You are on page 1of 12

MANAJEMEN USAHA KECIL DAN KOPERASI PROSPEK PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL DI B2P2TO-OT TAWANGMANGU

Disusun Oleh : Friska Dwi Ismaya H3511009

PROGRAM DIPLOMA III FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013

I.

PROFIL B2P2TOOT Sekarang ini banyak industri obat tradisional yang mengolah berbagai macam tanaman obat menjadi obat herbal terstandar, fitofarmaka, dan jamu. Salah satu industri obat tradisional itu adalah B2P2TOOT yang berada di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. B2P2TOOT adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada awalnya tahun 1948 berupa rintisan koleksi tanaman obat Hortus Medicus Tawangmangu. Pada tahun 1963-1968 berada di bawah koordinasi Badan Pelayanan Umum Farmasi dan kemudian pada tahun 1968-1975 dibawah Direktorat Jenderal Farmasi (Lembaga Farmasi Nasional). Pada tahun 1975-1979 kebijakan Pemerintah menetapkan Hortus Medicus di bawah pengawasan Direktorat Pengawasan Obat Tradisionil, Ditjen POM, Depkes RI. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No. 149/Menkes/SK/IV/78 pada tanggal 28 April 1978 status kelembagaan berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kesehatan. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 491/Per/Menkes/VII/2006 tertanggal 17 Juli 2006, BPTO meningkat status kelembagaannya menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT). B2P2TO-OT mempunyai Visi dan Misi. Visi dari B2P2TO-OT adalah Masyarakat sehat dengan Jamu yang aman dan berkhasiat. Dan Misi dari B2P2TO-OT adalah meningkatkan Mutu Litbang tanaman obat tradisional, mengembangkan hasil Litbang tanaman obat-obatan tradisional, dan meningkatkan pemanfaatan obat tradisional. Nilai dari B2P2TO-OT adalah : Pro Rakyat, Jujur, Disiplin, Bertakwa, dan Berbudaya. Selain itu B2P2TOOT mempunyai Motto yaitu : Ramah, Informatif, dan Terpercaya. Unit yang terdapat di B2P2TOOT antara lain unit penelitian dan pengembangan, Pengendalian hama penyakit untuk tanaman obat yang diterapkan di B2P2TOOT adalah pengendalian dengan cara manual dan dengan menggunakan obat alami semacam pestisida nabati. Hal ini dilakukan

untuk menjaga kekhasiatan tanaman obat itu sendiri dan juga menjaga kepercayaan konsumen berkaitan dengan keamanan tanaman obat. Kegiatan Utama B2P2TO-OT adalah : 1. Melaksanakan Saintifikasi Jamu : Penelitian berbasis pelayanan 2. Mengembangkan bahan baku terstandarisasi. 3. Mengembangkan jaringan kerjasama 4. Mengembangkan teknologi serba guna 5. Diseminasi, sosialisasi dan pemanfaatan hasil Litbang TO-OT 6. Mengembangkan karier dan mutu SDM 7. Meningkatkan perolehan HKI dari hasil Litbang TO-OT 8. Memgemabangkan sarana dan prasarana 9. Menyusun draft regulasi dan kebujakan teknis litbang TO-OT. B2P2TO-OT terdapat beberapa laboratorium dan instalasi, antara lain adalah : 1. Laboraturium a. Laboratorium Sistematika Tumbuhan Untuk identifikasi, determinasi, dan pengembangan database. Kegiatan rutin berupa pembuatan spesimen dalam bentuk preparat mikroskopis, herbarium basah dan kering, serta determinasi tanaman. b. Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Untuk identifikasi hama dan penyakit tanaman dan penelitian tentang cara pengendalian hama dan penyakit tanaman. c. Laboratorium Galenika Untuk mengolah simplisia menjadi bentuk sediaan yang siap digunakan. Kegiatan yang dilakukan berupa pembuatan ekstrak, destilasi minyak atsiri serta mengkoleksi atau membuat bank ekstrak dan bank minyak atsiri. d. Laboratorium Fitokimia Untuk mengetahui kandungan kimia tanaman yang meliputi penapisan fitokimia, pembuatan profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT), isolasi zat aktif dan penetapan kadar senyawa aktif.

