You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian (Anonim, 2013, dikutip dari http:// bedahugm.net/ BedahOrthopedi/ Fracture.html/ diakses taggal 19 Juni 2013). Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas kemungkinan terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara trauma trauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga (Anonim, 2013, dikutip dari http://bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fracture.html/ diakses taggal 19 Juni 2013). Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi. Setiap trauma yang dapat

mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ organ penting lainnya (Anonim, 2013, dikutip dari http://bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fracture.html/ diakses taggal 19 Juni 2013). Meningkatnya teknologi dibidang transportasi dapat meningkatkan intensitas kecelakaan (Isbagyo, 2000). Badan kesehatan dunia (WHO)

mencatat tahun 2007 terdapat lebih dari delapan jutao rang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Insiden fraktur di USA diperkirakan menimpa satu orang pada 10.000 populasi setiap tahunnya (Armis, 2008) Sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, hasil survey tim Depkes RI didapatkan 25% penderita

fraktur mengalami kematian, 45% mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. Kecelakaan merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia selain kematian, kecelakaan juga dapat menimbulkan patah tulang dan kecacatan (Depkes, RI, 2007, dikutip dari http://id.scribd.com/ doc/139903702/ FRAKTUR/ diakses taggal 19 Juni 2013). Data dari Riset Kesehatan Dasar 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu

lintas dan trauma benda tajam atupun tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775orang(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam atau tumpul, yang mengalami

fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur. Di tahun 2009 jumlah pasien mencapai 184 kasus fraktur. 46 kasus diantaranya merupakan fraktur tibia, cruris, dan fraktur fibula. Tahun 2010 angka fraktur meningkat 202 kasus dan kasus fraktur tibia, cruris serta fibula menurun menjadi 38 kasus. Tahun 2011 angka kejadian fraktur di rumah sakit islam menurun 196 kasus dari tahun 2010 , akan tetapi angka kejadian fraktur tibia, fibula, dan crusis masih cukup tingi yaitu 38 kasus (Rekam Medik RSI Muhammadiyah, 2012, dikutip dari (http://id.scribd.com/ doc/139903702/FRAKTUR/ diakses taggal 19 Juni 2013). Berdasarkan data Medical record RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar kasus fraktur radius ulna yang dirawat tahun 2008 sebanyak 78 kasus. Tahun 2009 sebanyak 86 kasus. Tahun 2010 sebanyak 69 kasus. Tahun 2012 sebanyak 97 kasus (Medical Record RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo, 2013).

Fraktur bukan hanya persoalan terputusnya kontinuitas tulang dan bagaimana mengatasinya, akan tetapi harus ditinjau secara keseluruhan dan harus diatasi secara simultan. Harus dilihat apa yang terjadi secara menyeluruh, bagaimana, jenis penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit, pembuluh darah, syaraf, dan harus diperhatikan lokasi kejadian, waktu terjadinya agar dalam mengambil tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal (Anonim, 2013, dikutip dari http://bedahugm.net/ Bedah-Orthopedi/ Fracture.html/ diakses taggal 19 Juni 2013). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis menyusun karya tulis dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn M Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra Di Ruang Bedah Orthopedi Lontara II Belakang RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tanggal 13-15 Juni 2013. II. Tujuan Penulisan A. Tujuan Umum Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam menerapkan asuhan keperawatan pada Tn M Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra Di Ruang Bedah Orthopedi Lontara II Belakang RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. B. Tujuan Khusus 1. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan pengkajian, analisa data, dan pengelompokan data pada klien dengan

Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 2. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 3. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam menyusun rencana keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 4. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 5. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 6. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam

mendokumentasikan evaluasi proses keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. 7. Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam membahas kesenjangan antara teori dan kasus pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra.

