You are on page 1of 14

MAKALAH ARTI DAN MAKNA SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN PANCASILA

KELOMPOK 2 Anggota : Navis Ari Nugroho Indra Cahyanto Rizky Argiawan Sriyono Lukman Budi Anto ( 11503241028 ) ( 11503241029 ) ( 11503241030 ) ( 11503241031 ) ( 11503241032 )

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


A. PENDAHULUAN
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, digali dari nilai-nilai luhur bangsa, baik nilai budaya, adat istiadat, nilai agama, maupun nilai-nilai perjuangan, terutama nilainilai dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang berlangsung ratusan tahun lamanya. Keterpaduan nilai yang mengkristal dalam rumusan lima sila yang saling jiwa menjiwai mulai dari sila ke satu sampai dengan sila kelima, merupakan satu sistem nilai dalam sistem filsafat kemanusiaan. Suatu nilai yang bersifat abstrak yang melekat pada diri setiap anak bangsa Indonesia, dimana unsur-unsur inti mutlak yang secara keseluruhan dan bersama-sama merupakan kesatuan dan menjadikan Pancasila ada. Untuk kongkritnya, Pancasila adalah dasar filsafat, asas kehormatan, ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia (Prof. Drs. Sunarjo Wiroksosuhardjo / ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan). Sebagai ideologi, Pancasila merupakan keterpaduan dari diri manusia sebagai mahluk individu yang tidak dapat dipisahkan dengan dirinya sebagai mahluk sosial, yang menjadikan Pancasila terpisah dan berbeda dengan liberalismeterpisah dan berbeda dengan komunisme, terpisah dan berbeda dengan kapitalisme. Keterkaitan manusia sebagai mahluk individu dalam Pancasila, mencerminkan asas hidup yang berpangkal pada tingkat hubungan kodrat kemanusiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (sila kesatu), hubungan manusia dengan manusia (sila kedua), dan hubungan manusia dengan alam sekitar lingkungan (sila ketiga). Ketiga hubungan itu merupakan azas hidup,karena ketiganya adalah prasyarat untuk seseorang ada dan hidup. Sedang manusia sebagai mahluk sosial dalam Pancasila, mencerminkan hubungan kodrati dalam dinamika kehidupan yaitu hubungan manusia dengan berbagai perbedaan dan permasalahan yang harus dipecahkan dan diselesaikan secara demokratis (sila ke empat), dan hubungan manusia dengan ke-Khalifaan atau kepemimpinan, mengharuskan peran pemimipin yang adil dalam berbagai pengambilan keputusan (sila kelima).

Guna menjamin kelangsungan hidup Bangsa dan Negara dimasa depan, kepada Pemimpin dan Negarawan dituntut dan diharuskan meresapi, memanifestasikan dan mengatualkan nilai-nilai kodrati sendiri, yaitu nilai-nilai Pancasila. Untuk memudahkan peresapan, maka nilai-nilai Pancasila itu disarikan kedalam 45 butir bahan Penataran, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4) sesuai Tap MPR no.II/1978. Suatu keharusan bagi setiap Pemimpin/ Negarawan Untuk mengejawantahkan tiga dimensi nilai Pancasila tersebut, antara lain dengan kemampuan dan kemauan mengamalkan 45 butir P-4 dalam 3 aspek kehidupan sekaligus, dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara Pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila, pada dasarnya sangat ditentukan oleh adanya kesamaan persepsi tentang makna/arti.

B. Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Repubrik Indonesia (NKRI) lahir pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran tokoh proklamator yang tidak lain adalah Bung Karno. Mungkin banyak di antara kita yang tidak mengetahui apa dasar pemikiran Bung Karno pada waktu mencetuskan ide dasar negara hingga tercetuslah ide Pancasila . Dasar pemikiran Bung Karno dalam mencetuskan istilah Pancasila sebagai Dasar Negara adalah mengadopsi istilah praktek-praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme. Dalam ajaran Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca Sila (bahasa Sanskerta / Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu : bertekad menghindari pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari berkata dusta, bertekad menghindari perbuatan mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah, dan bertekad untuk tidak minum minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran. Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini. Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan Yang Satu. Lalu apa makna sebenarnya ? Mari kita bahas satu persatu kata dari kalimat dari sila pertama ini.

