit , RR 24 x/menit T=37,6 0C . Nyeri tekan

epigastrium (+), rectal toucher pada sarung tangan terdapat feses hitam +, tremor pada ekstremitas atas. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 13,1 gr/dl, GDS 252 mg/dl, LDH 472 U/L, CKMB 35 U/L.

3.6. Daftar masalah a. Melena e.c. suspek gastritis erosif dd ruptur varises esofagus b. Diabetes Mellitus tipe 2

33

3.7.Pengkajian: a. Melena e.c. suspek gastritis erosif dd ruptur varises esofagus Atas dasar: anamnesis BAB hitam seperti kopi sejak 2 hari SMRS, Frekuensi BAB 3 kali dalam sehari, konsistensi lunak kental, tidak disertai darah berwarna merah segar, kebiasaan minum obat nyeri sendi sejak 3 tahun yang lalu dan minum jamu-jamuan. Pasien memiliki keluhan nyeri ulu hati yang dikonfirmasi dengan adanya nyeri epigastrium pada palpasi abdomen. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kuning. Pada pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan epigastrium, rectal toucher terdapat BAB hitam. Temuan-temuan klinis tersebut mengarahkan pemikiran akan adanya perdarahan saluran cerna berupa melena yang disebabkan oleh gastritis erosif, atau ruptur varises esofagus. dipikirkan :Melena et causa gastritif erosiv dd ruptur varises esofagus R/diagnosis:

- Pemeriksaan darah perifer lengkap, mencakup kadar hemoglobin, MCV, MCH, MCHC, hitung leukosit, dan trombosit. - Endoskopi saluran cerna atas, untuk memvisualisasikan situs perdarahan. Terutama dilakukan apabila terdapat kecurigaan adanya varises esofagus. R/terapi: balance cairan, resusitasi dengan infus RL, inj.As.traneksamat, pemberian antasida

34

b. Diabetes Mellitus tipe 2 Atas dasar : anamnesis adanya keluhan 6 bulan ini sering kencing, mudah haus dan sering merasa lapar, pasien sering terbangun malam hari untuk kencing. Pasien merasa mudah lelah dan sering kesemutan. Pada riwayat keluarga ditemukan diabetes melllitus. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan GDS 252 mg/dl, GDP 154 mg/dl, GD2PP 224 mg/dl. R/diagnosis: Pemeriksaan GDS sclading scale, GDP dan GD2PP per hari. R/terapi: pemberian insulin

3.8. Diagnosis Melena et causa gastritif erosiv Diabetes Mellitus tipe 2

3.9. Terapi pada kasus IVFD RL 12 tpm + drip neurobion 5000 Inj. As. Traneksamat 1x1 amp (now) Inj. Ondansentron 2x1 amp (k/p) Inj. Ranitidin 2x1 amp Levemir 8 IU OMZ 2x1 P.O Dexanta syr 3x1 Levodopa THP 2x1 mg P.O

35

BAB IV PEMBAHASAN

Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti tar yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) penting untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.5 Pada melena didapatkan adanya perdarahan berupa tinja berwarna hitam kental, seperti tar, yang disebabkan oleh etiologi yang sama dengan hematemesis, yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, varises esofagus, atau tumor. Hematemesis yang berlangsung bersama-sama dengan melena mengindikasikan adanya perdarahan yang bersumber proksimal dari jejunum. Walaupun demikian hematemesis dapat tidak dijumpai pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Perlu dipertimbangkan pula perdarahan saluran cerna yang disebabkan oleh terapi NSAID, kondisi stres pascabedah dan luka bakar, dan efek dari terapi antikoagulan. 7 Ruptur varises esofagus, gastritis erosive, tukak peptic, gastropati kongestif, dan sindroma Mallory-Weiss adalah penyebab perdarahan SCBA tersering. Perbedaan dalam gejala dan tanda klinik pun bergantung pada lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Sering kali pasien datang dengan keluhan
36

anemia defisiensi besi akibat perdarahan yang telah berlangsung lama dan tersembunyi, atau hematemesis dan/atau melena dengan/tanpa anemia/gangguan hemodinamik 5 Pada kasus ini Ny. L (46 th) mengalami BAB berwarna hitam seperti kopi, namun pasien tidak mengalami muntah hitam atau hematemesis. Etiologi yang mungkin pada kasus ini yaitu pasien sudah 3 tahun mengkonsumsi obat nyeri sendi serta jamu-jamuan. Obat nyeri sendi masuk dalam golongan OAINS yang bekerja menghambat cyclooxigenase prostaglandin enzim cyclooxigenase sebagai 1 dan cyclooxigenase asam 2. Enzym menjadi perantara

berfungsi dan

pemecah

arakhidonat molekul

tromboksan.