III. Manfaat Penulisan A. Pendidikan Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi institusi dalam meningkatkan mutu pendidikan di masa yang akan datang. B. Rumah Sakit Dapat menjadi masukan bagi pihak Rumah Sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. C. Bagi Penulis Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam

memberikan asuhan keperawatan serta mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menimba ilmu. D. Klien dan keluarga Dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang bagaimana merawat klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. IV. Metode Penulisan Dalam sistem Penyusunan karya tulis ini, penulis menggunakan berbagai metode, yaitu : A. Tempat dan Waktu Pengambilan Kasus 1. Tempat Tempat pengambilan kasus dilakukan di Ruang Bedah Orthopedi Lontara II Belakang RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Waktu Pengambilan kasus pada Tn M dilaksanakan selama tiga hari mulai tanggal 13 s/d 15 Juni 2013. B. Studi Kepustakaan Memperoleh literatur-literatur yang berhubungan/berkaitan dengan karya tulis ini tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Closed Fraktur Radius Ulna Sinistra. C. Studi Kasus Untuk studi kasus asuhan keperawatan maka pendekatan yang dilakukan adalah proses keperawatan komprehensif yang meliputi pengkajian data, analisa data, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi, dengan cara : 1. Observasi Mengadakan pengamatan langsung kepada klien dengan cara melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan perkembangan keadaan klien. 2. Interview Mengadakan wawancara kepada klien dan keluarga tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyakit klien. 3. Pemeriksaan Fisik Melaksanakan pemeriksaan fisik dengan menggunakan tehnik :

a. Inspeksi, yaitu proses observasi dengan menggunakan mata, inspeksi dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang berhubungan dengan status fisik. b. Palpasi, yaitu dengan sentuhan atau rabaan. Metode ini dikerjakan untuk mendeterminasi ciri-ciri jaringan atau organ. c. Perkusi, yaitu metode pemeriksaan dengan cara mengetuk untuk menentukan batas-batas organ atau bagian tubuh dengan cara merasakan Vibrasi yang ditimbulkan akibat adanya gerakan yang diberikan kebawah jaringan d. Auskultasi, merupakan metode pengkajian yang menggunakan stetoskop untuk memperjelas pendengaran D. Status dokumentasi Melihat dan membaca langsung status klien yang dirawat di Ruang Bedah Orthopedi Makassar. Lontara II Belakang RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

Konsep Medis A. Pengertian 1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman, Ningsi, N, 2012). 2. Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang (Pierce, A.G, Neil, R. B, 2007). 3. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Anonim, 2013, http://bedahugm.net/ Bedah-Orthopedi/

Fracture.html/ diakses taggal 22 Juni 2013). 4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2002, dikutip dari http://healthyenthusiast.com/fraktur-radius.html/ diakses taggal 22 Juni 2013) 5. Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Sylvia, A, 1995, dikutip dari http:// healthyenthusiast. com/ fraktur -radius.html/ diakses taggal 22 Juni 2013).

6. Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999, dikutip dari http://id.scribd.com/doc/139903702/FRAKTUREDITTT/ diakses taggal 22 Juni 2013). 7. Fraktur radius ulna tertutup adalah terputusnya hubungan tulang radius dan ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah, baik trauma lansung maupun trauma tidak langsung (Arif, M, 2011). 8. Fraktur radius adalah fraktur yang terjadi pada tulang radius akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku ekstensi (Brunner & Suddarth, 2002 dikutip dari http://healthyenthusiast.com/frakturradius.html/ diakses taggal 22 Juni 2013). 9. Fraktur yang mengenai tulang radius ulna karena rudapaksa termasuk fraktur dislokasi proximal atau distal radioulnar joint (Fraktur Dislokasi Galeazzi dan Montegia) (General Surgeon, 2010, dikutip dari http://bedahunmuh. wordpress.com/2010/05/20/ fraktur-radiusulna/ diakses taggal 22 Juni 2013). B. Anatomi Fisiologi Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineralmineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikon). Kalsium dan

