You are on page 1of 9

STENOSIS ANI

I. PENDAHULUAN Stenosis ani merupakan salah satu kelainan bentuk anorektal yang dapat ditemukan pada bayi. Kelainan bawaan ini terjadi akibat adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah anus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke empat sampai ke enam usia kehamilan.[1] Pada stenosis ani terjadi penyempitan dari spinkter anus dan pembukaan dari lumen anus. Gejala utama yang ditemukan adalah kesulitan buang air besar, kesulitan dan resistensi pada pergerakan usus besar.[2] Kelainan bentuk anorektum dapat ditemukan dalam berbagai macam tipe. Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dibagi dalam 4 golongan, yaitu: 1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus 2. Membran anus yang menetap 3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacammacam jarak dari peritoneum 4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum Kelainan bentuk anorektum selain yang disebutkan diatas dapat juga dikelompokkan berdasarkan hubungan antara bagian terbawah dengan rectum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, yang dikenal sebagai klasifikasi Melbourne:[1] 1. Kelainan letak tinggi: rectum yang buntu terletak di atas m. levator ani/puborectal sling. 2. Kelainan letak tengah: telah menembus otot puborektalis sampai sekitar satu sentimeter atau kurang dari kulit perineum. 3. Kelainan letak rendah: rectum telah menembus levator sling sehingga sfingter ani interna dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal. Jarak antara punctum dengan anal dimple < 1 cm.

Berdasarkan klasifikasi kelainan bentuk anorektum diatas, stenosis ani merupakan kelainan bentuk anorektum tipe I dan dengan kelainan letak rendah.

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI Anomali kongenital pada bagian anorektal terjadi pada satu dari 30004000 kelahiran. Sebanyak 10% dari kasus anomali pada anorektal merupakan stenosis ani. Insiden pada bayi laki-laki dalam beberapa penelitian ditemukan lebih tinggi dibanding pada bayi perempuan, sementara kemungkinan berulangnya kelainan yang sama pada anggota keluarga yang lain hanya sebesar 1%.[1]

III. ETIOLOGI Stenosis ani dapat disebabkan oleh proses patologis intrinsik atau ekstrinsik anorectum. Stenosis ani dapat terjadi pada hampir semua kondisi yang menyebabkan jaringan parut anoderm. Penyebab stenosis ani dapat meliputi operasi dari lubang anus, trauma, penyakit radang usus, terapi radiasi, penyakit kelamin, tuberkulosis, dan penyalahgunaan obat pencahar dalam waktu lama.[4] Sembilan puluh persen dari stenosis ani disebabkan oleh

hemorrhoidectomy yang berlebihan. Penghilangan anoderm yang luas dan hemoroid mukosa rektum, tanpa menyisakan jembatan mukokutan, dapat pula menyebabkan jaringan parut dan striktur kronis progresif.[4] Selain itu, operasi fisura anus juga dapat menyebabkan stenosis ani, jika sfingterotomi internal tidak dilakukan. Stenosis dapat menyertai reseksi anterior rektum, jika terkomplikasi dengan anastomotic dehiscence. Penyakit radang usus dapat menyebabkan stenosis ani, terutama penyakit Crohn. Stenosis ini ditandai dengan proses inflamasi transmural bekas luka. Pasien yang menyalahgunakan obat pencahar parafin dapat pula menyebabkan stenosis karena pasien jarang defekasi. Pengobatan radioterapi untuk tumor panggul (yaitu karsinoma uterus,

karsinoma prostat, dan lain-lain) memicu pembentukan stenosis ani. Selain itu, sepsis, iskemia dari oklusi arteri mesenterika bawah atau atas arteri rektal, AIDS, lymphogranuloma kelamin, gonore, amoebiasis dan penyakit bawaan anorektal, serta penyalahgunaan kronis tartrat ergotamine untuk pengobatan serangan migrain dapat menyebabkan stenosis ani. [4] IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI Rectum dimulai dari kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal panjangnya. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga otot internal dan external. Struktur rectum, serupa dengan kolon tetapi dinding yang berotot lebih tebal. Dan membran mukosanya membuat lipatan lipatan membujur yang disebut kolumna morgadni. Didalam anus ini serabut otot musculer menebal untuk membentuk otot sfingter anus interna. Sel sel yang melapisi saluran anus berubah sifatnya, epitium bergaris menggantikan sel sel silinder, sfingter externa menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup. [5]

Gambar 2: Anatomi anorektum. Sumber : journal common anorectal condition. America; 2001.