e. Laboratorium Formulasi Untuk mengembangkan produk dan bentuk sediaan, antara lain : sabun sehat, minuman instant, minyak gosok, aromaterapi, lulur dan masker. f. Laboratorium Toksikologi dan Farmakologi Untuk mendukung kegiatan penelitian praklinik, yaitu mengkaji khasiat dan keamanan formula jamu. g. Laboratorium Bioteknologi Untuk kultur jaringan tanaman dan biologi molekuler. 2. Instalasi a. Instalasi Benih dan Pembibitan Tanaman Obat Kegiatan Instalasi Benih dan Pembibitan meliputi pengumpulan, pengolahan dan menyediakan stok benih tanaman obat. b. Instalasi Adaptasi dan Pelestarian Tujuan adaptasi adalah mengaklimatisasi tanaman hasil eksplorasi maupun tanaman baru agar mampu tumbuh di lokasi baru. Pelestarian ditujukan untuk menjaga kelestarian tanaman obat yang sudah langka, sangat sedikit dan pertumbuhannya mudah terganggu oleh perubahan iklim. c. Instalasi Koleksi Tanaman Obat Investasi tanaman obat, peremajaan tanaman koleksi, pengamatan dan pendataan pertumbuhan dan pencataan iklim, dan identifikasi serta pembuatan katalog d. Kebun Etalase Tanaman Obat Etalase tanaman obat merupakan kebun rekreasi dan edukasi yang digunakan sebagai sarana pembelajaran atas keragaman jenis tanaman obat dan manfaatnya. Terletak pada ketinggian 1200 meter dpl. Jumlah koleksi 800 spesies. e. Kebun Tlogodlingo Terletak pada ketinggian 1700-1800 meter dpl dengan luas sekitar 12 Ha.

f. Kebun Karangpandan Kebun Karangpandan terdiri dari Kebun Toh Kuning dan Doplang. Kebun tersebut terletak pada ketinggian 400 - 500 meter dpl dengan luas sekitar 2,5 Ha. g. Instalasi Paska Panen Instalasi paskapanen melakukan penanganan hasil panen tanaman obat, meliputi pencucian: sortasi, pengubahan bentuk, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. II. ASPEK POTENSI Penggunaan jamu akhir-akhir ini marak kembali. Hal ini dipicu oleh anggapan bahwa herbal itu aman. Maraknya penggunaan jamu di masyarakat umum belum diikuti dengan produksi jamu secara baik dan benar oleh pengusaha jamu. Hal ini mengakibatkan banyaknya konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi produk jamu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan khasiatnya. Dengan demikian, proses standardisasi jamu yang dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan khasiatnya sangat diperlukan tetapi penggunaan obat herbal atau jamu di Indonesia masih kurang dianggap penting oleh kalangan medis terutama dokter. Ini disebabkan karena jamu tradisional masih sangat minim penelitian yang mendukung penggunaannya secara ilmiah. Tentu saja ini menyangkut dengan legalitas suatu kebijakan pemberian obat. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan karena kekayaan budaya dan alam Indonesia tidak dimanfaatkan potensinya dengan baik oleh warga negaranya sendiri. Lain halnya dengan di Cina dimana Traditional Chinese Medicine yang dapat disejajarkan dengan pengobatan modern. Begitu juga dengan di India yang terdapat Ayurvedic Herbal Medicine yang mulai disejajarkan dengan ilmu pengobatan modern. Dengan demikian penggunaan jamu oleh praktisi medis harus segera diberikan payung hukum agar tidak menyalahi aturan yang berlaku. Dengan demikian, penggunaan obat herbal tradisional haruslah rasional, ilmiah, dan telah terbukti khasiat dan keamanannya. Oleh karena itu untuk mendukung dan menggalakkan

proses pengilmiahan jamu, dicetuskanlah program saintifikasi jamu oleh Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. Saintifikasi Jamu adalah salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan untuk memberikan bukti ilmiah Jamu sehingga dapat dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal. Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus adalah Klinik Tipe A, merupakan implementasi Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu dan berkhasiat. Bahan yang digunakan berupa simplisia yang telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik. Sejak tanggal 30 April 2012 Klinik Saintifikasi Jamu " Hortus Medicus" menempati gedung baru sebagai rintisan Rumah Riset Jamu (Griya Paniti Pirsa Jamu) sebagai tempat uji klinik dilengkapi dengan rawat inap. Tren jumlah pasien semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada awalnya (2007) jumlah pasien kurang dari 10 orang per hari, kini (2012) jumlah pasien lebih dari 100 orang per hari. Jelas sudah, pengembangan jamu memerlukan sinergisme, komitmen dan integrasi dari hulu ke hilir yang melibatkan lintas sektor pemerintah dan masyarakat, termasuk industri dan petani. Kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten, antara lain tenaga kesehatan, pertanian, kehutanan, perdagangan, perindustrian, dan sebagainya perlu disiapkan segera termasuk kesiapan infrastruktur pendidikan. III. PROSPEK PENGEMBANGAN Pengembangan Klinik Saintifikasi jamu Hortus Medicus semakin lama semakin berkembang. Dahulu yang awalnya pasien kurang dari 10 orang per hari sekarang pasiennya sudah mencapai 100 orang per hari karena masyarakat sekarang ini ingin mencoba pengobatan herbal di klinik tersebut. Klinik Saintifikasi jamu Hortus Medicus menyediakan berbagai resep jamu berupa simplisia yang telah teruji dengan standarisasi yang digunakan. Untuk berobat di klinik tersebut tidak terlalu mahal dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Harga pendaftarannya Rp 3000 dan untuk mengganti resep jamu diperlukan biaya Rp 30.000.

Selain klinik Saintifikasi jamu, B2P2TO-OT juga memiliki produk unggulan lainnya untuk mengembangkan jamu dan obat herbal yaitu dengan memproduksi minuman instan dalam bentuk serbuk, diantaranya adalah kunyit asam, temulawak, jahe wangi, jahe merah, Rosela, Secang, Wedang wuh, dan Beras Kencur dan ada juga dalam bentuk sabun yaitu sabun sirih dan sabun serei serta dalam bentuk lulur dan masker. Semua produk itu hanya bisa ditemui di kantin B2P2TO-OT dan di Koperasi B2P2TO-OT. Produk tersebut tidak dijual diluar daerah B2P2TO-OT karena produk itu dijual hanya untuk sambilan para pekerja di B2P2TO-OT. Harga produk tersebut juga dibilang cukup murah, untuk minuman instan dalam bentuk serbuk dijual dengan harga Rp 15.000/bungkus dan untuk sabun Rp 7.500/buah serta masker dan lulur dijual dengan harga Rp 5.000/sachet. Produk yang dibuat B2P2TO-OT memang terbatas, itu dikarenakan B2P2TO-OT adalah instansi milik pemerintah bukan instansi milik swasta jadi tidak diperbolehkan menjual produk diluar wilayah B2P2TO-OT. B2P2TO-OT memiliki Tenaga Kerja berjumlah 88 orang, meliputi tenaga kerja fungsional peneliti dan litkayasa serta tenaga kerja struktural, D3 ada 13 orang, agribisnis, teknologi pertanian, biokimia, farmakologi, kedokteran, kefarmasian, analisis kesehatan, kesehatan ,asyarakat dan komunikasi. Tetapi dalam mengembangkan produk-produk tersebut, B2P2TO-OT lebih mengutamakan masyarakat sekitar Tawangmangu dalam pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Dengan adanya program Saintifikasi jamu di Klinik Hortus Medicus maka masyarakat akan lebih tertarik dengan produk-produk yang telah teruji secara ilmiah daripada produk-produk kemasan yang belum diketahui keamanan dan khasiatnya. Dari segi kualitas, Klinik Hortus Medicus akan menyediakan jamu yang dapat dipertanggungjawabkan kandungan dari ramuannya. Dari segi kuantitas, Klinik Hortus Medicus akan menyediakan jamu yang besar kandungan yang sesuai dengan yang dituliskan. Dengan memastikan bahwa baik kualitas maupun kuantitas bahan benar, diharapkan penggunaan jamu akan dapat dipercaya oleh masyarakat secara luas.

