You are on page 1of 19

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan Di Kota Yogyakarta
Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu sendirilah yang membedakan diantara sesama manusia baik berwujud sikap, perilaku maupun perlakuannya, pembedaan ini masih sangat dirasakan oleh mereka yang kebetulan penyandang cacat, baik cacat sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia baik yang menyandang cacat maupun yang tidak menyandang cacat (Tjep F Aloewie, 2000:1). Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, kaumpenyandang cacat mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang beda, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of production atau dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandangmasyarakat dalam melihat hasil kerja kaum penyandang cacat mengacu kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas kecacatan, sehingga perlu dikasihani. Dari Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya orang cacat dengan orang yang tidak cacat, walaupun, secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan oleh kaumpenyandang cacat. Kenyataan ini pula yangmembuat para penyandang cacatmenolak dengan tegas istilah disable untuk sebutan kaum mereka dan menggantinya dengan istilah diffable yang artinya different ability. Terminologi diffable dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan perbedaan kemampuan fisik kaum penyandang cacat (Wayan Damai dan Ayu Triyani, 2003). Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana tersebut di atas, berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk keberlangsungan hidup mereka. Hal ini tercermin dari protes yang dilayangkan oleh Nuning Suraytiningsih dari Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) Yogyakarta, pada saat melakukan aksi di DPRD DIY (Ibid). Menurut Nuning, kaum diffable masih merasakan adanya diskriminasi oleh pemerintah. Salah satu perlakuan diskriminatif tersebut, menurutnya adalah minimnya fasilitas umum bagi kaum diffable dan kecilnya kesempatan kerja. Dia mengatakan, penyebab utama perlakuan diskriminatif selama ini adalah minimnya peraturan yang mengatur kaum diffable. Saat ini, menurutnya semua peraturan atau Undang-undang yang dibuat hampir semuanya tidak berperspektif diffable, sehingga kaum diffable seolah bukan bagian dari masyarakat (Ibid). Menurut Tjepy FAloewie (Ibid), Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga KerjaRI, peranan Depnaker dalam memberikan kesamaan dan kesempatan pelayanan ketenagakerjaan serta pengembangan Sumber Daya Manusia kepada penyandang cacat, diarahkan pada upaya

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

peningkatan harkat,martabat dan kemampuan sertamenambah rasa percaya diri sendiri. Upaya peningkatan ini diarahkan untuk menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera melalui pemerataan dan kesamaan memperoleh kesempatan kerja.

Dalam jajaran pelaksana Pemerintahan, Departemen Tenaga Kerja sebagai salah satu pengemban tugas dan fungsi tehnis di bidang ketenagakerjaan, secara filosofis dan konstitusional, bertumpu pada dasar falsafah Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD 45 memberi kerangka acuan global bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Makna yang terkandung di dalamnya mempunyai arti, bahwa tidak ada perbedaan setiap warga untuk memperoleh pekerjaan, baik warga pernyandang cacat maupun masyarakat pada umumnya. Mereka mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dalam penghidupan dan kehidupan. Dengan demikian, penyandang cacat berhak bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan menyesuaikan jenis dan tingkat derajat kecacatannya (Op.Cit). Berbekal pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit penyandang cacat berhasilmengangkat tingkat kesejahteraan dalamkehidupan yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari peran penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat ( the right person on the right job) sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Keberhasilan kehidupan Penyandang Cacat tentunya dapat menepis pandangan sebagian masyarakat bahwa tenaga Kerja Penyandang Cacat kurang produktif bila dibanding dengan tenaga kerja pada umumnya, dan bila memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat, perusahaan akan merugi dan produksinya akan terusmerosot. Belumlagimobilitasmereka dianggap sangat terbatas, sehingga menjadi beban bagi perusahaan untuk menyediakan fasilitas (Ibid). Disamping itu, pandangan masyarakat yang masih keliru tersebut dapat dibuktikan dengan eksistensi kemandirian para penyandang cacat dalam menghasilkan barang atau jasa. Penyandang cacat terbukti dapat berkarya secara produktif baik secara sendiri-sendiri maupun secara Berkelompok/Kelompok Usaha Bersama (KUB) (Ibid). Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia masih beranggapan bahwa tuna netra, meskipun telah Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 diberikan rehabilitasi, termasuk rehabilitasi pendidikan dan rehabilitasi vokasional, tetap saja mereka tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif, akibatnya, mereka ditempatkan sebagai warga masyarakat yang senantiasa harus disantuni. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada tiga masalah yang bisa dirumuskan sebagai berikut, yaitu: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kesetaraan hak-hak para penyandang cacat (diffable) sebagai warga masyarakat Indonesia?; (2) Bagaimanakah kebijakan pemerintah dan kalangan pengusaha terhadap hak-hak penyandang cacat (diffable) dalammemperoleh pekerjaan?;dan (3) Faktor-faktor apa saja yangmendukung danmenghambat kesetaraan hak para tenaga kerja penyandang cacat dalam meraih peluang kerja?

