You are on page 1of 8

Ambivalensi Teknologi: Pesimisme Dunia Modern Dalam Sebuah Adagium

Agnan Zakariya Soewardi [Gunadarma University], [Jalan Raya Margonda 100, Depok, West Java, Indonesia - 16424] [+62 21 78881112 ext. 234] [mediacenter@gunadarma.ac.id][Faculty of Industrial Engineering, Major Informatics Engineering]

Latar Belakang Di antara filsuf abad ke-19, Arthur Schopenhauer adalah orang yang menyatakan bahwa pada intinya, alam semesta bukanlah tempat yang rasional. Terinspirasi oleh Plato dan Kant, keduanya menganggap dunia adalah tempat untuk menerima alasan, Schopenhauer mengembangkan filosofi untuk mengenali pandangan terhadap naluri untuk menitik beratkannya pada sebuah sikap asketis, menekankan bahwa dalam menghadapi dunia yang penuh dengan konflik tak berujung, kita harus meminimalkan keinginan untuk mencapai kerangka pikiran yang lebih tenang dan disposisi terhadap kebaikan universal. Pernyataannya sering dianggap sebagai sikap pesimis, beberapa kalangan sebagian berpendapat bahwa Schopenhauer sebenarnya menganjurkan cara -melalui bentuk seni, moral dan kesadaran- untuk mengatasi kondisi frustrasi yang secara fundamental selalu ada dalam kehidupan. Dalam dunia modern media digital yang semakin lama semakin maju dengan peradaban dan teknologinya, bukan berarti tidak ada sikap pesimistis, karena seolah lingkungan lebih maju daripada sebelumnya dan teknologi mempunyai pengaruh terhadap perkembangan zaman, sebenarnya hal itu terdistraksi dengan kenyataan. Banyak hal yang menjadi tolak ukur ketika teknologi yang semakin maju tidak berjalan ekivalen sebagaimana mestinya. Terhitung dari tahun 2000 sebagai titik diferensiasi teknologi pada satu dekade terakhir yang berpengaruh sangat signifikan terhadap society impact, menghasilkan equilibrium baru melahirkan istilah The Millenials Learning (Howe & Strauss, 2000). dalam pernyataan mereka manusia di abad ke-21 telah membuat suatu pencapaian yang luar biasa, sebagai generasi X, lahir dan tumbuh dengan pengaruh pertumbuhan medium digital, dan memang terbukti pada tahun selanjutnya penetrasi pada internet yang sangat tinggi dan jejaring sosial telah menciptakan tendensi peran pada perubahan interaksi Human Experience melalui peran digital. Dampaknya secara umum telah menghasilkan praksis psikologi normatif untuk para pengguna media digital aktif sebagai hasil konstelasi informasi, dengan pendefinisian lebih rinci bahwa informasi akan selalu di butuhkan melalui sifat keingintahuan pada setiap manusia, sebab secara naluriah sifat manusia mempunyai dorongan untuk reduktif, selalu ingin memenuhi hasrat dan itu kontinu. Karena saat ini mencari keingintahuan terhadap informasi akan sangat jauh berbeda dengan tahun 90-an, sekarang dengan medium digital lalu lintas data informasi sangat cepat diterima, revolusi digital telah menghasilkan wahana informasi baru, telah terjadi sebuah perubahan pada areal bagaimana informasi itu dibentuk dan bagaimana informasi itu dihasilkan lalu tersampaikan. jika kecenderungan dilihat dari sudut perspektif umum yang terjadi pada sebuah perubahan adalah mengubah kebiasaan, itu merupakan suatu hal yang normatif. Namun setelahnya timbul pertanyaan besar yang muncul, yaitu bentuk penilaian terhadap kesetaraan kebiasaan pada environment dengan kemajuan tersebut. Melalui pendekatan pada teori demografi bahwa dampak adalah pengalian antara populasi, kesejahteraan

