You are on page 1of 13

Herpes Zoster

Al Furqonnata M, Aprilia Dwi Lestari, Erna Yulida, Evan Sihol Maruli M, Nur Aida Fitria, Herlinda Kusumawati, Komang Werdhi Sentosa, Annisa Avicenna Ayudiyusraa, Athira Sukmawati, Yusuf Rachman, Ricky Setiawan

KEYWORDS : herpes zoster, varicella, VZV, vesicle rash, antivirus ABSTRACT : Herpes zoster, or shingles, is a painful blistering rash caused by reactivation of varicella zoster virus (VZV), the causative agent in chickenpox. Shingles typically presents in one area on one side of the body, in the distribution of a nerve. There are usually no fever or other systemic symptoms. Pain and itching in the area of the shingles may persist after the lesions have resolved (post-herpetic neuralgia). Shingles can be treated with several antiviral agents. Herpes zoster is a localized disease characterized by unilateral radicular pain and a vesicular rash limited to the area of skin innervated by a single dorsal root or cranial sensory ganglion. Whereas varicella or chickenpox, results from primary exogenous varicella-zoster virus (VZV) infection. Herpes zoster is caused by reactivation of endogenous VZV that has persisted in latent form within sensory ganglia following an earlier episode of chickenpox. It can occasionally become serious in immunecompromised persons, with generalized skin eruptions and central nervous system, pulmonary, hepatic, and pancreatic involvement. Herpes zoster is found worldwide and has no seasonal variation. The most striking feature of the epidemiology of herpes zoster is the increase in incidence found with increasing age. Decreasing cell mediated immunity (CMI) associated with aging is thought to be responsible for thrse increased rates. Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster.1,2 Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.3 Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun. Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi

infeksius. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen. Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau 4 pengobatan imunosupresi.

Etiologi Garland dan Hope Simpson pertama mengemukakan bahwa herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus laten yang didapatkan selama varisela.7 Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh VaricellaZoster Virus (VZV) yang tingkat penularannya tinggi. dinamakan VZV, karena pada infeksi pertama muncul manifestasi berupa varisela, kemudian pada serangan kedua baru bermanifestasi berupa herpes zoster. VZV akan dorman pada ganglia sensoris saraf kranial dan saraf spinal setelah sembuh dari varisela dan akan aktif kembali pada masa laten.8,9 Karakteristik dari herpes zoster adalah nyeri radikular yang unilateral dan lesi vesikular yang umumnya terbatas pada beberapa dermatom saja.10 Virus Varisela Zoster (VZV) adalah Family Herpesviridae virus herpes alfa pada manusia di mana dapat menyebabkan varisela (cacar air) dan herpes zoster.7 Virion VZV terdiri dari nukleokapsid yang mengelilingi inti yang mengandung linier, genom DNA ikatan ganda dengan 8 protein tegument yang memisahkan kapsid dari bungkus lemak, yang inkoroporasi dengan glikoprotein viral mayor. DNA VZV terdiri dari rata-rata 125,000 bp dengan setidaknya 69 open reading frame (ORFs). DNA viral tersusun dalam segmen unik yang panjang dan pendek dengan region pengurangan terminal, walaupun empat bentuk isomerik dimungkinkan.11 Linier dari gen VZV mirip dengan pada herpes simpleks virus tipe 1 (HSV-1), yang mana adalah protipe dari virus herpes alfa dan komplementasi telah ditunjukkan untuk beberapa gen. VZV

Definisi Herpes zoster adalah suatu penyakit neurodermal yang ditandai dengan nyeri serta empsi vesikular berkelompok unilateral pada daerah kulit yang dipersarafi oleh syaraf kranialis atau spinalis.3 Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktifasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Artinya setiap orang yang pernah mengalami infeksi varicella zoster atau yang lebih dikenal dengan penyakit cacar air, mempunyai kemungkinan untuk mengalami herpes zoster.5,6

adalah yang paling kecil dari virus herpes manusia dan gen berkurang dari beberapa protein yang ditemukan pada HSV, seperti glikoprotein D. VZV menghasilkan enam atau lebih glikoprotein. Virus ini menyebabkan mukoepitelial infeksi sehingga menyerang bagian kulit dan organ viseral. Virus masuk melalui pernapasan, kemudian menginfeksi kelenjar nodul regional.setelah bereplikasi di kelenjar nodul regional, sel yang terinfeksi virus ini masuk ke kapiler menuju ke aliran darah, sehingga terjadi viremia primer. Kemudian VZV bereplikasi lagi di hati dan limpa sehingga sel mononuklear terinfeksi virus ini. Kemudian sel mononuklear ini membawa virus ke kulit dan membaran mukosa, karena virus ini hanya menyerang epitel. Setelah dibawa ke membran mukosa pernapasan virus bisa keluar dari sekresi pernapasan.7,12

kasus per 1.000 orang per tahun dalam 75 tahun. Kemungkinan bahwa faktor genetik menjadi resiko herpes zoster dikemukakan pada studi terbaru yang menunjukkan ras afro amerika berusia lanjut memiliki resiko memiliki herpes zoster daripada ras kulit putih Amerika berusia lanjut, setelah dikontrol usia, kanker, dan faktor dermatografi. Sehingga orang kulit putih lebih rentan terkena herpes zoster dibandingkan dengan orang kulit hitam dengan perbandingan 4 : 1.7 Faktor resiko dari herpes zoster pada anak-anak termasuk varisela didapat selama tahun pertama kehidupan dan infeksi VZV pada utero sebagai hasil dari varisela maternal selama menyusui. Herpes zoster umum pada pasien yang dirawat dengan obat immunosupresan untuk penyakt keganasan atau untuk mencegah penolakan dari transplantasi sumsum tulang atau organ dan pada individu dengan infeksi HIV. Reaktivasi VZV secara khusus sering pada pasien dengan leukimia, penyakit Hodgkin, limfomanon-Hodgkin dan karsinoma sel pada paru. Terapi steroid sistemik untuk penyakit kronis seperti arthritis rheumatoid atau lupus eritematosus sistemik juga sebagai predisposisi dari reaktivasi VZV. Walaupun predisposisi keganasan pada herpes zoster, terjadinya herpes zoster pada individu sehat tidak dapat memprediksi diagnosis kanker pada tahun subsequent. Sebaliknya, herpes zoster menimbulkan infeksi HIV pada individu dengan faktor resiko penyakit ini. Jadi faktor resiko herpes zoster adalah bertambahnya usia, sistem imunitas yang menurun, jenis kelamin lakilaki lebih banyak, obat-obatan imunosupresan, penyakit neoplasma (kanker

Epidemiologi VZV ditemukan pada distribusi geografik diseluruh dunia, tetapi epidemik tahunan adalah yang paling prevalen pada iklim panas, yang terjadi paling sering selama akhir musim dingin dan musim semi. VZV dapat bertransmisi dari jalur respirasi. Herpes zoster terjadi hanya pada individuindividu yang memiliki infeksi VZV primer. Studi awal mencatat insiden Herpes Zoster sebanyak 3,4 kasus per 1.000 orang per tahun di Inggris. Epidemiologi dari herpes zoster dipengaruhi oleh faktor host yang mana predisposisi dari reaktivasi virus laten. Kebanyakan kasus dari herpes zoster terjadi hanya pada individu-individu yang berusia lebih dari 45 tahun, insiden ini meningkat dengan bertambahnya umur, lebih dari 10

