You are on page 1of 15

Pendahuluan

Agaknya sebuah kebetulan, setiap enam abad terjadi reformasi pemikiran yang sangat
signifikan di dalam perkembangan peradaban manusia. Prof. L.W.H. Hull dalam History
& Philosophy of Science, sebagaimana dikutip A.M.Saifuddin, membagi perkembangan
sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ke dalam lima periode, yaitu: Pertama, periode
Filsafat Yunani (Abad 6 SM - 0 M). Periode ini ditandai dengan penggunaan pendekatan
induktif dan pendekatan deduktif dalam memecahkan problematika keilmuan. Dalam hal
ini, Athena menjadi sentra para intelektual yang menganut pendekatan induktif dan
Alexandria menjadi pusat penganut pendekatan deduktif. Kedua, periode Kelahiran Nabi
Isa (Abad 0 - 6 M) yang ditandai dengan perseteruan antara Kristen dan filsafat. Kala itu,
Raja dan Gereja adalah pemegang hak veto kebenaran yang pada gilirannya membekukan
kebebasan berfikir.

Ketiga, periode ini sangat penting bagi kita karena disebutnya dengan kebangkitan Islam
(Abad 6 – 13 M) yang disebut sebagai Abad Pertengahan. Dalam periode ini, usaha untuk
mensintesiskan antara iman, intelektual, filsafat, empirik, dan sufisme. Sejumlah ilmuan
muncul di masa ini, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun,
dan sebagainya. Keempat, periode Kebangkitan Eropa (Abad 14 – 20 M) yang sering
disebut Abad Pemikiran. Pada masa ini, pemikiran keilmuan didominasi oleh filsafat
materialisme yang bermuara pada krisis teori dan kehidupan karena nilai etika telah
tercerabut dari akarnya. Kondisi demikian memicu Muhammad Abduh dan Muhammad
bin Abdul Wahhab untuk membentuk langkah solutif menghadapi kekalutan yang sedang
terjadi.

Kelima, Periode Kebangkitan Islam Kedua (Abad 20 - ....) yang ditandai oleh adanya
kesadaran akan keterbatasan potensi akal dan filsafat materialisme dalam menyelesaikan
problematika keilmuan. Untuk itulah, tokoh-tokoh sekaliber Sayyed Hossein Nasr, Ismail
Faruqi, Naquib al-Attas tampil merumuskan suatu konsep ilmu yang all-comprehensive
dan teruji dengan tolak ukur sistem nilai yang islami.

Reintegrasi & Reorientasi Ilmu Pengetahuan


Perkembangan awal ilmu pengetahuan masih sangat sederhana, belum tersistematisasi,
dan masih lebih merupakan pengetahuan intuitif. Perkembangan berikutnya menjadi
pengetahuan analitis dan logika serta mulai ada spesialisasi meskipun masih bersifat
generik. Selanjutnya ilmu perkembangan ilmu pengetahuan sudah mulai memasuki
wilayah penjurusan dan spesifikasi. Perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan melulai
dihubungkan dengan persoalan moral, karena mulai disadari bahwa perkembangan ilmu
tanpa dibarengi dengan kendari moral justru akan mengancam eksistensi martabat
kemanusiaan.

Perkembangan terakhir mulai disadari bahwa cakupan ilmu pengetahuan bukan hanya
pada dimensi kognitif dan logika tetapi juga pada wilaya spiritual, maka tidak heran kalau
akhir-akhir ini muncul istilah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual di samping
kecerdasan intelektual, terutama setelah terbitnya buku Emotional Intelligence karya
Daniel Goleman dan Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, karya Danah Zohar
& Ian Marshal. Aspek seni, keindahan, dan rasa mulai terintegrasi di dalam ontologi dan
epistimologi keilmuan.