10

fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroksida patit), yang tertimbun pada matriks garam (hidroksia patit) yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteaglikan matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Selselnya terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresi matriks tulang. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteum (unit matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuklear (berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorbsi dan remodeling tulang. Radius adalah tulang di sisi lateral lengan bawah merupakan tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung dan lebih pendek dari tulang ulna. Ujung atas radius kecil dan memperlihatkan kepala berbentuk kancing dengan permukaan dangkal yang bersendi dengan kapitulum dari humerus. Sisi-sisi kepala radius bersendi dengan takik radial dari ulna. Di bawah kepala terletak leher dan di bawah serta di sebelah medial dari leher ada tuberositas radialis, yang dikaitkan pada tendon dan insersi otot bisep. Batang radius. Di sebelah atas batangnya lebih sempit dan lebih bundar daripada di bawah dan melebar makin mendekati ujung bawah. Batangnya melengkung ke sebelah luar dan terbagi dalam beberapa

11

permukaan, yang seperti pada ulna memberi kaitan kepada flexor dan pronator yang letaknya dalam di sebelah anterior dan di sebelah posterior memberi kaitan pada extensor dan supinator di sebelah dalam lengan bawah dan tangan. Ujung bawah agak berbentuk segiempat dan masuk dalam formasi dua buah sendi. Persendian inferior dari ujung bawah radius berbendi dengan ska foid dan tulang semilunar dalam formasi persendian pergelangan tangan. Permukaan persendian di sebelah medial dari yang bawah bersendi dengan kepala dari ulna dalam formasi persendian radioulna inferior. Sebelah lateral dari ujung bawah diperpanjang ke bawah menjadi prosesus stiloid radius. Fungsi dari tulang pada lengan bawah atau tulang radius adalah untuk pronasi dan supinasi harus dipertahankan dengan menjaga posisi dan kesejajaran anatomik yang baik (Sylvia, A.P, 1995, yang dikutip dari http://Healthy Enthusiast All Rights Reserved - Proudly powered by WordPress/ diakses tanggal 23 Juni 2013). Proses Penyembuhan Tulang Kebanyakan patah tulang sembuh melalui osifikasi endokondial ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut, namun tulang mengalami regenerasi sendiri. Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang : 1. Inflamasi Dengan adanya patah tulang, tulang mengalami respon yang

12

sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. 2. Proliferasi Sel Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dan osteosit, sel endotel, sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. 3. Pembentukan kalus Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek-secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang.

13

4. Osifikasi Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. 5. Remodeling Tahap akhir perbaikan tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.

Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahuntahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus stres fungsional pada tulang (Sylvia, A.P, 1995 yang dikutip dari http://Healthy Enthusiast All Rights Reserved - Proudly powered by WordPress/ diakses tanggal 23 Juni 2013). C. Etiologi Fraktur di sebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause (Lukman, Nurna ningsih, 2012 hal. 26 ). Menurut (Apley dan Salomon 1995, dikutip dari http:// id.scribd. com /doc/139903702/ FRAKTUR-EDITTT), tulang bersifat relatif rapuh

14

namun cukup mempunyai kekuatan gaya pegas untuk menahan tekanan Fraktur dapat disebabkan oleh : 1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya

meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim. 2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh 3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis. Menurut (Sachdeva 1996, dikutip dari http://id.scribd. com/doc/ 139903702/ FRAKTUR- EDITTT), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Cedera langsung berarti patah pukulan langsung spontan. terhadap tulang biasanya

sehingga tulang

secara

Pemukulan

menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. 2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan

menyebabkan fraktur klavikula. 3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat. D. Insiden Insiden kecelakaan merupakan salah satu dari lima masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Kelima masalah kesehatan utama tersebut adalah kecelakaan, penyakit

15

kardiovaskuler, kanker, penyakit degeneratif dan gangguan gangguan jiwa (Depkes RI, 2007) (Lukman, Ningsi, N, 2012). Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden

kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI, 2007) (anonim, 2013, yang dikutip dari http://Healthy Enthusiast All Rights Reserved - Proudly powered by WordPress/ diakses tanggal 23 Juni 2013 ). Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007 didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, dari hasil survey tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami

kematian, 45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas dan bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik (anonim, 2013, yang dikutip dari http://Healthy

Enthusiast All Rights Reserved - Proudly powered by WordPress/ diakses tanggal 23 Juni 2013).).