limpopriliferatif), ras, penyakit inflamasi dan lain-lain.7,12

Patofisiologis Kebanyakan VZV masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernapasan, bisa juga melalui kontak langsung dengan penderita. Ketika virus pertama kali menginfeksi tubuh seseorang, maka orang tersebut akan terkena varisela, biasanya pada usia anak-anak. Pada infeksi VZV pertama kali, virus masuk ke dalam aliran darah sehingga terjadi viremia. Karena virus beredar mengikuti aliran darah ke seluruh tubuh, maka vesikel muncul menyebar di seluruh tubuh menyebabkan lesi pada kulit dan mukosa, biasanya dari sentral ke perifer atau bisa disebut sentrifugal. Biasanya yang terkena bagian thorak kemudian menuju ekstremitas. Ketika varicella terjadi, cairan plasma yang ada di vesikel banyak mengandung VZV. Kemudian melewati lesi yang ada di kulit dan mukosa ke ujung saraf sensorik yang ada pada lapisan dermis. Kemudian virus akan mengikuti serabut saraf sensoris menuju ganglia sensoris. Di ganglia virus akan dorman, dan akan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lokasi dormannya VZV biasanya pada ganglia trigeminal dan thorakolumbal (T1-L2). VZV DNA laten pada ekstrakromosom, tapi perkembangan virus di dalam sel ganglion sangat rendah, karena adanya sel imun yang menekan perkembangannya. Jika sistem imun menurun, biasanya pada usia tua, maka virus akan aktif kembali dan bereplikasi di sel ganglia diikuti dengan perusakan neuron dan sel satelit.13,14 Perusakan neurologik ini terjadi sebelum lesi vesicular muncul.

Kemudian sel PMN akan membawa VZV menuju permukaan kulit sesuai dermatom saraf ganglion yang terinfeksi. Kemudian terjadi perubahan histologi kulit dengan lesi yang sama dengan varisela, yaitu berupa vesikel. Tetapi perbedaannya adalah pada varisela vesikel menyebar di seluruh permukaan kulit karena virus beredar di pembuluh darah. Sedangkan pada herpes zoster lesi hanya bergerombol pada satu atau beberapa dermatmo saja, karena virus hanya menginfeksi serabut saraf sensorik saja. Pada kulit ditemukan sel MN dan sel yang terinfeksi VZV. Pada ganglion saraf ditemukan sebukan sel radang, terjadi nekrosis sel ganglia, dan demielinisasi akson saraf.15,16

Meskipun virus laten pada ganglia, tapi bias aktif secara sporadik, lambat, dan berhubungan dengan imunosupresan seperti radiasi column spinal, tumor pada tulang belakang, tumor pada ganglion dorsalis, trauma lokal, operasi pada tulang belakang, dan sinusitis frontalis seperti pada herpes zoster optalmik. Dan yang sangat penting adalah penurunan respon imunitas seluler

karena bertambahnya usia.VZV bias muncul tanpa menimbulkan beberapa gejala. Meskipun rekatifasi asimptomatik dari VZV tidak terbukti secara pasti, namun dalam jumlah yang sedikit antigen virus dikeluarkan selama reaktifasi, sehingga pada beberapa orang herpes zoster muncul tanpa ada gejala. Virus yang teraktifasi kemudian akan bereplikasi dan menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada ganglion dan menyebabkan nekrosis neuron sehingga bisa mengakibatkan neuralgia. Lalu virus menyebar ke serabut saraf sensoris dan beresiko terjadinya neuritis, kemudianvirus menyebar ke ujung saraf sensoris yang berakhir di dermis, akhirnya menyebabkan lesi pada kulit berupa lesi vesicular. Penyebaran infeksi ganglion bisa menuju meningens yang ada pada tulang belakang sehingga mengakibatkan leptomeningitis lokal, cerebrospinal pleositosis, dan myelitis segmental. Infeksi pada saraf motorik menyebabkan kelumpuhan lokal pada kulit yang mengalami erupsi, dan infeksi pada system saraf pusat merupakan komplikasi yang jarang.13

Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi VZV yang masuk melaui ujung saraf sensorik di lapisan dermis selama infeksi varisela berlangsung, kemudian menuju ke serabut ganglia dorsalis memasuki bentuk laten. Usia, obat-obat imunosupresan, limpoma, kelelahan, gangguan emosianal, dan terapi radiasi bias mengaktifkan kembali virus yang dorman. Yang kemudian kembali menuju ujung saraf sensorik, dan trjadilah lesi vesikuler di kult. Beberapa pasien, khususnya anak-anak bias terkena herpes zoster tanpa didahului varisela karena mereka telah terinfeksi varisela lewat plasenta sewaktu dalam kandungan. Atau pada keadaan tertentu, ketika seseorang terinfeksi VZV yang pertama kali, tidak menimbulkan varisela, karena system imun dalam keadaan yang baik, sehingga tidak menimbulkan vesikel di kulit dan terbentuk antibody terhadap VZV. Tetapi virus tetap dorman pada ganglia sensoris. Sehingga ketika system imun menurun maka langsung bermanifestasi berupa herpes zoster, tapi kejadian ini sangat jarang. Seseorang hanya terkena herpes zoster sekali dalam hidupnya. Insiden terjadi yang kedua kalinya adalah kurang dari 5%.17

Patogenesis VZV dapat masuk melalui saluran pernapasan dan kontak langsung dengan penderita. ketika virus masuk melalui saluran pernapasan, virus akan menempel pada membran mukosa atau jaringan parenkim paru.13 Karena virus ini merupakan benda asing bagi tubuh, maka sel APC akan menyerang virus tersebut dan lalu protein virus akan berikatan dengan MHC I dan MHC II, yang nantinya akan di bawa ke sel T sitotoksin dan sel T helper. Sel T sitotoksin nantinya akan membunuh sel yang telah terinfeksi VZV dan mengeluarkan faktor imflamasi. Sedangkan sel T helper akan mengeluarkan sitokinsitokin yang nantinya merangsang sel B untuk membentuk antibodi dan sebagian

menyimpannya di sel T memori. Sehingga bila terserang VZV yang kedua kali akan kebal, karena antibodi sudah terbentuk. Virus yang menempel pada mukosa akan bereplikasi dan di bawa masuk ke kelenjar getah bening kemudian melaui kapiler menuju ke aliran darah sehingga terjadi viremia. Virus akan menyerang epitel di kulit dan mukosa sehingga terbentuk vesikel. Lalu virus akan masuk ke lapisan dermis menuju ujung saraf sensorik dan berakhir di ganglia dorsal. Di ganglia dorsal virus akan dorman pada sel satelit. Ketika sistem imun turun, biasanya pada usia tua, maka infeksi laten terjadi, virus akan bereplikasi dan menyerang sel neuron, kemudian sel T datang dan memfagositosis virus tersebut, tetapi virus tersebut malah menginfeksi sel T. sehingga terjadi

peradangan pada ganglion dan neuritis pada axon asending karena sel T banyak mengeluarkan sitokin dan agen inflamasi. Sehingga gejala awal herpes zoster adalah nyeri.18,19 Penyebab tersering munculnya herpes zoster adalah usia dan berkurangnya kapasitas sel T dalam darah perifer sehingga sistem imun berkurang, kemudian terjadi infeksi laten. Kebanyakan herpes zoster menyerang orang tua di atas 50 tahun. Sel T spesifik VZV yang diperoleh dari serangan varisela, sel T memori dan sel T sitotoksik yang mengenali protein VZV masih terdeteksi pada remaja dan dewasa, sehingga pada remaja jarang terjadi herpes zoster. Kurangnya respon sel T spesifik VZV terjadi pada usia tua dan pasien imunokompromise. Karena respon sel T berkurang maka pembentukan igG anti-VZV antibodi berkurang sehingga seseorang beresiko terkena herpes zoster. Sel T memori spesifik VZV mungkin akan mengontrol stadium selanjutnya dari reaktivasi yang menimbulkan gejala khas, tepatnya pencegahan genom VZV laten untuk bereplikasi pada ganglia.9

