You are on page 1of 22

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM PUASA RAMADHAN Sebagai umat yang beriman, kehadiran bulan ramadhan disambut dengan perasaan

bahagia penuh suka cita sebagai bulan yang penuh keberkahan, bulan Al-Quran, bulan ampunan, bulan kasih sayang, bulan doa, bulan taubat, bulan kesabaran, dan bulan pembebasan dari api neraka serta disebut pula dengan bulan pendidikan (syahru al-tarbiyah) bagi manusia. Dimaknai sebagai bulan pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran Surat AlBaqoroh ayat 183 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa Dari ayat tersebut di atas, bahwa puasa ramadhan merupakan usaha yang diniati secara sengaja untuk melakukan perubahan perilaku dari manusia beriman menjadi manusia yang bertaqwa. Nilai yang sangat mendasar dari ibadah puasa adalah meraih taqwa, taqwa merupakan suatu kesadaran pada diri seseorang yang senantiasa menghadirkan Allah Swt. kapanpun dan dimanapun berada. Allah Swt, menyediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim. Menurur Ali Abdul Wahid Wafi dalam Sukron Maksum (2009) , terdapat korelasi antara puasa dengan ketaqwaan, korelasi tersebut dapat dilihat dari empat dimensi, pertama puasa menuntut orang yang menjalankannya untuk menahan diri dari hasrat-hasrat biologis kebutuhan vital tubuh demi mengimplementasikan perintah Allah dan mendekatkan diri padaNya. Tuntutan ini hanya bisa dipenuhi dengan peran ketaqwaan, rasa takut dan ketaatan kepada Allah. Kedua, puasa tercermin dalam hal-hal negatif yang hanya diketahui Allah, tidak terlihat orang lain. Dengan demikian, orang yang berpuasa ini benar-benar tulus demi mencari ridho Allah tanpa dikotori noda-nodanya. Ketiga, orang yang sedang berpuasa ia menahan diri dari makan dan minum sehingga dapat menurunkan kekuatan tubuh sekaligus melemahkan pengaruh kekuatan ini pada seorang hamba. Ketika kekuatan dan pengaruh kekuatan ini melemah dalam diri seseorang maka nafsunya juga ikut melemah dan jiwanya bersih, maka ketaqwaannya meningkat dan jauh dari perbuatan-perbuatan maksiat. Sebagian besar perbuatan maksiat datang dari tubuh dan hawa nafsu. Keempat, puasa melatih keinginan untuk menguasai hasrat dan hawa nafsu, sehingga seseorang mendapatkan kekuatan kekebalan terhadap hasrat dan hawa nafsu ini pada saat tidak berpuasa. Disaat seseorang berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, peranan puasa tersebut sama dengan peranan plasma darah (serum) dalam melindungi tubuh. Sebagaimana halnya plasma yang bekerja memberikan daya tahan pada tubuh yang membuatnya mampu melawan jenisjenis kuman tertentu, maka puasa pun memberikan kekuatan (kekebalan) pada jiwa yang membuatnya mampu melawan hawa nafsunya. Sebagai bulan tarbiyah (pendidikan) sekurang-kurangnya ada enam nilai pendidikan yang terkandung dalam puasa ramadhan; Pertama; puasa mengembangkan kecerdasan emosi. Sesuai hakikat puasa puasa adalah menahan diri dan menahan hawa nafsu bukan membunuh hawa nafsu, puasa mendidik manusia agar dapat melakukan pengendalian diri (self controll) dan pengaturan diri (self regulation). Emosi memiliki kecenderungan yang bersifat negatif. Menurut Sigmund Freud, hawa nafsu (id) manusia lebih mengedepankan prinsip keinginan semata untuk mencapai kesenangan. Karena manusia tidak dapat mengendalikan diri baik emosi maupun nafsu, tidak sedikit manusia yang sebelumnya terhormat kemudian terjatuh karena ketidaksanggupan