V. PATOFISIOLOGI Stenosi ani terjadi karena terganggunya embrio-genesis dari hindgut yang menyebabkan terjadi gangguan pemisahan uregenital dengan anorektum. Kelainan ini terjadi oleh karena adanya gangguan perkembangan pertumbuhan dari septum rectal, struktur mesoderm lateral, dan struktur eksoderm untuk membentuk rektum yang normal dari bagian bawah saluran kemih. Hindgut dibentuk pada awal masa embriologi sebagai bagian dari organ pencernaan primitif yang meluas kedalam lipatan otot pada minggu kedua gestasi. Sekitar hari ke-13, hindgut akan berkembang menjadi divertikulum ventral dan kandung kemih primitif. Persimpangan antara kandung kemih tersebut dan hindgut akan membentuk kloaka. Pembukaan bagian posterior membran anus terjadi pada minggu ke-8. Kegagalan dalam setiap fase dan proses ini akan menyebabkan kelainan anomali pada anorektal. [6] Selain itu, perlukaan pada bagian anorektal akibat dari trauma, peradangan dan penggunaan obat-obat seperti laksatif dapat menyebabkan jaringan parut yang menyebabkan striktura atau stenosis pada anus. [6]

gambar 2. hindgut sumber : www.syllabus.med.unc.edu /2013

VI. GEJALA KLINIS Keluhan yang paling mengganggu pasien dengan stenosis anal adalah kesulitan dengan buang air besar seperti sembelit, obstipasi, buang air besar menyakitkan, kram perut, dan pendarahan sering berhubungan dengan gejala. Pasien biasanya takut defekasi atau merasa nyeri sehingga menyebabkan pasien bergantung pada obat pencahar.[9] VII. DIAGNOSIS I. Anamnesis Umumnya bayi dengan diagnosis stenosis ani mengalami gejala berupa kesulitan mengeluarkan mekonium atau mengeluarkan tinja yang menyerupai pita, terlambatnya evaluasi mekonium lebih dari 24 jam atau anak tidak bisa defekasi sedangkan anak tersebut memilki anus, muntah hijau dan distensi abdomen. Namun demikian, pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama beberapa bulan setelah lahir. Megakolon sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian bawah di daerah stenosis, yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja.[1]

II.

Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis untuk pasien stenosis ani, dilakukan inspeksi pada daerah abdomen untuk melihat terdapat distensi abdomen dan perut buncit atau tidak. Pada auskultasi abdomen didengarkan peningkatan bising usus dan passage usus terganggu karena terjadi

sumbatan. Pada palpasi dilakukan perabaan pada abdomen terasa bagianbagian dari kolon yang melebar dan bisa dirasakan perut keras atau defans abdomen, teraba massa skibala, dan nyeri. Pada perkusi didapatkan timpani dan pekak. Setelah itu dilakukan Rectal touch dengan hasil jari terasa terjepit pada lumen anus, dapat ditemukan pendarahan ringan. Namun biasanya anus terlihat normal dari luar.[1]