dan teknologi. Lalu dari hasil pernyataan tersebut, akan di diversifikasi dalam sebuah pernyataan bahwa Teknologi memungkinkan mempengaruhi dampak pada pelbagai dasar hirarki kebiasaan masyarakat, terutama karakteristik sosial pada kebiasaan individu manusia. Karena secara mendasar karakteristik manusia akan selalu di pengaruhi banyak oleh lingkungan, sehingga terjadi relevansi dari pernyataannya bahwa kemajuan berpengaruh pada tatanan kebiasaan sosial manusia. Lalu ada hal fundamental antara hubungan komunikasi dan informasi melalui pendekatan dan asumsi yang pada pengaruhnya dapat dinilai suatu kesimpulan apakah bersifat ekivalen atau ambivalen. Sebagai dasar ajuan pendekatan hasil dari komparasi teori malthusianisme tentang malfungsi pertumbuhan populasi, dimana ketika garis laju pertumbuhan penduduk melebihi batas produksi terhadap makanan yang terjadi adalah Point of Crisis, yang diistilahkan dalam essay nya sebagai malthusian catastrophe. Jika pendekatan teori ini di gunakan untuk mengkomparasi perubahan terhadap kemajuan teknologi dan pengaruh pada lima elemen struktural masyarakat dalam cakupan SIMEC (Socio-behavior, Insight, Mindset, Education, Culture) diantaranya berupa kebiasaan sosial, pola wawasan, pola pikir, pendidikan dan budaya dalam konteks pesimistis maka akan mengalami perhitungan sebagaimana Point of Crisis yang terjadi pada teori malthusianisme. Didasarkan pada pengaruh demografi kependudukan di dunia dengan data yang dihimpun dari worldometer, secara keseluruhan masyarakat dunia telah mencapai angka kenaikan populasi dua kali lipat dalam satu abad terakhir, dihimpun data dengan angka populasi masyarakat dunia saat ini telah mencapai 7,068,508,512 jiwa dengan angka kelahiran 97,465,326 jiwa per tahun, angka kematian 41,626,590 jiwa per tahun dan angka pertumbuhan keseluruhan sebanyak 55,838,736 jiwa di tahun ini, sehingga ada kenaikan sekitar 1,27 % dari tahun sebelumnya. Lalu hasil akumulasi tersebut dikomparasi dengan data dari Internet World Stats, untuk mengetahui Secara Komprehensif Pengguna internet selama satu dekade ini. Hasilnya pengguna internet mengalami signifikansi kenaikan sebesar 528.1 %. Pengguna Internet pada akhir tahun 2000 hanya mencapai angka awal sebanyak 360,985,492 jiwa, lalu terjadi peningkatan drastis ditahun 2011

dengan pengguna internet telah mencapai 2,267,233,742 jiwa dengan penetrasi pengguna per populasi total dunia sebesar 32.1%. Artinya hampir sepertiga populasi masyarakat dunia menggunakan Internet. Dengan kenaikan kurang lebih 30% dalam satu dekade terakhir.

Figure 1.0: Benchmarking Exponential Growth Technology vs Arithmetic Growth SIMEC Value

Pada pemodelan tersebut pertumbuhan teknologi terjadi secara eksponensial, didasari pola demografi dan perkembangan penetrasi penggunaan internet media digital di dunia yang mengalami perkembangan secara signifikan dari tahun ke tahun sedangkan pertumbuhan SIMEC terhadap perkembangan teknologi tidak berkembang secara utuh, menciptakan asinkronisasi dan terjadi Point of Crisis. Dalam dunia modern, teori malthus tersebut memang telah mendapatkan ratusan revisi, ternyata malthusian catastrophe tidak pernah benar-benar terjadi pada populasi manusia didunia, sekalipun telah terjadi peningkatan populasi dua kali lipat dalam satu abad terakhir, masyarakat dunia tidak dalam benar-benar ada pada titik kondisi Point of Crisis karena terjadinya optimisme. Adanya fleksibilitas antara jumlah pertumbuhan bersesuaian dengan usaha untuk menambah jumlah konsumsi (dalam teori Neomalthushianisme), namun jika teori tersebut disesuaikan dengan teori pendekatan dan asumsi pada pengaruh teknologi, ada hal yang bisa diasumsikan telah terjadiPoint of Crisis. Dalam prediksi malthusian catastrophe bisa terbantahkan karena adanya kesesuaian usaha dalam bentuk optimisme sehingga perlu adanya revisi yang menyatakan bahwa ketika populasi bertambah maka unsur Carrying Capacity memungkinkan terjadinya bentuk optimisme dalam penambahan nilai produksi terhadap sumber makanan walaupun itu ada keterlambatan, Namun di dalam teknologi ketika suatu keadaan tidak dapat mengikuti suatu perubahan yang