Prostaglandin

adalah

peradangan. Selain itu prostaglandin adalah molekul protektif untuk mukosa lambung. Pengaruh prostaglandin terhadap lambung adalah menurunkan sekresi asam lambung dan meningkatkan sekresi mukus pada mukosa lambung. Jika terjadi hambatan dalam produksi prostaglandin, maka memperbesar terjadinya kerusakan pada mukosa lambung, karena mukus yang berkurang dan asam lambung yang banyak diproduksi. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien, didukung juga hasil pemeriksaan penunjang yang memperlihatkan tidak adanya gangguan fungsi hati, sehingga kecurigaan terhadap ruptur varises esofagus yang disebabkan oleh penyakit sirosis hati dapat disingkirkan.6,8 Cara singkat untuk membedakan perdarahan yang berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA) dan bagian bawah (SCBB) adalah: (1) pada SCBA, manifestasi klinik pada umumnya hematemesis dan/atau melena, pada SCBB

37

terdapat hematokesia; (2) terlihat adanya darah pada aspirasi nasogastrik pada pasien SCBA; (3) Rasio BUN/kreatinin meningkat >35 pada SCBA, dan; (4) ditemukan bising usus yang meningkat pada auskultasi di SCBA. 6,8 Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya melena, yakni volume perdarahan yang terjadi (>50 ml), waktu transit usus (>8 jam), serta efek sekresi asam lambung dan flora normal usus terhadap hemoglobin. Perdarahan masif dari saluran cerna atas yang disertai dengan pemendekan waktu transit usus juga dapat menyebabkan terjadinya hematoskezia. Sebaliknya pada perdarahan dari kolon proksimal yang disertai pemanjangan waktu transit usus dapat menyebabkan melena. Perlu juga diperhatikan adanya beberapa kondisi yang dapat menyerupai melena, yakni pada pemberian suplementasi besi, preparat arang, dan konsumsi makanan tertentu (bit atau blueberry) dalam jumlah besar. 6,8 Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi digunakan untuk menentukan etiologi sehingga dapat dipilih terapi definitifnya. Umumnya dilakukan esofagogastroduodenoskopi yang dilanjutkan dengan kolonoskopi jika diperlukan. Angiografi dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan saluran cerna, namun terbatas pada kasus perdarahan terus-menerus dengan volume 0,52,0 ml/menit. Lesi di usus halus, terutama lesi tumor, tergolong sulit untuk dideteksi. Pada kasus perdarahan intestinal dengan hasil endoskopi negatif, perlu dipertimbangkan adanya tumor intestinal (schwannoma, leiomioma, limfoma maligna, karsinoma). Modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan adalah radiografi dengan foto polos abdomen, CT scan, MRI, atau endoskopi kapsul dan double balloon enteroscopy. 6,8

38

Pada kasus perdarahan saluran cerna pertama-tama harus dilakukan resusitasi hemodinamik dengan darah atau cairan yang diberikan secara intravena. Akses IV dilakukan dengan pemasangan IV line 18G. Resusitasi dilakukan dengan melakukan penambahan volume intravaskular dengan normosalin atau larutan Ringer laktat, transfusi PRC setelah dilakukan crossmatching hingga dicapai kadar Hb target 10 g/dl pada kasus ruptur varises dan 12 g/dl pada kasus non ruptur varises, serta koreksi koagulopati dengan transfusi fresh frozen plasma atau konsentrat trombosit hingga kadar trombosit >50.000/mm3. Apabila terdapat hematemesis juga dilakukan bilas lambung dengan NGT sembari dilakukan intubasi untuk melindungi jalan napas apabila terjadi syok, hematemesis masif, atau penurunan kesadaran. 6,8 Setelah terapi akut dilakukan, terapi lanjutan dilakukan sesuai dengan penyebab terjadinya perdarahan saluran cerna. Pada kasus perdarahan saluran cerna atas yang bermanifestasi sebagai melena, disebabkan oleh etiologi non ruptur varises, secara umum dapat diberikan sitoprotektor berupa sukralfat atau teprenon, antasida, serta injeksi vitamin K pada pasien dengan penyakit hepar kronik atau sirosis hepar. Secara khusus apabila perdarahan disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum, terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton (omeprazole) dan endoskopi terapeutik (injeksi epinefrin, kauterisasi, dan penjepitan pembuluh darah). Pada kasus perdarahan yang disebabkan gastritis erosif, terapi dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton atau antagonis H2. 6,8