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

Adapun ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi: Identifikasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan hak-hak penyandang cacat (diffable); potensi SDMdan diversifikasi peluang kerja bagi para penyandang cacat (diffable); kebijakan pemerintah dan kalangan pengusaha terhadap kesetaraan hak penyandang cacat dalam meraih pekerjaan; faktor-faktor yang mendukung dan menghambat kesetaraan hak para tenaga kerja penyandang cacat dalam kesempatan meraih pekerjaan, dan menganalisis konsepsi hukum yang terkait dengan hak-hak penyandang cacat dalam meraih kesempatan kerja.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui konsepsi hukum yang terkait dengan hakhak para penyandang cacat, baik hak-hak politik, sosial dan ekonomi, khususnya dalam bidang pekerjaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan solusi dalam mewujudkan kesetaraan hak-hak para penyandang cacat sebagai warga Negara, khususnya dalam memperoleh pekerjaan; selain itu tujuan penelitian ini untuk membangun image yang positif terhadap para penyandang cacat di masyarakat bahwa pada hakikatnya mereka itu mempunyai hak-hak yang sama di mata hukum sebagai warga negara. Hasil penelitian ini diharapkan dapatmenjadi kontribusi positif baik bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam membuat regulasi yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi para penyandang cacat. Bagi pengusaha diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam perekrutan karyawan terutama dari kelompok penyandang cacat. Selain itu, bagi masyarakat secara umumdiharapkan hasil penelitian dapatmembuka cakrawala pemahaman dan kesadaran untuk menjadikan para penyandang cacat setara sebagai warga Negara dengan segala dan kewajiban yang melekat padanya. Terakhir diharapkan hasil penelitian bermanfaat bagi para penyandang cacat sendiri dalampemberdayaan potensimereka dalamupayameraih kesempatan yang sama dengan warga Negara lainnya untuk mendapatkan pekerjaan khususnya. Tinjauan Pustaka Kerangka Teori Pengertian Penyandang Cacat Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 dan pada bagian penjelasannya disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu ataumerupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu: 1. Penyandang cacat fisik, meliputi: a) Penyandang cacat tubuh (tuna daksa) Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 160 b) Penyandang cacat netra (tunanetra) c) Penyandang cacat tuna wicara/rungu d) Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis) 2. Penyandang cacat mental, meliputi: a) Penyandang cacat mental (tuna grahita); b) Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda. Pada ayat 2 sampai ayat 6 diuraikan mengenai hal-hal yang terkait dengan penyandang cacat, seperti pengertian derajat kecacatan sebagai tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang. Selanjutnya dijelaskan pada ayat berikutnya menyangkut kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat yang diartikan sebagai keadaan yangmemberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sebagai upaya menjembatani perwujudan dari hak-hak persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat sebagaimana disebutkan di atas, maka pada ayat selanjutnya dalam Pasal 1 tersebut diuraikan pengertian dari aksesibilitas sebagai kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Selanjutnya dalam konteks pemberdayaan para penyandang cacat dijelaskan mengenai rehabilitasi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Pada bagian lain diuraikan mengenai arti dari bantuan sosial sebagai upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya, dan selanjutnya diuraikan juga mengenai arti pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagai upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapatmewujudkan taraf hidup yang wajar. Senada dengan rumusan pengertian penyandang cacat tersebut, dalam ketentuan deklarasi hak-hak penyandang cacat Perserikatan Bangsa Bangsa, disebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang yang tidak mampu baik secara keseluruhan maupun sebagian dari kebutuhannya seperti halnya orang normal yang disebabkan keterbatasan kemampuan baik secara fisik maupun kemampuan mentalnya (UN, 1993:541). Kewajiban Hukum dan Moral Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga mempunyai kedudukan hak: kewajiban dan peran yang sama. Kepedulian pemerintah telah terwujud dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandanag Cacat. Sesuai dengan isi yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kehidupan dan penghidupan. Ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997, bahwa setiap perusahaan baik pemerintah maupun swasta harus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat denganmempekerjakan penyandang cacat di perusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatannya, pendidikan dan keterampilannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruhnya. Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Quota tersebut hendaknya tidak diberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat bukan karena adanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai moral sebagai sesama manusia dan satu bangsa. Upaya ini perlu adanya dukungan dan komitmen dari seluruh masyarakat dan dukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan (Op.Cit). Senada dengan ketentuan tersebut, dalam ketentuan Undang-undang No.13 tahun 2004

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

disebutkan, bahwa perusahaan yangmempekerjakan penyandang cacat,maka diwajibkan untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang dapat menunjang bagi tenaga kerja penyandan cacat tersebut dalam menjalankan tugasnya (Abdul Khakim, 2003:64). Perhatian Masyarakat Internasional Hak-hak para penyandang cacat telah lama menjadi pusat perhatian Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi Internasional lainnya. Hasil yang paling penting dari Tahun Penyandang Cacat Internasional 1981 adalah Program Aksi Dunia mengenai Para Penyandang Cacat yang telah ditetapkan oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya No.37/52. Tahun Penyandang Cacat Internasional dan Program Aksi Dunia tersebut, merupakan tenaga penggerak yang kuat bagi kemajuan dalam bidang kecacatan ini. Kedua hal tersebut, memberi tekanan pada hak para penyandang cacat untuk memperoleh kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya, serta hak untuk memperoleh bagian yang sama dalam perbaikan kondisi kehidupan sebagai hasil dari pembangunan sosial dan ekonomi (Resolusi PBB,1993). Pertemuan global para ahli untuk meninjau kembali pelaksanaan program aksi dunia mengenai para penyandang cacat pada pertengahan Dekade PBB untuk Para Penyandang Cacat diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1987. Pada pertemuan tersebut disarankan agar dikembangkan satu filsafat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan prioritas bagi aksi di tahun-tahun mendatang. Dasar filsafat tersebut seyogyanya berupa pengakuan atas hak-hak para penyandang cacat. Sehubungan dengan hal tersebut, pertemuan itu merekomendasikan agar Sidang Umum menyelenggarakan suatu konferensi khusus untuk merancang konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap para penyandang cacat, yang harus diratifikasi oleh negara-negaramenjelang berakhirnya dekade tersebut (Ibid). Sebuah rancangan garis besar konvensi disiapkan oleh Italia dan disajikan kepada sidang umum ke42. Penyajian lebih lanjut mengenai rancangan konvensi itu dilakukan oleh Swedia pada sidang ke-44, akan tetapi, dalam kedua sidang tersebut tidak dapat dicapai sebuah konsensus tentang konvensi yang cocok. Banyak perwakilan berpendapat bahwa dokumendokumen tentang hak-hak asasimanusia yang telah ada sudah dapatmenjamin para penyandang cacat untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan orang lain (Ibid). Peraturan Hukum Standar Peraturan standar persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat telah dikembangkan atas dasar pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang Cacat PBB (1983 - 1992). Piagam Internasional Hak-hak Azazi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak Azazi Manusia Universal, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadapWanita,maupun ProgramAksi Dunia mengenai PenyandangCacat,merupakan landasan politik danmoral bagi peraturan ini.Meskipun peraturan ini tidak wajib, tetapi dapat menjadi peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh sejumlah besar negara dengan tujuanmenghormati suatu aturan dalam hukum internasional (Ibid). Peraturan tersebut mengandung nilai moral yang tinggi, dan negara-negara memerlukan komitmen politik yang kuat untuk dapat melaksanakannya demi terciptanya persamaan kesempatan itu. Prinsip-prinsip penting untuk bertanggung jawab, berbuat dan bekerja sama terkandung pula di dalamnya. Bidang-bidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat pula

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

dipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama teknik dan ekonomi di antara negara-negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi organisasi internasional lainnya (Ibid). Peraturan tersebut bertujuan untuk menjamin agar para penyandang cacat anak-anak maupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan,memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang lain sebagai warga masyarakatnya. Di dalam semua masyarakat di dunia ini masih terdapat hambatan-hambatan yang mengakibatkan para penyandang cacat tidak dapat menggunakan hak dan kebebasannya sehingga sulit bagi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan-kegiatan di masyarakatnya. Merupakan tanggung jawab negara-negara untuk melakukan tindakan yang tepat demi menghilangkan hambatan-hambatan tersebut. Para penyandang cacat dan organisasi-organisasinya seyogyanya memainkan peran aktif sebagai mitra kerja dalam proses menghilangkan hambatan-hambatan tersebut (Ibid). Persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat merupakan suatu sumbangan yang sangat penting bagi usaha memobilisasi sumber daya manusia secara umum dan global. Perhatian khusus mungkin perlu diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu seperti wanita, anak-anak, lanjut usia, yang miskin, para pekerja migran, penyandang cacat ganda atau multi, suku terasing dan etnik minoritas. Disamping itu, terdapat pula sejumlah besar pengungsi penyandang cacat yang mempunyai kebutuhan khusus yang memerlukan perhatian (Ibid). Penelitian Terdahulu Hasil riset Pusat HakAsasiManusia (PusHAM) Universitas IslamIndonesia (UII), Yogyakarta(2003), menyangkut hak asasi penyandang cacat di DIY, yang disampaikan kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa 4 Februari 2003, menyimpulkan, bahwa penderita cacat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih terabaikan. Meskipun beberapa tempat di Kota Yogyakarta memberikan fasilitas bagi orang cacat, berupa ubin bertekstur pemandu (guiding blocks), seperti di trotoar Jalan Malioboro, gedung Jogja Ekspo Centre (JEC), dan Jalan Mangkubumi, tetapi pemanfaatannya belum ekfektif karena terganggu pedagang kaki lima.Kukus Kristanto dan Muji Kusnanto, keduanya penyandang cacat kaki yang menjadi responden PusHAM UII, mengungkapkan, fasilitas bagi penyandang cacat masih jauh darimemadai. Di Jalan Kaliurang, misalnya, Kukus dan Muji mengakui, satusatunya kendaraanumum yang mau memberi tumpangan bagi penyandang cacat hanya bus Baker. Awak busBakermaumemberikan tumpangan pada penyandang cacat karena sudah ada perjanjian dengan Panti Yayasan Kesehatan Kristen Untuk Umum (Yakkum) (Kompas, 5/2/2003).Sheila Riddell dan Theresa Tinklin (2005), dari Universitas Glaslow, Scotlandia dalampenelitiannya yang berjudul: Disability and Employment in Scotland: A Review of the EvidenceBase, mengemukakan beberapa temuan penting terkait dengan hak-hak penyandang cacatdalammeraih pekerjaa, yaitu: bahwa seperlima dari penduduk Scotlandiamengalami kecacatan.Namun demikian,meskipun ada kemajuan ekonomi dan peningkatan-peningkatan secara umumdalam bidang kesehatan, tetapi sejumlah penduduk penyandang cacat menuntut peningkatankesejahteraan dari rendahnya kualitas kehidupan mereka dan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Panjangnya jarak kota Scotlandia dan Glaslow menjadikan para pekerja penyandang cacat tidak mampu meraih kesejahteraan dan level yang paling rendah serta level yang paling tinggi tidak dapat diraih oleh para penyandang cacat. Para penyandang cacat jauh lebih sedikit untuk kualifikasi tenaga kerja dibandingkan dengan mereka yang tidak cacat. Hal ini berimplikasi negatif terhadap hasil dari seleksi karyawan. Dalam status mereka sebagai pegawai posisi yang mereka raih rendah dan pengahasilannya

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

juga rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak cacat. Meskipun secara ekonomi umumnyapenyandang cacat di Scotlandiamengalami penderitaan yang lumayan panjang, namun keadilansosial dan kebijakan pembangunan ekonomi untuk kelompok ini baru dimulai. Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini lebihmenekankan pada kualitatif tanpamengabaikan pencarian data kuantitatif, dengan berupaya untuk memperoleh data sedalam-dalamnya dari lapangan baik melalui penelusuran dokumen, literatur, maupun dari hasil wawancara terhadap responden. Data Penelitian Penelitian ini akan menggali dan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer akan dilakukan dengan cara survey lapangan dengan mewawancarai para responden penelitian dengan menggunakan teknik accidental sampling yaitu peneliti mewawancarai responden penelitian yang dijumpai pada saat survey di lapangan pada ketiga kelompok subjek penelitian sebagaimana disebutkan di atas. Data sekunder didapatkan dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang cacat sebagaimana disebutkan di atas, literatur, data BPS Kota Yogyakarta, dan dokumen lainnya yang terkait dengan masalah dan obyek penelitian.

