You are on page 1of 7

Tersesat di Rimba Baduy Oleh: Abdurrahman

Pegunungan Kendeng di Banten Kidul adalah sebuah kawasan tempat tinggal bagi suku terasing Baduy. Pegunungan ini memanjang dari mulai ujung barat pulau Jawa hingga mencapai wilayah Bogor, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Garut hingga ke Cirebon. Pegunungan dengan alamnya yang masih terjaga dan hutan alam yang memberikan penghidupan bagi masyarakat Baduy khususnya yang tinggal di wilayah Kanekes. Adat-istiadat yang melarang untuk merusak hutan menjadikan wilayah ini sangat lebat dengan pepohonan besar, apalagi pada bagian timur dan selatan. Eksotika pegunungan Kendeng seperti magnet yang menarik dengan kuat hasratku untuk menaklukannya. Dengan perbekalan apa adanya saya nekat berangkat ke sana dengan hanya bermodalkan uang beberapa puluh ribu rupiah. Perjalanan saya awali dengan naik kereta butut jurusan Tanah Abang Rangkas Bitung. Kereta kelas ekonomi dengan bagian belakang khusus digunakan untuk para pedagang buah pisang, salak, singkong dan bahkan kambing sebagai muatannya. Kereta ini memiliki harga tiket hanya Rp 4000 rupiah dengan perjalanan kurang lebih 2,5 Jam. Perjalanan dengan menggunakan kereta adalah awal dari petualangan saya ke rimba Baduy. Keadaan penumpang kereta yang sesak ditambah dengan para pedagang asongan yang hilir mudik berteriak-teriak menjajakan dagangan. Para pengamen dan pengemis juga tidak kalah menjajakan suaranya yang semakin sumbang karena dari pagi suara itu sudah dinikmati oleh ribuan penumpang kereta sebelumnya. Beberapa anak muda dengan muka yang memelas menyapu sampah-sampah yang ada di bawah tempat duduk penumpang. Dengan tangan yang menjulur mereka memohon belas kasihan dari para penumpang yang sebenarnya juga membutuhkan belas kasihan. Seperti pada umumnya penumpang kereta api kelas super ekonomi memiliki langganan tetap para penumpang dari kalangan menengah ke bawah dengan perilaku dan gaya hidup yang apa adanya. Sungguh keadaan yang tidak menyenangkan ketika naik kereta jenis ini, bukan hanya tingkah laku para pedagang yang sering kali menjajakan dagangannya tidak sopan, namun juga para pengamen dan pengemis yang cenderung memaksa para penumpang untuk memberikan donasinya. Namun yang lebih menyesakan dada adalah asap rokok

yang mengepul di hampir seluruh sudut gerbong. Jika zaman dahulu kereta akan ngebul mengeluarkan asap hitam di atasnya maka saat ini setiap gerbong kereta ngebul karena sebagian besar penumpangan merokok. Tentu saja ini adalah sebuah perjuangan berat untuk bisa bernafas dengan udara segar tanpa terpolusikan oleh racun-racun yang berada di setiap kepulan asap rokok tersebut. Setelah menahan penderiataan selama menaiki kereta kelas ekonomi tersebut akhirnya saya sampai juga di Stasiun Rangkas Bitung. Seluruh tubuh yang pegal-pegal dan nafas yang sesak akhirnya bisa bebas ketika menjejakan kaki di lantai stasiun tersebut. setelah keluar dari stasiun saya berjalan ke arah kanan, saya yakin ini adalah jalan yang benar. Panggilan dari para tukang ojek yang menawarkan jasa ojek tidak saya gubris, dalam hati saya berfikir boro-boro buat ngojek buat makan aja mikir dulu. Memang benar kerterbatasan uang yang saya bawa memaksa saya untuk sedikit berpuasa dengan tidak sembarangan jajan di luar nanti sakit perut begitu kata ibu biasanya. Nasehat ini sepertinya cocok buat keadaanku saat ini. Setelah berjalan ke sebelah kanan stasiun dan melewati kembali rel kereta akhirnya saya naik mobil angkutan umum jurusan Terminal Aweh. Syukurlah waktu itu BBM belum naik jadi ongkosnya masih Rp 2000. Selanjutnya saya mencari mobil elf untuk jurusan Ciboleger, sebuah mobil terparkir di sebuah terminal yang sepi dengan penumpang yang terbatas. Maklum terminal daerah sehingga mobil-pun hanya beberapa yang terparkir. Saya sempat bertanya kepada salah satu pedagang asongan di sana, katanya mobil ke Ciboleger hanya 3 kali ada. Keberangkatan pertama pukul 10.00 atau 11.00 selanjutnya pukul 12.00-13.00 dan kadang-kadang ada tambahan kalau hari sabtu dan ahad. Ah penderitaan saya bertambah lagi, ternyata mobil tersebut lama sekali berangkat saya sudah menunggu kurang lebih 2 jam mobil tersebut belum juga berangkat. Ketika kesabaran ini hampir habis baru seorang sopir menyalakan mesin, namun ternyata bukan untuk berangkat tetapi hanya menarik perhatian penumpang yang masih berjumlah 5 orang. Butuh waktu 0,5 jam lagi untuk bisa meninggalkan terminal yang sepi itu hingga akhirnya setelah penumpang dirasa cukup mobil tersebut melaju kea rah timur. Baru beberapa injakan gas oleh supir mobil itu mengambil jalan pinggir dan berhent tepat di depan toko Indomaret, lagi-lagi mobil itu mencari penumpang tambahan. Beberapa puluh menit saya terpaku di dalam mobil itu, perasaan jengkel dan kesal begitu berkecamuk