mengendalikan diri. Orang yang seperti ini digambarkan dalam Al-Quran tergolong derajat yang paling rendah. Kemudian kami kembalikan manusia dalam keadaan yang serendahrendahnya. (QS. At-Tin: 5). Kecerdasan emosi juga meliputi rasa empati, motivasi diri (self motivation) dan kecakapan sosial, bergaul dan berinteraksi dengan orang lain (social skill). Ketika seseorang sedang berpuasa sama-sama marasakan haus dahaga, lapar sebagaimana dirasakan oleh orang-orang yang tidak punya atau orang miskin, dari situlah sebagai orang yang berkecukupan bahkan kekayaannya berlimpah ruah, ketika sedang berpuasa ia turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang serba kekurangan betapa penderitaan dan kesedihan yang senantiasa menyertai hidupnya. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong-kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terpanggang terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu Dengan berpuasa, manusia dididik untuk menjadi pribadi yang mau peduli terhadap sesama. Hal ini digambarkan, setiap orang yang berpuasa diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Selain berfungsi untuk berfungsi mensucikan diri sendiri (tazkiyat al-nafs), juga bermakna agar orang yang berpuasa mempunyai kepedulian terhadap orang-orang yang tidak mampu. Dengan berpuasa, umat Islam akan merasakan bagaimana penderitaan orang-orang miskin yang tidak makan dan minum. Sehingga akan lahir kepekaan sosial untuk saling berbagi bersama, menolong dan membantu orang yang membutuhkan. Selain zakat fitrah, juga diingatkan untuk mengeluarkan zakat mal (harta benda, termasuk zakat profesi). Meskipun, zakat mal tidak harus dikeluarkan pada bulan ramadhan, setidaknya umat Islam diingatkan untuk mengeluarkan kewajibannya. Selain itu, memberikan infaq dan shadaqah pada bulan ramadhan sangat dianjurkan karena memiliki pahala yang berlipat ganda. Kedua; puasa mendidik kejujuran. Orang yang sedang berpuasa atas dasar imanan wahtishaban, ia tidak akan makan dan minum serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa betapapun tidak ada orang yang melihat dan tidak ada orang yang tahu kecuali dirinya dan Allah. Dalam puasa sendiri, mendidik manusia agar menjadi orang yang jujur. Seseorang itu apakah sedang berpuasa atau tidak, yang mengetahui hanyalah dirinya sendiri dan Allah swt. Sehingga digambarkan puasa hanya untuk Allah, maka Allah sendiri yang akan memberikan pahalanya. Tentunya sejatinya kejujuran orang yang berpuasa terus dipelihara sepanjang kehidupan sehari-hari. Ketiga: puasa mendorong dan mendidik manusia agar selalu belajar dalam rangka memperoleh dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bulan pusa ramadhan ini terdapat peristiwa turunnya al-Quran (Nuzulul Quran), Alquran surat Al-Alaq: 1-5 sebagai ayat yang pertama kali diterima Nabi Muhammad Saw menjadi bukti agar manusia mau belajar. Perintah belajar, yang terkandung dalam kalimah iqra (bacalah) mengandung makna yang sangat mendalam. Melalui membaca, manusia akan memperkaya

ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dari yang belum tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa dari tidak suka sholat menjadi suka senang menjalankan sholat. Puasa meningkatkan amal ibadah. Allah menjanjikan bahwa pada bulan ramadhan, amal ibadah seseorang akan dilipatgandakan. Siapa yang tidak mau. Ibarat patokan orang dagang, sedikit modalnya, tetapi untungnya besar. Mengerjakan sholat sunah pada bulan ramadhan dihitung sama dengan shalat fardhu. Orang yang memberikan makan berbuka untuk orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Keempat, puasa mendidik kesetaraan. Dalam ibadah puasa, Islam memandang manusia memiliki kesamaan derajat. Mereka yang memiliki banyak harta, status sosial yang yang tinggi, memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau bahkan orang yang tak memiliki sepeserpun ketika sedang berpuasa , tetap merasakan hal yang sama yaitu : lapar dan haus. Puasa ramadhan memberikan pendidikan kepada kaum muslimin tentang sikap egaliter, kesetaraan dan tidak diskriminatif berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah . jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitivitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Kelima, puasa mendidik sikap disiplin. Puasa adalah ibadah paling rahasia di mata manusia, yang bisa menumbuhkan sikap disiplin diri, merasa diawasi (muraqabah) oleh Allah. Sikap ini akan memunculkan perasaan ada pengawasan diri sendiri dan saat mengawasi itu kita pun sadar bahwa kita sedang diawasi oleh Zat Yang Maha Mengetahui segala-galanya. Kita sadar bahwa sedang disorot oleh kamera Ilahi yang sangat tajam, kita akan menghindarkan diri dari bujuk rayu setan dan hawa nafsu. Pendidikan disiplin dalam berpuasa meliputi disiplin menunaikan kewajiban dan melaksanakan perintah sebagaimana perintah Allah untuk berpuasa seperti ditegaskan dalam surat al-Baqoroh ayat 183 (Kutiba alaikumusshiyam). Bagi orang berpuasa karena sakit atau sedang dalam perjalanan dibolehkan berbuka akan tetapi wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain dan bagi yang tidak kuat berpuasa diwajibkan membayar fidiah dengan memberi makan orang miskin. Disiplin dalam waktu yakni disunatkan menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktu berbuka puasa, disiplin fisik dan hukum yakni mematuhi untuk tidak makan, minum dan berhubungan suami isteri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Keenam; puasa mendidik sabar, betapapun kita merasa haus mencekik tenggorokkan dan lapar melilit perut, ketika waktu magrib belum tiba, kita tidak diperbolehkan bersentuhan dengan makan dan minuman meskipun itu halal melainkan kita harus bersabar menunggu hingga waktu berbuka tiba. Referensi: Dikompilasi dari berbagai referensi M. Syukron Maksum, Kedahsyatan Puasa, Jadikan Hidup Penuh Berkah, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2009

BEBERAPA KESALAHAN DALAM BULAN RAMADHAN Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup fatal. Jika didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam, lebihlebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan. Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya: : Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain. Kata-kata (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari). Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:

Dahulu Rasulullah sangat menjaga Syaban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa. (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar) Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.

Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? (AlBaqarah: 61)

: Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ia berkata: Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam. (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun) Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia: Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal? Jawab: Allah Subhanahu wa Taala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa. (AlBaqarah: 185) Dan Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji. (Al-Baqarah: 189) Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya. Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bidah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61) Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya. (Fatawa Ramadhan, 1/62) Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihiDan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian. beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan: Bulan itu begini, begini, dan begini serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya. Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Syaban menjadi 30 (hari). Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya): Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut. Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Taala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6) Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004. Imsak sebelum Waktunya Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun AlQur`an, maka Rabb kita berfirman dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Taala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara

syari dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:

Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.3 Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4. (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345) Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafii) dalam Fathul Bari syarah Shahih AlBukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bidah yang mungkar. Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mujamul Bida hal. 57) Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Segeralah berbuka dan akhirkan sahur. (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773) : : . : . : :

Dari Abu Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. Aisyah mengatakan: Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur? Aku menjawab: Abdullah bin Masud. Aisyah lalu mengatakan: Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Tajilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: Hadits hasan shahih.) At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafii, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur. (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur) Di antara kesalahan yang lain adalah: Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mujamul Bida, hal. 268) Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bidah. (Al-Itisham, 2/103; Mujamul Bida, hal.

268) Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Syaban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mujamul Bida, hal. 269) Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain. Wallahu alam bish-shawab.

PERHIASAN MUKMIN DI BULAN SUCI Perhiasan senantiasa dibutuhkan oleh setiap orang dalam kesehariannya: perhiasan lahiriah, maupun batin. Tanpa perhiasan, nilai seseorang di mata orang lain akan menjadi rendah. Di bulan Romadhon, seorang harus menghiasi dirinya dengan perhiasan akhlaq, yaitu adab-adab ketika di bulan Romadhon. Menjaga Sahur & Mengakhirkannya Sahur merupakan berkah (kebaikan) dunia dan akhirat kita. Sahur akan menambah kekuatan bagi orang yang berpuasa sehingga kesehatannya bisa terjaga. Selain itu, seorang dengan sahur bisa meraih pahala, karena mengikut sunnah. Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Bersahurlah, karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah. [HR. Al-Bukhoriy (1923), dan Muslim (1095)] Satu hal yang perlu dicatat bahwa bersahur sunnahnya diakhirkan sampai menjelang adzan (sekitar 15 atau 20 menit sebelum adzan shubuh), bukan dipercepat. Karenanya, kelirulah sebagian orang yang makan setelah sholat isya, atau waktu jam 12 malan, atau jam 3 malam. Perhatikan Zaid bin Tsabit -radhiyallahu anhu- berkata, Kami sahur bersama Nabi Shollallahu alaihi wasallam-, lalu beliau bangkit untuk sholat. Anas bertanya (kepada Zaid), Berapakah (waktu senggang) antara adzan dan sahur?. Zaid menjawab,