Analisis Data Berdasarkan ruang lingkup penelitian ini, maka data penelitian akan dianalisis secara deskriptif yang terbagi dalam dua bagian, yaitu: Analisis yuridis, yaitu melakukan identifikasi dan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dan pengusaha yang terkait dengan penyandang cacat. Selanjutnya akan dilihat juga bagaimana implementasi dari penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Perlidungan Hukum Terhadap Kaum Diffable Pada bagian ini akan diuraikan dan dianalisis dua hal, yaitu menyangkut peraturan perundang-uundangan yang terkait dengan kepentingan kaum diffable, khususnya menyangkut aksesibilitas bagimereka. Selanjutnya, akan dianalisis mengenai konsepsi hukum yang dibangun dalam peraturan perundang-undangan yang ada tersebut. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang cacat khususnya yang memberikan jaminan aksesibilitas bagi mereka ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain, yaitu: Hukum Internasional Dalam Deklarasimengenai Hak-hak bagi Penyandang Cacat (the Declaration on the Rights of the Disabled Persons), yang diadopsimelalui ResolusiMajelis Umum 3447 (XXX) pada tanggal 9 Desember 1975, dinyatakan bahwa deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari niat komunitas untuk menciptakan standar kehidupan yang tinggi, pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan kemajuan dan pengembangan kondisi sosial ekonomi, serta memperkuat kepercayaannya dalam Hak Asasi manusia, kebebasan mendasar dalam prinsip-prinsip perdamaian, martabat and nilai dari kemanusiaan individu dan keadilan sosial. Deklarasi ini membedakan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

mental. Pembahasan disini hanya sebatas pada penyandang cacat yang oleh Deklarasi diartikan sebagai berikut: any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities. Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh para penyandang cacat dinyatakan oleh pasal 4 yang berbunyi: disabled persons have the same civil and political rights as other human beings; paragraph 7 of the Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons applies to any possible limitation or suppression of those rights for mentally disabled persons. Dengan adanya pembedaan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan mental maka dimungkinkan pembedaan dalam hal keluasan hak-hak yang disandang oleh kedua kelompok. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh pasal 4 di atas.Atau dengan kata lain, penyandang cacat memiliki hak-hak sipil dan politik penuh sebagaimana layaknya orangorang normal. Namun, kepantasan bagi calon pemimpin bangsa dapat ditolak. Mengenai hukum HAMpara penyandang cacat di tingkat internasional tidak bisa dilepaskan dari pertemuan para ahli mengenai hak-hak para penyandang cacat yang diadakan oleh PBB yang bekerjasama dengan Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley dan the World Institute on Disability (Oakland, California USA) di Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley pada tanggal 8-12 December 1998. Dalam pertemuan tersebut dipilih Professor Andrew Byrnes dari University of Hong Kong sebagai ketua dan Dr. Marcia Rioux dari the Roeher Institute, Canada, sebagai Rapporteur; Professor Alison Dundes Renteln of University of Southern California dan Dr. Ana Maria de Frappola dari the Inter-American Unit on Childhood, amilies and Disabilities of the Organisation of American States, sebagai Sekretaris Pertemuan. Pertemuan tersebut ditujukan bagi pengkajian dan peninjauan ulang terhadap persoalanpersoalan dan kecenderungan-kecenderungan yang terkait dengan aplikasi praktis dari normanorma internasional yang tertuju pada promosi HAMpara penyandang cacat. Secara garis besar pertemuan menghendaki akan terdapatnya sebuah upaya yang lebih serius dalam kaitannya dengan sosialisasi pemahaman dan upaya-upaya yang berupa legislasi di tingkat domestik. Kehendak ini tidak terlepas dari keinginan untukmenjadikan norma-norma yang berada di tingkat internasional dapat lebih membumi. Pendekatan yang digunakan oleh rezim HAM internasional terhadap hak-hak para penyandang cacat adalah sebagai berikut. Pendekatan pertama, memandang bahwa para penyandang cacat bukan sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga, harus dipahami dalam kaitannya dengan persoalan kemuarahan hati dari seseorang atau hanya mendasarkan pada dorongan-dorongan moral belaka. Menurut kelompok para ahli konvensional para penyandang cacat telah dipandang sebagai abnormal, yang patut dikasihani dan dipedulikan. Bukan juga sebagai individu yang berhak penuh sebagaimana halnya individu normal lainnya yang dapat menjalani kehidupan normal sebagai bagian dari anggota masyarakat lainnya. Sebagai konsekuensinya, para penyandang cacat sering termajinalisir dan dikeluarkan dari masyarakat dan seringkali hak-hak dan kebebasankebebasan undamentalnya sebagai manusia ditolak. Evolusi pemikiran ini kemudian tercermin dari sikap komunitas internasional yang mulai

