Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang Allah SWT. menciptakan manusia di muka bumi untuk menjadi seorang khalifah atau pemimpin. Seorang pemimpin haruslah selalu berpedoman kepada kitabullah AlQuranul kariim dan juga kepada al-hadits. Tentu saja system kepemimpinannya harus sesuai dengan hukum syariat Islam. Di negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan Indonesia tidak bisa menjadi negara Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Sehingga system pemerintahan yang dianut pun bukan hukum syariat Islam, melainkan berpedoman pada Pancasila. Untuk beberapa golongan, hal ini dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan dan membangkang kepada Pemerintahan Indonesia. Tujuan Makalah yang disusun bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Pendidikan Agama Islam II. Selain itu, makalah ini juga disusun untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman agama Islam bagi penulis maupun pembaca. Metode Penulisan Pada penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka, selain dengan menggunakan buku cetak sebagai referensi, penulis juga melakukan studi pustaka dengan menggunakan media internet. Sistematika Penulisan Halaman Judul (cover) Kata Pengantar 1
Daftar Isi Bab I Pendahuluan o Latar Belakang o Tujuan o Metode Penulisan o Sistematika Penulisan
Bab II Pembahasan o Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah o Ahlus Sunnah wal Jamaah o Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati? o Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syariat Islam? o Apabila pemerintah itu berlaku zalim o Hikmah terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan o Syarat Boleh Memerangi Pemerintah
BAB II PEMBAHASAN
Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah Allah S.W.T berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An Nisaa: 59) Sabda Rasulullah S.A.W: Barangsiapa yang mentaatiku maka dia mentaati Allah dan sesiapa yang menderhakaiku maka dia juga menderhakai Allah dan barangsiapa yang mentaati pemerintah maka dia mentaati aku dan sesiapa yang derhaka pada pemerintah maka dia menderhakaiku. [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad] Berdasarkan ayat dan hadis di atas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa mentaati pemerintah muslim itu adalah wajib. Ahlus Sunnah wal Jamaah Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 kelompok dan hanya satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan akhirat. Para ulama kita sepakat bahwa satu kelompok yang dijamin selamat tersebut adalah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal 3
Jamaah menjadi semakin pudar dan asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jamaah Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajmain. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajmain. As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut ulama aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, itiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 16] Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa itiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam alAuzaiy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin Iyadh (wafat th. 187 H). [Jaamiul Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab] Disebut al-Jamaah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jamaah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jamaah fil Aqiidah]
Jamaah menurut ulama aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabiin serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Kata Imam Abu Syammah as-Syafii Rahimahullah (wafat th. 665 H): Perintah untuk berpegang kepada jamaah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jamaah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka. Jadi, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bidah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba. Berkata Syeikh Thahawi dalam matan Aqidah: Dan bukanlah dari aqidah kami -ahli sunnah- menentang pemerintah walaupun mereka itu berlaku zalim dan tidak pula kami mendoakan kejahatan atas mereka, adapun aqidah kami adalah mentaati mereka itu bermakna mentaati Allah Azza wa Jalla yaitu satu kefardhuan atas kami selama mana mereka tidak menyuruh melakukan maksiat dan kami mendoakan mereka dengan kebaikan dan keampunan. Berdasarkan ayat terdahulu Allah S.W.T meletakkan syarat pemerintah yang wajib ditaati itu adalah muslim berdasarkan "("dari Kamu). Ketaatan kepada pemimpin adalah muqayyad atau tertakluk kepada apa yang bersesuaian dengan syariat Allah adapun yang menyelisihi syara maka tiada taat bahkan haram dan wajib ketika itu menasihati pemerintah dan menyuruh kepada makruf. 5
Dalam hadis Sahih daripada Syaikhan: Dari Ibn Umar R.A., Nabi SAW bersabda: Wajib atas muslim itu mematuhi pemerintah dalam perkara yang ia suka mahupun tidak melainkan apabila diperintah melakukan maksiat maka ketika itu tidak wajib lagi taat. [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari dan Muslim] Perkataan menurut ulama tafsir merangkumi semua jenis pengausa am dan khas seperti raja,menteri,khalifah,ulama dan penguasa agama seperti mufti dan ibu bapa serta suami. Kewajiban ini mentaati pemerintah ini datang setelah pemerintah itu melaksanakn keadilan dan menunaikan amanah yang dipertanggungjawabkan atasnya. Ini berdasarkan ayat sebelum ayat ini yaitu surah an-Nisaa ayat 58:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ((Q.S An Nisaa: 58) Ayat ini Allah S.W.T menujukan khitabnya pada pemerintah untuk melakukan keadilan dan kesaksamaan dan menunaikan amanah dengan baik kemudian Allah SWT berpesan pula kepada rakyat untuk mentaati pemerintah dalam maruf.
Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Taala. Karena Allah Tabaraka wa Taala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya: