You are on page 1of 2

Kriteria inklusi dan eksklusi memiliki pengaruh penting terhadap hasil studi ini.

Beberapa keadaan diketahui sebagai faktor predisposisi otitis media pada anak, sebagai contoh, cleft palate dan sindrom Down mengakibatkan kerusakan fungsi saluran eustachius sehingga lebih mudah untuk mengalami peradangan di telinga tengah. Faktor abnormalitas anatomi juga berpengaruh terhadap respon pengobatan otitis media pada anak. Keadaan lain seperti, immunodefisiensi, asma, dan sinusitis kronik juga dapat meningkatkan terjadinya otitis media. Semua keadaan di atas dimasukkan kedalam kriteria eksklusi pada studi ini. Tetapi konsistensi dalam kriteria eksklusi ini masih kurang. Faktor yang menyebabkan inkonsistensi adalah perbedaan cara dalam mengobatai episode baru otitis media. Banyak studi menggunakan antibiotik untuk mengobati setiap episode baru otitis media yang terjadi pada proses follow up, sehingga penggunaan kelompok antibiotik profilaksis ditunda sementara. Bagaimanapun tipe antibiotik, dosis,dan lama pengobatan berbeda setiap studi. Sebagai contoh, Tecle et al, mengobati otitis media menggunakan cotrimoksazole, cefaclor atau eritromicin, sementara Paradise dan Collegues (1990) menggunakan ampisilin atau amoxicilin dan eritromicin ethylsuccinate yang dikombinasikan dengan sulfisoxazole acetyl sebagai alternatif. Perbedaan protokol pengobatan antara studi dapat mempengaruhi durasi episode otitis media dan dapat mempengaruhi waktu total follow up otitis media. Bahkan, pada kelompok treatment dengan pembedahan, antibiotik diberikan sebagai tambahan pada intervensi pembedahan. Oleh karena itu, pasien yang menerima perlindungan ganda, dapat sekali mempengaruhi frekuensi otitis media mereka. Akan tetapi, jika terapi hanya diberikan pada saat episode baru, prevalensi untuk terjadinya rekurensi otitis media tidak akan terpengaruhi. Hal ini bernilai sebagaimana yang disebutkan oleh Le et al bahwa telinga individu secara acak dapat menggantikan individu anak-anak untuk menerima pengobatan pada studi ini. Keuntungan dari metode ini adalah variabel sepeti genotip, alergi, dan faktor lingkungan akan sama pada kelompok pengobatan dan kontrol. Bagaimanapun, jika seorang anak berkembang menjadi episode baru otitis media pada salah satu telinganya, hal itu akan sulit untuk mengisolasi pengaruhnya terhadap telinga selama pengobatan dengan antibiotik. Faktor risiko untuk otitis media meliputi jenis kelamin dan musim. Anak laki-laki secara signifikan lebih berisiko untuk terjadinya episode otitis media dan otitis media rekuren dibandingakn anak perempuan. Meskipun otitis media terjadi sepanjang tahun, tetapi pada bulan autumn dan musim dingin frekuensinya lebih tinggi. Variasi musim mungkin mempengaruhi hasil dari studi terhadap efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis. Beberapa studi hanya mengobati pasien dengan antibiotik selama enam bulan. Prevalensi episode baru otitis media juga dapat berbeda tergantung

pada musim yang mana di test menggunakan placebo. Apabila tes placebo dilakukan selama musim panans dan pengobatan aktif dilakukan pada musim dingin, maka perbedaan prevalensi antara inisial otitis media dan episode otitis media rekuren akan lebih kecil dibandingkan dengan tes placebo pada musim dingin dan pengobatan aktif pada musim panas. Sebagaimana yang disebutkan di atas, otitis media sering sembuh dengan sendirinya. Delapan puluh delapan persen anak-anak menunjukkan gejala sakit dan demam 4-7 hari tanpa konsumsi antibiotik. Metode follow up setiap studi bervariasi, hampir semua studi follow up pasiennya selama satu bulan, oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa beberapa episode otitis media mungkin terjadi saat dilakukan follow up sehingga hal tersebut tidak tercatat. Insidensi dari otitis media pada anak-anak juga berubah sebagaimana pertumbuhan mereka. Insidensi puncaknya adalah anak-anak usia antara 6-18 bulan dan setelah itu secara gradual akan berkurang. Usia dari anak-anak masuk kedalam varian review studi ini. Untuk beberapa studi dengan waktu follow up yang panjang, insidensi otitis media berubah selama follow up karena adanya pertumbuhan. Konklusi Pertama, kami dapat menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis efektif dalam meningkatkan penilaian kesembuhan otitis media pada review ini. Pengobatan dengan antibiotik profilaksis dapat mengurangi prevalensi otitis media rekuren, jumlah episode otitis media, dan total waktu lamanya setiap anak menderita otitis media. Efektivitas antibiotik profilaksis lebih besar dibandingkan dengan insersi timpanotomi tube dan adenoidectomi, terutama dalam hal penurunan otitis media rekuren dan jumlah episode otitis media. Kedua, pengobatan dengan tympanostomy tube gagal untuk mencegah otitis media rekuren, akan tetapi efektif dalam mengurangi kejadian episode otitis media dan total waktu lamanya menderita otitis media. Ketiga, adenoidectomy efektif menurunkan kejadian otitis media rekuren. Data tentang frekuensi otitis media berbeda di setiap studi, tetapi dalam tiga studi menunjukkan bahwa adenoidectomy efektif mengurangi jumlah kejadian episode otitis media. Adenoidectomy tidak bermanfaat jika digunakan sebagai terapi pada anak di bawah usia dua tahun. Untuk kedepannya, akan lebih bermanfaat jika dibuat standar protokol yang dapat dipakai oleh semua studi, dengan standar kriteria inklusi dan eksklusi (termasuk usia), standar protokol terapi untuk episode baru otitis media, dan standar metode follow up.

You might also like