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

berkonsentrasi pada pembentukan norma-norma yang diharapkan dapat menjamin penikmatan hak-hak dasar oleh para penyandang cacat. Pendekatan yang disebut oleh para kelompok ahlidisebut sebagai: the move from the patronising and paternalistic approach to persons with disabilities represented By the medical model to viewing them as members of the community with equal rights. Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh instrumen-instrumen internasional HAM. Pada era 1970-an, kepedulian masyarakat internasional terhadap HAM para penyandang cacat dimanifestikan oleh makin banyaknya inisiatif PBB dalam kaitannya dengan konsepsi HAMpara penyandang cacat yang berhubungan dengan persamaan kesempatan. Untuk merealisasikan penikmatan HAM secara penuh oleh para penyandang cacat terdapat sebuah kerangka yang disebut sebagai the United Nations Decade of Disabled Persons 1982-1993. Satu tahun sebelumnya, 1982, telah dinobatkan sebagai tahun para penyandang cacat. Sebagai pencapaian utamanya adalah dihasilkannya the World Programme of Action concerning Disabled Persons (1982), yang merupakan rencana global yang bersifat komprehensif yang menjadikan equalization of opportunities sebagai guiding principle bagi pencapaian para penyandang cacat dalam kaitannya dengan kehidupannya pada aspek sosial dan ekonomi. The Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (1993) merupakan hasil utama dari the Decade of Disabled Persons, yaitu merupakan sebuah instrument bagi pembentukan kebijakan dan sebagai basis bagi kerjasama teknis dan ekonomi. Disamping itu,masih terdapat sejumlah konvensi-konvensi umumdan rekommendasi-rekomendai yang dapat dikenakan pada para penyandang cacat yang telah diadopsi oleh berbagai badanbadan inter-governmental dan kelembagaan-kelembagaan internasional seperti ILO, UNESCO dan ECOSOC. Pengakuan dan dimasukannya HAM para penyandang cacat dalam dokumen-dokumen seperti the Vienna Declaration and Programme of Action (1993), the Copenhagen Declaration and Programme of Action (1995), dan the Beijing Declaration and Platform for Action (1995) menunjukan bahwa para penyandang cacat menyandang HAMsebagaimana layaknya manusia normal.

Hukum Nasional yang meliputi: (1) Amandemen II UUD 45 Dalam Pasal 28 H ayat (2), disebutkan: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (2) UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPD Dalam Pasal 60 disebutkan, bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota harus memenuhi syarat: a. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; cakap berbicara,membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; b. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat; c. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 88 menyebutkan: (1) Jumlah pemilih di setiap IPS sebanyak-banyaknya 300 orang.

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

(2) IPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penynndang cacat (Pasal 5). Selanjutnya dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Dalam ketentuan Pasal 5 disebutkan: Dalam ketentuan ayat 2 disebutkan, bahwa Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnyatelah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. (5) UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pasal 51 Ayat (2) disebutkan: IPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Akomodasi hak-hak politik para penyandang cacat dalam kedua paket Undang-undang tersebut, secara normatif sudah cukup memadai, hanya saja dalam konteks praktis implemtasinya masih jauh dari realita yang diharapkan, sebab, masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam Pemilu, antara lain: a) Hak untuk didaftar guna memberikan suara; b) Hak atas akses ke TPS; c) Hak atas pemberian suara yang rahasia; d) Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif; e) Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu; a) Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dan lain-lain. (6) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan, bahwa: Negara dan pemerintah berkewajiban clan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. (7) UU Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Dalam ketentuan Pasal 27 dan Pasal 31 disebutkan, bahwa: a) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 167 kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung. b) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Dalam ketentuan Pasal 31 disebutkan: a) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) meru-pakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. b) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalambangunan gedung dan lingkungannya. c) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (8) UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h, disebutkan bahwa: Pembebasan Bea Masuk diberikan atas Impor barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya. (9) UU Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian Dalam Pasal 35 ayat 1 disebutkan, bahwa penderita cacat dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api. (10) UU Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dalam ketentuan Pasal 49 ayat 1 disebutkan, bahwa Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan. (11) UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan Dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 disebutkan, Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga. (12) UU Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran DalamPasal 83Ayat (1) disebutkan Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan. (13) UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Sebagaimana UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, undang-undang kesehatan tidak secara eksplisit memberikan jaminan kepada penyandang cacat. Namun demikian, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. (14) UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Undang-undang tersebut, tidak secara eksplisit memuat tentang penyandang cacat. Namun demikian, dalam Pasal 1 sudah disebutkan, bahwa setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Yang dimaksud dengan Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yangmemungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat denganmenjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajibanmanusia sesuai dengan Pancasila. Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 168 (15) PP Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan Pasal 12 berbunyi:

