You are on page 1of 24

A.

DEFINISI Neuropati adalah gangguan saraf perifer yang meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik, otonom dan melemahnya refleks tendon, dapat akut atau kronik. Kelainan yang dapat menyebabkan neuropati dapat digolongkan secara umum yaitu yang disebabkan oleh penyakit defisiensi, kelainan metabolisme, intoksikasi, alergi, penyakit keturunan, iskemik,dan kompresi.

Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen yang membentuk saraf motor, saraf sensor, dan saraf autonom. Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana

dimanifestasikan sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom (lipincott ) Menurut Mattle et all, polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran klinis dari polineuropati biasa nya terdistribusi secara simetris dan lambat progresif. Gejala awalan dari polineuropati dalam praktek klinis sering dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati bermacam-macam.Dalam penelitian secara Consensus-based principles, polineuropati harus bermula dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh. Polineuropati dapat muncul pada umur berapapun, meski ada beberapa sindroma yang menyerang pada anggota umur tertentu. (199-207) Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati saraf tepi adalah kelainan menetap (lebih dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan morfologik.

B. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem saraf (Nervous System) merupakan salah satu sistem organ yang ada di tubuh kita. Layaknya sebuah sistem jaringan komunikasi, sel-sel saraf di setiap bagian dari tubuh memainkan peran dalam proses menanggapi rangsangan dan pengendalian otot-otot kita. Sistem saraf di bina lebih dari 80 jaringan saraf utama. Setiap jaringan saraf tersusun atas 1 juta neuron, yaitu unit fungsional sistem saraf (sel-sel saraf). Neuron atau sel saraf memiliki bagian-bagian sel yang berbeda dengan tipe lainnya. Berikut bagianbagian sel saraf beserta fungsinya dalam menghantarkan impuls (rangsangan) sebagai unit fungsional sistem saraf. 1. Intisel, merupakan struktur inti sel pada umunya yang di dalam nya terdapat asam nukleat (materi inti). Inti sel berperan sebagai pengatur segala aktifitas sel saraf. 2. Badansel (perykaryon), merupakan struktur utama dari sel saraf yang kaya akan sitoplasma dan di bagian tengahnya terdapat inti sel saraf. Badan sel berfungsi sebagai tempat metabolisme sel saraf. 3. Dendrit, merupakan serabut pendek dan bercabang-cabang yang merupakan penjuluran badan sel pada badan sel. Dendrit berfungsi menerima dan menghantarkan rangsangan dari luar ke badan sel saraf. 4. Neurit, merupakan serabut panjang hasil penjuluran badan sel yang mengandung struktur benangbenang halus yang disebut mikrofibril dan neurofibril. Mikrofibril dan neurofibril berfungsi untuk menjaga bentuk dan kepadatan sel saraf. Neurit atau yang sering dikenal akson memiliki peranan menghantarkan rangsangan dari badan sel saraf yang satu ke sel saraf lain. Rangsangan akan dihantarkan melalui akson dari satu sel saraf menuju dendrit dari sel saraf yang lain. Struktur neurit merupakan struktur yang lebih kompleks dari pada dendrit. Neurit memiliki pembungkus yang disebut selaput myelin yang didalamnya terdapat sel Schwann. Bagian neurit yang tidak terbungkus oleh selaput myelin disebut nodus Ranvier.

Neuro Sel-sel saraf akan berkumpul membentuk jaringan saraf dan selanjutnya jaringan jaringan saraf akan berkumpul dan berkoordinasi membentuk system saraf. Hubungan antara sel saraf yang satu dengan sel saraf yang lain disebut sinapsis, sedangkan hubungan antara sel saraf dengan serabut otot disebut neuromuscular junction. Neuron pada manusia dapat kita kelompokkan berdasarkan struktur dan fungsinya. Neuron berdasarkan strukturnya dibagi menjadi tiga tipe, yaitu neuron multipolar, neuron bipolar, neuron unipolar. Neuron multipolar adalah tipe neuron yang memiliki banyak dendrite dan satu akson. Neuron bipolar memiliki hanya satu dendrite dan satu akson, sedangkan neuron unipolar

tidak memiliki dendrite dan proses penghantaran impuls dilakukan oleh satu akson.