signifikan pada tendensi pola pertumbuhan teknologi yang terjadi adalah kecenderungan malfungsi teknologi, ada elemen yang menyimpang dengan kesesuaian perkembangan meskipun terdapat persamaan adanya unsur Carrying Capacity dengan proses keterlambatan untuk mencapai juga, akan tapi itu mengindikasikan telah terjadinya lag changes. Lag changes adalah suatu kondisi dimana adanya suatu ketertinggalan dalam suatu perubahaan pada teknologi yang tidak bersesuaian dengan penggunaan yang tepat teroptimalkan.

mudah terbentuk, namun sulit untuk dicerna dengan baik.

Tabel 1.0: Pengguna Internet di Regional Asia pasifik dibagi atas segmentasi umur Source: Nielsen Media Index

Figure 2.0: Carrying Capacity, Menggandakan maksimum makanan yang menghasilkan keterlambatan

Salah satu bentuk pesimisme dalam dunia modern media digital adalah timbulnya Dilemmatic Problem yaitu terjadi masalah-masalah dilematis yang membuat suatu sisi keuntungan dan sisi yang merugikan, dalam pesimistis kita akan berbicara tentang kecenderungan hal negatif, karena ini merupakan teori pendekatan dan asumsi, bertujuan untuk melihat sejauh apa kemungkinan terjauh jika teknologi itu tidak digunakan secara tepat. Salah satu kasus negatif pada pengaruh moderinsme media digital adalah timbulnya kebebasan pada mainstream media publikasi di atas nilai Hak Azasi Manusia yang secara tidak langsung mengartikan freedom of speech diatas ruang nilai pada sistem berdemokrasi didalam berbangsa dan bernegara begitu kentara bebasnya, dimana informasi begitu cepat dan tersebarkan secara massive terutama tidak ada lagi batas ruang dan waktu untuk mengenal kapan, dimana, dan bagaimana setiap informasi tersebut tersampaikan, tercerna dan mengaplikasi simpul dari pada pengaruh hal informasi tersebut dengan suatu tindakan. yang terjadi pada akhirnya adalah Information Dilemma, terlalu banyak informasi yang diterima membuat public opinion semakin

2.1 Socio-behavior Pengaruh media digital terutama lebih spesifik membahas pada sebuah fenomena yaitu jejaring sosial secara positif sebenarnya telah membuat setiap zsebagai mobilisasi pandangan tentang issue yang isinya lebih melakukan kegiatan berdiskusi untuk mencari solusi. Karena dimungkinkan untuk setiap orang memiliki kebebasan dalam berbagi pikiran tentang masalah apapun, baik itu sebuah opini dengan tujuan untuk mendapatkan feedback dalam issue permasalahannya, terlebih masalah tersebut memang memerlukan pandangan segar terhadap pemikiran-pemikiran dari masyarakat muda. Data statistik menunjukan bahwa penetrasi internet berdasarkan umur produktif menunjukan value yang baik, yaitu rata-rata pengguna berumur 1530 bertindak sebagai pengguna teraktif dalam penggunaan internet (lihat: tabel 1.0). Namun pada umumnya sebagian besar pengguna tidak sering melakukan mobilisasi pandangan di jejaring sosial, dalam penggunaannya mereka lebih fokus pada masalah eksistensi dan masalah pribadinya, bisa terjadi diskusi sedikit lalu sebagian waktunya hanya tetap fokus pada web yang di kunjungi (Jain, 2012).

Tabel 2.0: Lima aktivitas paling sering dilakukan setidaknya setiap minggu, Konsumen digital usia 15+ Source: Nielsen Media Index