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

a) Pembinaan dan pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas penduduk dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, termasuk penyediaan sarana, prasarana dan jasa. b) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan bentuk pembinaan dan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dapat diberikan kemudahan-kemudahan sesuai dengan jenis hambatan yang perlu diatasinya. Penjelasan Pasal 12 disebutkan: Masyarakat rentan di sini termasuk kelompok yang tidak atau kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fiisknya, misalnya kelompok miskin, masyarakat daerah terpencil, daerah dengan lingkungan hidup kritis, anak terlantar, penyandang cacat, lanjut usia, dan lain-lain. Adapun bentuk penyediaan pelayanan/ kemudahan dapat berupa penyediaan di tempat, seperti kursi roda, alat angkut, kamar kecil, jembatan, clan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan clalam mengatasi hambatan masyarakat rentan. Untuk pelayanan masyarakat rentan, setiap orang yangmelakukan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum perlu menyediakan alat/ pelayanan bagi masyarakat rentan tersebut. Dari deskripsi peraturan perundang-undangan di atas, secara formulatif dan normatif tampak komprehensif mencakup berbagai sektor publik dan privat dari kepentingan para penyandang cacat khususnya, dan kelompok rentan pada umumnya.Namun demikian, pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang. Berdasarkan temuan survey di lapangan (Wawancara,8-10/12/2005) di Yogyakarta, peraturan daerah yang menyangkut kepentingan para penyandang cacat, seperti aksessibilitas di ruang publik belum ada. Menurut salah seorang staff bagian hukum pemerintah Kota Yogyakarta, pada periode DPRD tahun 1999-2004, rancangan peraturan daerah tentang hakhak aksesibilitas bagi penyandang cacat yang dimotori oleh Komisi A, namun sampai sekarang pembahasanmengenai raperda tersebutmasih terus dibicarakan, sehinggameskipun di beberapa tempat umum bangunan gedung sudah ada yang menyediakan aksesibilitas bagi para penyandang cacat,maka hal itumerupakan inisiatif dari pemilik gedung itu sendiri, tanpamemakai payung hukum yang legitimate. Realitas tersebut sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh PusHAM UII pada tahun 2003 yang menemukan fakta, bahwa penyediaan aksesibilitas fisik/fasilitas umum bagi diffabel di DIY masih sangat minim, sehingga membatasi ruang gerak diffabel. Meskipun hakhak penyandang cacat tersebut sudah dijamin oleh Resolusi PBB No. 48/96 tahun 1993mengenai Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, UUD 1945, UU HAM, dan UU Penyandang Cacat, namun realisasi pemenuhan hak-hak itu masih terlupakan dan terabaikan. Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa kultur dan struktur pemegang kebijakan yang masih mengandung implikasi bahwa orang yang tidak normal tidakmemenuhi syarat untukmemperoleh kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Menurut Uning Pratimarati (2005), bahwa setiap perundang-undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundangundangan tertulis barn merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yangdinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat. pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif.Aspek substansi hukum yangmenjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain mencakup jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidanamaupun sanksi administrasi. Namun dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan, untuk itu perlu dilakukan suatuAffirmativeAction gunamewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar.Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut: 1. Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pacla umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputi: a) Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya, misalnya melalui seminar, penyebaran lembar informasi (info sheet), dialog publik, media center, memasukan materi perundang-undangan penyandang cacat ke dalam kurikulum pendidikan dan sebagainya. b) Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah. c) Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memper-juangkan hak-haknya. 2. Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas. Pola pembudayaan ini sepertinya yang tersulit. Karena, bercermin dari kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, memerlukan waktu yang lama dan dengan strategi pembudayaan yang kontinyu serta simultan dengan melibatkan masyarakat yang sudah tersadarkan (Jakarta Mitra Online,12/3/2001). Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Kota Yogyakarta) Pada bagian ini akan diuraikan mengenai data kuantitatif sebaran penyandang cacat di Kota Yogyakarta. Selanjutnya akan dianalisis mengenai kebijakan pemerintah dan dunia usaha dalam pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat. Berdasarkan temuan data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta dalam 5 tahun terakhir, diketahui bahwa jenis kecacatan dan jumlah penyandang cacat di Kota Yogyakarta, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan perubahan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa besarnya jumlah penyandang cacat yang tersebar di berbagai daerah di Kota Yogyakartamengindikasikan tingkat kesehatanmasyarakat di Yogyakarta cukup memprihatinkan, sebab factor kecacatan yang dialami masyarakat tersebut terjadi pada

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

semua kalangan usia. Selain itu, banyaknya jumlah penyandang cacat di Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 170 Yogyakarta jugamenuntut adanya perlakuan dan pengayoman untuk keberlangsungan hidup dan penghidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan temuan survey yang dilakukan oleh PusHAM UII (2003), bahwa pada tahun 2003, berdasarakan keterangan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi D.I.Y, satusatunya perusahaan yang ada di Propinsi Yogyakarta, yang sudah menampung tenaga kerja diffabel adalah PT. Tunggal Garmen. Sementara itu, menurut Haryono dan Nuniek (wawancara, 10/12/ 2005) para tenaga kerja dari kaum penyandang cacat yang mendaftar kartu kuning di Dinas Tenaga Kerja Kodya Yogyakarta, setiap tahunnya selalu ada. Rata-rata setiap tahun yangmencari kartu kuning sekitar 10 orang. Selain itu,Menurut Haryono, dalammomen-momen tertentu Dinas Tenaga Kerja Kota juga melakukan training pembekalan kerja kepada calon tenaga kerja penyandang cacat yang dipilih secara selektif. Hal itu karena keterbatasan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat. Hasil dari didikan dan binaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota tersebut saat ini telah bekerja di sebuah konveksi dan Toko Elektronik di kawasan Ngasem. Sementaramenurut Nuniek, ada juga salah seorang penyandang cacat yang bekerja sebagai pelayan di rumah makan KFC MC Donald di salah satuMall diMalioboro. Biasanyamerekamemakai tanda khusus di topinya yang bertuliskan special order. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa, diversifikasi peluang kerja terhadap tenaga kerja diffabel masih sangat minim. Menurut Haryono, hal itu bisa jadi karena beberapa faktor antara lain adalah seperti yang pernah diungkapkan oleh kalangan pengusaha dalam public hearing mengenai Raperda Penempatan Tenaga Kerja pada bulanOktober 2005 yang lalu, bahwa logika hukum yang tersurat dalam UU No.4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, dalam salah satu pasal disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Kata harus dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sebagai kewajiban, maka akan berimplikasi kepada penafsiran yang bersifat subjektif. Sebab, kata Haryonomenurut kalangan pengusaha, jika misalnya dalam perusahaannya ada 500 orang karyawan, apakah berarti akan merekrut 5 orang tenaga kerja penyandang cacat. Bila perusahaan tidak sedang memerlukan karyawan baru apakah harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), demi untuk mengakomodir tenaga kerja penyandang cacat. Lebih lanjut lagi, apakah pihak perusahaan