Ketuhanan berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran -an dapat memberi perubahan makna menjadi antara lain : mengalami hal., sifat-sifat . Contoh kalimat : ia sedang kepanasan. Kata panas diberi imbuhan ke- dan an maka menjadi kata kepanasan yang bermakna mengalami hal yang panas. Begitu juga dengan kata ketuhanan yang berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan an yang bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain Ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Kata maha berasal dari bahasa Sanskerta / Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata maha bukan berarti sangat. Jadi salah jika penggunaan kata maha dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang berarti sangat besar. Kata esa juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata esa bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata esa berasal dari kata etad yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata ini (this Inggris). Sedangkan kata satu dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta maupun bahasa Pali adalah kata eka. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah eka, bukan kata esa. Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur / mulia, bukan Tuhannya. Dan apakah sifat-sifat luhur / mulia (sifat-sifat Tuhan) itu ? Sifat-sifat luhur / mulia itu antara lain : cinta kasih, kasih sayang, jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya. Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas , tidak membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari

Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya pada banyak Tuhan, karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi keberadaan agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai adanya satu Tuhan. Menurut Adian Husaini dalam sebuah seminar "Menelusuri Lika-liku Pancasila di Jakarta. Seperti diketahui, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekuler, namun lepas dari perspektif Islam (Islam worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945, sangat kental dengan nuansa Islam worldview." ujar Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pascar Sarjana Universitas Ibnu Khaldun-Bogor ini. Adian memberi contoh dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang besar pengaruhnya dalam penataan kebijakan politik dan ideology dimasa awal Orde Baru. Ali Moertopo pernah merumuskan Pancasila sebagai ideology Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Peter Beek S.J juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama dan tidak condong pada satu agama. Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Dikatakan Adian, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan, Segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurun historis maupun artinya serta pengertiannya, Sebagaimana sesuai dituturkan betul dengan tafsiran yang Ki diberikan Bagus sangat oleh alot Islam. dalam Kasman Singodimedjo,

mempertahankan rumusan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhasdap rumusan itu. Ia misalnya, setuju agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dihapuskan. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Ki Bagus mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar ketuhanan, sebagai diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif mencatat dalam bukunya Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti tujuh kata dengan Yang Maha Esa. Dengan fakta ini, tulis Syafii Maarif, tidak diragukan lagi, bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai peganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme). Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. Dengan demikian, tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-Satukan Allah. Bahkan kata Allah juga muncul di alinia ketiga Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah. Bukankah satu-satunya agama di Indonesia yang nama Tuhannya Allah hanyalah Islam? Bagi kaum Kristen, kata Allah bukanlah nama Tuhan, tetapi hanya sebutan untuk Tuhan di Indonesia. Karena itu, kaum Kristen di Barat tidak menyebut Tuhan mereka dengan nama Allah. Adian Husaini menyesalkan terjadinya penyimpangan penafsiran Pancasila yang pernah dilakukan dengan proyek indoktrinisasi melalui Program P-4. Pancasila bukan hanya hanya dijadikan sebagai dasar negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasilan dijadikan landasan

moral yang dijadikan sebagai wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, antara lain menegaskan: 1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara RI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebaga dasar negara RI menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 3) Penerimaan dan pengamalam Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya. Kata Adian, tidak salah sama sekali, jika para cendekiawan dan politisi islam berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Jadi siapapun orang Indonesia yang bersungguh-sungguh dan ingin menegakkan Pancasila, tentunya mereka harus siap menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia. Jakarta (voa-islam). Dalam buku Pendidikan Pancasila karangan Rukiyati, M.Hum., dkk disebutkan bahwa arti dan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah : 1. Pengakuan adanya kausa prima ( sebab pertama ) yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing masing dan beribadah untuk agamanya. 3. Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan untuk memeluk agama sesuai hukum yang berlaku. 4. Atheisme dilarang hidup dan berkembang di indonesia. 5. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antar umat dan dalam beragama.

6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik antar agama. Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain di ciptakan oleh penciptanya. Pencipta itu adalah causa prima yang mempunyai hubungan dengan yang di ciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib menjalankan perintah tuhan dan menjauhi larangannya. Dalam konteks bernegara, makna dalam masyarakat yang berdasarkan pancasila, dengan sendirinya menjamin kebebasan memeluk agama masing masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari tuhan yang merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam alam pancasila seperti kita alami sekarang ini tidak ada pemaksaan beragama, atau orang dapat memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat pancasila dengan sendirinya agama di jamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuennya diwajibkan adanya toleransi beragama. Jika ditilik secara historis, memang pemahaman kekuatan yang ada di luar diri manusia dan di luar alam yang ada ini atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati ( di atas atau di luar yang kodrat ) dan yang transenden ( yang mengatasi segala sesuatu ) sudah dipahami oleh bangsa indonesia sejak dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah di kenal paham animisme, dinamisme, sampai paham politeisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai masuknya agama agama Hindu, Budha, Islan, Nasrani ke indonesia, sehingga kesadaran akan monoteisme di masyarakat indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tetaplah jika rumusan sila pertama pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Butir - Butir Pada Pancasila Sila Pertama


Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya: 1)Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2)Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3)Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4)Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa 5)Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 6)Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing 7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain.