dalam dada ini. Namun tidak ada yang bisa saya lakukan selain bersabar, semoga saja penumpang yang lain segera naik dan mobil ini segera berangkat. Akhirnya doa saya terkabulkan mobil itu perlahan beranjak dengan jalan-jalan aspal yang telah mengelupas sehingga kerikilnya bertebaran terlindas ban mobil tersebut. entah sudah menjadi tradisi atau terpaksa ketika mobil itu berjalan kurang lebih 500 meter ia berbelok ke sebelah kanan, ke sebuah pom bensin yang ramai oleh mobil-mobil lain yang mengular untuk mengisi bahan bakarnya. Lengkap sudah penderitaan saya. Seperti di kereta tadi lagi-lagi nafas saya terasa sesak dengan dua orang bapak yang dengan santainya merokok di sebelah saya. Saya selalu teringat dengan sebuah pesan di media masa bahwa perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif Kalau begitu kenapa saya ga jadi perokok aktif saja hixhixihixix Kurang lebih memerlukan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk sampai ke Ciboleger tempat awal perjalanan nekat saya ke rimba Baduy. Tidak seperti yang saya bayangkan ternyata jarak ke wilayah Baduy dalam harus melewati hutan rimba dan naik gunung turun gunung yang sangat jauh. Cerita itu saya dengar dari seorang teman yang pernah datang ke rimba Baduy. Ciboleger adalah awal perjalanan nekat saya ke rimba Baduy, dengan menggunakan kaos dan celana selutut ditemani tas punggung yang berisi pakaian untuk ganti akhirnya saya melangkah seorang diri ke dalam rimba Baduy. Jangankan makanan air minumpun saya tidak bawa hanya modal nekat dan yakin pasti akan sampai ke pedalaman Baduy. Akhirnya sekita pukul 07.30 saya berjalan menyusuri jalan setapak yang kiri-kananya ditumbuhi pohon-pohon besar. Di kejauhan tampak pegunungan Kendeng yang seolah-olah menyeringai siap menyambut para petualang nekat seperti saya. Suara-suara burung di kejauhan memberikan suasana hening, sesekali terdengar suara burung gagak di pucuk-pucuk pohon di ketinggian. Memasuki rimba Baduy sesekali saya berpapasan dengan suku Baduy yang membawa hasil kebunnya, seperti durian, pisang, gula aren dan lain-lain. Pada tebing-tebing tinggi tampak beberapa anggota suku Baduy sedang memanen padi. Saya melirik ke Hp saya, jam menunjukan pukul 10.30 ketika jalan yang saya tempuh menanjak dengan kemiringan hingga 750 benar-benar tanjakan yang sangat melelahkan. Ini tanjakan maut yang pernah diceritakan oleh seorang teman ketika saya