16

Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan umur 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,pekerjaaan atu kecelakaan.Sedangkan pada usia lanjut

prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang tgerkait dengan hormone (Lukman, Ningsi, N, 2012). E. Patofisiologi Radius Ulna Pada trauma tidak langsung, daya pemuntir (biasanya jatuh jatuh pada tangan) menimbulkan fraktur spiral dengan kedua tulang patah pada tingkat yang berbeda. pukulan langsung atau daya tekukan menyebabkan melintang kedua tulang pada tingkat yang sama. Deformitas rotasi tambahan dapat ditimbulkan oleh tarikan otot-otot yang melekeat pada radius, yaitu otot biseps, otot supinator, pada sepertiga bagian atas, pronator teres pada sepertiga pertengahan, dan donatur kuadratus pada sepertiga bagian bawah. perdarahan dan pembengkakan kompartemen otot pada lengan bawah dapat menyebabkan gangguan peredaran darah. Kondisi klinis fraktur radius ulna tertutup menimbulkan berbagai masalah keperawatan pada klien, meliputi respons nyeri hebat akibat kompresi saraf, hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang, dan risiko tinggi sekunder akibat port de entree luka pasca-bedah (Arif, M, 2011).

17

F. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2002). Gejala fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk (Lukman, Ningsi, N, 2012). 1. Nyeri terus menerus dan beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ektremitas normal. Eketremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenrnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. 4. Saat ekstremitan diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

18

dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih besar. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. G. Tes Diagnostik Pemeriksaan foto polos menunjukkan adanya garis patah pada tulang radius ulna. Pemeriksaan ini juga dilakukan setelah intervensi sebagai hasil evaluasi tindakan yang telah dilakukan (Arif, M, 2011). Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan

ada/tidaknya dislokasi. Lihat kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan pertengahan radius. Pemeriksaan penunjang menurut (Doenges, 2000, dikutip dari http://bommaannha.blogspot.com/2012/03/ asuhan-keperawatan-dengan-gangguan_22.html/ diposkan oleh, Boma ana/ diakses taggal 22 Juni 2013) adalah : 1. Pemeriksaan rontgen 2. Scan CT/MRI 3. Kreatinin 4. Hitung darah lengkap 5. Arteriogram H. Penatalaksanaan Medik Menurut apley (1995), pada anak-anak, reduksi tertutup biasanya berhasil dan fragmen dapat dipertahankan dalam gips yang panjang lengkap, dari aksila sampai batang metakarpal; alat ini

19

diterapkan dengan posisi siku 90 derajat dengan lengan bawah pada posisi netral. Posisi tersebut diperksa dengan sinar-X setelah 2 minggu, dan jika memuaskan, pembebatan dipertahankan hingga fraktur menyatu (biasanya 6-8 minggu). Selama periode ini, dianjurkan untuk melakukan latihan tangan dan bahu (Arif, M, 2011). Pada individu dewasa, reduksi terbuka dan fiksasi interna dilakukan sejak permulaan. Fragmen dipertahankan dengan plat dan sekrup atau pen intramedula. Fasia yang dalam dibiarkan terbuka untuk mencegah terjadinya tekanan pada kompartemen otot, dan hanya kulit dan jaringan subkutan yang dijahit (Arif, M, 2011). Setelah operasi, lengan tetap dielevasi hingga pembengkakan berkurang, dan selama periode ini latihan aktif dianjurkan. Pada hari ke10, jahitan dibuang dan gips panjang dipasang dengan siku fleksi sebesar 90 derajat. tindakan ini dipertahankan sekurang-kurangnya selama 6 minggu, terutama untuk melindungi terhadap strain yang berputar. Konsolidasi fraktur tidak dapat dipercepat dengan fiksasi interna dan tulang masih memerlukan waktu sekitar 12 minggu agar terjadi penyatuan yang kuat (Arif, M, 2011). II. Konsep Asuhan Keperawatan Proses keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis berkesinambungan, yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian merencanakan tindakan untuk menyelesaikan, mengurangi, atau

