Professional Documents
Culture Documents
Mat Kodak
ARA TERBAIK untuk memahami seluk-beluk jurnalistik fotografi, biasa kita terangkan dengan merinci pengertian tiap bidang satu-persatu. Sebab kegiatan ini merupakan paduan tiga bidang disiplin ilmu. Pertama, kegiatan fotografi secara umum. Kedua, bidang jurnalistik, dan ketiga: jurnalistik fotografi itu sendiri. Mari kita mulai dengan memahami pengertian umum fotografi.
Mata manusia melihat, jari bergerak, kelopak tirai berkedip di belakang lensa yang dingin. Dan cahaya pun meledak di permukaan film. Maka momen itu pun berlalu. Tapi kini dia terkunci dalam ingatan kimiawi, dalam sebuah kenangan dari sekeping waktu yang siap dirayu lagi pada kenyataan setipis kertas, tentang telah terjadinya sesuatu, tentang adanya seseorang.
(Life, edisi khusus Photography, Januari 1967)
Gambaran puitis tentang kegiatan-fisik-pemotretan ini, menunjukkan hakikat fotografi sebagai suatu titik kontak antara alam pikiran dengan kenyataan. Dalam era digital kini, prinsipnya sama saja. Kalau pun harus disesuaikan,
maka istilah ingatan kimiawi boleh saja dilengkapi dengan ingatan magnetik. Sebagai alat komunikasi, esensi kerja fotografi setara dengan prinsip tulis-menulis yang umum kita kenal. Begitulah riwayat semenjak kelahirannya sekitar dua abad silam, fotografi memang mengandung makna menulis atau melukis dengan cahaya. Istilah photography dicomot dari kata Latin: photos dan grapho. Photo secara harfiah berarti cahaya, dan grapho bermakna mengungkapkan (to describe). Atau sehari-hari populer disebut: menulis dengan cahaya. Kita bisa menulis menggunakan kata-kata, ya setelah melalui suatu proses belajar. Mulai dari mengenal abjad, lalu menulis kata sampai menyusun kalimat. Melalui medium Bahasa Kata inilah kelak kita paham mengutarakan suatu pikiran atau perasaan kepada orang lain. Bisa berupa cerita tentang pertemuan dengan beragam manusia. Atau berpapasan dengan aneka peristiwa yang mengesankan. Melalui tulisan bisa disampaikan pesan, kesan, kehendak, pendapat, kritik, dan sebagainya. Ekspresi yang sama juga dapat disalurkan melalui medium fotografi. Singkatnya, baik menulis dengan kata mau pun menulis dengan cahaya, sama saja prinsipnya. Yakni sama menuntut konsep editorial yang jelas. Orang Betawi bilang: jelas ape maunye. Pabrik boleh saja jungkir balik membikin kamera sepintar apa pun. Namun hasil finalnya tetap tergantung pada kebolehan manusia di belakang kamera. Fungsi kamera buat fotografer -- tak lebih tak kurang -- setara dengan pena, mesin ketik, atau komputer buat seorang penulis. Dengan kata lain, sekali pun kita memotret pakai kamera-emas, tidak ada jaminan bakal serta-merta melahirkan karya master piece. Jadi, untuk piawai menulis atau memotret, terutama di penerbitan pers, tentu perlu dukungan ilmu pengetahuan serta keterampilan khusus.
FOTOGRAFI secara umum telah menjadi bagian vital dalam kehidupan kita, karena medium ini sangat membantu daya ingat manusia yang serba terbatas. Suatu peristiwa hari ini dapat dikenang sepanjang masa dalam sosok gambar yang akurat. Ya berupa seulas senyum bayi yang bikin orang gelinggaman alias geregetan, ya tentang hari-hari perjalanan hidup dalam suka dan duka seorang anak cucu Adam di dunia fana ini. Untuk menikmati atau menilai karya foto, memang, kita tidak harus menjadi fotografer lebih dulu. Namun kesenangan yang timbul dari cuma melihat, tentu berbeda dengan kesenangan yang diperoleh dari membuat karya foto. Ada kepuasan yang tidak mudah diungkapkan kepada orang yang tidak mengalaminya sendiri. Akrab bergaul dengan dunia fotografi, boleh jadi bakal mendatangkan hasil uang berjuta. Sebab, sebuah kamera -- berapa pun harganya, pada da-sarnya merupakan alat produksi. Kamera sebagai benda mekanik sah diberdayakan mirip mesin pencetak duit. Dengan modal kamera orang bisa mencari nafkah. Tapi lebih tinggi dari sebatas asas kebendaan ialah manfaat nilai-nilai yang bersifat nonmaterial. Bergiat di bidang fotografi, kata mereka yang berpengalaman, mendorong kita terbiasa berfikir produktif. Dan kreatif! Bersamaan dengan itu, kita pun terlatih berfikir kritis. Sebab sejak awal melakukan studi fotografi, selain memahami pasal tata cahaya maka ada tiga pasal esensial lagi yang wajib dikuasai. Pasal 1, urusan fokus. Pasal 2, soal sudut pandang (point of view); dan Pasal 3, pilihan momen yang menentukan. Pengertian fokus dalam karya foto, bukan hanya menyangkut
urusan teknis. Sebutlah kamera sudah begitu hebat sebagai alat serba pintar. Tapi foto yang secara teknis beres fokusnya, tetap dituntut harus fokus pula kandungan ceritanya. Urusan fokus punya mata rantai pada kebutuhan menyigi detail. Mata lensa bisa dikerahkan menatap dari jarak sekian mili dari subjek foto. Bahkan untuk mempermahir tulis-menulis pun, menurut buku Stop, Look and Write, kita dapat memanfaatkan karya foto sebagai modul. Para penulis -- bukan hanya kalangan pemula -- sering menghasilkan karangan yang lemah, datar alias hambar. Sebab kurang menguasai penekanan (stressing), samar atau salah pada ideide mereka. Kemampuan memberi penekanan, piawai mengungkapkan sesuatu secara jitu bagaikan berkas cahaya dalam kegelapan. Hal ini dapat dicapai berkat terbiasa mengamati detail dalam sebuah karya foto. Kekuatan detail untuk mengungkapkan sari pati suatu situasi atau karakteristik subjek (manusia atau peristiwa), memang merupakan ilmu tua dalam sejarah Bahasa Visual. Hal ini tercermin dalam sebuah peribahasa Cina: Melalui sebuah batu kita seakan-akan melihat gunung, melalui sebuah pohon seolah kita melihat hutan, melalui setetes air kita seperti melihat laut..... Akrab bergaul dengan fotografi, niscaya menumbuhkan minda fotografis atau otak fotografis. Misalnya, punya sudut pandang yang kaya terhadap suatu subjek. Dari pengalaman kelak diperoleh cara memandang bukan hanya dari empat atau delapan penjuru angin. Tapi ada sudut pan-