Data dari nielsen menunjukan aktivitas yang dilakukan oleh para pengguna media digital di asia pasifik, yang paling sering dilakukan setidaknya dalam setiap minggu rata-rata adalah mengakses jejaring sosial, dan bisa terlihat letak kebiasaan para pengguna di indonesia dalam melakukan penetrasi terhadap internet, aktivitas mengirim pesan lewat jejaring sosial mencapai 71%, mengkomentari ruang komentar pada jejaring sosial mencapai 61%, menjelajahi profil orang mencapai 59%, memperbaharui profil pada jejaring sosial mencapai 56%, dan terakhir aktivitas menggunakan email mencapai 51%. Kesimpulannya secara pesimistis kebanyakan orang Indonesia pada kemajuan teknologi media digital peran keikutsertaannya dianggap sebagai pengguna saja, daya konsumsi untuk menikmati suatu produk sangat tinggi ketimbang bagaimana mengimplementasi ulang suatu konsep dan mempelajarinya menjadi sebuah konsep yang baru untuk di terapkan. Sehingga kebiasaan seperti ini hanya dimanfaatkan sebagai target pemasaran semata oleh produsen, masyarakat yang loyal terhadap perubahan teknologi namun tidak bisa menciptakan perubahannya sendiri. Ditambah dengan dorongan eksistensi membuat suatu padanan terhadap kebiasaan membuka data privasi menjadi hal yang wajar untuk dilakukan, karena sudah terbiasa. Jika secara kuantiti penetrasi Internet bisa dikatakan baik, namun penggunaan dari segi kualitas masih minim dan tidak optimal. 2.2 Insight Pemahaman pengguna media digital di Indonesia dari segi eksplorasi penggunaan, belum dapat disimpulkan ketercapaian manfaat klimaksnya mendekati atau sudah optimal. karena untuk mengukur dampak potensi kemajuan pada environment peradaban manusia itu sendiri untuk melihat sejauh mana mengikuti, mencoba mengadaptasi dan menerapkannya menjadi sebuah hal yang baru kembali Birth of a new thing- dinilai dari sejauh apa pemahamannya terhadap teknologi tersebut, Karena perspektif dunia teknologi dapat memobilisasi peradaban manusia menuju perubahaan secara implisit pada pola modernisme, namun pertanyaan yang mendasar adalah pola modernisme seperti apa yang akan terbentuk..? tentu itu adalah sebuah

pertanyaan dengan jawaban yang impulsif. Karena saat pola modernisme tersebut dapat dilihat pengaruhnya pada peradaban yang berjalan, dalam kesesuaian apakah penggunaannya equivalen dengan laju trend teknologi yang ada, untuk mengikuti selalu grafik pada trend yang menunjukan signifikansi kenaikan terus menerus sehingga terjadi keterseimbangan, sehingga pada titik klimaks dapat disimpulkan bahwa penggunaan sudah tepat dan optimal dalam memanfaatkannya, atau malah sebaliknya, ternegasikan bahwa para pengguna media digital di indonesia belum sepenuhnya paham, kurang mengoptimalkan pengaruh kemajuan teknologi dan manfaat besarnya. Lalu membentuk asumsi bahwa pemahaman pengguna media digital di Indonesia hasilnya ambivalen terhadap pengaruh teknologi media digital secara keseluruhan. Umumnya penetrasi internet di indonesia di dominasi pengguna handheld device melalui perangkat mobile menurut data ICT Whitepaper Kominfo.

Figure 3.0: penetrasi wireline, wireless, dan mobile di Indonesia: 2011 Source: Indonesia ICT Whitepaper 2011 (Kominfo, 2011b)

jika dibandingkan dengan negara di asia pasifik lainnya, pengguna di indonesia cenderung dominan menggunakan perangkat mobile sebagai instrumen penetrasinya, jauh lebih seimbang negara Singapore, Malaysia, Filipina, dan Thailand yang cenderung merata dalam penggunaan heterogenitas instrumennya. Jika menganalisis dan mengkomparasi data pada tabel aktivitas yang paling sering dilakukan oleh Konsumen digital umur 15+ (lihat: tabel 2.0), ada asumsi yang dapat di simpulkan bahwa rata-rata pengguna jejaring sosial mengakses akunnya melalui perangkat mobile. Ini dilihat dari komparasi grafik antara pengguna perangkat mobile yang sangat signifikan tinggi di indonesia pada umumnya, dengan aktivitas yang paling sering dilakukan oleh para

pengguna saat melakukan penetrasi terhadap media digital. Sehingga ada kesimpulan yang dapat mendekati bahwa mayoritas pengguna handheld device memprioritaskan penggunaan instrumennya untuk mengakses akun jejaring sosialnya, disamping penggunaannya sebagai alat komunikasi.