39

Pada kasus ini pengobatan awal pada pasien dapat diberikan agen hemostatika berupa vitamin K 1 ampul/12 jam dan asam traneksamat 500mg secara parenteral untuk membantu menghentikan perdarahan. Asam traneksamat merupakan competitive inhibitor dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Antasid diberikan untuk menetralkan asam lambung dan membantu mencegah atau meredakan radang dan nyeri di saluran pencernaan atas. Antasid juga memberi waktu perbaikan pada dinding lambung atau duodenum yang rusak oleh tukak sehingga sensitif terhadap jumlah normal asam lambung. Sedangkan sukralfat diberikan sebagai sitoprotektor. Pada suasana asam (perut kosong), obat ini membentuk pasta kental secara selektif mengikat pada ulkus, yang tahan hidrolisis oleh pepsin dan berlaku sebagai barier yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu. Sukralfat juga mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni melalui pembentukan PG endogen dan efek langsung meningkatkan sekresi mukus. 3 Omeprazole tergolong dalam penghambat pompa proton. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet bersalut dan sediaan injeksi IV (dapat diberikan baik secara bolus maupun drip). Omeprazole menghambat produksi HCl dengan cara memblokade kerja pompa proton di lambung. Pemberian omeprazole

diindikasikan pada kasus penyakit ulkus gaster dan peptik, sindroma dispepsia tanpa ulkus, dan untuk pencegahan perdarahan mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh stres. Perlu diperhatikan adanya efek omeprazole terhadap obat

40

lain. Meningkatnya pH lambung dapat menghambat penyerapan beberapa obat, seperti ketokonazol, itrakonazol, digoxin, atau atazanavir. 3 Edukasi perlu diberikan kepada pasien yaitu untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan dianjurkan agar pasien untuk sementara berhenti mengkonsumsi obat-obatan pereda nyeri sendinya. 3 Pada kasus perdarahan saluran cerna, prognosis yang buruk dapat dijumpai pada kasus-kasus di mana usia pasien >60 tahun, terdapat penyakit penyerta lain, koagulopati dan imunosupresi, kebutuhan presentasi transfusi, dengan syok yang (instabilitas berulang,

hemodinamik),

adanya

perdarahan

perdarahan yang tetap terjadi walaupun pasien telah dirawat di rumah sakit, perdarahan yang berasal dari ruptur varises, dan terbukti terdapat perdarahan dalam waktu dekat melalui endoskopi (terlihat pembuluh darah di dasar ulkus)4 Pada kasus ini pasien juga mengeluhkan adanya keluhan sering kencing, mudah haus dan sering merasa lapar, pasien sering terbangun malam hari untuk kencing. Pasien merasa mudah lelah dan sering kesemutan. Pada riwayat keluarga ditemukan diabetes melllitus. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan GDS 252 mg/dl, GDP 154 mg/dl, GD2PP 224 mg/dl Pasien didiagnosis dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia. DM tipe 2 bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. DM tipe 2 adalah suatu keadaan hiperglikemi kronik dengan etiologi yang kompleks, yang timbul sebagai respons

41

terhadap pengaruh genetik dan lingkungan. Kelainan yang karakteristik pada DM tipe 2 adalah resistensi insulin perifer, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa hepatik. Obesitas, khususnya obesitas sentral atau visceral merupakan keadaan yang umum dijumpai pada DM tipe 2.16,17,18 Pada pasien yang mempunyai gejala klasik DM, bila hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka diagnosis DM bisa langsung ditegakkan (hanya memerlukan 1 kali pemeriksaan), tetapi bila tidak ada gejala klasik, glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka pemeriksaan ini harus diulang sekali lagi. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu tetap menunjukkan >200 mg/dL atau glukosa darah puasa >126 mg/dL, barulah diagnosis DM dapat ditegakkan. Jadi, pasien yang tidak mempunyai gejala klasik memerlukan minimal 2 kali pemeriksaan untuk didiagnosis DM. 16,17,18 HbA1c merupakan pengukuran kadar glukosa darah yang terikat pada Hb secara kuat dan beredar bersama eritrosit selama masa hidup eritrosit (120 hari). Keuntungan dari pengukuran HbA1c adalah didapatkannya perkiraan kadar glukosa darah ratarata selama 3 bulan, karena disimpulkan terdapat korelasi langsung antara kadar HbA1c dan kadar glukosa darah rata-rata selama 3 bulan. Glukosa darah tidak terkontrol bila HbA1c mencapai 8% atau lebih, sedangkan glukosa darah terkontrol bila HbA1c kurang dari 7% menurut American Diabetes Association (ADA) atau kurang dari 6,5% menurut American Association of Clinical Endocrinologist (AACE). Sedangkan menurut Perkeni, kriteria pengendalian DM adalah baik jika glukosa darah puasa 80-109 mg/dL, glukosa 2

