You are on page 1of 21

KOLITIS ULSERATIF

Reski Purwasari, Abdul Muti, Lutfhy Attamimi

I.

PENDAHULUAN Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada usus (inflammatory bowel disease) yang menyebabkan inflamasi yang terus-menerus dan ulkus pada lapisan yang paling dalam pada kolon dan rektum. Ulkus tersebut akan berdarah dan menghasilkan pus, mukus dan inflamasi tersebut menyebabkan pengosongan rektum menjadi lebih sering, sehingga dapat mengakibatkan diare. Kolitis ulseratif menyerupai penyakit Crohn, merupakan jenis lain dari penyakit inflamasi pada usus.1 Tidak seperti dengan penyakit Crohn, yang dapat mengenai setiap bagian dari traktus gastrointestinal, kolitis ulseratif secara khusus hanya melibatkan usus besar.2 Kolitis ulseratif jarang mengenai usus halus, kecuali pada bagian bawah, yaitu ileum.3 Etiologi yang pasti dari kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi penyakit ini memiliki penyebab yang multifaktorial dan poligenik. Kolitis ulseratif merupakan penyakit jangka panjang yang memiliki efek pada emosi dan sosial yang dapat mempengaruhi pasien.2

II. EPIDEMIOLOGI Kolitis ulseratif dapat mengenai 150 orang dari 100.000 populasi pada negara bagian barat.5 Kolitis ulseratif memiliki prevalensi tiga kali lebih sering dibandingkan dengan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Amerika Serikat, kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada populasi dengan ras kulit putih. Berdasarkan statistik internasional, kolitis ulseratif sering terdapat di negara-negara bagian barat dan utara, insidensnya rendah di negara-negara Asia dan Timur Tengah.2 Onset usia mengikuti pola bimodal, puncaknya berada di usia 15-25 tahun dan onsetnya menurun pada usia 55-65 tahun, meskipun penyakit ini dapat mengenai segala jenis usia. Kolitis ulseratif jarang mengenai populasi yang berusia lebih muda dari 10 tahun. Dua dari 100.000 anak terkena penyakit ini, namun 20-25% dari semua kasus kolitis ulseratif terjadi pada usia 20 tahun ke bawah.2

III. KLASIFIKASI Klasifikasi yang menunjukkan berat ringannya kolitis ulseratif, dapat dilihat pada tabel berikut ini:2,4 Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif Ringan Pergerakan usus Darah pada feses Demam Takikardia Anemia Laju sedimentasi <4 per hari Sedikit Tidak ada Tidak ada Ringan <30 mm Eritema, granula Eritema, Gambaran endoskopi penurunan corak vaskuler, granula yang masih baik kasar, corak vaskuler tidak ada, terjadi perdarahan kontak, dan tidak ada ulserasi Terjadi perdarahan spontan dan terdapat ulserasi Sedang 4-6 per hari Lumayan banyak Rata-rata <37,5oC Rata-rata <90/menit >75% Berat >6 per hari Banyak Rata-rata >37,5oC Rata-rata >90/menit 75% >30 mm

IV. ANATOMI 1. Anatomi Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum membentuk kantung buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum. Tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum adalah apendiks, jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon, yang membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung-gelung seperti usus halus, tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus kolon asendens, kolon transversus, dan kolon desendens. Bagian akhir kolon desendens berbentuk huruf S, yaitu kolon sigmoid (sigmoid berarti berbentuk S), dan kemudian berbentuk lurus yang disebut rektum (rectum berarti lurus).6

Gambar 1. Anatomi usus besar (Netter

FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: ElsevierSaunders;2006.p. 267)

Lapisan otot polos longitudinal di sebelah luar tidak menutupi usus besar secara penuh. Lapisan ini hanya terdiri dari tiga pita otot yang longitudinal, jelas, dan terpisah, yaitu taenia koli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taenia koli ini lebih pendek daripada otot polos sirkuler dan lapisan mukosa di bawahnya apabila yang terakhir ini dijadikan mendatar. Oleh karena itu, lapisan-lapisan di bawahnya berkumpul di dalam kantung atau sakus yang disebut dengan haustra, mirip seperti bahan rok yang berkumpul di pinggang yang lebih sempit. Namun, haustra bukan hanya sebagai tempat berkumpul permanen yang pasif, lokasi haustra secara aktif berubah-ubah akibat kontraksi lapisan otot polos sirkuler.6 Mukosa usus besar, seperti pada usus halus, mempunyai banyak kripta Lieberkuhn; tetapi, berbeda dengan usus halus, mukosa usus besar tidak memiliki vili. Sel-sel epitelnya hampir tidak mengandung enzim. Sebaliknya, sel ini terutama mengandung sel-sel mukus yang hanya menyekresi mukus. Sekresi yang dominan pada usus besar adalah mukus. Mukus ini mengandung ion bikarbonat dalam jumlah sedang
3

