You are on page 1of 6

MENGENALI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

(Asianosis dan Sianosis)


Anna Ulfah Rahajoe
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI Pusat Jantung Nasional Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa sejak lahir. Penyakit jantung bawaan terjadi akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin (trimester pertama). Kelainan tersebut angka kejadiannya 8 - 10 per 1000 bayi lahir hidup, memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap angka kesakitan dan kematian bayi dan anak. Dua pertiga kasus PJB memperlihatkan gejala pada masa neonatus, yang bila tidak dilakukan intervensi 25-30% meninggal pada bulan pertama bahkan sebagian besar pada minggu pertama kehidupan. Presentasi klinis PJB dapat simtomatik atau asimtomatik, gejala klinis mungkin sudah dapat diketahui sejak lahir atau beberapa jam kemudian ketika ditemukan sianosis, distress respirasi atau sindrom syok dimana gejala tersebut mirip dengan kelainan non jantung. Kadangkadang orang tua baru mengetahui anaknya menderita PJB pada saat pemeriksaan rutin, atau oleh karena berat badan dan pertumbuhan yang tidak memuaskan, menderita infeksi paru berulang. Untuk itu deteksi dini oleh dokter, dokter spesialis anak, perinatolog, bahkan bidan sangat penting, sehingga dapat segera merujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap. Secara garis besar, PJB dibagi atas dua golongan besar yaitu: kelompok PJB asianosis (tidak biru) dan PJB sianosis (biru). Dari anamnesis, dan pemeriksaan fisik yang cermat, serta foto toraks dan elektrokardiogram (EKG) yang baik, sebenarnya sebagian besar diagnosis klinik PJB sudah dapat ditegakkan. Akan dibahas cara menegakkan diagnosis beberapa jenis PJB yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASIANOSIS (TIDAK BIRU)


Penyakit jantung bawaan asianosis adalah PJB yang tidak menunjukkan gejala klinis sianosis atau biru. Kelainan ini dibagi menjadi dua sub-kelompok yaitu: 1) PJB dengan pirau (shunt) dan 2) PJB tanpa pirau (non shunt). Pirau adalah kelainan dimana darah yang kaya oksigen memintas sirkulasi sistemik dan kembali ke sirkulasi pulmonal (lesi pirau kiri ke kanan), sedang kelainan tanpa pirau meliputi kelainan katup berupa obstruksi atau regurgitasi.

Penyakit jantung bawaan asianotik dengan pirau kiri ke kanan.


Kelainan ini meliputi atrial septal defect (ASD), ventricular septal defect (VSD), atrioventricular septal defect (AVSD) dan patent ductus arteriosus (PDA). Karena tekanan di jantung sebelah kiri lebih tinggi dibanding jantung sebelah kanan, maka darah yang kaya oksigen dari vena pulmonal akan kembali ke arteri pulmonal melalui pirau, akibatnya aliran darah ke paru berlebihan. Efek fisiologis dari pirau kiri ke kanan tergantung pada 3 faktor, yaitu: 1) lokasi pirau, 2) ukuran defek, dan 3) resistensi vaskular paru dan sistemik atau komplians ventrikel untuk pirau di atrium. Pada saat baru lahir resistensi vaskular paru masih tinggi, sehingga aliran pirau kiri ke kanan (aliran darah ke paru) tidak terlalu deras dan bayi asimtomatis, murmur pun nyaris tak terdengar. Dengan mengembangnya paru dan meningkatnya tekanan oksigen alveolar, maka