Tipe Saraf Neuron berdasarkan fungsinya dibedakan atas sel saraf sensorik (afferent), sel saraf motorik (efferent), dan sel saraf konektor (association). Sel saraf sensorik berfungsi menghantarkan rangsangan (impuls) dari indra ke saraf pusat (otak) dan sumsum tulang belakang. Sel saraf motorik berfungsi menghantarkan rangsangan dari saraf pusat (otak) atau sumsum tulang belakang ke otot atau kelenjar. Rangsangan dari sel saraf sensorik di teruskan menuju sel saraf motorik melalui sel saraf konektor. Membran neuron layaknya membrane sel lainnya bersifat semipermeabel (hanya molekulmolekul tertentu yang dapat keluar masuk misalnya ion-ion tetapi tidak untuk molekul berukuran besar). Membran sel saraf juga secara elektrikal bersifat polar (adanya ion-ion bermuatan negative yang disebut kation di sekitar permukaan luar membrane dan ion-ion bermuatan negative yang disebut anion di bagian sebelah dalam membran). Impuls saraf berhasil di transmisikan (disalurkan) dari sel saraf yang satu ke sel saraf yang lain disebabkan oleh potensial aksi yang berpindah di dekat sel saraf. Stimulus merubah kemampuan spesifik permeable lapisan membrane dan menyebabkan depolarisasi kation dan anion. Perubahan ini

menyebar sepanjang serabut saraf yang selanjutnya disebut sebagai impuls saraf itu sendiri. Polarisasi kembali terjadi setelah depolarisasi yang diikuti oleh periode refractory selama impuls selanjutnya dating lagi.

Sinapsis Polarisasi dibuat dengan mempertahankan kelebihan ion-ion sodium (Na+) pada bagian luar membrane dan kelebihan ion-ion potassium (K+) pada bagian dalam membran. Jumlah tertentu dari Na dan K selalu bocor (berkurang) melewati membran, tetapi pompa Na/K pada membrane secara aktif mengatasi hal tersebut. Intensitas atau frekuensi antara impuls saraf yang satu dengan yang lain ditentukan oleh diameter dari serabut saraf, hal ini berkaitan juga dengan serabut saraf berselaput myelin dan serabut saraf tanpa selaput myelin. Sitoplasma dari akson atau serabut saraf merupakan konduktor elektrik dan selaput myelin menurunkan kapasitasnya sebagai penghantar. Kondisi tersebut mencegah kebocoran muatan melalui membran. Depolarisasi pada nodus ranvier cukup untuk memicu regerasi voltase elektrik pada nodus berikutnya. Oleh karena itu, potensial aksi pada serabut saraf bermielin tidak berpindah

layaknya perpindahan gelombang tetapi terjadi secara berulang pada nodus-nodus. Potensial aksi pada nodus ranvier akan berpindah seperti loncatan-loncatan muatan listrik.

SISTEM SARAF Sistem saraf manusia dan beberapa vertebrata lain mengandung dua bagian utama, yaitu: Sistem saraf pusat yang terbagi atas otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Sistem saraf pusat dilindungi oleh selaput meninges yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu Pia meter (selaput paling dalam dan banyak mengandung pembuluh darah), Dura meter (lapisan terluar yang padat dan keras serta menyatu dengan tengkorak sebelah dalam) dan terakhir Arakhnoid (terletak di antara pia meter dan dura meter yang merupakan selaput jaringan yang lembut membatasi kedua lapisan yang lain)