Dahulu kala ilmu pengetahuan masih terpisah-pisah, bahkan pernah terjadi ketegangan
antara dimensi intelektual dan logika di satu sisi dengan dimensi emosional dan spiritual
di lain sisi. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada zaman positifisme. Di masa ini
seolah-olah agama tidak punya ruang di dalam wacana ilmu pengetahuan. Untungnya
zaman positifisme tidak berlangsung terlalu lama. Periode berikutnya muncul
modernisme, disusul dengan posmodernisme, kemudian terakhir diklaim dengan era new
age yang memberi wilayah dan apresiasi lebih positif kepada dimensi emosional-
spiritual. Bahkan perkembangan yang paling terakhir menurut pengamat perkembangan
ilmu pengetahuan, kita sekarang sudah memasuki apa yang distilahkan dengan era post
new age, yang lebih menekankan pada aspek spiritual. Makanya itu fenomene sufisme,
meditasi, dan mystical music, semakin berkembang di dalam masyarakat akademik dan
di dalam masyarakat perkotaan.

Reintegrasi ilmu pengetahuan sesungguhnya berawal ketika lahirnya Islam. Ayat Al-
Qur’an yang pertama diturunkan ialah Iqra’ bi ism Rabbik al-ladzi khalaq. Khalaq al-
insan min ‘alaq. Iqra’ wa Rabbuk al-Akram. Al-Ladzi ’alama bi al-qalam. ’Allam al-insan
ma lam ya’lam. (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya). Ayat pertama tadi memberikan bukti
bahwa dalam Islam, perintah membaca sebagai simbol dari urgensi ilmu pengetahuan
harus diintegrasikan dengan wawasan ketuhanan.

Rasulullah Saw menjabarkan perintah ini denganmemperkenalkan konsep integralisme


keilmuan sejati, dengan pemaduan secara harmonis antara unsur rasionalitas, unsur
moralitas dan seni ke dalam tiga landasan ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Puncak peradaban manusia paling menakjubkan memang terjadi di masa
Rasulullah Saw. Ia berhasil membangun landasan keilmuan yang integratif antara ilmu-
ilmu rasional-analitis dan ilmu-ilmu moral-spiritual. Sayangnya perkembangan
selanjutnya kembali mengalami keterpecahan, terutama setelah bangkitnya kembali dunia
Barat yang biasa dikenal dengan abad filsafat Yunani ke II yang melakukan pemisahan
antara ilmu-ilmu rasional-analitik dengan ilmu-ilmu keagamaan.

Perkembangan Pemikiran dalam Islam


Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan
dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab.
Dalam hal ini Dar al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya,
yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi
Islam. Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, al-
Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh
dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur Yunani. Terlebih lagi
Dar al-Hikmah juga melengkapi diri dengan fasilitas laboratorium dan peralatan-
peralatan penelitian yang sangat canggih di zamannya untuk menguji dan
mengembangkan teori-teori saintifik Yunani.
Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di
Baghdad, Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang
menjadi pusat penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat
penyebaran ilmu sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah
(universitas). Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang
sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih
lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli
hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah
media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut
pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk
mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum
rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat
kala itu salah satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan,
toko-toko buku dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan
penuh keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat. Artinya
bahwa tradisi keilmuan tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh
lapisan masyarakat berlomba membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh
satu hal yang mengagumkan apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang
begitu berminat membaca, mengajar serta megembangkan ilmu. Masing-masing
berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam memajukan institusi pendidikan
dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan kemajuan pendidikan.

Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan
umum, perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum
yaitu perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-
masjid. Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan.
Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad saja
terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah perpustakaan.

Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar
dan ulama, seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn
Khasyab (567 M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para
ulama, sarjana dan pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi
diperuntukan bagi para akademisi dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul
Hikmah yang didirikan oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah
yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan
Cordova.

Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga dengan dirinya karena menjadi salah
seorang yang memiliki perpustakaan terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi
ketua penanggung jawabnya, kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus
membutuhkan 400 ekor onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota,
katalog perpustakaan pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah
(wafat 982) memiliki dua cabang, disamping satu perpustakaan miliknya di Basrah, ia
membangun sebuah perpustakaan yang luas di pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin
oleh seorang pustakawan, seorang pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan
Wakil). Perpustakaan tersebut berisi banyak buku-buku literature ilmiah. Cyril Elgood
menggambarkan buku-buku Adun Dawlah tersimpan memanjang (dalam garis bujur)
ruang (hall) yang melengkung dengan banyak kamar di semua sudutnya. Pada dinding
ruang tersebut ditempatkan rak buku setinggi enam kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari
kayu berukir, dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas. Setiap cabang ilmu pengetahuan
memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah.

Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang didirikan pada tahun 998, oleh
Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang
lebih sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan
perak disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh
perpustakaan muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-
Hakim (wafat 976) di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati
diseleksi oleh para penyalur buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam.
Perpustakaannya dipimpin oleh sebuah staf yang cukup besar, terdiri dari para
pustakawan, penyalin dan penjilid di dalam scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif,
seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-buku langka, masterpiece-masterpiece
kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan
ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan
Sabor di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih
pada tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan tangan dan
10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat seratus buah toko buku
dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari delapan ribu orang..

Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam pada masa itu. Semua orang
berlomba memperkaya diri dengan ilmu. Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa
masih berada dalam masa kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan
perpustakaan. Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington
hanya menyimpan 356 buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96
buah buku saja. Ini menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan
penghargaannya terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan
peradaban Islam sebagai acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur
menjadikan Barat sebagai ukuran kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin
semua salinan-salinan manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq
Nadim telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan buku-
buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku ini merupakan karya bibliografi
dan katalog yang paling lengkap tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau
diterjemahkan oleh sarjana muslim. Walaupun begitu, banyak buku-buku tersebut telah
hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan. Kegigihan Imam al-Ghazali
dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama
besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang hadis pada
detik-detik terakhir kehidupannya.
Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam berkembang pesat
pada zaman tersebut bersama dengan kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang
maju tidak dapat dibangun dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan
kata lain, peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi
keilmuan. Oleh sebab itu, membangun peradaban Islam mesti mengikutsertakan
pembangunan tradisi keilmuan dengan mewujudkan dan memperbanyak institusi
pendidikan yang berkualitas dan jaringannya menembus batas negara. Demikian juga,
umat Islam perlu melahirkan ulama, sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu
menghadirkan kegiatan kajian, penelitian dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-
unsur tersebut institusi pendidikan dan keilmuan akan nampak sepi dan tidak
berkembang.

Tradisi Pemikiran Islam


Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana
kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini
artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa
yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah
kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana
terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal
dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan
internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan
lain dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini
masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di
sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar
peradaban Cina, dan lain-lain.

Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri
analitik, yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika, atau
bahkan arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan
yang berada pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem
keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu sebagai “tempat” untuk
tindakan dan kejadian seperti yang ditentukan dalam Al-Qur’an. Penemuan alat-alat optik
berhubungan dengan konsep cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan perkembangan
dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas pembagian monad sampai monad
yang tak terbagi. Contoh-contoh lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika
dan lainnya.
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan mengagumkan ini seiring dengan
kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang secara spesifik banyak dipengaruhi oleh
tradisi filsafat Yunani. Sampai akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi
sufistik yang dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan
pemikiran filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat
yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan
kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran Islam.
Salah satu upaya menghidupkan kembali tradisi filsafat dilakukan kurang dari satu abad
setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa ‘Abd al-Raziq (1885-
1946) --kakak kandung ‘Ali ‘Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan
kembali tradisi filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang sebagian besar
hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam masyarakat
Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat perlahan berkembang dan hidup kembali
meskipun tidak secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif dan
akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam khususnya), baik dari individu
masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor, diantaranya,
adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali tradisi dan nilai-nilai budaya
Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan elemen penting dalam budaya
tersebut.

Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-
negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk
mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai
dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina
dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis baik secara langsung
ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Masyarakat Arab saat ini selalu
menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka
berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani. Terlebih kini, ketika mereka --
sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan
oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk
mengkaji sendiri tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah
yang lebih mengetahui tradisi sendiri.

Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat dalam masyarakat Arab kontemporer


dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya adalah pertama, melakukan
penyuntingan buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim klasik. Kemudian
sedikit memberi kajian dan memperdalam pembahasannya. Termasuk sebagian
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing untuk disebarluaskan dan menjadi kajian
masyarakat internasional, Kedua, menerjemahkan karya-karya filosof barat ke dalam
bahasa Arab untuk diperkenalkan kepada masyarakat Arab khususnya serta melakukan
kajian mendalam terhadap karya-karya tersebut. Ketiga, menciptakan isyu-isyu filsafat
sendiri dan menulisnya, khususnya isyu-isyu berkaitan dengan realitas kekinian ataupun
sebagai reaksi dari isyu-isyu filsafat yang telah ada lebih dulu.