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

harus bersikap proaktif untuk mencari tenaga kerja penyandang cacat tersebut?. Munculnya interpretasi yang subjektif tersebut, kiranya perlu diakomodir dalam peraturan teknis operasional dari UU tersebut yang bisa menjembatani antara kepentinagan pengusaha, tenaga kerja penyandang cacat, dan juga pemerintah dalamkonteks hubungan industrial. Dalam konteks inilah perumusan kebijakan yang bersifat fakultatif antar masing-masing daerah dalam mengakomodasi kepentingan para pihak harus tepat, misalnya dalam perancangan suatu Peraturan Daerah yang mesti mengakomodir kepentingan ketiga pihak secara tepat dan bijak. Menyangkut masalah diskriminasi yang sering ditudingkan oleh beberapa kalangan mengenai kebijakan penempatan tenaga kerja penyandang cacat dan non cacat, menurut Haryono, pihaknya memberikan pelayanan yang sama tanpa membedakan antara yang normal dan yang cacat dalam berkompetisi mencari kerja. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa para tenaga kerja penyandang cacat yang mencari kartu kuning untuk persyaratan melamar Pegawai Negeri Sipil (PNS) setiap tahunnya sekitar 10 orang, tetapi dengan blanko khusus sesuai dengan kecacatan yang bersangkutan. Hanya saja, menurut Haryono keputusan final mengenai diterima tidaknya seorang tenaga kerja penyandang cacat tersebut, bergantung kepada keputusan user, dan hal itu sangat dipengaruhi oleh kualifikasi yang diberikan oleh user itu sediri, mengenai kelayakan kandidat karyawan yang dibutuhkannya. Sejalan dengan hal tersebut di atas, langkah yang telah ditempuh Departement Tenaga Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 171 Kerja dalam penempatan tenaga kerja Penyandang Cacat meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. Secara terus menerus melakukan Sosialisasi UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PP No.43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. 2. Meningkatkan dan memperluas kesempatan kerja pada sektor formal dan informal melalui kerja sama antar Instansi maupun perusahaan (Surat menaker ke Ketua APINDO No. 68/M/ 98 tanggal 31 Juli 1998 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat). 3. Melaksanakan dan Law Enforcement dan pemantauan pelaksanaan UU No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Surat Dirjrn Binapenta, 1998). Faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Kepedulian pemerintah telah terwujud dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandanag Cacat. Sesuai dengan isi yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kehidupan dan

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

penghidupan. Ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa setiap perusahaan baik pemerintah maupun swasta harus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatannya, pendidikan dan keterampilannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruhnya. Dalam ketentuan Undang-undang tersebut disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Quota tersebut hendaknya tidak diberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat bukan karena adanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai moral sebagai sesama manusia dan satu bangsa. Upaya ini perlu adanya dukungan dan komitmen dari seluruh masyarakat dan dukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan (Tjepp F Aloewie, 2000:3). Berdasarkan deskripsi tersebut,maka kegiatan penempatan tenaga kerja perlu dilaksanakan dengan baik dan benar tanpa mengenal diskriminasi dan perbedaan antar tenaga kerja pada umumnya maupun tenaga kerja khusus Penyandang Cacat. Meskipun kondisi ekonomi saat ini masih belum stabil yang berekses pada jumlah pengangguran yang semakin bertambah, Departemen Tenaga Kerja cq Ditjen Binapenta tetap menjalankan fungsinya sebagai unit pelayanan dalam pembinaan dalam penempatan Tenaga Kerja salah satu diantaranya adalah tenaga kerja penyandang cacat. Perlu diketahui bahwa hambatan-hambatan yang bersifat tekhnis dan non tekhnis masalah ketenagakerjaan diantaranya (Ibid): 1. Hambatan keterbatasan kesempatan kerja yang terbuka bagi tenaga kerja pada umumnya maupun penyandang cacat. 2. Hambatan ketidaksesuain keterampilan tenaga kerja penyandang cacat dengan persyaratan jabatan dan kondisi kerja yang ada. 3. Hambatan kesadaran dan sikap penerimaanmasyarakat dalam dunia kerja terhadap tenaga kerja penyandang cacat . 4. Hambatan dalam kelancaran kerjasama dan keterpaduan antar instansi/lembaga yang mempunyai hubungan saling keterkaitan dalam pengelolaan tenaga kerja penyandang Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 172 cacat. 5. Hambatan dari intern pribadi tenaga kerja penyandang cacat sendiri dan atau keluarganya. 6. Keterbatasan kemampuan apbn baik rutin maupun pembangunan urituk mempertahankan/ meningkatan kegiatan yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja penyandang cacat. Oleh karena itu, upaya menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dikembangkan koordinasi dan komunikasi antar lembaga terkait, baik dari Instansi Pemerintah maupun Swasta secara terpadu, dan salah satu altenatif lain untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dapatmelalui kewiraswastaan yang andal danmandiri baik dalambentuk perorangan maupun Kelompok Usaha Bersama (KUB) (Ibid). Pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan, sehingga mampu bekerja secara produktif dan renumeratif perlu dilakukan

