You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Psikologi agama adalah 2 kata yang secara tekstual dapat kita maknai
sebagai ilmu yang mempelajari jiwa manusia dan tidak merusak/ mengacaukan
dirinya sendiri atau orang lain (A.H.Ridwan, 1990: 14). Di harapkan dari
definisi di atas muncul sebuah asumsi bahwa psikologi dan agama adalah 2 hal
yang sangat erat kaitannya dalam mewarnai tingkah laku kehidupan manusia.
Asumsi di atas memang tidak salah, namun kenyataannya di lapangan
terjadi miss comunicasi/ salah paham antara keduanya. Yang tentunya di latar
belakangi oleh kepentingan para psikologi dan agama. Atau bisa diketahui
mereka berbeda dalam melihat sisi dari keduanya, bisa dikatakan psikologi
menuduh agama sebagai candu yang tentunya akan membuat siapa saja yang
beragama akan mengabdi atau siapa saja yang ada di dalamnya berbuat kejam,
keji yang menurut agamanya benar-benar (fanatik) seperti terorisme, gerakan
massa, perang jihad, dan sebagainya. Dua sumberpun juga demikian halnya
agama menuduh psikologi sebagai sumber kekacauan, agamanya berpendapat
bahwa jika manusia cenderung untuk menguasai, selalu kurang, ingin bebas
dan sebagainya. Bisa dikatakan bahwa jika duniamu dipenuhi kaum
psikologial tak ayal lagi akan menciptakan dunia yang ortodales, hukum rimba
berlaku disiapa kuat dia yang hidup. Dari asumsi itulah kami menulis melalui
ini ingin mengetahuilebih jauh lagi kenapa hal itu terjadi.

B. Rumusan Masalah
a. Pengertian agama dan psikologi.
b. Pengertian agama dan psikologi saling bermusuhan.
c. Bagaimana pandangan psikologi sekuler (James Luba) terhadap agama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Dan Agama


1. Pengertian Psikologi.
Psikologi merupakan kelanjutan studi tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari, konsep dalam psikologi dapat di
temukan yang berasal dari kehidupan hubungan antara manusia, hal ini
sering menimbulkan perasaan pada setiap orang bahwa dirinya mengerti
dasar-dasar psikologi, bahwa menganggap dirinya kompeten dalam bidang
ini. Sedanmgkan psikologi secara harfiah berasal dari psyche: jiwa dan
logos: ilmu dalam mitologi yunani, psyche adalah seorang gadis cantik
bersayap seperti sayap kupu-kupu, jiwa digambarkan berupa gadis dan
kupu-kupu symbol keabadian. Psikologi dapat diterjemahkan ilmu jiwa,
tetapi karena “jiwa” di Indonesia sering dihubungkan dengan masalah
mistik, kebatinan, dan kerohanian. Maka para sarjana lebih suka
menggunakan istilah psikologi. Selain ini objek utama psikologi bukanlah
jiwa, karena jiwa tidak dapat di pelajari secara ilmiah.objek psikologi
adalah tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan. Walaupun banyak
definisi mengenai psikologi tetapi belum ada devinisi yang sempurna, dan
para ahli secara garis besarnya menyetujui bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan
dengan lingkungannya (Drs.H.Ahyadi, 2001: 23).