C. Kontroversi Pancasila Ditinjau Dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia. Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme.Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syariat Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak

yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini? Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolaholah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemic kerusakan dan juga bencana. Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal mengatakan,Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis. Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP. Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik pedas. Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakanmenyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan, kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong Bhineka, adalah kekuatankekuatan yang ingin menyeragamkan. Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitupun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran. Bukti pelanggaran dari sila pertama Pancasila,selain contoh diatas adalah 1. Amuk Massa di Kupang

Amuk Massa di Kupang terjadi pada tanggal 30 November 1998. Amuk massa tersebut bermula dari aksi perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang, yaiti bentrok antara warga Muslim dan Kristen dengan disertai perusakan berbagai tempat ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu sendiri diprakarsai oleh organisasiorganisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen, seperti GMKI, PMKRI, Pemuda Katholik NTT, dan mahasiswa di Kupang. Karena isu pembakaran gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid di perkampungan muslim kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya melakukan perusakan masjid di Kupang. Amuk massa tanggal 30 November tersebut mengakibatkan setidaknya 11 masjid, 1 mushola, dan beberapa rumah serta pertokoan milik warga muslim rusak. Amuk massa tersebut tidak hanya berhenti pada tanggal 30 November itu saja. Dua hari setelahnya, yaitu tanggal 1 dan 2 Desember 1998 kerusuhan masih terjadi dan mengakibatkan beberapa kerusakan. Sasaran amuk massa tersebut mencakup rumah milik ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), masjid dan toko-toko milik orang Bugis. Kerusuhan Kupang tersebut berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu antara penganut Kristen yang umumnya warga asli dan warga muslim, yang sebagia adalah pendatang. Kecepatan pertumbuhan masjid dan perkembangan ekonomi umat Islam yang baik, karena mereka sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menimbulkan kecemburuan sosial. Amuk massa tanggal 30 November 1998 adalah momentum di mana kecemburuan tersebut mendapatkan ekspresinya lewat idiom agama. 2. Ahmadiyah Dari berbagai aliran keagamaan Islam di Indonesia, Ahmadiyah merupakan kasus yang paling kontroversional. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama. Yang pertama, dari sudut pandang hukum Islam, Ahmadiyah telah divonis sebagai aliran sesat dan dinyatakan sebagai kelompok di luar Islam melalui fatwa MUI, dan didukung kuat oleh kelompok Islam beraliran keras. Kedua,munculnya sebagian aktivis kemanusiaan yang menganggap Ahmadiyah sebagai gerakan keagamaan yang melakukan tafsir keagamaan, yang meskipun berbeda dan bertentangan dengan keyakinan Islam mainstream, tapi harus dihargai sebagai bentuk keyakinan yang dijamin oleh konstitusi.

Ketiga, di satu sisi, Ahmadiyah merupakan organisasi yang sah dan resmi secara hukum. Tapi di sisi lain, Ahmadiyah juga dianggap melanggar undang-undang lain yang populer dengan pasal-pasal penodaan agama. Ketiga faktor inilah yang saling berbenturan dan seakan masing-masing berusaha mendapatkan simpatik publik. Puncak titik klimaksnya adalah pada tragedi Monas pada tanggal 1 Juli 2008, dimana sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka Komando Laskar Islam, menyerang kelompok massa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), yang berbaur dengan massa Ahmadiyah. Insiden ini sempat menjadi Headline di beberapa media cetak maupun elektronik. Insiden ini berujung pada ditangkapnya beberapa anggota FPI (Front Pembela Islam),yang diyakini sebagai motor penggerak dalam penyerangan tersebut. Dari segi keamanan sendiri, Ahmadiyah sebenarnya tidak bermasalah. Persoalan muncul justru dari penentang Ahmadiyah, yang cenderung bersikap anarkis, sehingga perhatian publik tidak hanya tertuju pada penyimpangan Ahmadiyah, tetapi juga kosekuensi yang muncul akibat penentangan yang bersifat anarkis itu.

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu : 1. Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa karena Pancasila mengakui adanya pluralitas. 2. Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika melaksanakannya dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan terwujud. 3. Dalam memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa tak dapat dipisahkan dari keempat sila lainnya. 4. Ditinjau dari Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa kasus amuk masa di kupang dan Ahmadiyah merupakan suatu pelanggaran karena Pancasila mengajarkan kebebasan memeluk agama dan keyakinan masing-masing bukan kebebasan mengubah ajaran suatu agama yang dalam hal ini agama Islam. SARAN Berdasarkan pembahasan diatas, ada beberapa saran yang perlu untuk dipertimbangkan untuk lebih meningkatkan pemahaman terhadap nilai Pancasila, yaitu : 1. Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu adanya peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah satunya dengan saling menghargai antar umat beragama. 2. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah 3. Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan kepada kedua belahpihak yang bertikai supaya di selesaikan dengan jalan damai.

You might also like