Sistem Saraf Pusat Sistem saraf tepi yang terbagi atas sel-sel saraf sensori yang menghantarkan impuls ke system saraf pusat dan sel-sel saraf motori yang menghantarkan impuls dari system saraf pusat ke efektor. Sistem saraf tepi dalam hal ini sel-sel saraf motori dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu system saraf somatic yang secara langsung berperan dalam kontraksi otot-otot rangka dan system saraf autonom yang mengontrol aktivitas organ-organ dan variasi otot-otot tak sadar (involunter), seperti otot jantung dan otot polos. MEKANISME GERAK Gerak dapat dilakukan secara sadar (gerak biasa) dan secara tidak sadar (gerak reflek). Perbedaan dari kedua macam gerak tersebut adalah berkaitan dengan jalannya impuls saraf yang melewati system saraf pusat, yaitu jika impuls melewati otak maka gerak yang dilakukan sebagai hasil respon dari otak dinamakan gerak sadar, sedangkan jika impuls tidak melewati otak tetapi sumsum tulang belakang, maka gerak yang dihasilkan sebagai respon dari sumsum tulang belakang dinamakan gerak reflek. Mekanisme gerak biasa (gerak sadar)

Rangsangan > saraf sensorik >otak >saraf motorik >gerak Mekanisme gerak reflek (gerak tidak sadar)

Rangsangan >saraf sensorik >pusat integrasi di sumsum tulang belakang >saraf motorik >gerak

C. EPIDEMIOLOGI Polineuropati muncul sebagai salah satu komponen dari beberapa penyakit yang sering muncul dan tidak sedikit pula dari penyakit-penyakit yang langka. Polineuropati memiliki etiologi yang heterogen, berbeda-beda dalam patologinya, dan bermacam-macam pula tingkat keparahannya. Insiden kasus dari polineuropati didunia ini juga tergolong tidak sedikit, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut

(epidemiologi 311)

D. ETIOLOGI Berikut adalah beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi 1. Polineuropati Herediter Hereditary motor and sensory neuropathies Neuropathy with tendency to pressure palsy Prophyria Primary amyloidosis

2. Polineuropati karena kelainan metabolik Diabetic neuropathy Uremia Cirrhosis Gout Hypothyroidism

3. Polineuropati karena penyakit infeksi Leprosy Mumps Typhus HIV infection

4. Polineuropati karena penyakit arteri Polyarteritis nodosa Atherosclerosis

5. Polineuropati karena kurang gizi 6. Polineuropati karena malabsorbsi vitamin B12 7. Polineuropati karena disproteinemia atau paraproteinemia 8. Polineuropati karena zat-zat toksik eksogen (fundamentals of neurology 176)

E. PATOFISIOLOGI Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan polineuropati dengan caranya masing-masing. Kerusakan pada neuronal nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan ke degenerasi tipe axonal retrogade sekunder distal. Di lain pihak kerusakan langsung pada segmen axon mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada segmen axon bagian distal. Berbeda pula pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi. Lebih jelasnya diperlihatkan pada gambar dibawah ini

(neurology & neurosurgery ilustrated 416)

F. KLASIFIKASI Ada beberapa klasifikasi untuk polineuropati 1. Menurut onsetnya: akut, subakut, kronik 2. Menurut fungsi yang terganggu: motor, sensor, autonom, campuran 3. Menurut perjalan patologisnya: axonal, demyelinisasi 4. Berdasar penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, metabolik

Dalam praktek klinis, biasanya diklasifikasikan berdasar onsetnya, yaitu akut, subakut, atau kronik. Berikut akan lebih dijelaskan seperti dalam tabel dibawah ini

(Neurology neurosurgery ilustrated 420)