yang disekresi oleh beberapa sel epitel yang tidak menyekresi mukus. Kecepatan sekresi mukus terutama diatur oleh rangsangan taktil, langsung dari sel-sel epitel yang melapisi usus besar dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel-sel mukus pada kripta Lieberkuhn.7

Gambar 2. Histologi usus besar (www. histology.med.umich.edu)

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon,sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan.7 Mukosa usus besar seperti juga mukosa usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi, dan gradient potensial listrik yang diciptakan oleh absorpsi natrium juga menyebabkan absorpsi klorida. Taut erat diantara sel-sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih erat daripada taut erat di usus halus. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang mukosa usus besar, yang kemudian akan menyebabkan absorpsi air. Usus besar dapat mengabsorpsi maksimal 5 sampai 8 liter cairan dan elektrolit setiap hari. Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare.7
4

V. ETIOLOGI 1. Etiologi Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid, kurangnya kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau tidaknya riwayat merokok, dan riwayat mengonsumsi produk susu. Sebagai contoh, beberapa orang memiliki risiko secara genetik untuk terkena penyakit ini. Bakteri dan virus dapat memicu sistem imun mereka, sehingga mengakibatkan suatu inflamasi. Karena kolitis ulseratif lebih sering muncul di negara-negara berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh dan makanan yang diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.1,2 a. Penyebab genetik Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal dan menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan inflamasi pada kolon. Riwayat adanya kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan dengan seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian genetik telah mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus yang diidentifikasi juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal. Kromosom pada pasien dengan kolitis ulseratif dianggap kurang stabil. Fenomena ini juga dapat berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat. Apakah abnormalitas ini merupakan penyebab atau akibat dari respon inflamasi sistemik yang terus-menerus pada kolitis ulseratif, hal ini juga belum diketahui.2 b. Reaksi imun Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat menyebabkan kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya melawan sel epitel usus mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri utama dari penyakit inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada sistem imun dianggap sedikit berperan pada rendahnya insiden kolitis ulseratif pada pasien yang telah menjalani operasi usus buntu sebelumnya.
5

Pasien-pasien yang telah menjalani appendektomi memiliki insidens yang rendah untuk terkena kolitis ulseratif.2 c. Faktor lingkungan Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi sulfat, memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan kolitis ulseratif, dan produksi sulfat pada lebih tinggi pada pasien kolitis ulseratif dibandingkan pasien-pasien lainnya.2 d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien dengan kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol, dan sepertiga pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan anti inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan obatobatan anti inflamasi non-steroid harus dihindari pada pasien dengan kolitis ulseratif.2 e. Etiologi lainnya Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kolitis ulseratif, antara lain:2 Vitamin A dan E, di mana keduanya merupakan antioksidan, memiliki kadar yang rendah pada anak-anak dengan kolitis ulseratif eksaserbasi. Stress psikologik dan stress psikososial berperan pada kolitis ulseratif dan dapat mempresipitasi terjadinya eksaserbasi Merokok biasanya tidak berhubungan dengan kolitis ulseratif. Hal ini berkebalikan dengan penyakit Crohn Konsumsi susu dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit ini

2. Patofisiologi Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kolitis ulseratif merupakan salah satu bentuk dari penyakit inflamasi pada usus. Dalam penyakit inflamasi usus atau inflammatory bowel disease, lamina propria diinfiltrasi oleh limfosit, makrofag, dan selsel lain dari sistem imunitas. Penelitian yang intensif pada antigen yang memicu respon imun belum menemukan suatu mikroba patogen tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas teridentifikasi dalam serum pasien kolitis ulseratif. Penyakit inflamasi usus mungkin juga berkaitan dengan kegagalan supresi (atau "downregulasi") dari peradangan kronis level rendah pada lamina propria sebagai respon paparan kronis terhadap antigen luminal, khususnya bakteri komensal.8