resistensi vaskuler paru turun cepat, menyebabkan peningkatan aliran pirau kiri ke kanan dan gejala serta tanda-tanda gagal jantung. Tanda dan gejala gagal jantung antara lain: tidak mampu mengisap susu (cepat lelah dan sesak nafas), sering terserang infeksi paru, takikardia, takipnu, hepatomegali dan gagal tumbuh kembang. Pada PDA, VSD, AVSD yang besar keluhan-keluhan ini sering timbul pada usia sekitar 3 bulan, ketika penurunan resistensi vaskuler paru mencapai tingkat terendah. Berbeda dengan ASD yang umumnya menimbulkan keluhan dan gejala pada dekade kedua-ketiga kehidupan, kecuali bila defeknya besar sekali. Murmur pada PDA, terjadi karena aliran pirau dari aorta ke arteri pulmoner sepanjang fase sistolik dan diastolik; oleh karenanya murmur yang terdengar kontinyu (sistolik-diastol) di bawah klavikula kiri. Sedangkan pada VSD atau AVSD, aliran pirau terjadi sepanjang fase sistolik saja, sehingga murmur yang terdengar pansistolik di tepi kiri sternum bawah, kecuali VSD subarterial doubly committed yang menimbulkan murmur di tepi kiri sternum atas. Berbeda dengan murmur pansistolik pada regurgitasi trikuspid yang juga terdengar maksimal di tepi kiri sternum bawah, murmur VSD tidak meningkat intensitasnya dengan inspirasi. Pada ASD, temuan auskultasi yang khas adalah bunyi jantung kedua yang terpisah secara menetap tidak terpengaruh oleh pernafasan (fixed split), dan murmur yang terdengar bersifat ejeksi sistolik di tepi kiri sternum atas (akibat stenosis pulmonal relatif). Defek dengan pirau dari kiri ke kanan yang besar bila tidak cepat ditutup dapat menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler paru dan penyakit obstruktif vaskuler paru. Selanjutnya, pasien terlihat sianosis akibat aliran pirau berbalik dari kanan ke kiri, kondisi ini disebut sindrom Eisenmenger; pada kondisi seperti ini penutupan defek menjadi kontraindikasi.

Penyakit jantung bawaan asianosis/tidak biru dengan kelainan katup atrio-ventrikular atau lesi obstruksi alur keluar ventrikel, tanpa disertai pirau
Kelainan bawaan pada aparatus penunjang atau pada daun katup atrio-ventrikular akan menyebabkan stenosis atau regurgitasi katup, misalnya mitral stenosis pada parachute mitral valve atau trikuspid regurgitasi pada anomali Ebstein. Kedua kelainan ini sangat langka. Selain terdengar murmur pansistolik di tepi kiri sternum bawah yang meningkat dengan inspirasi, anomali Ebstein mudah dikenali karena adanya triple/quadriple rhythm akibat katup trikuspid yang terlambat menutup. Obstruksi alur keluar ventrikel dapat terjadi pada tingkat subvalvar, valvar ataupun supravalvar. Akibat kelainan ini ventrikel harus memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi, sehingga terjadi beban tekanan pada ventrikel dan hipertrofi miokard. Tergantung beratnya obstruksi, presentasi klinis dapat asimtomatik atau simtomatik. Selama belum terjadi kegagalan miokard, biasanya curah jantung masih dapat dipertahankan, pasien asimtomatik dan ukuran jantung masih normal. Yang simtomatik umumnya memperlihatkan keluhan dan tanda-tanda gagal jantung yang gejalanya sangat bervariasi, tergantung dari fungsi sistolik dan diastolik ventrikel yang terganggu. Di jantung kiri, obstruksi dapat terjadi di subvalvar, valvar dan supravalvar aorta sampai ke arkus aorta (Coarctasio Aorta, CoA). Tanda dan gejala yang ditemukan pada obstruksi alur keluar ventrikel kiri antara lain sesak nafas, sakit dada, pingsan atau pusing saat melakukan aktivitas fisik, bahkan kematian mendadak. Pada CoA biasanya pulsasi nadi brakhialis teraba besar dan tekanan darah ekstremitas atas tinggi, sedangkan pulsasi nadi femoralis teraba lemah atau tidak teraba dan tekanan darahnya lebih rendah. Kondisi ini terjadi karena aliran darah yang berkurang pada ekstrimitas bawah. Tanda klinis ini tidak terjadi bila ada PDA besar yang menjamin sirkulasi ke ekstrimitas bawah, tanda klinis khas yang terlihat adalah sianosis pada ekstrimitas bawah, sedangkan ekstrimitas atas normal (differensial cyanosis). Pada CoA yang berat dengan aliran darah sistemik yang tidak adekuat, sebelum terjadi syok akan ditandai dengan kemampuan mengisap susu yang menurun drastis, bayi terlihat pucat, takipnu, takikardia dan berkeringat banyak. Adanya penurunan perfusi perifer ditandai dengan nadi yang melemah, pengisian kapiler yang lambat dan akral yang dingin.