20

mencegah terjadinya masalah baru dan melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan yang dikerjakan (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Pendekatan proses keperawatan memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi seluruh kebutuhan yang diperlukan klien. Kebutuhan ini menggambarkan masalah yang terjadi pada klien, baik aktual maupun risiko. Identifikasi masalah keperawatan yang ada merupakan dasar bagi perawat untuk menetapkan desain pemecahan masalahnya. Dengan demikian tindakan yang bertujuan untuk memecahkan masalah yaqng terjadi pada klien (Rohmah, N, Walid, S, 2012). A. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian haru dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat diidentifikasii (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Data dasar pengkajian pada pasien fraktur radius ulna tertutup menurut Doenges dkk (2000) yaitu :

21

1. Aktivitas/istirahat : Gejala : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri. 2. Sirkulasi : Tanda : a. Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan. b. Takikardia c. Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur. d. Hematoma area fraktur. 3. Neurosensori : Gejala : a. Hilang gerakan/sensasi b. Kesemutan (parestesia) Tanda : a. Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi. b. Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena

(mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.

22

c. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain. 4. Nyeri/Kenyamanan : Gejala: a. Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur, berkurang pada imobilisasi). b. Spasme/kram otot setelah imobilisasi. 5. Keamanan : Tanda: a. Laserasi kulit, perdarahan b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba) 6. Penyuluhan/Pembelajaran : a. Imobilisasi b. Bantuan aktivitas perawatan diri c. Prosedur terapi medis dan keperawatan 7. Pengkajian Diagnostik: Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah: a. X-ray: Menentukan lokasi/luasnya fraktur b. Scan tulang: Memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak

23

c. Arteriogram Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler. d. Hitung Darah Lengkap Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan. e. Kretinin Trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal f. Profil koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

24

B. Dampak/Penyimpangan Terhadap KDM Trauma Tidak Langsung, Daya Pemuntir (Biasanya Jatuh Pada Tangan), Pukulan Langsung Atau Daya Tekukan Fraktur Radius-Ulna Tertutup

Terputusnya Hubungan Tulang Ketidakmampuan Melakukan Pergerakan Lengan Terapi Imobilisasi Gips Sirkular Terapi Bedah Fiksasi Interna

Kerusakan Jaringan Lunak Kerusakan Saraf Spasme otot Kerusakan Vaskular

Hambatan Mobilitas Fisik Resiko Tinggi Trauma

Nyeri

Pembengkakan Lokal Resiko Sindrom Kompartemen

Respons Psikologis

Ketidaktahuan Teknik Mobilisasi Resiko Malunion, delayed Union Non-Union

Pasca-Bedah

Ansietas

Port De Entree Resiko Tinggi Infeksi

Gambar 1 : Dampak Penyimpangan KDM Sumber : (Arif, M, 2011)

25

C. Diagnosa Keperawatan Yang Lazim Muncul Pernyataan yang menggambarkan respons manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari indvidu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Penilaian klinis tentang respons individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan aktual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tempat perawat bertanggung jawab (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien fraktur radius ulna tertutup sebelum dan setelah intervensi medis meliputi (Arif, M, 2011) : 1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang. 2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang. 3. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer yang berhubungan dengan penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