G. TANDA DAN GEJALA KLINIS Gejala dari polineuropati meliputi nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan fungsi sensoris. Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan. Hilangnya persepsi rasa nyeri mengakibatkan trauma berulang dengan degenerasi dari sendi-sendi. Kelemahan dirasakan paling hebat pada otot-otot kaki pada kebanyakan polineuropati, memungkinkan juga paralisa dari otot-otot intrinsik pada kaki dan tangan yang mengakibatkan footdrop atau wristdrop. Refleks tendon biasanya hilang, terutama pada neuropati demyelinisasi. Pada kasus polineuropati yang berat, pasien bisa quadriplegi atau mengalami kelumpuhan pada ke semua alat gerak dan mengalami respirator-dependent. Saraf-saraf kranialis juga bisa terkena, biasanya pada SGB dan difteri. Kemampuan sensor kutan hilang pada distribusi kasus stocking-and-glove. Segala macam mode sensor perasa tersebut akan bermasalah. Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati distal yang simetris. Di negara Amerika Serikat, penyebab tersering gangguan saraf-saraf autonom tersebut adalah penyakit diabetes melitus. Penyebab lainnya adalah amyloidosis. Takikardi, perubahan tekanan darah yang cepat, kulit kemerah-merahan dan berkeringat, dan gangguan pada sistem gastrointestinal biasanya disebabkan karena keracunan thallium, prophyria, atau SGB (Lipincott). Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi dan dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa

terlihat pada neuropati motoric dengan multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon. (Lipincott c103) Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang positif atau negatif seperti yang terlihat pada tabel berikut

(martin a.samuels 569)

Mumenthaler dan Mattle menjelaskan tanda dan gejala klinis polineuropati sebagai berikut : Tanda awal biasanya bermula dari distal, kedua kaki Parastesi di jempol kaki atau di telapak kaki, terutama pada malam hari Kesemutan Perasaan tebal dikaki, seperti memakai kaos kaki Hilangnya refleks Achiles Menurun dan hilangnya sense getaran, dimulai didistal Seiring berjalannya progres dari penyakit, timbul paresis pada muskulus ekstensor halocist brevis dan juga muskulus interossei Kemudian, paresis pada muskulus ekstensor halocist longus dan ekstensor kaki Menghasilkan bilateral footdrop Pada akhirnya, gangguan sensorik dan kelemahan motorik menyebar hingga eksterimitas bagian atas juga.

H. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf kranialis, kemampuan motorik dan sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan membantu dalam mengkerucutkan diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal. Pasien dengan neuropati sensorimotor simetris distal, pemeriksaan sensoriknya menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan

ringan, tusukan jarum, dan suhu pada kasus stocking-and-glove. Kemampuan mengenali fibrasi dan posisi juga terganggu, pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi dapat menunjukkan tanda positif dari pseudoathetosis atau tes Romberg. Refleks tendon juga menurun ataupun hilang. (ann noele) I. PEMERIKSAAN PENUNJANG Apabila menemukan temuan gejala klinis yang tipikal menunjukkan bahwa hal tersebut mengindikasikan adanya polineuropati, serangkaian tes laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan etiologinya (antara lain darah lengkap, elektrolit, gula darah, elektroforesis, tes toleransi gula, HBA1c, faal ginjal dan hepar, serum vitamin B12 dan asam folat, parameter vaskulitis, TSH, dan mungkin pula dilakukan tes endokrin lebih jauh dan marker tumor. Elektroneurografi dapat menunjukan tingkat gangguan dari konduksi impuls, bergantung dari etiologi penyebabnya. Jika penyebab primernya adalah axonal, EMG akan menunjukkan sebuah denervasi atau secara neurologis ptoensial yang terganggu. Konsentrasi protein CSF bisa juga terganggu pada berbagai macam polineuropati (e.g diabetik polineuropati), pada kasus langka, pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukan suatu proses infeksi.

Pemeriksaan tambahan biopsi saraf betis dapat menyingkirkan polineuropati tipe axonal dari tipe demyelinisasi. (fundamental 176). Pasien dengan polineuropati sensoris simetris distal memiliki prevalensi tinggi terkena diabetes atau prediabetes, dimana dapat diketahui dengan mengukur kadar gula darah dari pasien tersebut. Elektromyografi (EMG) memiliki cara kerja dengan menggunakan jarum ditusukkan kepada otot tertentu dan aktifitas dari otot tersebut ditampilkan pada oscilloscope. EMG biasanya digunakan untuk mengevaluasi penyakit otot tapi secara tidak langsung juga bisa digunakan untuk mengetahui proses neuropatik. Apabila terdapat denervasi kronis, reinervasi mungkin muncul dengan durasi lebih lama dengan amplitudo tinggi.

