You are on page 1of 3

MIELITIS

Radang Susunan Sara! Sentraj 241

Soemarmo Markam, Fachrida Muliono, Soetikno Gunawan


Mielitis ialah radang medula spinal. Penyebab radang ini antaranya kuman stafilokok, streptokok, pneumokok, hemofilus influenza, meningokok. Kerusakan medula spinal memberikan gejala-gejala yang dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga golongan ialah gangguan motorik, gangguan sensibilitas dan gangguan fungsi saraf autonom, terutama sekali miksi, defekasi. Kerusakan medula spinal melintang mengenai satu segmen atau lebih disebut mielitis transversa. Pada mielitis diseminata terdapat radang yang melebar. Mielitis difusa ialah radang medula spinal yang tersebar merata. Bila medula spinal mengalami kerusakan melintang pada suatu segmen tertentu, setinggi segmen akan dijumpai gejala-gejala kerusakan saraf yang menyebabkan kelumpuhan, otot yang lemas dan atrofik karena rusaknya kornu ventral Di bawah segmen yang mengalami lesi terdapat gejala-gej ala akibat rusaknya traktus piramidal ialah otot-otot lumpuh kaku, spastik Kerusakan di daerah segmen-segmen servikal akan menyebabkan timbulnya tetraplegia yaitu kelumpuhan keempat anggota badan. Kerusakan di bawah segmen-segmen servikal sampai dengan bagian lumbal akan menimbulkan paraplegia tungkai yaitu kelumpuhan kedua tungkai. Gangguan yang letaknya di daerah sakral menimbulkan gangguan miksi, defekasi tanpa kelumpuhan tungkai. Sensibilitas kulit mulai setinggi segmen yang rusak ke bawah akan terganggu karena terputusnya traktus spinotalamik yang menghantar rangsang-rangsang dan kulit ke nukleus ventral postero-lateral talamus. Kerusakan kedua traktus piramidal di atas konus medular mengakibatkan timbulnya kandung kencing refleks. Kerusakan pada konus yaitu segmen-segmen sakral ke bawah, menyebabkan timbulnya vesika urinaria autonom. Setiap lesi akut pada medula spinal biasanya menimbulkan syok spinal, yaitu berhentinya semua fungsi di bawah lesi itu. Keadaan syok dapat benlangsung hingga 6 minggu. Dalam masa syok ini, otot-otot lemas, refleks-refleks tidak ada, terdapat retensio urin dan alvi. Berangsur-angsur kegiatan-kegiatan refleks kembali.

Pemeriksaan
Penderita diperiksa seperti biasanya. Pungsi lumbal harus dilakukan steril. Likuor serebrospinal diperiksa untuk mencari sebab mielitis. Dapat dibuat foto kolumna vertebral atau CT Scan nya.

Terapi
Ditemukan atau tidak sebab mielitis penderita harus segera diberi pengobatan dengan antibiotika dan kemoteraputika. Mengingat sebab-sebab radang yang diutarakan di atas dapat diberikan kombinasi penisilin-kioramfenikol. Bila ada tanda-tanda kemungkinan faktor etiologisnya ialah kerentanan, dapat diberikan rangkaian terapi dengan kortison.

Perawatan
Minggu I: Perawatan penderita yang harus berbaring lama di tempat tidur harus dilaksanakan dengan seksama. Retensio urin ditolong dengan kateterisasi. Defekasi diatur sebagaimana mestinya. Timbulnya dekubitus dihindarkan dengan mengubah-ubah sikap baring. Pada han ke-3 fisioterapi dimulai dengan memberikan gerakan-gerakan pasif. Usus-usus dan lambung biasanya paralitis pula dengan akibat perut menggembung. Dapat dipasang kateter rektum untuk mengeluarkan angin. Penderita sering merasa mual dan muntah. Meskipun demikian makan minum harus cukup. Karena itu penderita diberi makan sedikit-sedikit tapi sering kali. Pada minggu ke II: Bila meteorisme hilang, pemberian makan minum lebih mudah. Penderita mungkin mengeluh kesemutan, dingin atau panas, merasa perut kosong, bagian bawah badan tidak ada, perasaan keseimbangan terganggu. Terutama sekali bila perawatan kurang baik dan dekubitus melebar timbul gejala-gej ala gelisah, sedih, terasa nyeri, panas seluruh badan, kadang-kadang ada halusinasi, nadi cepat, sering ada serangan-serangan penglihatan menjadi gelap, perasaan berubah, penderita mengatakan rasanya seperti mengambang, merasa berkeringat yang sebetulnya tidak, napsu makan minum berkurang. Kadangkadang penderita marah-marah, tak ingin hidup lebih lama. Sering pula ada sistitis. Penderita menjadi anemis. Dalam keadaan ini perlu pengertian dan perhatian terhadap penderita yang lebih baik, bila perawatan fisik dan mental baik berangsur-angsur penderita dapat menerima keadaan cacatnya. Makin cepat pasien menerima nasibnya, makin cepat rehabilitsi dapat dilakukan. Setelah masa retensio urin dilampaui timbul inkontinensia. Sementara penderita belum dapat menahan kencingnya pada pria dapat dipergunakan saku plastik, pada wanita lampin untuk menampungnya. Lampin segera diganti bila basah. Sementara itu penderita dilatih menahan dan mengeluarkan kencing. Tiap 3-4 jam kandung kencing ditekan atau diketok perlahan untuk menimbulkan miksi. Demikian pula penderita dilatih menahan dan mengeluarkan feses dan rektum. Kolon dapat diurut, bila perlu feses dapat dikorek dengan jari dan rektum. Bila perlu dapat diberikan suntikan gliserin ke dalam rektum atau dimasukkan supositoria untuk menimbutkan defekasi. Selanjutnya adalah persoalan rehabiitasi. Tujuannya ialah supaya pasien dapat mengurus dirinya sendiri dan dapat bergerak dengan tenaga yang masih ada padanya, yaitu pada paraplegia dengan menggunakan kedua lengannya. Pergerakan dapat dilakukan dengan kursi roda atau berjalan dengan pertolongan penyanggah dan bila ada penunjang tungkai. Bila tidak ada, dapat digunakan sepotong kayu untuk menunjang sendi lutut. Maksudnya ialah menjaga supaya tungkai tetap lurus waktu berjalan. Sikap kaki juga difiksasi dengan menggunakan sepatu bot dengan talinya diikatkan pada tungkai supaya kaki tetap tegak lurus pada tungkai ini. Panderita dengan.tetraplegia keadaannya lebih buruk. Ia sedikit

banyaknya terus menerus memerlukan bantuan orang lain. Meskipun cacat demikian hebatnya mungkin ia masih berguna bagi masyarakat bila kecerdasannya baik.

You might also like