dang melingkar. Dari sinilah lahirnya ungkapan terkenal: kalau kita melihat sama seperti orang awam melihat, maka kita tidak melihat apa-apa -- dan, tidak memperlihatkan apa-apa.... Dalam paket kepiawaian ini terasah kesadaran serta paham tentang momen-momen penting. Singkat cerita, studi mengenai fotografi, membawa kita masuk wilayah bahasa: wilayah alam pemikiran serta hati nurani. FOTOGRAFI sebagai sarana kerja sudah lama dimanfaatkan oleh aneka profesi, atau berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dan pada gilirannya, fotografi pun berkembang menjadi ilmu pengetahuan itu sendiri. Di bagian inilah masyarakat penggemar fotografi di Indonesia masih terbelakang. Sebab sejauh ini belum ada lembaga pendidikan serius, baik untuk fotografi umum, apa lagi fotografi yang spesialistis, seperti fotografi jurnalistik. Di Amerika saja, untuk menguasai seluk-beluk fotografi, ya perlu belajar. Di negeri yang sudah lama memasuki era jagad raya itu, sudah lama pula ribuan kursus dan sekolah fotografi bertaburan di berbagai kota besarnya. Puluhan perguruan tinggi membuka jurusan fotografi untuk tingkat doktor. Di Prancis, perlu lima tahun untuk studi jurnalistik foto -sama waktunya untuk jurnalistik tulis.
Yang penting, latihan piano delapan jam sehari, dan itu saya lakukan selama 40 tahun." Nah, rata-rata kita bukanlah tergolong manusia jenius. Untuk menguasai suatu ilmu -- dalam hal ini: fotografi jurnalistik -- tentu perlu belajar lebih ekstra tekun. Dan senantiasa belajar !
CABANG FOTOGRAFI
PENCATAT SEJARAH merumuskan lima cabang besar fotografi. Yaitu: Amatir, Profesional, Komersial, Seni, dan Polaroid Land Camera. Begitulah selama ini kita baca, misalnya, dalam Ensiklopedia Britannica. Tapi tampaknya sebentar lagi jumlah cabang itu sudah boleh ditambah. Sedikitnya dua lagi. Yakni, Cabang Jurnalistik Fotografi, dan Digital Fotografi. Alasannya? Simak saja sejarahnya. Lima cabang besar tadi terbentuk, selain berdasarkan ka1% Bakat, 99% Keringat Menurut penelitian, manusia jenius memakai rakteristik tiap bidang kegiatan, juga merujuk pada 15% dari kapasitas otaknya, sedangkan manusia kehadiran kamera plus peragat pendukungnya. biasa paling top hanya 5%. Di kalangan orang Cabang Polaroid Land Camera jenius ada pemeo beken, yaitu: 1% inspiration, 99% perspiration. Terjemahan bebasnya, begini: BENDA MEKANIK ini lengkapnya bernama Polaroid Land Camera, sesuai dengan nama juraganbakat 1%, keringat 99%. Atau dalam kata-kata ilmuwan jenius -- Al- nya -- Edwin Herbert Land -- pengusaha di Amebert Einstein: Aku berpikir selama berbulan-bulan rika, yang melahirkan kamera ini tahun 1947. Kedan berbilang tahun. 99 kali, kesimpulannya keliru. hadiran kamera Polaroid Land pada masanya, dianggap membuat terobosan dalam teknologi Pada hitungan ke-100, aku benar. Sudah merupakan sunatullah atau hukum fotografi. alam, untuk mencapai prestasi tidak pernah ada tablet ajaib-nya, kecuali memang berkat ketekunan serta kerja keras. Ini sebuah ilustrasi lagi. Ludwig von Beethoven baru saja menyelesaikan pementasan sebuah komposisinya. Ia pun dirubung oleh para pengagumnya. Seorang wanita mengutarakan pujian mengenai pertunjukan barusan. "Kalaulah Tuhan menganugerahi aku kejeniusan yang sama," katanya. Beethoven berbalik memandang wanita itu. "Ini tak ada urusan dengan jenius, madam," katanya dengan suara dingin. "Juga bukan keajaiban. Anda bisa sama baiknya dengan saya. Edwin Herbert Land dan kamera ciptaannya.
Pada zaman itu, untuk melakukan pengembangan film negatif diperlukan ruangan khusus. Juga peralatan serta bahan kimia yang mesti diramu oleh ahlinya. Total waktu untuk proses film sampai jadi foto adalah sekitar satu bulan. Menurut riwayatnya, pada suatu hari di tahun 1940 adalah sang putri sehabis difoto lalu mere-ngek. Dia ingin segera bisa melihat hasilnya. Nah, kalau orang kita direngekin anak, ya si anak dicubit. Tapi bagi seorang Land justru jadi inspirasi untuk menciptakan kamera instamatik ini. Dan namanya pun masuk ke dalam sejarah fotografi. Melalui sosok kamera pula, orang Jepang berupaya keras 'masuk sejarah fotogafi'. Dalam buku The Evolution of the Japanese Camera, misalnya, dapat disimak kisah lahirnya kamera hasil perajin kayu, tahun 1880. Sampai hari ini, Jepang telah meluncurkan sedikitnya 400 lebih model kamera, berikut pernik serta ragam mekaniknya. Cita-cita Jepang untuk 'masuk sejarah fotografi' tidaklah mustahil. Apa lagi kini generasi kamera digital kian mereka giatkan. Sehingga masamasa dekat di depan kita mungkin bakal dijuluki Era Fototronik alias fotografi elektronik. Dari kenyataan ini sah sekali bagi para ahli untuk merumuskan kehadiran sebuah cabang baru. Namanya, Cabang Digital Fotografi.