III.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi sederhana untuk bayi dengan stenosis ani adalah dengan foto lateral dengan posisi terbalik. Penanda radio-opak diletakkan di atas ujung anus dimana jarak antara udara di rektal dan penanda yang telah diletakkan akan diukur. Setelah berumur sekurangkurangnya 24 jam, bayi diletakkan dalam posisi terbalik selama sekitar 3 menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi, dan kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral, setelah suatu petanda diletakkan pada daerah lekukan anus. Kesalahan penafsiran foto dapat diperoleh apabila foto diambil dalam 24 jam pertama kehidupan, atau jika udara belum mencapai rektum. Demikian pula jika bayi menangis atau mengejan, lesi tinggi dapat disalahartikan sebagai lesi rendah.[7] Pemeriksaan foto rontgen menurut metode Wangensteen dan Rice bermanfaat dalam usaha menetukan letak ujung rectum yang buntu. 7] Penilaian foto rontgen dilakukan terhadap letak udara di dalam rektum dalam hubungannya dengan garis pubokoksigeus dan jaraknya terhadap lekukan anus. Udara di dalam rektum tampak di bawah bayangan tulang iskium dan amat dekat dengan petanda pada lekukan anus memberi kesan kearah kelainan letak rendah berupa stenosis ani. [7]

Gambar 3: Neonatus dengan stenosis ani. Sumber : Grainger RG. Diagnostic Radiology: A Textbook of Medical Imaging. 4th Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone inc. 2011.

VIII. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding stenosis ani meliputi: hemorrhoids eksterna, abses perirektal, keganasan, benda asing, proctalgia fugax (levator syndrome), impaksi fecal, carcinoma rekti, sindrom perineum descenden, and rektokele.[8]

IX. PENATALAKSANAAN Bayi dengan stenosis ani yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Stenosis ani yang ringan sering dapat dikelola dengan terapi konservatif nonoperative. stenosis ringan akan merespon perubahan dalam diet dan pelunak feses. Jika tindakan koservatif gagal maka perlu dilakukan intervesi bedah. Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan kateter uretra, dilator Hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil. Laksans seperti mineral oil, laktulosa, natrium sulfosuksinat dan preparat senna pada kasus berat diberikan untuk lubrikasi pada saluran anus, sehingga dapat mempermudah pengosongan usus. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa. [1,6] Intervensi bedah pada stenosis yang berat dilakukan jika tidak ada bukti penyakit aktif (chrons disease) dan adanya jaringan yang sehat untuk melakukan anoplasty. Intervensi bedah dengan kolostomi merupakan tindakan infasif dengan tujuan membuat anus buatan, dimaksudkan untuk menjamin kelancaran pasase usus dan mencegah penyulit-penyulit yang tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. [8] X. PROGNOSIS Tingkat mortalitas yang dihubungkan dengan kelainan bentuk anorektum letak rendah adalah lebih rendah dibanding letak tinggi, yaitu kurang dari 10%.

Penanganan segera pada neonatus dapat mencegah komplikasi dan keberhasilan pengobatan tidak hanya dinilai berdasarkan dapat tidaknya penderita

diselamatkan, akan tetapi juga diten tukan oleh hasil fungsional dalam proses defekasi yang diperoleh.[8]

DAFTAR PUSTAKA 1. Hay W. Current Pediatric Diagnosis and Treatment 18th edition. United States of America : McGraw-Hill Companies. 2008. 2. Cranford G.S. Anal Stenosis. http://sandyclinic.com/anal-

stenosis?id=28/1/5/2013 3. John L. Jorunal common anorectal conditions: Part 1. Symptoms and complains. America. 2001 4. 5. Brisinda, Giuseppe. Journal Surcical treatment of anal stenosis. Italy. 2009 Ellis H. Anatomy at Glance, Eleventh Edition. New York: Blackwell Publishing. 2006. 6. Kliegman R. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Edition. United States of America: Saunders. 2007 7. Grainger RG. Diagnostic Radiology: A Textbook of Medical Imaging. 4th Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone inc. 2011. 8. Mark LW. Obstructed defecation-diseases of the rectum and anus. Armenian Medical Network [serial on the internet]. www.health.am/ab/more/obstructeddefecation /1/5/2013 9. Richard P. Reoperative pelvics urgery. New York. 2009.

You might also like