Sedangkan di jantung kanan, obstruksi dapat terjadi di subvalvar, valvar dan supravalvar pulmonal, hingga di percabangan arteri pulmonal (stenosis arteri pulmonal perifer). Tanda dan gejala pada obstruksi alur keluar ventrikel kanan dapat berupa gagal jantung kanan seperti edema perifer, hepatomegali dan asites, atau sindroma curah jantung rendah seperti sulit bernafas, lemah, sakit dada, sinkop dan mungkin kematian mendadak akibat aritmia. Bila bayi dan anak mempunyai patent foramen ovale (PFO), mungkin terlihat sianosis akibat aliran darah dari atrium kanan ke atrium kiri melalui PFO. Auskulatasi: bila stenosis terjadi pada katup semilunar (aorta atau pulmonal), terdengar bunyi tambahan klik di awal ejeksi, disusul murmur sistolik. Pada AS, murmur ejeksi sistolik terdengar paling keras di tepi kanan sternum atas yang menjalar ke karotis dan apeks (seperti selendang). Sedangkan pada PS, murmur terdengar paling keras di tepi kiri sternum atas.

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOSIS (BIRU)


Pada PJB biru didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa, sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Bisa juga kelainan struktur yang memungkinkan aliran pirau dari kanan ke kiri atau adanya percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonal. Secara garis besar terdapat 2 golongan PJB biru yaitu: (1) dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang, dan (2) dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah. Penampilan utama pada kelainan ini adalah sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan dan kaki. Sianosis akan terlihat jelas apabila kadar hemoglobin (Hb) terreduksi yang beredar di dalam darah melebihi 5 g/dL. Jadi, terdeteksinya sianosis akan sangat tergantung pada tingginya kadar Hb darah. Banyak anak Indonesia dengan PJB sianotik mengalami anemia defisiensi besi akibat gizi buruk, sehingga tidak terlihat sianosis meskipun saturasi oksigen rendah. Pada anak yang lebih besar selain sianosis juga terlihat jari berbentuk tabuh (clubbing finger). Pada neonatus, penting dibedakan antara sianosis perifer dan sianosis sentral. Sianosis perifer hanya terlihat di area dengan perfusi jaringan yang buruk dan tidak di area dengan perfusi jaringan yang baik. Sedangkan sianosis sentral akan tetap terlihat walaupun perfusi jaringan pada area tersebut baik. Area yang paling baik untuk mendeteksi sianosis sentral adalah area yang perfusinya selalu baik, misalnya membran mukosa dan lidah. Perlu diingat bahwa penyebab sianosis sentral pada bayi baru lahir tidak selalu akibat kelainan jantung, dapat juga terjadi bila ada kelainan paru. Test hiperoksia dengan inhalasi oksigen 100% selama minimal 10 menit dapat membantu membedakan sianosis akibat penyakit jantung atau penyakit paru. Pada penyakit paru, pO2 arteri akan naik sampai lebih dari 100 mmHg. Tetapi bila ada pirau dari kanan ke kiri, pO2 arteri tidak akan mencapai 100 mmHg, biasanya hanya naik tidak lebih dari 10-30 mmHg saja. Keberadaan pulsed oxymeter sangat membantu bilamana analisa gas darah tidak memungkinkan untuk dilakukan. Kadang sianosis juga dapat terlihat pada bayi baru lahir yang normal ketika menangis, karena resistensi vaskuler paru masih tinggi dan adanya pirau dari kanan ke kiri melalui PFO dan atau duktus arteriosus yang belum menutup.