reka beli kamera, yang paling murah pun cukup. Mereka tak merasa perlu mempelajari tetek-bengek teknis. Pokoknya, asal jepret, jadi foto! Selain kalangan tadi, adalah mereka yang berduit. Beli kamera tak peduli berapa pun harganya. Dunia fotografi umum mengenal istilah hobbyist. Artinya, orang yang memotret hanya sebagai hobi alias kegemaran. Selaku penggemar (dilettante) fotografi yang terbilang berduit, mereka serius bergaul dengan benda-benda foto. Termasuk membuat aneka eksperimen obat pengembang di kamar gelap. Mereka sering punya literatur atau bacaan yang kaya mengenai fotografi, hingga terbilang mahir bicara soal kodak-mengodak. Di kalangan ini ada pula kelompok unik. Satu tempo mereka jepret sana jepret sini. Namun sebuah kamera adakalanya tak berguna lama baginya serentak dia selesai memakai. Benda itu kalau bukan masuk lemari koleksinya, atau ditukar tambah dengan model paling mutakhir. Di negeri sono, kalangan ini bukan lagi dijuluki diletan, melainkan gadgetter alias pecinta peragat foto. Apa dan bagaimana pun adanya sosok mereka kini, yang jelas menurut sejarahnya, sumbangsih kaum amatir terbilang penting dalam kemajuan fotografi pada masa dini. Misalnya, di abad ke-19 belum ada pabrik kimia foto. Material obat pengembang film atau kimia untuk proses cetak foto, diramu oleh kaum amatir. Dari jerih payah mereka itulah kelak berkembangnya industri tersendiri. Begitulah riwayatnya, hingga hari ini bahan kimia foto siap pakai tersedia dalam jumlah besar di pasar -- dengan mutu yang seragam pula.
aneka kalangan. Mulai dari Mat Kodak yang menawarkan jasa foto di taman-taman umum -- biasa disebut tukang foto amatir. Lalu Mat Kodak album, sampai pada mereka yang melakukan pemotretan model untuk iklan. Atau sekalian membuka studio foto. Kecuali mereka yang beroperasi di tempattempat rekreasi atau resepsi, umumnya Mat Kodak yang bergiat di cabang ini memakai jenis kamera format besar. Mereka mahir mengoperasikan kamera serta aneka lampu, yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Beda lainnya dengan sekadar Mat Kodak taman atau resepsi, para Mat Kodak model patut dicatat memiliki citarasa khas. Sebutlah punya selera estetika -- dan di bagian ini mereka sering dijuluki seniman foto, seraya tetap ramah melayani maunya pemesan foto. Dalam Cabang Komersial, Mat Kodak terbilang halal melakukan aneka gimmick alias muslihat teknis yang piawai. Kelonggaran yang sama pun dapat dinikmati oleh mereka yang bergiat di Cabang Amatir atau pun Seni. Bedanya adalah: di Cabang Komersial sang Mat Kodak sering harus berkompromi dengan maunya pihak pemesan. Sedangkan dalam Cabang Amatir, geraknya lebih leluasa sebagai kesenangan sendiri. Apalagi di Cabang Seni, mana boleh orang lain ikut campur?
sebanyak rambut di kepala. Dari sini lahir ungkapan terkenal: seni adalah tiang demokrasi. "Seni adalah anak sebuah zaman," kata pelukis asal Russia, W. Kandinsky (1866-1944). Pelukis ekspresionis yang berkibar di Munich, Jerman, ini meninggal di Paris. Dalam 'rumus'nya, Kandinsky menyatakan, kerja kreatif merupakan pembebasan komplet dari warna dan bentuk-bentuk yang terdapat di alam. Rumusan lainnya kita dengar lagi dari dramawan W.S. Rendra (1935-2009). Pada suatu hari di tahun 1968, ia bilang: "berseni-seni itu persis seperti orang buang hajat." Yah, yang ke luar dari dalam perut tentu tidak sama dengan yang dimakan. Kalau sampai sama, itu tandanya alat pencernaan tidak beres. "Seni adalah dusta, dan seniman bekerja meyakinkan dustanya menjadi kebenaran," kata pelukis beken Pablo Picasso (1881-1973). Dan banyak lagi rumusan lainnya. Silakan untuk setuju atau tidak bersetuju. Namun dari aneka rumusan tadi -- kalau boleh disebut begitu, kiranya ada yang mungkin cocok dengan "ajaran alam yang terkembang." Yaitu, pada sosok kupu-kupu. Aslinya kan berupa ulat yang mungkin bikin kita merinding. Tapi setelah dia bermetamorfosis dalam kepompong, Sang Tangan Agung menjelmakannya menjadi kupu-kupu nan elok. Cuplikan ringkas ihwal seni-menyeni ini mengisyaratkan satu hal. Yakni karya yang bernilai seni bukanlah sekadar wujud teknis reproduksi. Tapi ada proses pencerapan serta pengolahan batin terhadap aneka subjek yang menjadi bagian pengalaman hidup. Setelah melewati suatu proses penghayatan yang intens, ketika diekspresikan kembali dia tersaji dalam sosok unik. Ada sentuhan batin, ada getaran sukma. Di bagian ini ada ungkapan jitu: apa yang berasal dari hati akan sampai ke hati. Namun jika hanya bicara dari perut, sampainya hanya ke pelimbahan...... Menurut riwayatnya, hasrat untuk berkreasi atau mencipta merupakan satu di antara kekuatan paling ajaib dalam diri manusia. Kemampuan daya cipta alias kreativitas adalah anugerah Ilahiyah buat makhluk yang dimuliakanNya. Ya, hanya untuk manusia! Kebolehan kreatif tidak terdapat pada satwa yang tergolong paling cerdas sekali pun. Kenyataan pula membuktikan bahwa kreativitas bukanlah monopoli bidang seni-menyeni saja. Tapi sesuatu yang berdiri sendiri, terlepas dari hobi, pekerjaan, pangkat ataupun status sosial. Dan menurut para ahli, kreativitas -- ibarat pisau -- hanya bakal tajam jika kita rajin meng-
asahnya. Sehingga pemotret kreatif bisa saja ditemui baik di kalangan komersial, amatir mau pun profesional. Adanya Cabang Seni dalam dunia kodak-mengodak, hanya memperjelas satu hal: fotografi adalah netral sebagai medium ekspresi. Ya, setara dengan kegiatan bahasa kata, orang berkembang sesuai dengan potensi minatnya. Ingat, misalnya, ketika awal belajar menulis di sekolah dasar dulu, kan tidak pernah disebutsebut bahwa orang harus punya bakat seni. Juga tidak pernah terdengar iming-iming: kalau pandai menulis nanti kau jadi pujangga, misalnya. Begitu pula halnya kegiatan fotografi. Setelah ada minat mempelajarinya, lalu kelak berkembang menjadi seniman foto, ya bersyukurlah.