Dalam konteks keindonesiaan sejarah pemikiran Islam mempunyai tradisi yang cukup
beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang hidup dan berkembang buah inspirasi dari
pemikiran Barat. Mereka ini adalah orang-orang yang dididik di dalam pendidikan Barat,
dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di
dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah
intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada
perdebatan kecil antara para ilmuwan yang pernah mengenyam studi di Barat dan
ilmuwan yang pernah studi di Timur Tengah. Meskipun polarisasi yang terjadi tidak
sedahsyat yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam garis pemisah di
antara mereka. Termasuk adanya asumsi bahwa orang yang belajar Islam di Barat
dianggap tidak valid dan layak dicurigai ketulusan dan keobyektivannya dalam
melakukan kajian keislaman. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang
sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis yang memiliki misi-misi khusus, atau
paling tidak, mereka bukan muslim practicing. Sebaliknya, mereka yang belajar ke Timur
Tengah merasa unggul karena merasa telah belajar langsung di pusat pengetahuan Islam
yang lebih murni yang kecil kemungkinan melakukan penyimpangan atas ajaran ataupun
sejarah Islam.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disamping dihadapkan berbagai hal di atas
juga mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi masyarakat Indonesia yang
sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat
yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus
memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah
dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini diyakininya.

Kembali pada persoalan umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang
mayoritas berpenduduk Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam
memproduksi naskah dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan.
Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen
dari produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme
keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh negara-negara
maju tersebut. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu
pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas
negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi
sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka.

Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja
keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan
mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu
digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai
dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan.
Menggairahkan kembali tradisi menulis di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para
ulama kita yang secara keilmuan sangat memadai namun sayang sebagian mereka
memiliki kesulitan dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan.
Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah waktunya diterjemahkan ke
dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca oleh dunia internasional.

Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak kendala namun perlu dipikirkan
bersama agar pemikiran-pemikiran para ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat
terlebih masyarakat internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat
yang rela menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip atau
buku. Mereka tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia keluarkan demi
memenuhi kebutuhan kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan dalam memenuhi
kebutuhan keilmuan seperti ini mesti kita tumbuhkan di kalangan sarjana-sarjana muslim.
Dengan demikian, harapan untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia
Islam tidak lagi menjadi impian tetapi dapat kita nikmati hasilnya.
Ungkapan Abu Hasan Ali al-Nadwi patut kita renungkan, baginya ilmuwan yang baik
adalah yang menulis untuk generasinya dan generasi kemudian. Para ulama dan ilmuwan
menulis buku bukan untuk dirinya atau meraup keuntungan sesaat tetapi untuk generasi
kini dan generasi mendatang. Proses regenerasi dan transformasi keimuan ini mungkin
memakan waktu yang cukup lama daripada usia seseorang atau ratusan tahun. Oleh
karena itu, sudah saatnya ilmuwan Islam menyemarakkan sekaligus mewariskan tradisi
keilmuan kepada generasi mendatang supaya mereka dapat meneruskan langkah besar
ini.

Dalam membangkitkan tradisi keilmuan, tidak cukup hanya membangun aspek fisik
bangunan lembaga pendidikan dengan segala fasilitasnya semata, tapi yang tak kalah
pentingnya adalah membangun sikap mental individu. Upaya penting yang mesti segera
dilakukan adalah membangkitkan kesadaran masyarakat secara umum dalam menghargai
ilmu dan budaya membaca yang tinggi, sebab dalam membaca buku inilah pintu
pengetahuan itu terbuka. Beragam informasi-informasi baru bisa didapat. Persoalannya
saat ini minat baca masyarakat kita masih rendah. Hal ini dapat kita lihat dari kebiasaan
sehari-hari masyarakat kita yang kerapkali menghabiskan waktu kosongnya untuk hal-hal
yang tidak produktif. Seperti kebiasaan menunggu kendaraan hanya untuk melamun.
Mengisi waktu dalam perjalanan untuk tidur dalam kendaraan, dan sebagainya. Waktu-
waktu kosong seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membaca majalah, Koran, ataupun
buku.