Penyakit jantung bawaan biru dengan gejala aliran ke paru yang berkurang.
Pada PJB biru golongan ini, biasanya sianosis terjadi akibat sebagian atau seluruh aliran darah vena sistemik tidak dapat mencapai sirkulasi paru karena adanya obstruksi, sehingga darah mengalir ke jantung bagian kiri atau ke sirkulasi sistemik melalui defek sekat yang ada. Obstruksi dapat terjadi di katup trikuspid, infundibulum ventrikel kanan, pada katup atau di atas katup pulmonal, sedangkan aliran pirau dapat berlangsung melalui ASD, VSD atau PDA. Contoh golongan ini antara lain tetralogy of Fallot (ToF), pulmonary atresia (PA) dengan ASD/VSD, double outlet right ventricle (DORV) dengan VSD dan PS. Secara klinis umumnya terlihat sianosis yang bertambah bila menangis atau melakukan aktivitas fisik. Pada keadaan yang berat sering terjadi serangan spel hipoksia, akibat aliran ke

paru yang tiba-tiba berkurang dan pirau dari kanan ke kiri yang tiba-tiba bertambah. Pasien tampak hiperventilasi, bertambah biru, gelisah, lemas atau kesadaran menurun dan kadang disertai kejang akibat hipoksia otak. Serangan ini umumnya terjadi pada usia 3 bulan sampai 3 tahun, dan sering timbul saat bangun tidur pagi atau siang hari ketika tahanan vaskuler sistemik rendah. Umumnya pulih secara spontan dalam waktu kurang dari 15 - 30 menit, tetapi dapat juga berkepanjangan atau berulang sehingga menyebabkan komplikasi serius pada sistim susunan saraf pusat, atau bahkan menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat dan benar. Pada anak yang lebih besar sering juga memperlihatkan gejala squatting, yaitu jongkok setelah berjalan beberapa saat, dengan tujuan meningkatkan tahanan vaskuler sistemik, sehingga aliran pirau kanan ke kiri berkurang dan aliran darah ke paru meningkat. Auskultasi: bunyi jantung kedua terdengar tunggal bila salah satu katup semiluner stenosis berat atau atresia. Murmur yang terdengar biasanya akibat PS atau PDA.

Penyakit jantung bawaan biru dengan gejala aliran ke paru yang bertambah
Pada PJB biru golongan ini, tidak terdapat hambatan pada aliran darah ke paru bahkan berlebihan. Secara klinis terlihat sianosis dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah, seperti tidak kuat mengisap susu, takipnu, sering terserang infeksi paru, gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif. Apabila tidak cepat dilakukan intervensi, maka akan terjadi hipertensi pulmoner yang kemudian diikuti dengan peningkatan resistensi paru dan komplikasi penyakit obstruktif vaskuler paru. Golongan PJB biru dengan aliran darah paru yang bertambah terbagi atas 2 kelompok besar, yaitu: (1) transposition of the great arteries (TGA) komplit dimana kedua pembuluh darah arteri besar tertukar letaknya (aorta keluar dari ventrikel kanan sedangkan arteri pulmoner dari ventrikel kiri), dan (2) common mixing yaitu adanya pencampuran antara darah balik vena sistemik yang rendah oksigen dengan darah balik vena paru yang tinggi oksigen melalui defek yang ada di dalam jantung sebelum didistribusikan ke sirkulasi sistemik dan sirkulasi paru. Pencampuran yang merata ini dapat terjadi di tingkat atrium, ventrikel ataupun pembuluh arteri utama. Contoh common mixing antara lain: total anomalous pulmonary venous drainage (TAPVD), truncus arteriosus (TrA), aorto-pulmonary window (APW), DORV dengan VSD dan univentrikular heart (UVH) dimana hanya ada satu ventrikel yang dominan dan berfungsi sedangkan ventrikel lainnya hipoplastik. Pada kelompok TGA penampilan klinis yang paling utama adalah sianosis sejak lahir. Pada TGA tanpa VSD, kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada terbukanya PDA. Sianosis akan makin nyata saat PDA mulai menutup biasanya pada minggu pertama kehidupan. Bila tidak ada lubang yang cukup besar di septum atrium, baik berupa ASD yang memang sudah ada, atau lubang buatan dengan merobek septum menggunakan balon (balloon atrial septostomy), maka akan timbul hipoksia berat dan asidosis metabolik. Sedangkan pada TGA dengan VSD akan timbul tanda dan gejala akibat aliran ke paru yang berlebih, diikuti gagal jantung kongestif pada usia 23 bulan saat resistensi vaskuler paru turun pada tingkat terendah. Pada kelompok common mixing, umumnya sianosis tidak berat, sebab percampuran darah cukup baik dan merata antara darah balik vena sistemik dan vena paru. Karena tidak ada obstruksi pada aliran darah ke paru, maka pada saat resistensi vaskuler paru turun juga akan terjadi gagal jantung kongestif. Bunyi jantung pertama umumnya normal. Bunyi jantung kedua terdengar tunggal bila salah satu katup semilunar stenosis berat atau atresia, dan terdengar tunggal keras pada TGA karena posisi aorta di anterior katup pulmonal sehingga komponen pulmonal tidak terdengar. Bunyi tambahan klik awal ejeksi terdengar bila ada stenosis katup semilunar dan TrA. Pada neonatus dengan TGA atau PA dengan PDA akan terdengar murmur kontinyu, berkurangnya intensitas murmur ini menandai PDA yang mulai menutup, yang disertai penurunan saturasi oksigen. Kondisi demikian merupakan peringatan penting bahwa kondisi kritis mengancam kehidupan pasien.

Pemeriksaan penunjang diagnostik


Foto Rontgen dada dan EKG adalah pemeriksaan penunjang sederhana yang penting untuk membantu menegakkan diagnosis PJB. Pada foto Rontgen dada perlu dibedakan apakah gambar corakan vaskuler paru berkurang (oligemia) atau bertambah (pletora) (Gambar 1A dan 1B).

Gambar 1A. Foto Rontgen dada dengan corak vaskuler paru pletora pada anak dengan VSD. 1B. Foto Rontgen dada dengan corakan vaskuler oligemia pada anak dengan ToF.

Gambaran hipertrofi ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya pada rekaman EKG akan membantu menegakkan diagnosis banding. Misalnya hipertrofi ventrikel kanan akan ditemukan pada PJB tidak biru dengan pirau: ASD, atau tanpa pirau: PS atau PJB biru ToF. Sedangkan hipertrofi ventrikel kiri atau hipertrofi kedua ventrikel pada PJB tidak biru dengan pirau: VSD atau PJB biru: TrA. Algoritme (Gambar 2) diharapkan memberikan kemudahan dalam menegakkan diagnosis PJB.
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Gambar 2: Algoritme diagnosis penyakit jantung bawaan asianosis dan sianosis dengan modalitas foto Rontgen toraks dan elektrokardiogram.
LVH = left ventricular hypertrophy (hipertrofi ventrikal kiri), RVH = right ventricular hypertrophy (hipertrofi ventrikal kanan), BVH = bi-ventricular hypertrophy (hipertrofi ventrikal kiri dan kanan), VSD = ventricular septal defect, PDA = patent ductus arteriosus, ASD = atrial septal defect, AVSD = atrio-ventricular septal defect, AS = aortic stenosis, CoA = coarctation aorta dan PS = pulmonary stenosis), ToF = tetralogy of Fallot, ssPA = pulmonary atresia, DORV = double outlet right ventricle, TA = tricuspid atresia, IVS = intact ventricular septum, DILV = double inlet left ventricle, TrA = truncus arteriosus, TGA = transposition of the great arteries, APW = aorto-pulmonary window, dan TAPVD = total anomalous of the pulmonary venous drainage.

Walaupun beberapa jenis PJB mempunyai gambaran EKG dan foto Rotgen dada yang spesifik, tetapi untuk diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan penunjang lanjut. Ekokardiografi dengan Doppler berwarna adalah pemeriksaan non-invasif lanjut yang paling utama untuk identifikasi struktur anatomi dan fungsi jantung. Ekokardiografi dan Doppler telah menggantikan pemeriksaan kateterisasi jantung yang mengandung risiko tidak kecil pada bayi dan neonatus. Pemeriksaan non-invasif lainnya seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan multislice computed tomography (MSCT) kadang diperlukan untuk melengkapi data pada beberapa PJB tertentu yang tidak dapat diperoleh dari pemeriksaan ekokardiografi. Sedangkan pemeriksaan penunjang diagnostik invasif kateterisasi jantung dan angiografi hanya dilakukan secara selektif, untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dari pemeriksaan non-invasif diatas.

KESIMPULAN
Dalam membuat diagnosis PJB, pertama harus ditentukan apakah PJB asianosis atau sianosis. Pasien PJB asianosis dengan pirau kiri ke kanan yang besar umumnya datang dengan keluhan: kesulitan minum sehingga berat badan kurang, sesak, cepat lelah, dan sering mengalami infeksi paru. Sedang PJB asianosis dengan obstruksi ventrikel kiri dapat memperlihatkan gejala syok dengan perfusi perifer yang buruk. Bila obstruksi berat terjadi pada ventrikel kanan tanpa pirau, dapat menimbulkan tanda-tanda gagal jantung kongestif. Pasien PJB sianosis dengan gejala aliran ke paru yang berkurang, umumnya terlihat sianosis yang bertambah bila menangis atau melakukan aktivitas fisik. Pada keadaan yang berat sering terjadi serangan spel hipoksia. Pada PJB biru dengan gejala aliran darah paru bertambah, klinis terlihat sianosis dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah hingga gagal jantung kongestif. Masing-masing jenis PJB akan mempunyai tanda dan gejala klinis serta gambaran EKG dan foto Rontgen dada yang spesifik. Ekokardiografi dan Doppler berwarna dapat memastikan diagnosis pada hampir semua PJB, sehingga sebagian besar pasien PJB dapat dilakukan operasi tanpa kateterisasi jantung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Artman M, Mahony L dan Teitel DF. Neonatal cardiology. Ediai 2. McGraw Hill Medical, New York, 2011. 2. Joshi VM dan Sekhavat S. Acyanotic congenital heart defects. Dalam Pediatric cardiology: The requisites in pediatrics. Editor Vetter VL. Mosby Elsevier, Philadelphia 2006: 79 96. 3. Koppel RI and Mahle WT. Novel methods to screen for heart disease in infants.Dalam Congenital heart defects: From origin to treatment. Editor Wyszynski DF, Correa-Villasenor A dan Graham TP. Oxford University Press, New York, 2010: 107 115. 4. Lantin-Hermoso MR. Pediatric cardiology for the primary care pediatrician. Indian J. of Ped. 2005; 72: 513 518. 5. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi V. Mosby Elsevier, Philadelphia, 2008. 6. Rahajoe AU. Management of patients with congenitally malformed hearts in Indonesia. Cardiol Young 2007; 17: 584 588. 7. Rao PS.Diagnosis and management of acyanotic heart disease: Part I - Obstructive lesions.Indian J Pediatr 2005;72:496 502. 8. Rao PS.Diagnosis and Management of Acyanotic Heart Disease: Part II - Left-to-right Shunt Lesions. Indian J Pediatr 2005; 72: 503 512. 9. Schultz AM dan Kreutzer J. Cyanotic Heart Disease. Dalam Pediatric cardiology: the requisites in pediatrics. Editor Vetter VL. Mosby Elsevier, Philadelphia 2006: 51 78. 10. Zeltser I dan Tabbutt S. Critical heart disease in the newborn. Dalam Pediatric cardiology: the requisites in pediatrics. Editor Vetter VL. Mosby Elsevier, Philadelphia, 2006: 31 50.

You might also like