sia. Nah, adalah agama yang memberi tuntunan untuk kembali memanusiakan manusia. Manusia bisa saja sakit. Tugas para tabib alias ahli pengobatan untuk mengurusnya. Sehat, dan tidak lupa tentang statusnya sebagai semulia-mulia makhluk, manusia pun mengembangkan citarasa estetika dan secara kreatif melahirkan beragam karya bernilai seni. Dari cikal-bakal profesi tadi kelak lahir ungkapan terkenal: dengan agama hidup punya arah, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah..... Singkatnya, suatu bidang kerja disebut profesi, karena produk atau hasilnya mampu memberi sesuatu buat manusia. Bersamaan dengan itu, mutu produknya diakui oleh kalangan ahli. Dimaksud dengan "sesuatu" bisa menyang-kut kebutuhan fisik, bisa pula nonfisik -- dalam arti memberi pencerahan spiritual dan intelektual. Produk profesional, dengan demikian, membawa kemaslahatan bagi umat manusia, lahir batin, dan bahkan dari dunia sampai akhirat. Dari cikal-bakal profesi tadi satu hal patut digaris-bawahi. Yaitu, untuk terjun di suatu profesi orang wajib membekali diri dengan ilmu pengetahuan serta keterampilan tertentu. Ada yang coba-coba pasang papan praktek dokter, padahal dia tak pernah sekolah dokter. Namanya, ya dokter palsu. Dan seterusnya, dan sebagainya. Sebagai catatan kaki, boleh juga diketahui bahwa sekali kita memilih sebuah lapangan pekerjaan sebagai profesi, maka siap secara mental untuk tidak mengenal istilah bekas ataupun pensiunan. Di bidang keagamaan, misalnya. Mana ada sih bekas ulama atau bekas rohaniwan? Biasanya, adalah bekas buaya yang menjadi abuya -- sapaan akrab untuk seorang ulama. Lalu, di bidang kesenian. Kalau ikut pakemnya, tentu tidak ada istilah bekas pelukis. Atau bekas pengarang, bekas penyair, dan seterusnya. Begitu pula di bidang ketabiban alias kedokteran, mana ada sih bekas dokter? Atau bekas insinyur, bekas profesor, misalnya. Jelas tidak ada! Akan halnya status pensiunan, boleh jadi seorang ulama, dokter atau pelukis pensiun sebagai pegawai di suatu kantor pemerintah atau swasta. Namun sebagai dokter, ulama, rohaniwan atau seniman, niscaya gelar itu menyatu dengan namanya. Dan terus melekat hingga akhir hayatnya -bahkan terpahat sampai di batu nisannya. Beda profesional dengan amatir, dengan demikian, bukanlah hanya berkisar pada paham kebendaan. Tapi lebih esensial, yakni menyangkut sikap dan tanggung-jawab secara kemasyarakatan. Itu sebabnya, seorang profesional senantiasa memelihara sikap dasar dalam dirinya -- bak kata peri-
bahasa: di balik langit ada langit lain. Artinya, selain dia masih banyak orang yang lebih ahli. Artinya lagi: seorang profesional tidak pernah berhenti belajar.
melebihi revolusi yang dicapai oleh Polaroid Land Camera. Pada gilirannya kini seluloid serta berbagai bahan kimia dipinggirkan, untuk disilih dengan proses serba elektronis, yang mampu mewujudkan hasil dalam tempo seketika. Seluruh citra gambar disimpan dengan sistem compact disk (CD system) yang dijuluki sebagai album magnetik. Tapi lebih dari sekadar sosok kamera, digital itu sendiri sebagai sistem perekam serta pengolahan citra gambar, telah melahirkan revolusi khas di dunia industri media massa. Kalau baru sebatas memainkannya untuk bikin film iklan mau pun video klip, mungkin tak ke-liwat istimewa. Di bidang industri film bioskop, misalnya, sistem digital telah dimanfaatkan total. Misalnya, sutradara beken Steven Spielberg, terusterang menyingkapkan rahasia teknis pembuatan film Jurassic Park. Fantastis, memang. Di tangan seorang operator yang piawai, melalui tombol-tombol komputer dapat diwujudkan adegan film sesuai dengan yang dimaui. Tidak ada lagi visualisasi secara grafis yang mustahil. Dan di kalangan awak media cetak pun tak ada lagi sport jantung dalam urusan mengirim atau menunggu kiriman foto dari jarak jauh. Hanya dengan sekali klik -- dan dalam hitungan detik, semua urusan pun selesai. Tadinya wartawan foto dari daerah perlu jasabaik pilot atawa pramugari, agar fotonya bisa segera sampai di Jakarta. Di tengah dahsyatnya perubahan ini, ada yang untung ada pula yang mungkin berkabung. Gelagat kurang menguntungkan, misalnya, melanda para peragawan atau peragawati -- kalau tak salah, di Taiwan. Biro iklan tidak memakai mereka lagi untuk model. Bukan hanya tarif model asli dianggap kemahalan. Lebih dari itu, model hasil rekayasa peragat digital bisa dibikin poco-poco alias bahenol nan aduhai...... Para pengagum dan pengagung teknologi pun meramalkan kamera digital bakal menewaskan jenis kamera analog. Artinya, ya bakal menggusur habis fotografi konvensional. Aha!