Disamping itu perkembangan teknologi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan dengan


sebaik-baiknya khususnya dalam meningkatkan tradisi keilmuan. Melalui media internet,
kita dapat memperoleh beragam ilmu dan bahan-bahan kajian dari para ilmuwan seluruh
dunia dengan mudah dan cepat. Karenanya sudah seharusnya lembaga-lembaga
pendidikan melengkapi fasilitas pendidikannya dengan fasilitas internet agar sarjana-
sarjana kita tidak tertinggal dengan sarjana-sarjana di negara-negara lain.

SistemPendidikan yang Terpadu


Umat Islam sudah waktunya kembali kepada semangat pendidikan seumur hidup yang
telah dicanangkan oleh Rasulullah saw., sejak empat belas abad silam. Banyak titah
Rasulullah saw. yang menyemangati umat Islam akan pentingnya hidup bergelimang
pengetahuan. Titah Rasul yang cukup dikenal adalah perintah menuntut ilmu bagi setiap
Muslim dan Muslimah sejak saat dalam buaian sampai masuk ke liang lahat. Demikian
pula al-Qur’an telah dengan jelas-jelas mengingatkan kita supaya jangan meninggalkan
generasi yang lemah baik dalam keimanan, materi, kesehatan, maupun pendidikan (QS.
4:9). Hal ini sudah sewajarnya memicu kaum Muslim untuk bersikap dengan dimensi
yang lebih luas dalam beragama, terutama dalam menghadapi masalah pendidikan.
Artinya, pendidikan harus dirajut sebagai bagian dari ibadah-ibadah utama yang mahdlah
walaupun status hukumnya ghair mahdlah. Dengan demikian, misalnya, seseorang yang
telah pernah melaksanakan ibadah haji tidak perlu ngotot pergi haji lagi sementara di
sekitarnya masih banyak anak-anak usia sekolah atau lembaga pendidikan yang tak
terurus. Biaya perjalanan hajinya akan lebih baik ditanamkan dalam membenahi sistem
pendidikan di lingkungannya. Untuk itu memang dibutuhkan cakrawala keberagamaan
yang lebih lebar, yang mewujud dalam keyakinan bahwa kemuliaan seseorang sebagai
hamba Allah akan pula diraih tidak hanya melalui ketekunan menjalankan ibadah
individual namun dapat pula diraih dengan ibadah komunal.

Dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw. juga terdapat berbagai aspek yang mendorong umat
Islam untuk selalu belajar sehingga pendidikan selalu mendapat perhatian umat Islam.
Dalam rangka mengambil manfaat efek sinergitas dalam dunia pendidikan, para peminat
pendidikan -khususnya para orang tua Muslim- perlu mengembangkan pula paradigma
mafhum muwaafaqah terhadap upaya sinergitas para penyelenggara pendidikan, yaitu
bersedia seiring sejalan karena tidak mungkin keunggulan pendidikan kaum Muslim
diraih hanya mengandalkan keringat lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan saja
tanpa keikutsertaan mereka. Artinya, setiap orang berani memasukkan anak-anaknya ke
sekolah-sekolah yang nota bene dibawah standar dengan mengedepankan rasa memiliki
dan tekad perolehan keunggulan bersama jangka panjang. Masing-masing bahu membahu
membangun pendidikan yang berkualitas. Justru kualitas dan keunggulan pendidikan,
baru akan diperoleh jika dipompakan ke dalam lembaga tersebut baik melalui pasokan
anak didik yang unggul maupun dana dan kepedulian. Dengan kata lain, untuk
memasukan anak ke dalam lembaga pendidikan tidak perlu menunggu sampai lembaga
tersebut mapan karena hanya akan menjadi mimpi jika tak ada dukungan yang sinergis
dari berbagai pihak.