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

pelatihan-pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta. Pelatihan ini dimaksudkan agar para tenaga kerja penyandang cacat lebih dapat : 1) Meningkatkan kepribadiannya serta lebih percaya diri dan mampu untuk melakukan pekerjaan. 2) Meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan. 3) Menumbuhkan rasa kemandirian dan siap memasuki lapangan kerja. Dengan cara-cara tersebut diatas akan didapat tenaga kerja penyandang cacat potensial yang siap memasuki lapangan kerja. Ada contoh kelebihan lain dari tenaga kerja penyandang cacat potensial yakni pada jenis pekerjaan tetap (stational) yang tidak banyak memerlukan mobilitas seperti operator telepon, operator komputer dan lain-lain. Selain itu, seseorang yang menyandang tuna rungu memiliki keunggulan untuk ditempatkan pada pekerjaan yang memiliki kondisi lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi. Pemberdayaan masyarakat dalam mengupayakan aksesibilitas dapat menunjang upaya mewujudkan aksesibilitas bagi penyandang cacat di Indonesia. Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai usaha yang memimgkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambil bagian dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara yang menentukan nasib mereka. Pemberdayaanmasyarakatmerupakan upaya yang didasari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah dan dilemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah kondisi clan posisinya. Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan. Pemberdayaan dalam arti ini berarti usaha menclorong proses transformasi relasi kuasa yang timpang, menjadi relasi baru yang adil dan setara (M. Syahbudin Latif, 1999:197). Partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat antara lain dengan membentuk kelompok-kelompok organisasi kemasyarakatan.Di Indonesia terdapat lebih dari 50 organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya bergelut di berbagai kegiatan dalam rangka pemberclayaan dan meningkatkan kemandirian penyandang cacat. Kegiatan tersebut antara lain clilakukan dengan menyelenggarakan pembinaan, pendidikan, penelitian, pelatihan, maupun advokasi bagi penyandang cacat. Organisasi kemasyarakatan ini sangat diperlukan dalam melakukan affirmative action guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai, yaitu untiikmewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Organisasi seperli itu diharapkan dapat menjembatani para penyandang cacat dengan penentu kebijakan. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kekuatan pressure group dalam memperjuangkan hak-hak para penyandang cacat yang termasuk kelompok masyarakat rentan. Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 173 Pola penyadaran internal para penyandang cacat itu sendiri sangat penting. Hanya sedikit

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

penyandang cacat di Indonesia yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya clan gigih dalam memperjuangkan hak clan kewajibannya. Perasaan inferiormerupakan problem psikologis yang cenclerung dimiliki oleh kebanyakan para penyandang cacat terutama yang tinggal di pelosok dan yang tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan inferior karena problem atau keterbatasan fisik dan seolahmenerima takdir yangmenimpanya seakan dijadikan legitimasi untuk tidak berpikir kritis, berjuang lebih keras, tidak mudah menyerah dan bersikap wajar. Kemudahan pelayanan dan perlakuan khusus tidak dengan serta merta membuat para penyandang cacat untuk terns terlenamenikmatinya. Hambatan-hambatan psikologis inilah yang pertama kali harus dihilangkan (Jakarta Mitra Online, 12/13/2001). Kesimpulan Berdasarkan temuan dari penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut: 1. Bahwa aspek hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi. 2. Kebijakan pemerintah dalam mengakomodir hak-hak penyandang cacat khususnya dalam meraih pekerjaan, secara normatif hanya mengacu kepada UU No. 4 tahun 1997 yang perumusannya masih mengandung kelemahan, dan multi interpretatif sebagaimana disebutkan di atas. Sementara itu, peraturan teknis mengenai penguatan hak-hak penyandang cacat dalam sebuah peraturan daerah (PERDA) di Yogyakarta, khususnya masih belum ada, sehingga hal itu berimplikasi terhadap masih belum kuatnya hak-hak penyandang cacat ditegakkan. 3. Hambatan-hambatan yang bersifat teknis dan non teknis masalah ketenagakerjaan secara umum dan penyandang cacat khususnya, antara lain adalah sebagai berikut: a. Hambatan keterbatasan kesempatan kerja yang terbuka bagi tenaga kerja pada umumnya maupun penyandang cacat. b. Hambatan ketidaksesuain keterampilan tenaga kerja penyandang cacat dengan persyaratan jabatan dan kondisi kerja yang ada. c. Hambatan kesadaran dan sikap penerimaan masyarakat dalam dunia kerja terhadap tenaga kerja penyandang cacat . d. Hambatan dalam kelancaran kerjasama dan keterpaduan antar instansi/lembaga yang mempunyai hubungan saling keterkaitan dalam pengelolaan tenaga kerja penyandang cacat. e. Hambatan dari intern pribadi tenaga kerja penyandang cacat sendiri dan atau keluarganya. f. Keterbatasan kemampuan dana untuk meningkatan kegiatan pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat.

Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo

Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan, Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 174 antara lain: 1. Perlu adanya rekonstruksi konsepsi hukum yang mengakomodir kepentingan para penyandang cacat, dari yang bersifat negatif menjadi positif, sehingga pelaksanaannya bisa terjamin. Selain itu, perlu penjabaran teknis dalam peraturan daerah terhadap UU yang memayungi penyandang cacat, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dalam implementasinya. 2. Diversifikasi peluang kerja, dan pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat perlu lebih diperbanyak dan ditingkatkan lagi, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya, untuk pemerataan kesempatan bagi tenaga kerja penyandang cacat yang jumlahnya cukup signifikan, khususnya di Kota Madya Yogyakarta. 3. Perlu dilakuan penelitian lanjutanmengenai diversikasi peluang kerja bagi penyandang cacat, sehingga bisa diketahui jenis-jenis pekerjaan apa yang relevan bagi para penyandang cacat, sesuai dengan tingkat kecacatannya.

You might also like