Di bagian ini ada baiknya kita tidak latah untuk buru-buru membuat kesimpulan macam itu.
JOURNALISTIC dalam Bahasa Inggris merupakan kata sifat journal (jurnal). Berasal dari kata Latin: diurnalis, secara harfiah berarti harian. Dalam perkembangannya kemudian istilah jurnal itu berarti sebagai catatan harian. Dan bisa pula berupa berkala mingguan, bulanan ataupun tahunan. Dua istilah itu -- diurnal dan journal -- biasa dipakai dalam penerbitan berkala sekitar abad ke17 dan ke-18. Baru di abad ke-20, kata journal lebih sering digunakan sebagai sebutan untuk bahan-bahan publikasi. Menurut sejarahnya, sekitar 3000 tahun yang silam, Raja Mesir Amenhotep III mengirim ratusan pesan kepada para pejabatnya di berbagai provinsi. Pesan itu berisi aneka informasi tentang apa yang terjadi di ibukota dan penting diketahui oleh segenap bawahannya itu.
paran informatif ialah penyampaian hal-hal yang bermanfaat (useful). Berita, komunikasi, fakta, dan bermanfaat, yang termaktub dalam definisi tadi dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut. z Berita, adalah suatu penyajian saksama mengenai fakta-fakta berkenaan dengan suatu peristiwa hangat dan mengesankan, yang penting dan berharga untuk diketahui umum. Kita garis bawahi: penyajian saksama. Ini mengandung pengertian tentang timbang-menimbang sebelum melansir suatu berita. z Komunikasi, dari akar kata Latin: communicare, secara harfiah artinya berbagi (to share). Dalam seluruh komunikasi, kata-kuncinya ialah pengetahuan. Untuk kepentingan tulis-menulis, kuasai persoalan lebih dulu agar tulisan menjadi efektif. z Fakta, berita atau pesan yang disajikan sesuai apa adanya. Tidak ditambah atau dikurangi, apa lagi dimanipulasi. Dalam paket fakta sekaligus terkandung tuntutan kecermatan (akurasi) serta paham tentang kode etik profesi. Di bagian ini beda mendasar wartawan dengan pengarang. z Bermanfaat, berita yang disajikan dapat memperkaya pengetahuan serta wawasan publik. Ini yang tersimpul dalam kalimat: penting dan berharga untuk diketahui umum.
Definisi Informasi
DALAM CERITA singkat seputar asal-muasal kata journal tadi, satu kata kunci kita garis bawahi, yakni: informasi. Kata ini niscaya bukan sesuatu yang asing di telinga kita. Bahkan sering juga disingkat jadi info -- untuk menyebut kabar-angin yang belum jelas juntrungan kebenarannya. Menurut kamus, istilah informasi berasal dari kata Latin (informatio), berarti: berita; kata atau tulisan yang dikomunikasikan secara cerdas; suatu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk fakta-fakta. Masih menurut kamus, suatu pa-
tak berbeda dengan materi yang dibawa tukang belanja di rumah makan, ya mash berupa bahan mentah. Jadi perlu dimasak dulu, termasuk berbagai hasil jepretan para Mat Kodaknya. Tugas memasak atau mengolah bahan mentah tadi diserahkan pada lapisan yang disebut redaktur. Istilah ini dicomot dari bahasa Belanda (redacteur). Belakangan, biasa pula memakai istilah Inggris (editor). Padahal dalam bahasa Indonesia ada padanannya, yakni: penyunting. Kita tunda dulu membahas pelecehan terhadap bahasa sendiri yang kini kian mewabah -justru di dunia media massa. Cuplikan tentang buku pegangan kerja sebagai ciri sebuah usaha media massa itu memang serius. Menarik dicatat: dari ratusan usaha media cetak di Indonesia saat ini, yang punya buku pegangan kerja yang jelas belum lebih dari hitungan jari di tangan kita. Jadi, jangan heran jika ada media yang diarak ke meja hijau, dan harus bayar ganti rugi lantaran mencemarkan nama baik seseorang. Pada mulanya adalah paham sesat: mengira pada era kebebasan orang bisa bebas pula menerbitkan koran atau majalah. Atau bicara seenaknya melalui media massa. Belum luas dipahami bahwa beda bebas dan liar itu batasnya pun hanya setipis kulit bawang. Hati-hati! Menurut kamus profesional, tugas wartawan bukanlah mengejar atau mengais berita -- apa lagi sampai mengada-ada. Tapi memilih atau menyortir berita yang bertaburan sehari-hari di depan hidung kita. Kejelian memilih dan memilah berita adalah suatu bentuk keunggulan penerbitan pers. Ini yang membedakan mutunya satu sama lain. Sebagaimana diisyaratkan dalam "definisi informasi" tadi, kentara sekali menyadari pentingnya kualitas sumber daya manusia di dunia kewartawanan ini. Itu sebabnya prasyarat untuk menjadi wartawan pada intinya harus berada sedikitnya selangkah di depan masyarakat. Kiasan itu mengandung pengertian bahwa wartawan sepatutnya memiliki kualitas pribadi, pengetahuan serta kadar intelektualitas lebih tinggi seranting ketimbang masyarakatnya. Jika cuma setara dengan orang kebanyakan
-- apa lagi lebih bodoh, niscaya ia tidak akan mampu memberi manfaat apaapa untuk masyarakat luas ......