Antara masyarakat modern dan tradisional terdapat perbedaan tekanan dalam pendidikan.
Dalam masyarakat tradisional, penekanan kepada orientasi normatif merupakan aspek
utama. Lembaga pendidikan merupakan sumber signifikansi bagi pengajaran moral dan
mengekalkan tradisi. Dalam masyarakat modern, seiring dengan peningkatan pengajaran
normatif semakin menurun, dan lebih menekankan kepada ilmu dan teknologi atau
keterampilan yang bermakna. Dengan demikian tingkat kompleksitas dan kondisi
masyarakat mempunyai korelasi dengan tingkat diversifikasi lembaga-lembaga
pendidikan. Dalam masyarakat yang belum begitu komplek, bentuk dan jenis lembaga
pendidikan masih sederhana. Setelah masyarakat mengalami perkembangan, setelah
pendidikan berlanjut, mulai muncul bentuk-bentuk lembaga pendidikan baru yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.

Di sisi lainnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak cukup tampil hanya


mengandalkan eksistensi fisiknya saja, lebih dari itu harus mengedepankan pola-pola
penyelenggaraan yang terpercaya, profesional dan menomorduakan unsur bisnis dalam
pelaksanaannya. Transparansi pengelolaan dan manajemen yang profesional adalah suatu
keniscayaan guna memperoleh tingkat kepercayaan tinggi masyarakat, khususnya para
orang tua murid. Model pengelolaan pendidikan yang egaliter, namun tetap elegant dalam
memandang kualitas adalah tuntutan-tuntutan lainnya untuk memperkokoh
keberadaannya. Lembaga pendidikan harus tampil sebagai napas kehidupan komunitas
muslim yang jika keadaannya megap-megap dapat membangkitkan kepedulian mereka
untuk peduli memulihkannya. Rasa memiliki harus ditumbuhkan pada semua kalangan
umat sehingga pada gilirannya bukan saja mereka percaya, namun berkeinginan kuat
membesarkannya. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus dapat menjadi agen-agen
keunggulan sekaligus sebagai jembatan dalam menjelajahi dunia sampai akhiratnya.
Tentu saja, upaya-upaya ini harus digarap bersama dengan tekad memajukan kualitas
pendidikan di lingkungannya.

Sistem pendidikan yang terpadu akan membantu melahirkan out put pendidikan yang
berkualitas dan menghasilkan SDM yang sesuai harapan. Artinya, pendidikan tidak hanya
terkonsentrasi pada satu aspek saja sebagai panyokong lahirnya SDM-SDM berkualitas.
Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem
pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, setidaknya ada 3 hal yang harus menjadi
perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang
integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan
kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara
sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.

Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan
menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran
pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat
yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang
diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar
pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga
Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi
ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Hal ini
berpengaruh pada model pembinaan yang mesti diberikan kepada anak. Selain muatan
penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan
mulai dari tingkat TK hingga PT, dasar-dasar ilmu keagamaan dan Ilmu Kehidupan
(IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya
serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-
masing.

Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur
kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua
anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang
dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada
anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-
santun dan syair-syair yang baik.” Ada tahap-tahap yang mesti dilalui sebagai bagian dari
proses pembentukan kepribadian anak menuju kemandirian.

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk
mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah.
Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an,
kemudian suruh dia menghafalkan al-Qur’an…”.

Ketiga, pendidikan yang diberikan berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam, dan
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target standar yang
harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan
bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang umum diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam.

Dalam mempertahankan eksistensinya, Madrasah juga lembaga pendidikan Islam lainnya


di Indonesia menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara pemenuhan kebutuhan
keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi
meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta
didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan
ilmu agama. Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas
dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi.
Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama
yang hanya akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun kenyataannya, persoalan
kehidupan duniawi terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan
ilmu-ilmu agama.

Intergrasi Keilmuan
Ilmuwan Prancis Bruno ‘Abdul Haqq’ Guiderdoni mengatakan ada persamaan
epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran yang
terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang
harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun,
kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama.
Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bisa
bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial.

Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang
didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang
selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri
tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi
sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al-Qur’an,
bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.

Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi
ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar
secara teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu
adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora. Al-
Qur’an berisi berbagai hal yang berkaitan dengan semua yang ada di alam ini, agama,
sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya.
Hanya saja al-Qur’an tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang-bidang
tersebut. Ini artinya bahwa pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan ilmu umum,
karena semua tercakup dalam al-Qur’an.

Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim
sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem
pendidikan Islam, dan sistem sosial tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan
Islam. Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua
ilmu, sistem pendidikan, dan sistem sosial. Islam ditempatkan sebagai induk dari semua
akar ilmu pengetahuan, yang memang sudah selayaknya diterima oleh Islam, bukan
malah memilah-milah keilmuan yang justru akan memperkecil posisi Islam itu sendiri.

Penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bisa
dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif.
Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi
meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media belajar
hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah yang didalamnya ilmu-ilmu
agama banyak dipelajari tidak lagi berada terpisah diantara deretan lembaga-lembaga
pendidikan yang lain, tapi ia berada membaur bersama dalam aktivitas pendidikan.

Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945
meskipun prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah
perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan
madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan
keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang
diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA wajib
memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU dan
ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri
khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama.

Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus disusun dengan baik dan harus jelas bagi
semua fihak yang berkepentingan, karena berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan
dari keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi
adalah Tri Civitas akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia masih tidak
demikian. Banyak di antara perguruan tinggi yang kurikulumnya menjiplak perguruan
tinggi lain yang sejenis tanpa mengerti landasan filosofis yang ada di balik kurikulum
tersebut. Demikian pula halnya dengan IAIN dan STAIN, ataupun PTAIS. Kurikulum
nasional mereka dibuat oleh Departemen Agama di Jakarta dan hanya berupa daftar
matakuliah. Silabusnya pun dibuat seragam dan berupa deretan topik inti yang kadang-
kadang tumpang tindih (over laping) satu sama lain. Ironisnya lagi kurikulum dan silabus
buatan orang lain ini dianggap sakral (untouchables) dan tak dapat diubah lagi. Padahal
sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya mereka menyadari sifat otonomi keilmuan
yang mereka miliki. Dengan demikian PTAI memiliki kebebasan untuk melakukan
eksplorasi atas kurikulum dan out put pendidikan yang ingin dihasilkan.
Dengan membaca kurikulum yang tertulis dalam buku pedoman kebanyakan PTAI,
masyarakat masih belum dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang hal-hal penting.
Gambaran tersebut antara lain berisi apakah yang akan dibentuk oleh PTAI melalui
kurikulum itu? Bagaimana cara PTAI untuk mewujudkan lulusan seperti itu? Aspek-
aspek apakah yang akan dikembangkan melalui kurikulum itu? Dan sebagainya. Yang
lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa kurikulum tersebut bukan saja tidak jelas bagi
masyarakat yang ingin mengetahui apa isi kurikulum PTAI, melainkan juga tidak jelas
(setidaknya tidak ada jaminan bahwa hal itu sudah jelas) bagi sebagian (mungkin
sebagian besar) dosen yang secara langsung mendidik mahasiswa di ruang kuliah.
Sehingga ada ketidakterkaitan antara keinginan pemerintah, pihak rektorat dan dosen
yang mengajar di kelas. Masing-masing berjalan sendiri sesuai dengan apa yang mereka
pahami dari matakuliah yang menjadi tanggungjawabnya. Masing-masing fihak memiliki
visi masing-masing mengenai kualitas lulusan dan apa yang seharusnya dilakukan untuk
menghasilkan lulusan seperti itu.

Transformasi Pemikiran dan Tanggung Jawab Negara


Pendidikan hingga saat ini masih menjadi satu-satunya alat yang paling efektif untuk
melakukan transformasi gagasan. Perubahan pemikiran yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat banyak dilakukan melalui jalur ini. Isue-isue demokrasi, pluralisme,
multikulturalisme, kerukunan beragama dan sebagainya kerapkali disampaikan kepada
masyarakat melalui jalur pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini tidak semata
pendidikan formal yang selama ini terjadi di ruang-ruang kelas. Tetapi proses pendidikan
yang dijalankan banyak melalui forum-forum non-formal, seperti dialog, seminar, majlis-
majlis taklim di mana gagasan-gagasan yang dibawa disusupkan secara perlahan. Selama
ini model transformasi gagasan seperti ini sangat efektif dan cukup memberikan dampak
signifikan terlebih dengan dukung teknologi informasi dan komunikasi yang mampu
menyebarkan gagasan tersebut secara masih kepada masyarakat luas dalam waktu yang
sangat cepat.