akan pergi ke sini. Tanjakan Pagelaran adalah sebuah tanjakan dengan panjang mencapai 2 KM berupa tanah liat dan sedikit bebatuan yang terbawa air ketika turun hujan. Pada tanjakan inilah biasanya para pendaki akan menyerah nan kalaupun bisa naik ke atas harus mengeluarkan energy lebih. Itulah kenapa rute ini jarang digunakan oleh masyarakat. Dengan keringat bercucuran saya mencoba untuk terus kuat sedikit-demi sedikit, tenggorokan sudah terasa kering dari tadi namun tidak ada stok air minum. Terpaksa saya harus menelan ludah banyak-banyak agar rasa haus ini tidak menghabiskan energy untuk menaklukan Baduy. Saya sempat mengambil photo di bawah pohon besar di tengah-tengah tanjakan tersebut. pemandangannya cuku eksotik dengan jurang dengan sebelah kiri yang seolah-olah siap menelan siapa saja yang terperosok ke dalamnya. Tidak ada manusia satupun yang lewat, bahkan suara dari kejauhanpun tidak terdengar sama sekali. Sepi hanya suara angin yang berhembus di antara sela -sela pepohonan yang berdaun lebat. Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni sebuah bukit kecil, permukaan tanah berupa tanah merah yang terkena air hujan menjadikannya licin sehingga memaksa saya untuk membuka alas kaki. Dari kejauhan mulai terdengar suara gemericik air mengalir, tidak salah dugaan saya sebuah sungai kecil dengan air beningnya mengalir di antara pohon-pohon besar di tepi-tepinya. Tanpa berfikir mengandung kuman atau tidak saya segera menceburkan diri ke sungai kecil itu, dengan kedua tangan yang ditangkupkan saya mengambil air tersebut untuk mengobati keringnya tenggorokan yang sedari tadi sudah melolong minta diairi. Setelah merasa kenyang saya mengelonjorkan kaki saya pada sebuah batu yang dialiri oleh air, kesegaran yang luar biasa namun perjalanan masih jauh. Saya sempat melihat Hp ternyata waktu menunjukan pukul 12.30, ini berarti saya sudah memasuki hutan Baduy lebih dari 5 jam perjalanan. Sinyal Hp hanya sisa 1 bar dan sesekali menjadi 2 bar, kondisi kritis untuk melakukan panggilan. Setelah puas menikmati sungai kecil itu saya segera melangkah lagi menyusuri jalan setapak dengan semak belukar di sisi kiri dan kanannya. Setelah melewati daerah lembah, saya berjalan di pinggiran huma (ladang) masyarakat Baduy yang berada di tengah hutan. Sempat beberapa kali insting saya diuji ketika melewati sebuah pertigaan dan perempatan, belok kiri, kanan atau lurus. Insting saya menunjukan bahwa untuk menuju pedalaman saya harus menuju arah timur dan

selatan. Maka keputusan saya adalah mencari jalan yang mengarah ke timur atau ke selatan. Kini sinyal Hp sudah tidak tampak sama sekali, ketika mencoba untuk melakukan panggilan jawaban no service berulang-ulang terdengar. Ini berarti saya sudah semakin jauh masuk ke pedalaman rimba Baduy. Kali ini insting saya diuji lagi, setelah melewati sebuah bukit kecil saya dihadapkan pada pertigaan, satu ke arah kanan yang berarti ke selatan dan yang satunya ke arah kiri yaitu ke utara. Sebenarnya insting saya mengatakan harus kea rah kanan, namun karena belum begitu yakin akhirnya saya belok ke kiri. Kurang lebih 500 meter saya mendapai sebuah tanjakan dan di ujung sana sebuah lading milik Baduy Dalam, demikian pula tampak sebuah saung (rumah jaga di huma). Tenaga saya yang sudah hampir habis memaksa saya untuk berhenti sejenak dan mencari apakah ada orang di saung tersebut. ternyata di dalam saung tersebut terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak laki-lakinya. Seorang anak tampak duduk pada sebuah dipan bamboo dengan tanpa mengenakan pakaian, sementara anak yang satu lagi memakai pakaian berwarna putih yang sudah berubah warna menjadi abu-abu dan tanpa celana. Sementara sang ibu memakai satu helai pakaian berwarna hitam yang digunakan untuk menutupi tubuhnya. Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya saya diberikan buah dukuh oleh kedua anak tersebut dengan perintah ayahnya. Walaupun watu makan siang sudah lewat namun buah dukuh yang ada saya jadikan menu makan siang saya, ditambah pula dengan pisang rebus yang disediakan oleh keluarga Baduy tersebut. sebuah menu makan siang yang tidak pernah ada tandingannya. Untuk membalas kebaikan mereka saya memberikan uang Rp 3500 untuk mereka. Jumlah yang sangat kecil namun karena persediaan keungan saya juga sangat tipis maka manurut saya jumlah tersebut cukup besar. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan dengan kembali menyusuri jalan balik tadi. Kini perjalanan saya benar-benar tepat berada di tengah hutan belantara, tidak tampak sama sekali perkampungan, yang ada adalah hutan hijau dan pohon-pohon yang sepertinya belum pernah di sentuh oleh manusia. Semak belukar yang berada di sisi kiri dan kanan jalan setapak menjadikan saya khawatir kalau-kalau ada binatang buas yang siap menerkam. Keadaan waktu itu benar-benar sangat memungkinkan seandainya ada binatang buas seperti harimau atau Panther menerkam orang yang sendirian lewat di jalan