Pandangan terkotak-kotak semacam itu, sungguh kontra-produktif. Perlu ditumbuhkan kesadaran bersama bahwa fotografi -- dan medium komunikasi visual lainnya, adalah pemain utama dalam bisnis publikasi. Sebab riset membuktikan, foto yang berkesan lebih melekat dalam ingatan manusia dibandingkan tulisan. Itu sebabnya, karya fotografi menjadi bagian integral alias tidak terpisahkan dalam paket kegiatan pers. FOTOGRAFI, menurut sejarahnya ditemukan tahun 1826, tidak membuat revolusi pada penerbitan pers, sekali pun sejak sekitar tahun 1840an kamera sudah dipergunakan secara luas. Tahun 1877, koran The New York Daily Graphic di Amerika merupakan surat kabar harian pertama yang tampil dengan ilustrasi gambargambar. Yaitu berupa sketsa aneka kejadian, dan itu sering dicontek dari karya fotografi. Begitulah, upaya memanfaatkan karya foto untuk penerbitan pers pada awalnya tetap saja menggunakan jasa pelukis. Ini tampaknya cocok dengan riwayat masa dini kelahiran fotografi itu sendiri, yang sebagian besar adalah berkat ikhtiar kaum pelukis potret untuk mendapatkan gambar dengan kemiripan yang sempurna. Baru setelah terjadi penyempurnaan teknik percetakan menjelang masuk abad ke-20, fotografi berkibar di media cetak sebagai kekuatan khas. Termasuk di negeri kita. Cuma ketika itu, sekitar tahun 1930an, adalah koran Pewarta Deli pimpinan Adinegoro yang memuat foto. Itu pun sekali sepekan, tiap hari Sabtu. Foto-foto mengenai peristiwa dunia itu diper-oleh dari hasil kerjasama dengan koran Telegraaf di Amsterdam, Negeri Belanda. Foto tersebut dikirim dalam bentuk matris, dan klisenya dikerjakan di sini. Lantaran jarak yang begitu jauh, akibatnya ya pemuatan foto-foto tadi jadi terlambat alias sudah basi sebagai berita. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehadiran foto dalam hidangan publikasi, turut menyumbang pada gairah ma-
syarakat untuk membaca. Dan sering pula terbukti minat baca dan pengertian publik banyak tergantung kapada cara bagaimana foto disajikan.
Wartawan Foto ialah mengabadikan hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan nasibnya. Wartawan Foto melihat sesuatu, memang, bukanlah sekadar buat kesenangan sendiri. Dia merekam aneka kejadian, atau tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi atau diketahui masyarakat. Dia datang ke suatu tempat, pada hakikatnya memikul amanah publik: di kamera sang Mat Kodak pembaca menitipkan mata. Nah, jika Wartawan Tulis membuat liputan cukup sebatas menceritakan, maka Mat Kodak dituntut secara spesifik untuk memperlihatkan apa yang telah terjadi. Melalui karya foto, dia sajikan gambaran dunia secara hidup. Show, dont tell ! ujar pemeo lama tentang tugas Wartawan Foto. Kini ujar-ujaran itu direvisi: show and tell ! Sehingga para pembaca seakan diajak terlibat melalui seluruh inderanya.
Dari sini lahir ungkapan terkenal: Mat Kodak melihat untuk berjuta mata! Komunikasi visual adalah kata-kunci dalam seluruh pembicaraan kita. Dan fotografi sebagai medium dipakai bukan mendorong orang jadi fotografer alias tukang foto. Tapi lebih spesifik supaya kelak berkembang sebagai photojournalist -- wartawan atau ahli komunikasi yang secara profesional mampu memahami seluk-beluk bercerita dalam Bahasa Visual. Sama seperti media tulisan, maka Bahasa Visual atau Bahasa Fotografi juga merupakan alat menyatakan pendapat atau piranti berpikir. Fotografi Kewartawanan, dengan demikian, tidak seharusnya cuma dipandang dengan kacamata kuda: dikagumi karena dianggap sulit, atau sebaliknya diremehkan karena dianggap amat gampang. Setara dengan potensi bahasa tulisan, maka Fotografi Kewartawanan pun merupakan lambang suatu peradaban. ***
www.edzoelverdi.com
Kepustakaan
z 2nd World Exhibition of Photography. Dr Karl Pawek, Hamburg, 1968. z The 35mm Photographers Handbook, Julian Calder & John Garret, Lon don, 1979. z The AP Photojournalism Stylebook, The Newsphotographers Bible, Brian Horton, 1990. z The Art of Editing, Floyd K. Baskette & Jack Z. Sissors, Macmillan Publish ing Co. Inc., New York, 1977. z The Book of Photography - How to Take Better Pictures, John Hedgecoe. z The Business of Photography. Robert M. Cavallo & Stuart Kahan. Crown Publishers Inc., New York, 1981. z The Complete Book of Photographing People. Michael Busselle, Kenan Press, New York, 1980. z The Complete Guide to Writing Biographies. Ted Schwarz, Writers Digest Books, Cincinnati, Ohio, 1990. z The Creative Photographer, Andreas Feininger, 1959. z Dictionary of Photography. Adrian Bailey, 1987. z Encyclopedia of Photography. Hamlyn, 1986. z The Europeans Photographs. Henry Cartier-Bresson. Published in New York by Simon & Shutzer, 1955. z The Family of Man. Museum of Modern Art, New York, 1955. z Great Action Photography. Bryn Campbell, Ebury Press, 1983. z Internet. Berbagai situs fotografi (umum dan khusus jurnalistik foto). z Large Format Photography. Publisher: Nikolaus Karpf, Munich, 1973. z Magazine Editing and Production, J.W. Click & Russel N. Blair. z Master of Contemporary Photography - The Photojournalist: Marry Ellen Mark & Anne Leibovitz, Los Angeles, 1974. z People Photography - How to Take Better Picture. Beekman House, New York, 1982. z Photographs -- Then and Now, album foto National Geographic, 1998. z The Picture History of Photography, Peter Pollack, New York, 1977. z Photographer on Photography. Antologi, Nathan Lyons, 1966. z Photojournalism, Life Library of Photography, 1971. z Photojournalism - Photography with a Purpose, Robert L. Kern, 1980. z Photojournalism: A Freelancers Guide. Harvey L. Bilker, Contemporary Book Inc., 1981. z Photojournalism: The Professionals Approach. Kenneth Kobre, 1980. z Pocket Guide to Practical Photography. John Hedgecoe, NewYork, 1979. z Powerful Communication Skills - How to Communicate with Confidence, Colleen McKenna, Career Press, 1998. z Practicing Global Journalism: Exploring Reporting Issues Worldwide, John Herbert, Focal Press, 2001. z Production for the Graphic Designer. James Craig, Watson-Guptill Publica tions, New York, 1981. z Principles of Editing - a Comprehensive Guide for Students and Journalists. Daryl L. Frazell & George Tuck, 1996. z The Professional Journalist: A Guide to the Practice and Principles of the News Media, John Hohenberg. z Realism - Photorealism. Esai foto, Philbrook Art Center, Tulsa, Oklahoma, 1980. z Stop, Look, and Write! Effective Writing Through Pictures. Hart Day, Leavitt & David A. Sohn. Bantam Book Inc., 1979. z The World as It was, a Photographic Portrait 1865-1921, Margaret Loke. Summit Books, New York, 1980. z Writing in Style, buku pegangan awak redaksi The Washington Post, 1975.