Sebelum lesi di kulit muncul, virus akan menginfeksi PBMC terlebih dahulu. Infeksi PBMC akan menyebabkan infeksi berpindah menuju ke jaringan kulit atau

virus akan menyebar ke dalam sel endothelial membentuk dinding kapiler, bereplikasi dan menyebar ke sel epitel. Kemudian terjadi proses acantholisis yaitu hilangnya ikatan sel epidermis tepatnya di stratum spinosum. Jadi jaringan ikat antara stratum spinosum dan stratum basale mengalami pelonggaran sehingga terbentu celah atau balon. Dan juga virus menyerang epitel stratum basale sehingga terjadi infeksi dan perusakan pada sel epitel tersebut sehingga terlihat gambaran makulo papul eritematosa.20 Kemudian sel MN yang menyerang virus pada sel yang terinfeksi akan mengeluarkan bradikinin, sehingga tejadi vasodilatasi kapiler setempat dan perembesan cairan plasma dari endotel pembuluh darah, lalu cairan plasma ini akan mengisi ruangan atau balon yang berada diantara stratum spinosum dan stratum basale, sehingga terbentu vesikel yang berisi cairan tapi jika infeksi sangat hebat maka bradikini yang dikeluarkan semakin banya sehingga vasodilatasi lebar dan sel-sel darah ikut memasuki ruangan balon tersebut, sehingga disebut vesikula hemoragik.7 Vesikel merupakan gelembung berisi cairan sebum, beratap berukuran kurang dari cm garis tengah, dan mempunyai dasar.6 Proses ini terjadi dalam waktu 24 jam, sehingga nampak vesikel bergerombol sesuai dermatom saraf. . Jika dalam waktu 2-3 hari terjadi infeksi sekunder maka vesikula berubah menjadi pustula. Kemudian pustula pecah sehingga menjadi krusta, penyembuha krusta sekitar 2-3 minggu. Lesi yang ditimbulkan biasanya tidak menimbulkan scar, karena infeksinya berada pada lapisan epidermis yang relative superfisial, tetapi terjadi kerusakan pada lapisan germinal dari

epitel di epidermis. Tetapi jika krusta mengalami infeksi sekunder maka bias menyebabkan ulkus. Ulkus yang dalam bias menyebabkan bekas. Scar merupakan genetik, sehingga pada orang-orang tertentu yang berbakat scar akan menimbulkan bekas setealh terkena varisela atau herpes zoster.12

Gejala klinis Fase preerupsi preherpetik neuralgia terdapat gejala sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam, sakit kepala, malaise, dan limfadenopati. Gejala lokal berupa nyeri otot dan tulang, gatal, pegal, rasa terbakar, dan hiperestesia. Prodormal sistemik : demam, pusing, malaise. Pada fase erupsi gejala yang ditimbulkan biasanya Nampak pada kulit.awalnya berupa makulo papul eritematosa, kemudian berubah menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem edem dan cairan yang jernih, jika ada infeksi sekunder cairan berwaran keruh kekuningan atau pustula. Jika pustule pecah akan menjadi krusta dan ulkus. Kadang vesikel mengandung darah (vesikula hemoragik). Fase pasca erupsi bisa menyebabkan neuralgia pascaherpes, yaitu nyeri menetap di dermatom yang bersangkutan setelah erupsi herpes zoster sembuh. Batasan waktu 3 bulan setelah erupsi menghilang.7, athira Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).1 Ada beberapa klasifikasi herpes zoster menurut ganglion mana yang terkana virus. Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak

A proses terjadinya celah di lapisan epidermis, B vesikel yang berisi cairan plasma, sel MN yang terinfeksi virus dan sel-sel endotel yang rusak.

Ketika virus tersebut di serang oleh sel pertahanan tubuh seperti sel MN dan sel T, maka sel tersebut aka mengeluarkan sitokin pirogenik berupa IL-1, IL-6, TNF dan interferon yang beredar di dalam darah yang nantinya sampai pada bagian hipotalamus anterior, terjadi peningkatan PGE2 akhirnya meningkatkan set point dari termoregulasi meningkatkan suhu tubuh, sehingga pada beberapa kasus herpes zoster disertai demam.21