Figure 4.0: Grafik kepemilikan device pada konsumen digital usia 15+ Source: Nielsen Media Index

Kesimpulannya secara pesimistis bahwa para pengguna internet di indonesia, didominasi oleh para pengguna perangkat mobile, membuat suatu hegemoni terhadap penggunaan jejaring sosial sebagai kill aps, melakukan suatu aktualisasi diri untuk selalu eksis dengan jejaring sosial, alasan penggunaan perangkat mobile lebih praktis sehingga ada asumsi awal bahwa penetrasi yang besar dari keseluruhan pengguna internet di indonesia adalah kegiatan dimana sebagian besar waktunya digunakan untuk mengakses jejaring sosial dan hal ini didominasi oleh masyarakat produktif indonesia (Para pengguna media digital usia 15-30) yang notabene sebagai masyarakat generasi X (Howe & Strauss, 2000), dan dapat dikatakan sebagai Generasi X angkatan pertama (2000 Sekarang). Sejatinya generasi pertama ini harus bisa mengoptimalkan penggunaannya pada media digital, diharapkan dapat mengeksplorasi lebih tinggi manfaat optimal media digital. Karena hal ini mengkategorikan bahwa angkatan masyarakat muda yang masuk tahun 2000 adalah masyarakat muda generasi X pertama Indonesia yang memegang estafet untuk perkembangan dunia teknologi selanjutnya. Setidaknya membuat suatu equilibrium yang baik, sehingga tidak ternegasikan sebagai masyarakat non-aktif dalam kontribusi kemajuan teknologi, yang hanya dianggap loyal terhadap penggunaan teknologi saja sehingga hanya menjadi sasaran pasar para produsen.

2.3 Mindset Simultanitas degenerasi karakteristik pada bangsa Indonesia memang terlihat nyata terjadi, menjadi suatu masalah bahwa karakter suatu bangsa hilang kendali terhadap krisis moral. Banyak efek moralitas yang dirasa basa dan terlihat tidak ada pegangan yang menjadi pedoman, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat itu perlu rambu, pada estetikanya hukum akan selalu berlaku jujur dan adil, karena sebagaimana proses dan skala penggunaan hukum pada umumnya, hukum akan berlaku menimbang salah dan benar namun pada kenyataanya hal tersebut menciptakan implikasi tersendiri di nalar masyarakat bahwa krisis moral itu memang terlihat kontras. Ada anggapan dalam masyarakat sendiri bahwa hal-hal seperti itu sudah terlihat biasa, lumrah. Indonesia pada kekinian menganggap hal yang seperti penyalahan korupsi, ketercanduan pada bantuan asing, kemiskinan, mahalnya kependidikan menjadi hal yang luar biasa dianggap basa. Sehingga pada akhirnya ada gradasi simpatis masyarakat ke bentuk antipati terhadap negaranya bahwa masyarakat menjadi jenuh dan mulai bertindak anti-sosial. Adanya korelasi pengaruh media digital dengan pola pikir masyarakat penggunanya adalah dampak lain dari sebuah perubahan, menurut Subrahmanyam & Greenfield (2008) mengamati bahwa garis antara dunia virtual dan nyata semakin kabur untuk masyarakat muda saat ini: .Untuk masyarakat muda hari ini, Teknologi media merupakan variabel sosial yang penting, antara fisik dan dunia maya secara psikologis terhubung akibatnya, dunia maya berfungsi sebagai ground bermain untuk isu-isu perkembangan dari dunia fisik. (hal. 124). Bisa dilihat dalam pernyataannya tersebut bahwa memang pengaruh media digital sangat berpengaruh terhadap efek sosial secara kognitif dalam penggunaannya, menciptakan relevansi antara pengguna, kebiasaan penggunanya dan pembentukan karakter pada penggunanya. Gejala mainstream pengaruh media digital yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah timbul disposisi masalah sosial dimasyarakatnya, sehingga menimbulkan bias, tidak terkonsentrasi dan mudah di urai, mulai membentuk pola pemikiran individualis yang tinggi dan menciptakan gejala Gap di masyarakat mulai susah di rapatkan