NCS (Nerve Conduction Studies) adalah suatu tes dengan memberikan stimulis pada saraf (20-100 V selama 0.05-0.1 milidetik) dan respons dari pergerakan otot yang terstimulasi direkam EMG dan NCS seringkali digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan neuropati. Tes tersebut dapat mengetahui apabila terdapat neuropati dan memberikan informasi juga tipe saraf apa yang terkena (motorik, sensorik, atau kedua-duanya), perjalanan patologi yang seperti apa (axonal atau demyelinisasi), dan apakah dia simetris atau tidak simetris. (ann noele) Biopsi saraf secara luas sudah diterima untuk digunakan dalam mendiagnosis penyakit inflamasi saraf oleh karena vaskulitis, sarkoidosis, CIDP, penyakit infeksi seperti lepra, atau kelainan yang infiltratif seperti tumor dan amyloidosis. Biopsi saraf sangat berguna pada mononeuropathy multiplex atau kecurigaan neuropati vaskulitis. Biopsi kulit mengalami peningkatan untuk penggunaannya untuk mengevaluasi pasien dengan polineuropati. Tekhnik yang paling sering adalah dengan mengambil jaringan kulit pada kaki sebesar 3mm. Setelah memotong nya dengan microtome, jaringan tersebut kemudian diberi antibodi anti-protein-geneproduct 9.5 (PGP 9.5) dan di periksa dengan metode immunohistochemical atau immunofluorescent(17785.5).

Pemeriksaan yang lain A. Pemeriksaan Darah Untuk melihat akar penyebab, misalnya diabetik, kekurangan vitamin, ketidaknormalan protein dalam darah dan antibodi. Pada jenis tertentu neuropati keturunan, sampel darah mungkin akan dikirim untuk konfirmasi genetik. B. Funksi Lumbar Ini adalah prosedur di tempat tidur dimana sejumlah kecil cairan serebrospinal (dari bagian punggung bawah) diambil untuk analisa di bawah kondisi steril dan bius lokal. C. Biopsi Kulit Ini adalah prosedur sederhana di tempat tidur untuk mengkonfirmasi neuropati yang mempengaruhi syaraf kecil yang berakhir di kulit. Pelubangan biopsi kulit (berdiameter sekitar 3mm) dilakukan di bawah bius lokal pada kaki dan paha. D. Tes Fungsi Otonom Ini adalah tes non invasif yang mengevaluasi sistem syaraf otonom. J. DIGNOSIS DAN DIAGNOSIS PENUNJANG Untuk menentukan diagnosis dari polineuropati, secara signifikan dikecurutkan oleh kemampuan anamnesis, tanda dan gejala klinis, dan mengintrepetasikan hasil pemeriksaan penunjang. Distal Symmetric Sensorimotor Polyneuropathies Endocrine diseases Diabetes mellitus Hypothyroidism Acromegaly Nutritional diseases Alcoholism Vitamin B12 deficiency Folate deficiency Carcinomatous polyneuropathy Lymphomatous polyneuropathy Infectious diseases Acquired immunodeficiency syndrome Lyme disease Sarcoidosis axonal sensorimotor axonal sensorimotor

Whipple's disease Postgastrectomy syndrome Gastric restriction surgery for obesity Thiamine deficiency Hypophosphatemia Critical illness polyneuropathy Connective tissue diseases Rheumatoid arthritis Polyarteritis nodosa Systemic lupus erythematosus Churg-Strauss vasculitis Cryoglobulinemia Amyloidosis Gouty neuropathy

Toxic neuropathy Acrylamide Carbon disulfide Dichlorophenoxyacetic acid Ethylene oxide Hexacarbons Carbon monoxide Organophosphorus esters Glue sniffing Metal neuropathy Chronic arsenic intoxication Mercury Gold Thallium

Adapted with permission from Donofrio PD, Albers JW. AAEM minimonograph #34. Polyneuropathy: classification by nerve conduction studies and electromyography. Muscle Nerve 1990;13:889-903.