26

4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang

akurat/lengkapnya informasi yang ada. 5. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka pasca-bedah D. Intervensi Perencanaan adalah pengembangan strategi desain mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifiaksi dalam diagnosis keperawatan. desain perencanaan menggambarkan sejauhmana perawat mempu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Adapun rencana tindakan keperawatan fraktur radius ulna menurut Doenges dkk (2000) yaitu : 1. DX I : Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang. Tujuan Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang : a. Meneyatakan nyeri hilang b. Meneunjukan tindakan santai; mampu

berpartisipasi dalam aktivitas

27

Tabel 2.1 : Intervensi Keperawatan Diagnosa I


Intervensi 1) Pertahankan imobilasasi bagian 1) Mengurangi yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi 2) Tinggikan posisi ekstremitas 2) Meningkatkan aliran balik vena, malformasi. Rasional nyeri dan mencegah

yang terkena. 3) Lakukan dan awasi

mengurangi edema/nyeri. latihan 3) Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler. untuk 4) Meningkatkan sirkulasi umum,

gerak pasif/aktif. 4) Lakukan tindakan

meningkatkan

kenyamanan

menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot. perhatian terhadap

(masase, perubahan posisi) 5) Ajarkan penggunaan

teknik 5) Mengalihkan

manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual,

nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri lama. yang mungkin berlangsung

aktivitas dipersional)

6) Lakukan kompres dingin selama 6) Menurunkan edema dan mengurangi fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan. 7) Kolaborasi pemberian analgetik 7) Menurunkan sesuai indikasi. nyeri melalui rasa nyeri.

mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

8) Evaluasi keluhan nyeri (skala, 8) Menilai erkembangan masalah klien. petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)

28

2. DX II

: Hamabatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal,

pergerakan fragmen tulang. Tujuan : Kemampuan mobiltas fisik terpenuhi

Kriteria Hasil : a. Meningkatkan/mempertahankan tingkat paling tinggi yang mungkin b. Mempertahankan posisi fungsional c. Menunjukan teknik yang memampukan mealakukan aktivitas Tabel 2.2 : Intervensi Keperawatan Diagnosa II Intervensi
1) Pertahankan aktivitas (radio, rekreasi koran, pelaksanaan terapeutik kunjungan

mobilitas

pada

Rasional
1) Memfokuskan meningkatakan diri/harga diri, rasa perhatian, kontrol membantu

teman/keluarga) sesuai keadaan klien. 2) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.

menurunkan isolasi sosial.

2) Meningkatkan muskuloskeletal,

sirkulasi

darah

mempertahankan

tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

3) Berikan papan penyangga kaki, gulungan sesuai indikasi. trokanter/tangan

3) Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.

29

4) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi)

4) Meningkatkan

kemandirian

klien

dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. 5) Menurunkan insiden komplikasi

sesuai keadaan klien. 5) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.

kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

6) Dorong/pertahankan

asupan

6) Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.

cairan 2000-3000 ml/hari.

7) Berikan diet TKTP.

7) Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh. 8) Kolaborasi pelaksanaan 8) Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual. 9) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi. 9) Menilai klien. perkembangan masalah

fisioterapi sesuai indikasi.

3. DX III

: Resiko disfungsi neurovaskuler perifer yang berhubungan dengan penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

Tujuan

: Penurunan/interupsi aliran darah teratasi : Mempertahankan pefusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat/mengering, sensasi normal, tanda vital stabil.

Kriteria Hasil

30

Tabel 2.3 : Intervensi Keperawatan Diagnosa III Intervensi


1) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan

Rasional
1) Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

menggerakkan jari/sendi distal cedera. 2) Hindarkan restriksi sirkulasi 2) Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian

akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat. 3) Pertahankan letak tinggi

keketatan bebat/spalk. 3) Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya

sindroma kompartemen.

4) Berikan

obat

antikoagulan

4) Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik trombus vena. untuk menurunkan

(warfarin) bila diperlukan.

5) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.

5) Mengevaluasi masalah klien

perkembangan dan perlunya

intervensi sesuai keadaan klien.

4. DX IV

: Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang

akurat/lengkapnya informasi yang ada.