Apapun pemicu antigeniknya, sel T lamina propria yang teraktivasi terlibat dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit inflamasi usus, yaitu penyakit Crohn, limfosit yang teraktivasi menjadi limfosit TH1 yang menghasilkan interferon- (IFN-). Sitokin pro-inflamasi, termasuk interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor- (TNF), dapat memperkuat respon imun. Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus tampaknya disebabkan jenis oksigen reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin seperti TNF- dan IFN-.8 Pada tikus, kolitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming growth factor1 terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor mutan, dan kolitis berkembang pada tikus transgenik jika gen manusia HLA-B27 telah lebih dulu diperkenalkan. Jika hewan yang sama dibesarkan dalam lingkungan yang bebas dari kuman, kolitis tidak berkembang, sehingga menunjukkan bahwa kolitis bisa menjadi satu-satunya manifestasi dari berbagai abnormalitas dalam imunitas sistemik dan kolitis adalah hasil dari respon imun abnormal terhadap bakteri komensal.8

Gambar 3. Patogenesis kolitis ulseratif (dikutip dari kepustakaan 8)

VI. DIAGNOSIS 1. Gejala Klinis Gejala utama dari kolitis ulseratif adalah diare, perdarahan pada rektum, tenesmus, adanya mukus, dan nyeri (kram) abdomen. Berat atau tidaknya gejala penyakit berjalan seiring dengan luasnya proses penyakit. Meskipun kolitis ulseratif dapat bersifat akut, rata-rata gejala klinis bermanifestasi dalam jangka waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Seringkali diare dan perdarahan saluran cerna bersifat sangat ringan jadi pasien tidak memeriksakan dirinya ke dokter.3,4,9 Diare menandakan terjadinya gangguan yang meluas pada kolon. Pada pasien dengan kolitis ulseratif yang berat atau fulminan, gejala sistemik berupa keringat malam, demam, mual dan muntah, serta penurunan berat badan dapat menyertai diare. Kolitis ulseratif dapat bermanifesasi pada ekstrakolon, antara lain: uveitis, gangrenosum pioderma, pleuritis, eritema nodosum, spondilitis ankilosing, dan spondiloarthropati.2,3,10,11 2. Aspek Fisik dan Laboratorium a. Aspek Fisik Pada pemeriksaan fisik, khususnya pemeriksaan fisik pada region abdomen, tidak khas. Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan gejala klinis yang ringan, kecuali terdapat nyeri perut pada kuadran kiri bawah. Pasien dengan kolitis ulseratif yang berat dapat memiliki gejala defisit cairan dan gejala-gejala toksisitas, antara lain: demam, takikardia, nyeri perut yang signifikan, dan penurunan berat badan.2 b. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan anemia dan trombositosis, Dapat ditemukan leukositosis, namun bukan merupakan indikator yang spesifik pada penyakit ini. Pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan hipoalbuminemia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan alkali fosfatase yang meningkat.2,4 Peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-reaktif protein berhubungan dengan fase akut dari penyakit ini. Sedangkan, pemeriksaan feses dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala yang ditimbulkan.2

3.

Pemeriksaan Radiologi a. Foto polos abdomen Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan diagnosis kolitis ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi kolon yang masif yang disertai dengan kontur mukosa yang abnormal. Dilatasi yang terjadi seringkali terdapat pada kolon transversal. Perforasi kolon merupakan salah satu komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi dapat terjadi dengan atau tanpa megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif biasanya menyertai perforasi kolon. Residu feses biasanya tidak terlihat pada usus yang mengalami inflamasi. Gambaran edema pada dinding usus biasa tampak pada fase akut dari kolitis ulseratif, yang disebut juga gambaran thumbprinting. Terdapat juga gambaran pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang udem diantara mukosa yang mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi pemendekan usus akibat spasme muskulus longitudinal atau fibrosis yang ireversibel. Selain itu, haustra pada kolon desendens menghilang.11,12

Thumbprinting

Gambar 3. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi akut menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon (dikutip dari kepustakaan 12)

Gambar 4. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif menunjukkan striktur/spasme yang panjang pada kolon asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis pada kolon desendens (dikutip dari kepustakaan 12)

b. Barium enema Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih sempit, dan hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak sempurna akibat spasme dan iritabilitas pada kolon.2 Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumen kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosa yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan menutupi semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang udem dengan kripte abses pada submukosa.11,13 Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis ulseratif dalam jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon asendens.2,13

10

Gambar 5. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan kolitis ulseratif pada stadium awal, di mana mukosa masih normal dan tampak pseudopolip (dikutip dari kepustakaan 14)

Gambar 6. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan keterlibatan kolon dengan collar button ulcers yang banyak seperti yang diperlihatkan dengan tanda panah (dikutip dari kepustakaan 13)

11

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan striktur yang panjang pada kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen kolon desendens yang ireguler (dikutip dari kepustakaan 13)

Gambar 8. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada seluruh kolon desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan gambaran lead-pipe (dikutip dari kepustakaan 11)

12

c.