mata bengkak dan sukar dibuka. Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Ada herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis,herpes zoster torakalis, herpes zoster lumbalis, herpes zoster sakralis yang terkena pada pleksus yang bersangkutan.12,22 Karakteristik dari perubahan degenerasi balon adalah dengan adanya gabungan inklusi intranuklear dan multinuklear giant sel. Sehingga pada dasar vesikel terlihat sebukan sel radang dan bentukan yang khas berupa multi nuclear giant sel yang bersifat basofil. Terlihat gambaran cincin pada tepi dari membran inti sel yang disebut halo. Pada serabut saraf perifer terdapat infiltrasi limpatik dan perdarahan lokal dengan degenerasi pada bagian axon dan demielinisasi dari serabut saraf sensorik. Partikel virus dan antigen VZV ditemukan di sel Schwan dan perineural.20

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit ini bias dengan beberapa tes. Tes diagnostik untuk membedakan dari impetigo, kontak dermatitis dan herpes simpleks dengan pemeriksaan Tzanck smear untuk mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan herpes zoster dan herpes simpleks. Bisa juga kultur dari cairan vesikel dan tes antibody untuk membedakan diagnosisherpes virus. Selain itu juga ada pemerisaan penunjang berupa Immunofluorescent mengidentifikasi varisela di sel kulit, pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan mikroskop electron, kultur virus, identifikasi antigen asamnukleat VZV. deteksi antibodi terhadap infeksi virus.11,23

Tatalaksana dan Pencegahan Untuk pengobatan herpes zoster biasanya simtomatik, karena ini merupakan self limiting disease, tapi bias juga di gunakan antivirus. Antivirus paling efektif jika diberi 72 jam setelah munculnya ruam. Antivirus yang sering digunakan berupa Valasiklovir (1 g po tid selama 7 hari), Famsiklovir (500 mg po tid selama 7 hari) dan Asiklovir (800 mg po 5x/hari selama 710 hari) bisa ditambahkan dengan kortikosteroid berupa prednisolone 40 mg/hari selama 7 hari, tapering menjadi 5 mg/hari sampai 2 minggu. Untuk terapi simptomatik bisa menggunakan analgesik NSAID (parasetamol), kodein, morfin, atau oxycodone. Penggunaan kortikosteroid bertujuan untuk mengatasi inflamasi yang ada di ganglion saraf. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan antivirus.24,25

Terapi obat dapat mengalami kegagalan jika osis yang kurang adekuat, kurangnya masa terapi, kesalahan menetapkan etiologi, faktor pasien, gangguan farmakokinetik dan pemilihan obat yang tidak tepat.Dosis yang kurang adekuat menyebabkan tidak tercapainya kadar minimum obat dalam

darah untuk menimbulkan efek. Kadar minimum obat dalam darah adalah syarat yang harus dipenuhi agar obat dapat menimbulkan efek yang diharapkan Kurangnya masa terapi juga menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan pengobatan. Terutama untuk obat-obat yang membutuhkan kadar yang konstan dalam

darah dan jaringan tubuh selama beberapa waktu sebelum akhirnya memberikan hasil terapi yang positif.26 Biasanya juga bisa diberikan bedak salisilat 2%, dengan komponen utama asam salisilat. Pada konsentrasi 3 - 6 %, asam salisilat menyebabkan shedding dengan penipisan lapisan stratum corneum, merusak matriks intraselular, dan melonggarkan hubungan antara korneosit. pada konsentrasi lebih dari 6%, AS dapat merusak jaringan. Tujuan pemberian bedak salisilat untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder, bukan untuk mematikan virus (hanya sebagai simptom).27 Terapi non medikamentosa dengan menjaga lesi tetap bersih dan kering untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi sekunder, engkompres dengan air, salin, atau Burrows solution dan menjaga lesi dengan menggunakan pakaian yang bersih dan tidak ketat. Penularan dari virus ini bisa dari orang ke orang, melalui udara, droplet kontak dengan saluran pernafasan, kontak langsung dengan cairan vesikel dari kasus varicella atau kasus herpes zoster. Secara tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi cairan dari vesikel dan membran mukosa dari orang yang terinfeksi.28 Untuk pencegahan bisa dengan pemberian vaksinasi. Ada 2 tipe vaksin yaitu vaksin aktif dan vaksin pasif. Vaksin pasif menggunakan VZIG (varicella zoster imunoglobulin) pemberian dalam waktu 3 hari dosis: 125 U / 10 kg bb. Pemberian diberikan secara intramuskular bukan intravena tetapi perlindungan bersifat sementara. Vasin aktif menggunakan vaksin varisela virus (oka strain) proteksi sekitar