karena cenderung makin meluas. Ini dapat di lihat pada karakteristik bangsa indonesia yang sebagian besar terbentuk dari trend setter negara bermasyarakat informasi (Ratna A, Dwi. A, Vienda. S, Florencius. S, Santi., 2004). Menciptakan asumsi pada hasil kesimpulan akhir bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia rentan terhadap pengaruh negatif dari luar, Kecenderungannya untuk menyerap nilai-nilai negatif lebih tinggi ketimbang nilai-nilai positifnya. Manusia adalah homo homini lupus serigala yang memakan serigala lainnya, hakikatnya manusia memang menjaga eksistensinya, layaknya cogito ergo sum bahwa Saya berpikir maka Saya ada setelahnya di dalam masyarakat pun pada sistem akan mengalami kompetisi dalam hidup. Namun pada dasarnya manusia tidak bisa di samakan dengan serigala, atau apapun yang lainnya karena manusia adalah Manusia itu sendiri, dimana manusia mempunyai peranan silogisme pada fakta. Kesimpulannya secara pesimistis pengaruh penetrasi media digital mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan sikap distraksi pada antipati, ketika eksistensi pada sistem mengalami kompetisi maka yang timbul adalah gejala sosial. ditambah dengan adanya pengaruh jejaring sosial di internet yang open crawlers telah menciptakan kelas masyarakat narsis, konsumtif, trend addicted, dan kecenderungan terjadinya degenerasi karakter ketidak tepatan dan ketidak ingintahuan terhadap dampak eksistensinya pada ruang publik maya. Pada intinya terlalu banyak efek moralitas yang dirasa basa dan terlihat tidak ada pegangan yang menjadi pedoman Sehingga pada akhirnya ada gradasi simpatis masyarakat ke bentuk antipati terhadap lingkungannya bahwa masyarakat menjadi jenuh dan mulai bertindak individualistis. 2.4 Education Berdasarkan observasi yang terjadi di lapangan, beberapa lingkungan sekolah memang sudah mengenal arah penggunaan teknologi yang baik dalam hal penunjang dalam belajar mengajar, ini bersifat normatif. Namun lag changes antara lingkungan dan kemajuan teknologi yang sebenarnya masih belum dirasakan optimal dan

cenderung stagnan, model pendidikan silo masih menjadi suatu kebiasaan pada proses belajar mengajar, terutama kelas tidak menciptakan bagaimana sebuah konsepsi dialog yang dibangun dengan format friend and friends tapi dengan model lama, yaitu take and give. Sebenarnya pendidikan pada trend teknologi yang semakin maju mempunyai kronologi sendiri, bahwa dengan kehadiran era komputer yang telah mampu menciptakan suara, gambar, dan text pada satu dimensi dapat menciptakan pengalaman yang baru antaragrantor dan recevier sehingga tercipta suatu interaksi multidinamis dengan tingkat efisiensi pencapaian proses belajar yang high value, akurat dan fleksibel. Selanjutnya yang menjadi issue utama adalah sejauh apa environment mencapai high value dalam teknologi kekinian tersebut, baik itu grantor maupun receiver karena secara keseluruhan hal tersebut harus di jawab oleh kreativitas. Dalam kebanyakan kasus hari ini, ketika berbicara kualitas pendidikan, ketika pendidikan itu telah tersedia, mengikuti fungsi dari keadaan dengan rutinitas, baik itu pada kondisi ruang kelas individu atau sekolah, dimana pengajar berdiri di depan kelas dan siswa duduk untuk siap menerima materi pembelajaran, terkadang hal inilah yang disebut model pendidikan silo karena pendidik dan siswa sering tidak menyadari, atau bahkan terputus dari metode pengajaran yang lebih baik dan fleksibel. Pada faktanya sebagian besar masih banyak para siswa pelajar yang tidak menerima pembelajaran dengan kualitas yang dikatakan ideal, Masih banyak para pelajar yang tidak memiliki akses ke instruktur yang sangat baik, bahkan bahan pembelajaran yang paling efektif saat ini termasuk teks, video, ilustrasi dan alat-alat praktek masih sangat kurang literaturnya, Indonesia masih memerlukan bantuan ekstra untuk mempelajari konsep-konsep kunci. Jika mencontoh negara OECD Banyak instruktur melakukan hal yang paling efektif untuk berpikiran lebih maju mengoptimalkan penggunaan Internet dalam praktiknya sebuah kolaboratif projek sebagai kegiatan untuk mempersiapkan bahan terkait dengan gerakan Open Educational Resource atau disingkat OER. Mereka mengoptimalkan proses pembelajaran dengan mengatur kurikulum yang baru bereksplorasi dengan penyesuaian bidang