Computed tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam membedakan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema menunjukkan kemiripan di antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana karakteristik dari kolitis ulseratif. CT-Scan abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan pada bagian mural, dan permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon, dan pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.12,15

Gambar 9. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan dinding mukosa dan iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan desendens, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah (dikutip dari kepustakaan 15)

13

Gambar 10. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan target sign, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah (dikutip dari kepustakaan 15)

Gambar 11. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan pelebaran pembuluh darah perisigmoid dan ascites, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah (dikutip dari kepustakaan 15)

14

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Giovagnoni dkk menggunakan MRI dengan resolusi yang tinggi untuk meneliti 16 spesimen rektosigmoid yang telah direseksi akibat kolitis ulseratif, dan mengungkapkan bahwa MRI dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru untuk mendeteksi perubahan dinding kolon pada kolitis ulseratif. Hasil in vitro menunjukkan bahwa MRI dapat melihat lapisan dinding kolon secara keseluruhan. Secara khusus pada kolitis ulseratif, T1-weighted spin-echo MRI menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan submukosa.12 4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya a. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi Sekali kita mencurigai kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa kolonoskopi, harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada mukosa yang meradang dan pada mukosa yang normal. Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat mengonfirmasi diagnosis kolitis ulseratif, dan juga berguna untuk melihat atau memantau sejauh mana perjalanan penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan hatihati karena kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi lainnya. Kasus kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan perdarahan spontan.2,16

Gambar 12. Gambaran kolitis ulseratif pada kolonoskopi (dikutip dari kepustakaan 2)

15

b. Pemeriksaan histopatologi Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan hasil pemeriksaan endoskopi dari kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas pada mukosa dan submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak terlibat kecuali pada kolitis ulseratif fulminan. Pada kolitis ulseratif, terdapat dua tanda histologis yang menunjukkan kronisitas dan membantu membedakannya dari kolitis ulseratif akut dan kolitis ulseratif yang self-limiting. Pertama, terdapat kripte yang terdistorsi pada kolon; kripte bisa saja berbentuk bifida dan sedikit jumlahnya, dan seringkali terdapat celah di antara dasar kripte dan muskularis mukosa. Kedua, beberapa pasien memiliki sel basal plasma dan agregasi limfoid basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler pada mukosa, dengan edema dan perdarahan fokal, dan infiltrat sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag. Neutrofil menginvasi epithelium, biasanya ke dalam kripte, dan dapat menimbulkan kriptitis dan abses kripte.4,5

Gambar 13. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik eksaserbasi akut menunjukkan inflamasi difus, limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan erosi superfisial (dikutip dari kepustakaan 9)

16

VII. DIAGNOSIS BANDING Kolitis ulseratif paling sering didiagnosis banding dengan penyakit Crohn, karena diagnosis yang beda memiliki terapi yang berbeda pula. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat dilihat pada tabel di bawah ini:2 Tabel 2. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Kolitis Ulseratif Hanya kolon yang terlibat / jarang pada usus halus Inflamasi terus-menerus yang berasal dari rektum yang meluas secara proksimal Inflamasi hanya terdapat pada mukosa dan submukosa Tidak terdapat granuloma ANCA perinuklear (pANCA) positif Perdarahan sering terjadi Jarang terdapat fistula Penyakit Crohn Panintestinal

Skip-lesions dengan mukosa yang normal di antaranya

Inflamasi terdapat pada transmural Terdapat granuloma non-kaseosa ASCA positif Perdarahan jarang terjadi Sering terdapat fistula

Selain itu, kolitis ulseratif dapat juga didiagnosis banding dengan tuberkulosis gastrointestinal. Gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium dapat memberikan gejala yang serupa, kecuali tuberkulosis gastrointestinal biasanya terdapat nyeri pada fossa iliaka yang disertai dengan massa yang dapat dipalpasi. Cara membedakannya juga bisa melalui foto toraks, di mana lesi pulmoner yang aktif dapat ditemukan pada 60% kasus tuberkulosis gastrointestinal. Pemeriksaan foto polos abdomen pada tuberkulosis gastrointestinal dapat menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami kalsifikasi. Selain itu, untuk membedakannya, dapat juga kita lakukan pemeriksaan bakteri tahan asam.2,17