Pendidikan jalur formal yang selama ini diselenggarakan secara resmi oleh lembaga-
lembaga pendidikan dapat pula, bahkan memiliki potensi yang cukup besar, untuk
mentransformasikan gagasan dalam sebuah desain besar perubahan masyarakat. Karena
itu utnuk mengetahui seberapa kualitas SDM dalam sebuah negara dapat diketahui dari
kualitas pendidikan yang diselenggrakan, lebih khusus dapat diketahui dari kurikulum
yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan tersebut. Sebab dalam kurikulum itulah
berisi nilai-nilai ataupun gagasan-gagasan yang hendak ditularkan kepada peserta didik.
Jika gagasan-gagasan yang ditularkan bermasalah maka out putnya pun akan bermasalah.

Kurikulum sebuah lembaga pendidikan setidaknya harus mencerminkan identitas


lembaga tersebut sebagai lembaga pendidikan yang bermutu. Di samping juga dilengkapi
dengan tenaga-tenaga pengajar yang kompeten dan sarana dan prasarana yang memadai.
Setidaknya ia harus mencerminkan misi dan visi lembaga pendidikan tersebut.
Kurikulum juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin
dihasilkan dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang
diharapkan itu melalui berbagai program dan mata pelajaran.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia telah terjadi berkali-kali pergantian kurikulum


nasional. Yang terakhir dan masih banyak menjadi bahan diskusi berbagai kalangan
adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berusaha menjawab persoalan
tidak hanya persoalan dalam dunia pendidikan semata, namun persoalan SDM bangsa
Indonesia secara umum yang dianggap bermaslaah dalam berbagai aspek, baik itu
moralitas maupun daya saing dengan dunia internasional. Sayangnya kurikulum berbasis
kompetensi ini tidak cukup dipahami oleh pelaksana pendidikan khususnya para guru dan
penyelenggara pendidikan lainnya di level bawah. Artinya gerak sinergis antar berbagai
kalangan belum terjadi dalam proses pembentukan kualitas pendidikan dan SDM
nasional.

Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan nampak jelas ketika beliau
menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis
kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan
Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama
nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah
menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya
milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar
(tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.
Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas
setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.

Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala negara
(khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang
yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam,
kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya.
Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah
menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota
Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-
Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1
dinar=4,25 gram emas).

Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga
sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa
Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan josul
didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para
ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan
segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para
mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara
teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer
Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan
apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para
khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu
memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.

Kondisi ini akan berbeda jika dikaitkan dengan kondisi sesungguhnya di Indonesia di
mana masih banyak kita temui anak-anak usia sekolah yang masih berada di jalanan atau
tidak mampu bersekolah karena ketiadaan biaya, Meski pada dasarnya pemerintah
memiliki kewajiban untuk membuat mereka mendapatkan pendidikan karena itu adalah
bagian dari hak mereka. Ketika hak pendidikan itu tidak mereka dapatkan, pada akhirnya
memicu lahirnya lembaga-lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) maupun yayasan-yayasan sosial yang berupaya menolong mereka
dari ketertinggalan pendidikan.
Kondisi yang berlangsung terus menerus tersebut membuat masyarakat sendiri yang
memperkuat basis-basis pendidikan “alternatif”, sebagai jawaban konkret atas
ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan semua persoalan pelik pendidikan di negeri
ini. Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat sendiri yang mesti menawarkan konsep
pendidikan yang terjangkau mayoritas rakyat, ketika lembaga pendidikan formal
berperilaku layaknya saudagar.

Tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, sudah saatnya pula
menghentikan praktik mencari koneksi, kasuk-kusuk sana-sini, demi diterima bersekolah
atau berkuliah di lembaga pendidikan favorit. Hentikan semua praktik kontraproduktif
yang sebetulnya justru menjadi bagian dari penyakit dan persoalan rumit pendidikan di
negeri ini.
Sudah saatnya segenap elemen masyarakat memikirkan lebih serius masa depan
pendidikan di Indonesia, karena pendidikan berkaitan erat dengan nasib bangsa yang
nantinya akan beralih kepada generasi berikutnya. Jika generasi yang akan mewarisi
bangsa ini tidak mendapatkan pendidikan yang selayaknya maka kita pun akan dapat
memprediksikan gambaran masa depan bangsa Indonesia.***
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A487_0_3_0_M

You might also like