pengalamannya, membuat garis besar pembelajaran, mempraktekan metode mengajar efektif, penyediaan artikel, esai, teks, ujian, ilustrasi dan streaming video dengan menggunakan platform internet sebagai optimalisasi. Dalam prosesnya, Para instruktur ini telah mulai membuka pintu untuk pendidikan tinggi yang lebih luas dari pada sebelumnya, menciptakan suatu wadah melalui platform internet dalam projek OER tadi untuk membuat metode keanekaragaman dalam keterjangkauan satu visi, menciptakan Environment pembelajaran yang baru dimana proses belajar mengajar atau penelitian sumber daya diimplementasi ke dalam domain publik, baik itu yang telah dirilis di bawah lisensi atas hak kekayaan intelektual, maupun yang bebas, sehingga memungkinkan terciptanya interaksi untuk saling berbagi, mengakses satu sama lain, tanpa mengenal batas umur, ras, gender, finansial, geografis dll. Hal ini tentunya sangat ekivalen dengan perkembangan teknologi media digital karena tingkat signifikansi tinggi dalam pengaruh peradabaan manusia harus stabil dengan kemajuan zaman, agar terus sustaianable. Influence dari konsep mereka biasanya ditargetkan untuk negaranya, namun tidak sedikit pula biasanya mempengaruhi beberapa negara berkembang sebagai target pengembangan programnya, karena banyak orang dinegara berkembang yang secara finansial atau secara geografis kurang beruntung. Dalam proses ini, banyak instruktur mulai menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengajar sekalligus bagaimana menumbuhkan minat belajar saat mereka berada pada dunia virtual untuk saling berinteraksi dengan orang lain dalam belajar pada mata pelajaran yang sama. Kesimpulannya secara pesimistis perkembangan pendidikan di Indonesia didalam dekade perkembangan pendidikan yang mutakhir, dalam konsep pendidikannya masih sangat jauh dari yang diharapkan, miskonsepsi terhadap paradigma para lulusan akademis masih sangat kuat, tidak terbangunnya karakter dan dasar fundamental kemampuan yang spesifik untuk sebagian banyak. Terjadinya proses kebiasaan pada sebuah penerimaan diri tidak jarang masih menggunakan hal-hal yang sudah ada, banyak orang tidak bisa menerima bahwa mengeksplorasi

diri adalah hal yang normal karena sebagian banyak perangkat akademisi terlalu takut untuk mengeksplorasi. Disaat memiliki ide yang muncul terkadang dikesampingkan, hanya karena menerima begitu saja sistem yang sudah ada lalu mengerjakannya sebagai solusi. Ini merupakan ketakutan yang tertanam dalam pemikiran para perangkat akademisi, menyebabkan susahnya menciptakan tindakan kreatif. Sehingga pendidikan di indonesia masih gagal untuk membentuk karakter pada perangkat akademisinya, karena di dasari pada fakta di lapangan proses seperti ini masih terjadi didalam lingkup pendidikan di indonesia dan hasilnya memperlihatkan indikasi yang cenderung stuck jauh dari apa yang di sebut kemajuan. Sebagian besar masyarakat akademis di indonesia dilematis terhadap perkembangan dunia luar. Hasilnya mengindikasi bahwa sebagian banyak masyarakat akademis setelah keluar dari lingkup pendidikan, disiapkan untuk bekerja atau memilih hal lain (Seperti: berwirausaha) mereka belum tentu memiliki kesiapan yang cakap dengan bidang yang mereka tekuni, lalu terbuntukan dan beralih untuk mencari posisi aman. Sehingga menciptakan fenomena di negara ini bahwa minat untuk menjadi pegawai negeri sipil lebih tinggi dibanding minat untuk mengeksplorasi pada bidang yang di tekuninya baik itu bekerja dibidangnya atau menciptakan hal yang baru dari bidangnya, Sehingga hal yang wajar jika menganggap posisi tersebut dirasa aman karena negara menjamin para pegawainya. Yang menjadi masalah bukan berprofesi sebagai pegawai negeri sipilnya akan tetapi kecenderungan atensi masyarakat yang begitu tinggi terhadap profesi tersebut. Sehingga timbul pertanyaan, mengapa? 2.5 Culture Mengenal istilah kemajuan pada sisi pandang dunia teknologi menjadikan perabadan manusia berjalan implisit pada pola modernisme, sehingga kemajuan tersebut berpengaruh liniear pada laju trend peradaban sebelumnya, dan selalu, grafik pada trend akan menunjukan signifikansi kenaikan, hingga pada saatnya bagaimana environment peradaban manusia itu sendiri mengikuti untuk mencoba mengadaptasi dan menerapkannya menjadi sebuah hal yang baru