70-100% vaksin efektif > 1 tahun, tetapi kadanng menimbulkan demam, tidak boleh diberikan pada wanita hamil.4,10

KEPUSTAKAAN 1.Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000. 2.Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta: FKUI. 2005. 3.Andrews. Viral diseases of the skin clinical dermatology 9th edition. WB Saunders Company. Philadelphia 2000: 486-91. 4.Kimberlin David W. and Richard J. whitley. Varicella-Zoster vaccine for the prevention of herpes zoster. N Engl J Med 2005;352:2266-7 5.Harper J. Varicella (Chikenpox) Texbook of Pediatric Dermaology, Blackwell Science 2000;1:336-9 6.Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-5. Jakarta: FKUI. 2007. 7.Arvin Ann. Varicella-Zoster Virus. Clinical Microbiology Reviews 1996; 9(3):361-81. 8.Straus SE, Reinhold W, Smith HA, et al. Endonuclease analysis of viral DNA from varicella and subsequent zoster infections in the same patient. N Engl J Med 1984;311: 1362-4. 9.Arvin Ann. Aging, immunity, and the varicella-zoster virus. N Engl J Med 2005;352: 2266-7. 10.Oxman M.N. M.J. Levin. G.R. Johnson, et al. A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia in Older Adults N Engl J Med 2005;352:2271-84. 11.Patrick David. Prevention strategies: experience varicella vaccination

program. The Journal of The IHMP. 2007;14:1470-537. 12.Wolff Klaus, A. Lowell, Katz. Goldsmith Stephen I., et al. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th Edition Volume 1 and 2. New York: Mc Graw-Hill. 2008. 13. Habif. Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th Edition. October 27, 2008. 14.Gilden DH, Kleinschmidt-DeMasters BK, LaGuardia JJ et al. Neurologic complications of the reactivation of varicellazoster virus. N Engl J Med 2000;342:635-45. 15.Lungu O, Annunziato PW, Gershon A, et al . Reactivated and latent varicella-zoster virus in human dorsal root ganglia. Proc Natl Acad Sci U S A 1995;92:10980-4. 16.Esiri MM and Tomlinson AH. Herpes zoster: demonstration of virus in trigeminal nerve and ganglion by immunofluorescence and electron microscopy. J Neurol Sci 1972;15:35-48. 17.Habif. Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th Edition. October 27, 2003. 18.Junqueira Luiz Carlos and Jose Carneiro. Histologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta : EGC. 2007.

19.Oxman M.N. Herpes zoster pathogenesis and cell-mediated immunity and immunosenescence. J Am Osteopath Assoc 2009;109(2):S13-S17. 20.Freedberg, Irwin M., Arthur Z. Eisen, et al. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th Edition Volume 1 and 2. New York: Mc Graw-Hill. 2003. 21.JA Gelfand and Dinarello CA. Alteration in Body Temperature. 1998. 22.Moon JE. Herpes zooster. eMedicine World Medical Library: 24 september 2000. 23.Wuriyantoro. Herpes Zoster. www.medicastore.com. 14 Februari 2011. 24.The prevention and management of herepes zoster. MJA 2008;188:171-6. 25.Recommendations for the management of herpes zoster. CID 2007; 44:S1-26. 26.Gunawan Sulistia Gan. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta: FKUI. 2007. 27.Johnson RA,, Wolff K., Suurmond D. et al. Fitzpatrick TB Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New York: Mc Graw-Hill. 1999. 28.Communicable disease management control: varicella herpes zoster. Manitoba Health 2001:p1-5

You might also like