ED ZOELVERDI * MAT KODAK MELIHAT UNTUK BERJUTA MATA > BIODATA (1)
Biodata ED ZOELVERDI
LAHIR di Kutaraja (kini BandaAceh), 12 Maret 1943. Kedua orang tuanya berasal dari Kotogadang, Bukittinggi. Pendidikan formal sampai tingkat SLTA, dan selebihnya belajar sendiri (otodidak) -- termasuk dalam kerja pemotretan dan jurnalistik. Kursus melukis di Balai Budaya, Jakarta, bimbingan pelukis Nashar dan Oesman Effendi (alm). Status : Menikah dengan Farida, 1973. RIWAYAT PEKERJAAN. Jurnalis, Fotografer, Kolomnis, Konsultan Media Publikasi. z 2010, Instruktur bidang Fotografi Jurnalistik pada Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI Pusat. z 2008-sekarang, Dosen Tamu di Universitas Negeri Jakarta, untuk Jurnalisme Fotografi. z 2007-sekarang, Senior Editor berkala bulanan Lionmag -- the inflight magazine of Lion Air. z 2002-sekarang, Dosen Luar Biasa FISIP Universitas Indonesia, Depok, untuk Jurnalisme Foto & Tulis. z 2002-sekarang, Dosen Tamu di Universitas Hamka, Jakarta, untuk Fotografi Jurnalistik. z 1991-2002, Instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta, bidang Jurnalistik Foto. z 1995-1998, Staf Editor dan Redaktur Pelaksana di majalah berita mingguan Gatra. z 1971-1994, Staf Editor majalah berita mingguan Tempo. Mulanya mengurus rubrik Daerah-Kota-Desa hingga 1975, lalu ditugasi menjadi Editor Foto (1976-1985), selang-seling memegang rubrik Suka Duka, Pokok & Tokoh, Indonesiana, Perilaku, serta Dunia-siana. z 1991, Editor Foto dan perancang buku foto Minangkabau (24 x 34 cm, 240 halaman). z 1984, bersama 40 fotografer Asia, Eropa dan Amerika yang disebut Tim Fotografer Dunia, mengerjakan foto untuk buku A Salute to Singapore -- esai fotografi untuk memperingati 25 tahun konstitusi Negara Pulau itu. z 1967-1971, karikaturis di surat kabar Harian KAMI lalu mengerjakan lay out, kemudian masuk sebagai wartawan: menulis dan memotret. Juga mengasuh kolom khusus Jangan Dilewatkan dengan nama pena Batara Odin dan Matoari. z 1970, Asisten Director of Photography dalam pembuatan film Dunia Belum Kiamat -- disutradarai Nya Abbas Akup; > Jurukamera 5 film pendek (16 mm) untuk acara Arus & Lembaran Kehidupan asuhan Dewi Rais Abin di TVRI Jakarta. z 1969-1970, memotret acara-acara di Taman Ismail Marzuki untuk dokumentasi Pusat Kesenian & Dewan Kesenian Jakarta. z 1965-1966, mulai bekerja di persurat-kabaran sebagai pembantu lepas (freelance), untuk gambar pena di koran harian Duta Revolusi, dan mingguan Abad Muslimin, Jakarta. z 1965, mengerjakan desain poster film Liburan Seniman, produksi Perfini. z 1964, Kontributor (reporter) lepas RRI Jakarta, untuk acara Kebudayaan asuhan Wiratmo Soekito. z 1962-1963, pegawai sekretariat perusahaan pelayaran samudera Djakarta Lloyd, Jakarta. CERAMAH. Sejak 1971-sekarang, tampil di berbagai forum publik fotografi (penataran, lokakarya, seminar, diskusi), yang diselengga-rakan instansi pemerintah atau swasta. Juga di sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, ITB, Universitas Nasional, Universitas Trisakti, Univer-sitas Gajah Mada, Universitas Andalas, Universitas Muhammadiyah, IKIP Jakarta, dan lainlain). z 1992, menyelenggarakan Lokakarya Nasional Jurnalistik Foto di Banjarmasin -- kerjasama PWI Pusat dan PWI Cabang Kalimantan Selatan. z 1986, pertama kalinya mengadakan Lokakarya Jurnalistik Foto se-Indonesia, di Jakarta. Kerja-sama PWI Pusat dan Friedrich Ebert Stiftung. z 1991-1999, mengisi agenda tahunan penataran Jurnalistik Foto keliling ke berbagai daerah, kerja sama PWI Pusat dan Departemen Penerangan. JURI. Mulai 1971, terlibat di dalam penjurian aneka lomba foto, baik sebagai anggota maupun ketua, di dalam negeri serta manca-negara. Misalnya, pada tahun 1979, anggota juri kontes foto se Asia yang diselenggarakan Asia Cultural Center for Unesco (ACCU), di Tokyo, Jepang. z 2010, juri Lomba Foto Festival Erau, Kutai Kartanegara. z 2008, juri Lomba Foto Bumi Serpong Damai. z 2002-03-04-07, anggota juri Pertamina Press Awards. z 1985, anggota juri lomba foto yang diadakan majalah Asiaweek, di Hong Kong. z 1986-1991, anggota juri Festival FiIm Indonesia untuk bidangposter. z 1991, di Jenewa, Swiss, juri untuk Lomba Internasional Foto dan Gambar Remaja di Abad Elektronika VI, diselenggarakan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional. LOMBA FOTO. 1995, merancang lomba foto 50 Tahun RI kerja sama majalah Gatra dan Hailai, Jakarta. > Merancang lomba foto dan ketua juri untuk Festival Istiqlal. z 1992, merancang lomba foto pers untuk disertakan dalam pameran World Press Photo di Jakarta. z 1990, merancang lomba foto untuk Taman Safari Indo nesia; z 1989, merancang lomba Jurnalistik Foto PWI tingkat nasional sekaligus ketua juri. z 1986, merancang lomba dan ketua juri Lomba Foto Lalulintas, diadakan Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya. PAMERAN. 1990-1992, anggota panitia pameran koleksi