kembali. Jika sebuah budaya dari suatu bangsa mempunyai releveansi kuat dengan sejarah suatu bangsa itu sendiri, karena sejarah adalah makna perguliran peradabaan sebagai manifestasi sebuah ambivalensi, hilang lalu tumbuh kembali dan itu mengulang -Lhistoire se rpte. Makna pendalaman yang mempunyai arti mengenal akarnya kita, muasal, sentrisme, dan genetis tujuan bangsa harus dilihat dari bagaimana sejarah suatu negara berdiri. Namun pada faktanya pengaruh mainstream budaya luar dengan medium digital membuat keseluruhan karakter bangsa cenderung menerima saja pengaruh dari luar -take it for granted, berasimilasi dengan begitu saja, lalu hal tersebut merubah pola kebiasaan masyarakat dengan drastis dan menciptakan implikasi pada orisinalitas budaya dengan karakter yang tidak punya entitas dalam makna sebenarnya. kesemuanya punya dalih pada keinginan ego yang hakiki sehingga melihat pengaruh budaya luar lebih bagus ketimbang budaya sendiri, akhirnya menganak emas. Budaya yang hilang tidak punya entitas sangat rawan untuk dipecah belah, ekses dari prilaku melupa sejarah adalah kehilangan akar sebuah pedoman. Karena bila dilihat pada kekinian mencari jati diri adalah hal yang paling sulit, dimana kecenderungan masyarakat muda Indonesia pada dasarnya mencari dengan menerima yang kelihatan lalu mencangkok habitat kemonotonan pada sebuah trend. Kesimpulannya secara pesimistis Masyarakat informasi yang muncul di Indonesia hanyalah imbas atau dampak dari trend setter negara bermasyarakat informasi. Transisi yang dialami

Indonesia pun belum bisa ditetapkan dengan tepat, baik bentuk maupun macam transisinya (Ratna A, Dwi. A, Vienda. S, Florencius. S, Santi., 2004). Menciptakan krisis pada budaya asli Indonesia. Konklusi: Pesimistis Teknologi di Dunia Modern adalah Nyata? Tentu saja ini adalah sebuah kenyataan pahit, dalam status pesimistis hal ini memang benarbenar terjadi di Indonesia sehingga menjadi pedagogi bagi kita sebagai masyarakat pada era media digital. Jika pertumbuhan Teknologi secara eksponensial meningkat dan tidak ekivalen dengan SIMEC Value yang terjadi adalah Point of Crisis dimana timbul Dilemmatic Problem, Lag Changes dan Disposition Social Problems. Dimana ini akan mempengaruhi perubahan pada peradaban manusia secara menyeluruh, sehingga menciptakan kesenjangan pada karakter, mengurangi kemampuan untuk menerima perubahan yang lebih signifikan dan Menciptakan gradasi pertumbuhan yang Ambivalen terhadap pengaruh Teknologi. Keywords: SIMEC Value, Point of Crisis, Lag Changes, Disposition Social Problems, Malthusianisme Catastrophe, Equivalent, Ambivalence

REFERENSI [1] Malthus, T.R. (1798). An essay on the principle of population. Oxford Worlds Classics reprint [2] Schopenhauer, A. (1969). The World as Will & Representation, trans. E.F.J. Payne, New York: Dover [Volumes 1 & 2] [Volume 1 contains the essence of Schopenhauers argument. Volume 2 is a series of supplements to the 4 books of Volume 1.] [3] Ratna A, Dwi. A, Vienda. S, Florencius. S, Santi. (2004). Peranan Teknologi Komunikasi dalam Menciptakan Masyarakat Informasi di Indonesia, Jurnal: UAJY [Volume 1, Nomor 1, Juni 2004: 7386]

You might also like