IV. Pengembangan untuk kesejahteraan Masyarakat Dalam pengembangan jamu untuk kesejahteraan masyarakat, B2P2TOOT harus mempunyai terobosan baru dalam mengembangkannya untuk menarik minat konsumen. Produk jamu Indonesia perlu lebih inovatif dan menyesuaikan dengan perkembangan permintaan masyarakat. Salah satu temuan kajian adalah bahwa ternyata sebagian konsumen dan juga sebagian besar non konsumen cenderung tidak menyukai bentuk serbuk. Padahal, bentuk serbuk ini adalah bentuk dari sebagian besar jamu tradisional Indonesia. Bentuk serbuk ini boleh terus dipertahankan, namun perlu inovasi pengembangan produk jamu dan pengembangan metode produksi sehingga dapat memproduksi jamu yang sesuai dengan keinginan potensi pasar, seperti bentuk cair, pil maupun kapsul. Rasa jamu yang sangat tradisional juga dikeluhkan oleh sebagian besar responden non pengguna. Apabila masyarakat non pengguna ingin diraih, sepertinya perlu pengembangan rasa jamu agar lebih enak dan diterima oleh para potensi penggunanya. Demikian pula, kemasan dan label produk jamu perlu juga ditingkatkan. Kemasan sebagian besar produk jamu tradisional memang sangat tradisional. Bagi pengguna yang telah menjadi pelanggan, ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun, dengan keadaan kemasan dan label jamu yang ada saat ini, sangatlah sulit untuk merebut hati pasar potensial. Selain itu kemasan juga harus mencantumkan kejelasan komposisi produk, kejelasan dosis dan aturan pakai, serta cara kerja bahan aktif jamu dan efek samping. Langkah tersebut perlu didukung pemerintah melalui: 1. Sosialisasi untuk menyadarkan industri jamu tradisional bahwa pengembangan produk adalah perlu untuk memperluas basis pasar sasaran dengan bekerja sama dengan GP Jamu, Dinas Perindag, Dinas Kesehatan dan Balai POM di daerah melakukan sosialisasi, baik secara tertulis maupun dengan seminar dan penyuluhan. 2. Membantu industri jamu tradisional dengan melakukan riset dan konsultansi pengembangan sistem produksi jamu dan produk jamu yang

sesuai dengan keinginan pengguna atau potensi pengguna. Dalam hal ini, balaibalai riset yang dikelola oleh Departemen Perindustrian, Dinas Perindag, maupun Departemen/Dinas Kesehatan di daerah dapat diserahi tanggung jawab ini. Koordinasi aktifitas ini dapat dilakukan oleh Kantor Menko Perekonomian. 3. Membuat aturan yang menetapkan standarisasi label jamu. Pemerintah memang telah membuat aturan yang ketat tentang label pangan dan label obat. Aturan ini perlu dibuat untuk menyediakan informasi tentang komposisi yang jelas, indikasi, dosis dan cara pemakaian, serta efek samping sehingga aman bagi penggunanya. Selain itu, aturan ini juga diperlukan untuk memodernisasi jamu di mata pelanggan. Namun, perlu dipikirkan implementasinya agar industri kecil dan menengah obat tradisional tidak mengalami kesulitan. 4. Melakukan kampanye bahwa produk jamu adalah modern. Kampanye ini ditujukan kepada pengguna dan potensi pengguna jamu tradisional. Sasaran 2 yaitu Mewujudkan Jamu Brand Indonesia dengan Mutu Tinggi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa salah satu keluhan responden konsumen maupun non konsumen adalah menyangkut mutu jamu. Mutu jamu di sini adalah mutu dalam arti luas yang menyangkut dimensi kemanjuran atau manfaat, standarisasi mutu, kandungan yang alami, keamanan dikonsumsi, bentuk produk yang sesuai keinginan pengguna, dan rasa produk jamu. Sebagian dari responden mengeluhkan bahwa kini banyak jamu yang palsu serta dicampur dengan bahan kimia sehingga mereka pun tidak menaruh kepercayaan terhadap jamu. Kepastian kandungan yang alami ini perlu ditegaskan oleh pemerintah melalui pengawasan yang lebih diperketat untuk mencegah jamu yang tercemar bahan kimia dan pengawet masuk ke pasaran, apabila ingin agar jamu memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Setelah dapat memastikan bahwa seluruh produk jamu yang beredar adalah 100% alami, pemerintah perlu mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa produk jamu Indonesia adalah 100% alami tanpa bahan kimia sintetik.