ED ZOELVERDI * MAT KODAK MELIHAT UNTUK BERJUTA MATA > BIODATA (2)
World Press Photo di Ba lai Erasmus, Jakarta. z 1988, Koordinator pameran foto yang diselenggarakan Panitia KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) 1990-1991. z 1986, merancang pameran foto jurnalistik 15 tahun majalah Tempo. PERJALANAN. Keliling seantero wilayah Indonesia. Trip Asia meliputi Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Hong Kong, dan Macau. Lawatan Eropa: ke Holland, Belgia, Austria, Jerman, Inggris, Prancis, Swiss, dan Swedia. Juga ke Russia. Kawasan Afrika, ke Mesir dan Mauritius, di tenggara benua itu. z 1993 ke Amerika Serikat, dan keliling negara ASEAN . z 1988, menunaikan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah. KARYA PUBLIKASI. 1970-sekarang, menulis artikel tentang fotografi di berbagaiharian dan majalah. z 2008-sekarang, menulis aneka masalah sosial dan politik di situs pribadi www.edzoelverdi.com. Belakangan juga diFacebook. z 2007, menulis buku Humor Koruptor (8,5 x 12,5 cm). z 2005, menulis Ota Palanta -- pojok humor di koran Padang Ekspres, edisi hari Minggu. Juga di majalah BWatch, Jakarta. z 2003, Editor untuk buku biografi Rais Abin - dari Ngarai ke Gurun Sinai, diterbitkan Legiun Veteran RI. z 2001, mengerjakan foto untuk kalender 2002 Pertamina. z 1998, Konsultan Kreatif proyek map wisata Minangkabau, Bengkulu, Sumbawa dan Maluku. Diterbitkan oleh Pemda setempat bekerjasaa dengan Departemen PU. z 1996, bersama Nazif Basir dan Yunisaf Anwar, editor buku Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang, terbitan BK3AM DKI Jakarta. z 1997, editor buku Romantika Indonesia, terbitan majalah Gatra, kumpulan berita jenaka di rubrik yang bernama serupa di majalah berita itu. Kata Pengantar oleh Jayasuprana. z Menulis lepas di majalah Matra mengenai pengalaman per jalanan, dan menulis cerita satire di majalah Humor. z 1991, Perancang/Pelaksana Produksi/Editor Foto/Fotografer buku foto Minangkabau, diterbitkan Yayasan Gebu Minang. z 1989, editor buku Jurnalistik Foto Indonesia -- kumpulan foto jurnalistik karya peserta lomba tingkat nasional yang pertama. z 1985, menyusun buku Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata, buku pertama di Indonesia tentang jurnalistik fotografi yang dikerjakan orang dapur dunia pers. Diterbitkan oleh Pustaka Grafiti. z Kini sedang merevisi buku Mat Kodak menjadi tiga buku @ 300 halaman (13,5 x 20.5 cm). Juga satu buku lawatan jurnalistik: Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya. z Proses final dummy buku Abum Retrospektif Ed Zoelverdi (21x 27.4 cm), kumpulan foto pribadi, 240 halaman.
z Juga sedang merampungkan Kamus Fotografi Umum dan Kamus Bahasa Minang - Indonesia (10 x 15 cm). ORGANISASI. 2003-2008, Ketua Departemen Jurnalistik Foto PWI Pusat. z 2002-2003, Direktur Program Jurnalistik Foto PWI Pusat. z 1989-1998, Ketua Kelompok Kerja PWI Pusat Bidang Jurnalistik Foto. z 1990-1992, Anggota Pengurus Lembaga Gebu Minang. z 1986-1989, anggota Pengurus Yayasan Asmat yang diketuai Kharis Suhud. z 1996 - sekarang, anggota Persatuan Wartawan ASEAN (CAJ). z 1967-sekarang, anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jakarta. PENGHARGAAN. 2010,menerima Kartu Pers Nomor Satu dari Masyarakat Pers Indonesia pada Hari Pers Nasional, 9 Februari. z 2009. menerima Penghargaan Gatra sebagai Proklamator majalah berita itu, tahun 1994. z 2008, masuk Ensiklopedi Pers Indonesia, terbitan PWI Pusat. z 1991, masuk buku Whos Who in Australasia & Far East, IBC Cambridge, Inggris. z 1988, masuk buku 235 Tokoh Bicara Tentang Buku, terbitan Yayasan Data Group, Bandung. z 1987, menerima Adam Malik Award (Anugerah Adam Malik) untuk pengabdian di bidang fotografi. z 1986, masuk buku Apa Siapa Sejumlah Orang Indone sia, Pustaka Grafiti, Jakarta. > Masuk Ensiklopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta. z 1981, masuk buku A Whos Who for Asian Cultural Center for Unesco (ACCU), Tokyo. HOBI. Menikmati musik, mengobrol, dan mengoleksi cerita jenaka. Alamat rumah: Jalan Mirah Delima IV/14, Sumur Batu RT 04-4, Jakarta 10660. Telepon (021) 424-4025. e-Mail : indosati@yahoo.co.uk mat.kodak@edzoelverdi.com Situs : www.edzoelverdi.com Facebook : Ed Zoelverdi Jakarta, 17 Agustus 2010.