Differential Diagnosis of Neuropathies by Clinical Course Relapsing/ Acute (within days) Guillain-Barr syndrome onset Subacute (weeks to months) onset Chronic course/ remitting course

insidious onset

Maintained exposure to toxic Hereditary agents/medications sensory neuropathies

motor Guillain-Barr syndrome

Acute porphyria

intermittent Persisting deficiency

nutritional Dominantly inherited neuropathy sensory

CIDP

Critical polyneuropathy

illness Abnormal metabolic state

CIDP

HIV/AIDS

Diphtheric neuropathy Paraneoplastic syndrome Thallium toxicity CIDP

Toxic Porphyria

Neuropathies with Less Common Patterns of Proximal Symmetric Motor Polyneuropathies Involvement Guillain-Barr Chronic inflammatory syndrome Neuropathies demyelinating involvement Diabetes mellitus Guillain-Barr HIV/AIDS myeloma Lyme disease mellitus syndrome with cranial nerve

polyradiculoneuropathy Diabetes Porphyria Osteosclerotic Waldenstrom's

macroglobulinemia Sarcoidosis Neoplastic invasion of skull base meninges

Monoclonal gammopathy of undetermined or significance Acute Lymphoma Diphtheria HIV/AIDS Lyme Hypothyroidism Vincristine (Oncovin, Vincosar PFS) toxicity disease arsenic polyneuropathy Diphtheria

Neuropathies predominant in upper limbs Guillain-Barr Diabetes Porphyria Hereditary Vitamin motor sensory neuropathy B12 deficiency syndrome mellitus

Hereditary amyloid neuropathy type II* Lead neuropathy HIV=human AIDS=acquired syndrome. Information from Thomas PK, Ochoa J. immunodeficiency virus; HIV=human AIDS=acquired immunodeficiency virus;

immunodeficiency immunodeficiency

Symptomatology and differential diagnosis syndrome. of peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders, 1993:749-74. *--Carpal tunnel syndrome resulting from amyloid deposits in the flexor retinaculum. Information from Thomas PK, Ochoa J. Symptomatology and differential diagnosis of peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders, 1993:749-74.

K. PENATALAKSANAAN Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis, dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi. Intubasi trakhea dan suport pernafasan mungkin dibutuhkan untuk pasien SGB. Proteksi kornea diberikan apabila terdapat kelemahan untuk menutup mata. Kasur tidur tempat pasien selalu dibersihkan dan penutupnya dibuat halus untuk mencegah cedera kulit pada kasus anesthetic skin. Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi, latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan. Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap. (lipincott103.1) Terapi spesifik sebagai contoh pada kasus SGB, pemberian intravenous

immunoglobulins (IVIG) 0,4g/kg untuk 5 hari diketahui memiliki output yang bagus. Pada kasus CIDP, terapi bergantung pada tingkat keparahan yang diderita pasien. Pada pasien dengan diabetes, mengkontrol kadar gula darah sangat penting.

L. KOMPLIKASI 1. Terjadi atropi pada otot 2. Kelumpuhan 3. Menyebabkan ketidaksetabilan dalam berjalan

M. PROGNOSIS Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan. Pada SGB, kerusakan saraf berhenti dalam 8 minggu atau kurang. Tanpa pengobatan, sebagian besar orang membaik dengan waktu yang lebih lama. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja. Hanya kurang dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 10% orang menjadi kelainan yang mengarah ke CIDP. Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% bisa sembuh dan tidak terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami gangguan saraf yang buruk (neurology and neurosurgery 425). Pada diabetik polineuropati, komplikasi biasanya baik apabila kontrol diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi komplikasi neuropati autonom (diabetik neuropati)