2. Pengertian Agama.
Kata “Agama” berasal dari sangsakerta, dalam bahasa Indonesia
berarti “peraturan-peraturan”.
Ada yang mengatakan dalam bahasa sangsakerta kata “Agama”
berasal dari dua suku kata, yaitu “A” dan “Gama”. “A” artinya “tidak” dan
“Gama” artinya kacau, jika keduanya di satukan berarti “tidak kacau” atau
tidak chaos.
Agama juga di artikan sesuatu ajaran, kepercayaan, ritualitas yang
dilakukan manusia dengan harapan dapat membagi atau menentramkan,
menolong dari kesulitan-kesulitan, masalah atau problem, agama dapat
menolong kesulitan dirinya pada aturan supernatural.
Menurut keterangan Prof. Musthofa Abdur Raziq paska,
kebanyakan ahli-ahli eropa yang terdahulu menyatakan bahwa agama
adalah suatu ikatan lengkap untuk mengikat manusia dengan pekerjaan-
pekerjaannya sebagai ikatan wajib, dan untuk mengikat manusia kepada
tuhannya.
Kemudian Prof. Musthofa Abdur Raziq paska, menerangkan lagi,
bahwa makna asal dari agama yang lama adalah “perasaan mengakui hak-
hak tuhan dengan takut dan hormat”. Adapun masa sekarang, ahli-ahli
pengetahuan telah menetapkan adanya tiga makna yaitu:
Pertama : Organisasi masyarakat segolongan manusia, yang
menyusun pelaksanaan sembah yang untuk mempercayai
suatu kepercayaan.
Kedua : kesempurnaan zat yang mutlak, mempercayai, hubungan
manusia dengan kekuatan rokhani yang lebih mulia
daripada mereka sendiri, dan rohani tersebut di pandang
Esa.
Ketiga : penghormatan dengan khusuk terhadap adanya suatu
perundang-undangan atau adat atau perasaannya
(K.H.Abbas, 1984: 39).

B. Mengapa Psikologi dan Agama Saling Bermusuhan.


Dapat klita ketahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh
besar bersama agama. Di tengah perjalanan, karena pengaruh Sains modern
psikologi memisahkan diri dan memusuhi agama walaupunperkembangan
terakhir nenunjukkan gerakan ke arah integrasi, di dunia akademis pandangan
yang dominan setiak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat
yang ekstrem, psikologi menuduh agama sumber penyakit mental,
dogmatisme, prasmika rasional, dan tindakan kekerasan.
Dalam hal ini psikologi menjadi pesaing agama dalam masyarakat
barat. Ia menawarkan cara pandang dunia dengan pandangannya sendiri
tentang kehidupan yang baik, dan dengan mekanismenya sendiri untuk
memecahkan persoalan.
a. Pandangan Psikologi yang negatif terhadap Agama.
Sebab yang mendorong antara psikologi dengan agama saling
bertentangan adalah paham dominan dikalangan psikologi yang
melecehkan agama. Freud menyebutkan, agama sebagai obsesi, kadang
sebagai pemenuhan keinginan anak-anak, dan pada waktu yang lain
sebagai ilusi.
Freud mengilhami kebanyakan psikologi meninggalkan agama
menjadi nkarakter intelektual; menganggap agama sebagai psikologi
gangguan kejiwaan menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi kognitif
bekavioral, menulis dalam jurnal of Comceling and dinical psychologi,
1980.
Agama yang dogmatis, ortodok, dan taat (atau yang mungkin kita
sebut sebagai kesalahan) berkorelasi, sangat signifikan dengan gangguan
emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat
mempercayai kemastian, keharusan dan kewajiban yang absolut.
Kebanyakan orang yang secara dogmatis, mempercayai agama
tertentu, memperdayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Burung
yang sehat secara emosional bersifat lunak terbuka, toleran, dan bersedia
berubah. Sedangkan orang yang sangat relegius cenderung kaku, terttutup,
tidak toleran dan tiak mau berubah. Kerena itu kesholehan dalam berbagai
hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
b. Pandangan Agama yang Negatif terhap Psikologi.
Arogansi seperti psikolug ellis mengundang reaksi yang sangat
keras dari pokok agama. William Elpatrick menyesalkan para agamawan
yang mencampur psikologi dengan agama. Pada salah satu artikelnya yang
berjudul “First things” : “fath and terapy” : 1999, ia menulis bahwa tidak
ada kompromi antara agama Kristen dan kelompok psikologi. Rieff 1991:
juga menyatakan dengan tegas bahwa kebudayaan terapeutis menerangi
kebudayaan tradisional dengan bertujuan menghancurkannya.
Sebagaimana peringatan dostoyevsky, tanpa tuhan jadi segalanya boleh
dan budadu terapeutik tidak punya tuhan. Budaya ini sekarang bergerak
untuk untuk memporak-porandakan struktur. Moral masyarakat melalui
ajakan yang setengah tulus untuk bersifat toleran, penuh kasih, dan
menghargai keragaman. Tidak ada alasan untuk menduga ia akan
menunjukkan batas tentang apa yang boleh secara movil. Akhirnya tidak
ada lagi perbedaan antara nihilisme budaya terapeutis dengan nihilisme
Nietzsche, kecuali bahwa terapeutis tidak memiliki kepekatan Nietzsche
atau sifat kehidupan yang teragis. Psikologi sangat sedikit berbicara
tentang kebanyakan manusia yang menderita dan dunia ini. Ai sama sekali
tidak berbicara tentang kenyataan budaya bahwa kita sama akan mati.
Sebuah situs yang di buat khusus manyerang psikologi (Rakhmat, 2005:
152).