17

Gambar 14. Foto polos abdomen yang menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami klasifikasi pada pasien dengan tuberkulosis gastrointestinal (dikutip dari kepustakaan 17)

VIII. PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan Medikamentosa Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien kolitis ulseratif, antara lain:1,2,5,16 Asam aminosalisilat Obat ini memiliki efek anti-inflamasi lokal, secara khusus pada kolon, dan dapat diberikan secara rektal atau oral. Formulasi obat yang slow-release (pentasa atau asacol) dipecah di kolon.1,5 Kortikosteroid Pengobatan kolitis ulseratif dengan menggunakan steroid biasanya efektif dalam menimbulkan remisi dan digunakan secara khusus untuk mengobati kolitis ulseratif eksaserbasi akut. Kortikosteroid ini dapat diberikan secara intravena, oral, atau rektal..1,2,5,16 Antibiotik Antibiotik digunakan dalam mengobati kolitis ulseratif namun tidak memberikan hasil yang baik..2 Probiotik Probiotik digunakan untuk mengembalikan flora normal pada usus, dan telah dilaporkan berhasil pada beberapa kasus.5
18

2.

Penatalaksanaan Bedah Pembedahan, berupa panproktokolektomi (memotong kolon dan rektum), merupakan terapi definitif pada kolitis ulseratif. Indikasi operasi pada kolitis ulseratif bervariasi. Terapi medikamentosa yang gagal merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan pembedahan. Indikasi tindakan pembedahan segera pada pasien kolitis ulseratif adalah adanya toksik megakolon yang refrakter dengan terapi medikamentosa, adanya serangan fulminan yang refrakter dengan terapi medikamentosa, dan perdarahan pada kolon yang tidak terkontrol. Sedangkan, indikasi elektif adalah ketergantungan jangka panjang pada steroid, ditemukannya displasia dan adenokarsinoma pada biopsi skrining, dan durasi penyakit yang sudah mencapai 7-10 tahun.2,5,16

IX. PROGNOSIS Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan penurunan peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian meningkat pada pasien-pasien usia tua, dan pada pasien yang disertai komplikasi (misalnya: syok, malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang berat dan kronik dapat menjadi lesi prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada kolitis ulseratif adalah megakolon toksik.2,16

19

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ehrlich SD. Ulcerative colitis. Available in University of Maryland Medical Centre. (www.umm.edu), Update November 12, 2010.

2.

Basson MD, Katz J. Ulcerative colitis . Available in Medscape Reference, Drug,Diq sease and Pr ocedures (www.emedicine.medscape.com), Update 2011

3.

The Ohio State University Wexner Medical Center. Ulcerative colitis . Available in Healthcare services (www.medicalcenter.osu.edu), Update 2013

4.

Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al, editors. Harrisons principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill, Health Professions Division; 2008. Keshav S. Ulcerative colitis and crohns disease. In: Keshav S, editor. The gastrointestinal system at a glance. USA: A Blackwell Publishing company; 2004. p 78-9

5.

6.

Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. hlm. 5823

7.

Guyton AC, Hall JE. Fisiologi gastrointestinal.Buku Ajar Fisiologi Kedokterran Edisi 11. Jakarta:EGC;2007.hal 829, 48, 58.

8.

Stenson WF. Inflammatory bowel disease. In: Goldman, Ausiello, editors. Cecil medicine 23rd edition. Philadephia: Saunders Elsevier; 2007.

9.

Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis. The New England Journal of Medicine 2011; 365, 18: 1713-25.

10. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP

medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc.; 2007.


11. Herring W. Ulcerative colitis. Available in GI Radiology (www.learningradiology.com),

Update 2005.
12. Khan AN, Lin EC. Ulcerative colitis imaging . Available in Medscape Reference,

Drug,Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com), Update Juli 22, 2011.


13. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals of diagnostic

radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.


14. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from image to

diagnosis. Germany: Thieme; 2006. p. 197-8.


15. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP: ulcerative colitis.

RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.


20

16. Caprilli R, Viscido A, Latella G. Current management of severe ulcerative colitis. Nature

Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2007; 4, 2: 92-101.


17. Anand MKN. Gastrointestinal tuberculosis imaging . Available in Medscape Reference,

Drug,Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com),Update Juni 7, 2011.

21

You might also like