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Pola aktivitas dan latihan Mengalami gangguan kelemahan karena terjadi gangguan pada otot, terjadi parestesi. 2. Pola istirahat dan tidur Pasien mengalami insomnia 3. Pola nutrisi Mengalami gangguan karena pada riwayat sebelumnya pasien mengalami malabsorbsi 4. Pola konsep diri Pasien mengalami harga diri rendah, dalam aktifitas tidak bisa melakukan sendiri 5. Pola koping Pasien tidak siap menghadapi keadaan dirinya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang dukungan keluarga 6. Pola peran hubungan Malu untuk bertemu dengan masyarakat sekitar dengan keadaan penyakitnya 7. Pola nilai dan kepercayaan Rajin beribadah

B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal 3. Resiko injuri berhubungan dengan kelemahan

C. Intervensi 1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidak mengalami rasa nyeri. Kriteria hasil: Pasien dengan verbal menyatakan nyeri berkurang atau hilang Skala nyeri berkurang atau nol TTV normal

Intervensi b. Kaji skala nyeri c. Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan pasien (raut wajah) d. Berikan suasana yang tenang agar pasien dapat istirahat e. Batasi pengunjung agar pasien dapat beristirahat f. Ajarkan tekhnik nafas dalam untuk mengurangi nyeri g. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal Tujuan: Setelahdilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi gangguan mobilitas fisik Kriteria hasil: Adanya kemajuan dalam melakukan mobilisasi Pasien dapat melakukan aktifitas secara mandiri Pasien dapat melakukan ROM aktif

Intervensi a. Kaji kekuatan otot b. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas c. Berikan latiahan ROM pasif dan aktif d. Ajarkan pasien untuk melakukan aktifitas yang bisa dia lakukan e. Kolaborasi dengan tim kesehatan fisioterapi untuk memberikan terapi gerak

3. Resiko injuri berhubungan dengan kelemahan Tujuan: Setelah dilakukan tindakan medis selama 3x24 jam pasien tidak mengalami resiko injuri Kriteri hasil: Gerak terkoordinasi Tidak terjadi cedera pada pasien

Intervensi a. Kaji kemampaun pasien dalam mobilitas b. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien c. Dampingi pasien dalam melakukan kegiatan d. Kolaborasi dalam tenaga kesehatan fisioterapi

DAFTAR PUSTAKA 1. Syaifuddin. 2000. Anatomi Fisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC 2. Wilkinson dan Ahern Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta EGC 3. Purba JS. Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik. [serial online] Oktober 2006 [cited 2008 February 8] : [3 screens]. Available from: URL: http://www.dexa-medica.com 4. W.Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. 2007 Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, Jilid III.Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.Hal : 19021904 5. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Today's Clinical Practice. [online] 2002 [cited 2008 February 8] : [31 screens]. Available from: URL : http://www.medscape.com/viewprogram/2361.htm 6. Richeimer S. Understanding neuropathic pain. [online] 2007 [cited 2008 February 8] : [6 screens]. Available from URL : http://www.spineuniverse.com 7. Suzuki R, Dickenson A. Neuropathic pain. [serial online] 2003 Maret 3 [cited 2008 February 8]: [3 screens]. Available from: URL:

http://www.chemistanddruggist.com 8. Beydoun A. Symptomatic treatment of neuropathic pain: a focus on the role of anticonvulsants. [online] April 2001 [cited 2008 Februari 2008] : [20 screens]. Available from: URL : http://www.medscape.com/viewprogram/220.htm 9. Zeltzer L. The use of topical analgesics in the treatment of neuropathic pain: mechanism of action, clinical efficacy, and psychologic correlates. [online] 2004 [cited 2008 Februari 8] : [2 screens]. Available from: URL:

http://www.medscape.com

LAPORAN KASUS KELOMPOK SDG 5 PENYAKIT POLINEUROPHATY

Disusun Oleh: 1. Dewi Purnamasari 2. Dhika Pramudya P 3. Mai Indah Mawarni 4. Ivo Yunitasari 5. Yessika Puspitasari (1002026) (1002027) (1002071) (1002 (1002112)

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA TAHUN 2013

You might also like