42

jam PP 110-159 mg/dL, dan HbA1c 4- 5,9%, sedang jika glukosa darah puasa 110-139 mg/dL, glukosa 2 jam PP 160-199 mg/dL, dan HbA1c 6-8%, serta buruk jika glukosa darah puasa 140 mg/dL, glukosa 2 jam PP 200 mg/dL, dan HbA1c >8%.16,17,18 Kriteria pengendalian DM dari PERKENI menyebutkan bahwa DM terkendali dengan baik jika kolesterol total < 200 mg/dL, k-LDL < 100 mg/dL, kHDL > 40 mg/dL, dan trigliserida < 150 mg/dL, sedang jika kolesterol total 200 239 mg/dL, k-LDL 100-129 mg/dL, k-HDL 35-45 mg/dL, dan trigliserida 150199 mg/dL, serta buruk jika kolesterol total 240 mg/dL, k-LDL 130 mg/dL, kHDL <35 mg/dL, dan trigliserida 200 mg/dL. 16,17,18

43

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 46 tahun yang didiagnosis Melena et causa gastritif erosiv dengan DM dan parkinson. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium. Pasien telah ditatalaksana dengan IVFD RL 12 tpm + drip neurobion 5000, Inj. As. Traneksamat 1x1 amp (now), Inj. Ondansentron 2x1 amp (k/p), Inj. Ranitidin 2x1 amp, Levemir 8 IU, OMZ 2x1 P.O, Dexanta syr 3x1, Levodopa , THP 2x1 mg P.O.

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Moradpour D, Blum HE. Chronic or recurring abdominal pain. In: Siegenthaler W, ed. Differential diagnosis in internal medicine, from symptom to diagnosis, 1st ed. Thieme: New York; 2007: 273-99. 2. Bickley LS. The abdomen. In: Bickley LS, ed. Bates guide to physical examination and history taking, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins: New York; 2002: 317-66. 3. Sepe PS, Yachimski PS, Friedman LS. Gastroenterology. In: Sabatine MS, ed. Pocket medicine, 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2008: 3.1-25. 4. Longo DL. Gastrointestinal bleeding. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al, eds. Harrisons manual of medicine, 17th ed. McGraw Hill: New York; 2009: 259-62. 5. Smyth EM. Drugs used in the treatment of gastrointestinal diseases. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, eds. Basic & clinical pharmacology, 11th ed. McGraw-Hill: China; 2009: e-book. 6. Asdie Ahmad H: Perdarahan Saluran Makanan dalam: Harrison: PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam.Isselbacher Kurt J, Braunwald Eugene, Wilson Jean D, Martin Joseph B, Fauci Anthony S, Kasper Dennis L.Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.Sardjito.Yogjakarta 1999. hlm 259-262 7. AHLQUIST DA et al: Fecal blood levels in health and disease: A study using Hemoguant.N Engl J Med 312:1422,1985 8. Sudoyo Aru W, Setyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata K Marcellus, Setiati Siti.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Sudoyo Aru W.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,Juni 2006.hlm 289-292 9. Budiono B. 2006. Sindroma metabolik dan penyakit kardiovaskuler. Di dalam: Adam JMF, editor. Obesitas dan sindroma metabolik. Bandung;. hlm.118-29 10. Elghetany MT, Banki K. 2007. Erythrocytic Disorder. Di dalam: Abraham NZ, Bluth MH, editor. Henry's clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Edisi ke-21. Philadelphia: Saunders Elseviers. hlm. 504 42.

45

11. Flier JS. 2001. Obesity. Di dalam: Braunwald E, Fauci A, editor. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill. hlm. 2152 - 80. 12. Gross JL, Canani LH, Caramori ML. 2005. Diabetic Nephropathy: Diagnosis, Prevention, and Treatment. Diabetes Care. 28:164 - 75. Harun A, Immanuel S. 2003. Tinjauan Laboratorik Kasus Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi. Jakarta: Departemen patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 13. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. Perkeni. hlm. 411 14. Powers A. 2001. Diabetes Mellitus. Di dalam: Braunwald E, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, editor. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill. hlm. 2109 - 37. 15. Powers AC. 2004. Diabetes Mellitus. Di dalam: Braunwald E, Fauci A, editor. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill. hlm. 2152 - 80. Rhodes CJ. 2005. Type 2 diabetes - a matter of beta cell life and death? Science. 307:380-3 16. Ritz E, Orth SR. 1999. Nephropathy in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. Massachusetts Medical Society 341:1127 - 32. 17. Soewanto. 1994. Nefropati Diabetik: Patogenesis, Klasifikasi, dan Terapi. Di dalam: Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra J, editor. Naskah Lengkap Simposium Nasional Diabetes dan Lipid. Surabaya: Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Sutomo FK Unair. hlm 73-81 18. Suhadi FB. 1994. Di dalam: Dislipidemia Klasifikasi dan Diagnosis. Di dalam: Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra J, editor. Naskah Lengkap Simposium Nasional Diabetes dan Lipid. Surabaya: Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Sutomo FK Unair. hlm 223-42

46

You might also like