31

Tujuan

: Klien dan keluarga memahami penyakit yang sedang dialami klien

Kriteria Hasil : a. Menyatakan pemahaman kondisi, progniosis, dan pengobatan b. Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan tindakan Tabel 2.4 : Intervensi Keperawatan Diagnosa IV Intervensi
1) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran. 1) Efektivitas

Rasional
proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti

program pembelajaran. 2) Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik. 2) Meningkatkan kemandirian perencanaan partisipasi klien dan dan dalam pelaksanaan

program terapi fisik. 3) Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik 3) Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut. untuk 4) Upaya pembedahan mungkin

(nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera) 4) Persiapkan klien

mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.

diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.

32

5. DX V

: Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka pasca-bedah

Tujuan Kriteria Hasil

: Resiko infeksi dapat teratasi : Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu

Tabel 2.5 : Intervensi Keperawatan Diagnosa V Intervensi


1) Lakukan perawatan pen steril 1) Mencegah dan perawatan luka sesuai

Rasional
infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

protocol 2) Ajarkan klien untuk 2) Meminimalkan kontaminasi. sterilitas

mempertahankan insersi pen. 3) Kolaborasi

pemberian 3) Antibiotika

spektrum

luas

atau

antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.

spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau

mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus. 4) Analisa hasil pemeriksaan 4) Leukositosis biasanya terjadi pada darah dan proses infeksi, anemia dan

laboratorium lengkap,

(Hitung Kultur

LED,

peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur mengidentifikasi penyebab infeksi. untuk organisme

sensitivitas luka/serum/tulang)

5) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

5) Mengevaluasi masalah klien.

perkembangan

33

E. Implementasi Pelaksanaan adalah rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobsevasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Beberapa keterampilan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan keperawatan (Rohmah, N, Walid, S, 2012).yaitu : 1. Keterampilan kognitif; mencakup pengetahuan keperawatan yang mnyeluruh. Perawat harus mengetahui alasan untuk setiap intevensi terapeutik, memahami respons fisiologi, psikologi normal, dan abnormal, mampu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan pemulangan klien, serta mengenali aspek-aspek promotif kesehatan klien dan kebutuhan penyakit 2. Keterampilan interpersonal; penting untuk tindakan keperawatan. Perawat harus berkomunikasi dengan jelas kepada klien, keluarganya, dan anggota tim kesehatan yang lainnya. 3. Keterampilan psikomotor; mencakup kebutuhan lansung terhadap perawat kepada klien, seperti perawatan luka, memberikan suntikan, membantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan lain-lain. Dalam pelaksanaan keperawatan dipengaruhi beberapa faktor : 1. Kemampuan intelektual, teknikal dan iterpersonal. 2. Kemampuan menilai data baru.

34

3. Kreativitas dan inovasi dalam membuat modifikasi rencana tindakan. 4. Penyesuaian selama berinteraksi dengan klien. 5. kemampuan mengambil keputusan dalam memodifikasi pelaksanaan. 6. Kemampuan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan serta efektifitas tindakan. Dalam pelaksanaan keperawatan ada beberapa tahapan pelaksanaan yitu : 1. Tahap persiapan meliputi : a. Review rencana tindakan keperawatan b. Analisis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan c. Antisipasi komplikasi yang akan timbul d. Mempersiapak peralatan yang diperlukan e. Mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik f. Memperhatikan hak-hak pasien 2. Tahap pelaksanaan meliputi : a. Berfokus pada klien b. Berorientasi pada tujuan dan kriteria hasil c. Memperhatikam kemampuan fisik dan psikologi klien d. Kompeten 3. Tahap sesudah pelaksanaa meliputi : a. Menilai keberhasilan tindakan b. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan

35

F. Evaluasi Evalauasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan

kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah, N, Walid, S, 2012). Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistimatis dan rencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan (reasessment) (Asmadi, 2008). Hasil yang di harapkan sesuai dengan asuhan keperawatan : 1. Nyeri yang dirasakan klien berkurang/hilang 2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer teratasi 3. Kemampuan mobilitas fisik terpenuhi. 4. Resiko tinggi infeksi teratasi 5. Klien dan keluarga mengerti dan memahami penyakit yang diderita klien saat ini.

36

You might also like