tersebut. saya hanya bisa berjalan dan berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tenaga saya yang tadi pulih dengan buah dukuh dan pisang rebus kini sudah habis lagi. Seluruh tubuh terasa pegal-pegal dan telapak kaki ini juga sepertinya melepuh. Beberapa duri kecil sempat menusuk telapak kaki saya yang tanpa alas kaki sementara daun-daun dan ranting-ranting yang menimbulkan gatal di kaki dan tangan dengan seenaknya menyapa kulit saya. Jam di Hp saya sudah menunjukan pukul 14.30 ketika saya berada di puncak sebuah bukit, pandangan saya hadapkan ke arah timur, tampak jalan setapak yang berada di tengah semak-semak berkelok-kelok di punggung bukit yang memanjang. Ini adalah akhir dari perjalanan saya. Namun ternyata kelokan itu begitu panjang sehingga tampak seperti seseorang yang menyusuri tembok China yang baru berjalan 20 KM. saya juga sudah berjalan lebih dari 6 jam sehingga ketika melihat jalan itu sepertinya sangat jauh sekali. Dengan sisa-sisa tenaga yang saya miliki, perlahan kaki saya menyusuri jalan setapak tersebut. Membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam untuk mencapi akhir dari jalan tersebut. Perjalanan belum berakhir, di akhir jalan setapak tersebut kini terbentang hutan lebat yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan pohon enau. Jalan setapak yang tadi kering kini terasa becek dengan air di sana-sini. Perjalanan menembus rimba lebat unruk menuju perkampungan Baduy dalam kurang lebih 1 jam lagi. Kini sinyal Hp benar-benar sudah tidak ada, suasana-pun tampak semakin gelap dengan sinar matahari yang tidak sampai menembus kelebatan hutan tersebut. pada jalan setapak itu tampak beberapa bekas kaki suku Baduy yang keluar kampung untuk keperluan sesuatu. Akhirnya setelah menmpuh jarak kurang lebih 9 jam saya sampai ke perkampungan terdalam suku Baduy. Sebuah jembatan terbuat dari bamboo diikat dengan tali injuk warna hitam menjadi pintu gerbang untuk memasuki kampung Cikeusik Baduy Dalam. Kini di depan mata berjajar rapi rumah-rumah dengan panggung tinggi. Beberapa wanita tampak asyik mandi di sebelah timur jembatan sementara anak-anak kecil berlarian di sekitar kampung. Semua dari mereka menggunakan pakaian warna hitam dan putih, tidak ada warna pada pakaian mereka sebagaimana tidak ada cat pada rumah mereka. bahkan sebatang paku-pun tidak digunakan dalam pembangunan rumah tersebut.

Perlahan saya memasuki kampung dan duduk di sekitar para lelaki yang sedang menunggu kampung. Mereka semua berpakaian warna putih dan ikat kepaa putih. Seperti saya telah kembali ke zaman Pajajaran di mana masyarakat menggunakan pakaian blacu dan tidak ada tekhnologi di sini. Jangankan ember, sebatang korek api-pun tidak ada sebagaimana tidak ada jam di kampung ini. Semuanya kembali ke masa lalu dan say asedang berada di antara mereka. sekelompok masyarakat yang mengubur diri secara bersama-sama dan tidak mau dipengaruhi dan dimasuki tekhnologi. Sampai kapankah mereka akan bertahan dengan keadaan ini? Yang pasti perjalanan saya kali ini benarbenar memberikan sebuah pengalaman hidup luar biasa, menembus rimba baduy, tersesat di dalamnya dan akhirnya menemukan suku terasing yang menolak secara tegas segala bentuk modernisasi.

You might also like