C. Pandangan Psikologi Skuler (james luba) terhadap Agama.


Psikolog yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga yang
paling informatif dan persuasif adalah Leubu sejumlah tulisanya tentang
psikolog agama menentang dalam kurun waktu setegah abad. Leuba
menentang agama mistik tradisional dengan berbagai cara, secara langsung ia
mengumpulkan bukti menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat
dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi. Ia
menunjukkan secara eksperimental bahwa ia dapat menimbulkan perasaan
kehadiran sesuatu yang samar-samar dan tidak terlihat pada subyek
penelitiannya dengan mengarahkan mereka untuk mengharapkan pengalaman
seperti itu. Menurut Leuba (1925), reaksi yang terjadi sama saja seperti
pengalaman sehari-hari ketika kita merasakan kehadiran orang lain. Fenomena
mystical yang lebih dramatis melalui penjelasan tentang proses potologis,
termasuk epilepsy, hysteria, neuratirice, dan intotilausi agfjkfklffks.
Ia mengatakan bahwa mistikus setelah pengalaman keagamaan seperti
itu besifat naif dan khuyali setelah itu, Leuba menunjukkan banyak ajaran
agama yang bermutu rendah dan tidak masuk akal. Ia juga menunjukkan
bahwa pandangan keagamaan yang konservatis itu menghabat perkembangan
pengetahuan ilmiah (Leuba, 1950).
Walaupun sangat keras mengkritik agama, Leuba sebenarnya
bermaksud memperbarui dan bukan menghancurkan agama. Bagaimana ia
sangat teritis terhadap agama tradisional, ia juga sangat kritis terhadap sain
yang maferialistik. Leuba (1950: 136) mengemukkan teori tentang “dorongan
spiritual intelejen” menuju kesempurnaan moral, suatu kecerdasan yang
dianggapnya karakterstik asli tabiat manusia. Untuk mengembangkan daya
spiritual alamiyah ini, Leuba menyerahkan dibentuknya kelompok keagamaan
yang menggunakan bentuk-bentuk, upacara, ibadah, pengakuan, dan kesenian
sakral yang sudah dimodifikasi perkembangan pengetahuan dengan bantuan
pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi
menyembah Tuhan social, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah
dari nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian dan energi moral
dari segi feistiknya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Psikologi dan agama bisa dikatakan benar dan bagus adanya. Namun
yang membuat ke juga keruh di sebabkan pelaku atau penafsiran yang tentunya
mereka berbeda dalam menafsirkan yang tidak jarang mempunyai misi dan
tujuan tertentu baik secara berfikir maupun orasi.

B. Saran
Dengan penuh kesadaran dini dan dengan segala kerendahan hati, kami
meyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki segala kesempurnaan,
sehingga tentu masih banyak lagi rahasia-Nya yang belum tergali dan belum
kita ketahui.
Oleh karena itu kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran
membangun dari pembaca sekalian. Sehingga terjadi suatu sinergi yang pada
akhirnya membuat makalah ini bisa lebih di sempurnakan lagi pada masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, 2001, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung:


PT. Sinar Baru ALBENSNDU.
Ahyadi Aziz Abdul, 2001, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila),
Bandung: PT. Sinar Baru ALBENSNDU.
Abbas Arifin Zainal, 1984, perkembangan pikiran terhadap agama, Jakarta: PT.
Pustaka Alhusna
Nashori Fuad, 2002, Agenda Psikologi Islam, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar
Kahmad Jalaludin, 2005, Psikologi Agama (Sebuah Pengantar), Bandung: PT.
Mizan
Suroso naskori dkk, 1994, Psikologi Islam (Solusi Islam Atas Problem-
Problem Psikologi), Yogyakarta: PT. Pustaka Belajar

You might also like