Sasaran 3 yaitu Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Murah. Salah satu alasan konsumen meminum jamu adalah harganya yang lebih murah dibandingkan dengan alternatif lainnya, termasuk juga apabila dibandingkan dengan obat farmasi. Namun, ketika suatu produk sudah melewati uji pra-klinis dan uji klinis serta dipatenkan, umumnya harga produk tersebut menjadi sangat mahal. Hal ini patut menjadi perhatian dari pelaku usaha maupun pemerintah. Ketika jamu Indonesia sudah menjadi pilihan utama masyarakat karena mutu dan kemanjurannya, hendaknya produk tersebut tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga dengan mengurangi beban para pelaku usaha agar dapat memproduksi jamu dengan biaya rendah. Sasaran 4 yaitu Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Memasyarakat adalah sasaran yang paling sulit, mengingat posisi jamu saat ini yang termarginalisasi di dalam pikiran non konsumen. Hasil kajian menemukan bahwa posisi jamu Indonesia mengalami dua jenis masalah, yakni (1) sikap percaya masyarakat; serta (2) kebiasaan dan budaya masyarakat terkait jamu.Model Multiatribut (Assael, 1987) menyarankan bahwa mengubah sikap dan perilaku dapat dilakukan dengan mengubah arah atau intensitas kebutuhan, kepercayaan, evaluasi terhadap produk/merek, dan niat perilaku seperti: 1. Strategi mengubah arah kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat potensi pasar jamu memikirkan ulang atribut jamu secara berbeda. Misalnya mengajak mereka berpikir bahwa rasa yang tidak enak dari bahan rempahrempah yang digunakan oleh jamu adalah sesuatu bukti bahwa jamu tersebut memang asli menggunakan bahan-bahan bermutu, sehingga berkhasiat bagi penyembuhan penyakit atau menjaga kesehatan. 2. Strategi mengubah intensitas kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat berpikir tentang pentingnya suatu atribut jamu yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan oleh mereka, sehingga atribut tersebut akan menjadi prioritas bagi pertimbangan mereka bertingkah-laku. Misalnya saja, masyarakat non pengguna mungkin sebelumnya tidak

terlalu memikirkan pentingnya atribut kealamian dari obat, sehingga lebih cenderung memilih obat farmasi. Dengan kampanye jamu sebagai produk alami, masyarakat dirangsang untuk lebih memilih obat alami untuk menyembuhkan penyakit atau menjaga kesehatan. Strategi mengubah kepercayaan masyarakat dilakukan dengan membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat saat ini mengenai jamu sebagai sesuatu yang negatif adalah salah. Misalnya saja, masyarakat mungkin memiliki kepercayaan bahwa jamu adalah produk obat-obatan yang kalah manjur daripada obat farmasi. Anggapan ini kurang tepat karena pada penyakitpenyakit tertentu, ternyata jamu lebih baik dan berefek samping lebih kecil daripada obat farmasi. 3. Strategi mengubah evaluasi masyarakat akan produk dapat dilakukan dengan mengkaitkan sesuatu atribut terkait dengan emosi positif yang sebenarnya tidak terlalu terkait dengan atribut inti dari produk. Misalnya, masyarakat disarankan untuk memilih jamu karena memang telah lama digunakan oleh dan menjadi warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Dengan demikian, diharapkan evaluasi masyarakat yang sebelumnya tidak terlalu tinggi dapat meningkat dengan pesan ini. 4. Strategi mengubah intensi berperilaku biasanya dilakukan untuk mengundang masyarakat non pengguna untuk mengkonsumsi jamu dengan cara mengurangi harga, memberikan diskon/kupon, atau memberikan sampel produk. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan dunia usaha. Dengan merasakan jamu dan khasiatnya bagi kesehatan dan kesegaran tubuh, diharapkan masyarakat non pengguna bisa beralih menjadi konsumen jamu.

DAFTAR PUSTAKA Assael, Henry, (1987), Consumer Behavior and Marketing Action, Third Edition, Boston: PWS-Kent Publishing Company. Sukardiman, A. Wydarwaruyanti, H.Plumeriastuti, 2009. Komisi Pengembangan Obat Tradisional (KPOT). LPPM, Univ. Airlangga, Surabaya. Widiyastuti, Y. 2003. Budidaya dan pembibitan tanaman obat. Mak. Pel. BPTO. Tawangmangu.: 4 - 9.

You might also like