Lamanya seperti membaca 50 ayat. [HR. Al-Bukhoriy (1821), dan Muslim (1097)] Atsar ini menunjukkan bolehnya makan sampai terdengar adzan shubuh. Jika sudah terdengar, maka berhentilah makan. Ini bertentangan dengan kebiasaan kaum muslimin di Indonesia Raya, mereka enggan maka ketika sudah tiba saatnya waktu imsak walaupun belum adzan shubuh, karena berpatokan pada Jadwal Imsakiyyah yang disebarkan oleh sebagian orang jahil. Adapun di zaman Nabi -Shollallahu alaihi wasallam-, waktu imsak (menahan diri dari makan, minum, dan lainnya) adalah ketika terdengar adzan yang menunjukkan masuknya waktu sholat fardhu shubuh. Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabat. Amer bin Maimun Al-Jazariy berkata, Para sahabat Muhammad -Shollallahu alaihi wasallam- adalah orang yang paling cepat berbuka, dan paling lambat bersahur. [HR. AlBaihaqiy dalam Al-Kubro (7916)] Jadi, para sahabat cepat berbuka ketika telah melihat matahari tenggelam dengan sempurna yang menunjukkan masuknya waktu maghrib, dan menangguhkan waktu sahur sampai mereka melihat fajar shodiq yang menunjukkan masuknya waktu sholat shubuh. Memperbanyak Amalan Kebajikan Seorang muslim dalam kehidupan dunia ini berusaha memperbanyak amal sholeh, seperti

memperbanyak shodaqoh, dzikir, sholat malam, membaca Al-Quran, membantu orang, memberi makan bagi yang berpuasa. Romadhon merupakan furshoh (kesempatan) memperbanyak amal sholeh sebagaimana halnya Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- dan sahabat. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma- berkata,

Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan, apalagi di bulan Romadhon ketika ditemui oleh Jibril. Dulu Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Romadhon sampai selesai. Nabi -Shollallahu alaihi wasallammenghadapkan (mengajarkan) Al-Quran kepada Jibril. Jika beliau telah ditemui oleh Jibril alaihis salam-, maka beliau menjadi orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang terutus. [HR. Al-Bukhoriy (1803)] Dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad (2042), terdapat tambahan,

Beliau tidak dimintai sesuatu, kecuali beliau berikan. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata dalam Zaadul Maad (2/32), Diantara petunjuk beliau -Shollallahu alaihi wasallam- di bulan Romadhon, memperbanyak ibadah. Dulu Jibril alaihis sholatu was salam- mengajarkan Al-Quran kepada Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- di bulan Romadhon. Jika beliau ditemui oleh Jibril, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang berhembus. Beliau adalah manusia yang paling pemurah, apalagi di bulan Romadhon; di dalamnya beliau memperbanyal shodaqoh, berbuat baik, membaca Al-Quran, sholat, berdzikir, dan itikaf. Bersungguh-sungguh dalam Melaksanakan Berbagai Bentuk Ibadah Romadhon adalah waktu mengencangkan sarung (bersungguh-sungguh) dalam beribadah kepada Allah seperti dalam cerminan kehidupan Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabat. Mereka isi malamnya dengan sholat malam dan itikaf pada 10 akhir Romadhon di masjid-masjid. Aisyah -radhiyallahu anhu- berkata,

Dulu Rasulullah -Shollallahu alaihi wasallam- jika memasuki malam sepuluh (terakhir), maka beliau menghidupkan malam (sholat malam), membangunkan keluarganya,bersungguhsungguh, dan menyingsingkan sarung (bersungguh-sungguh). [HR. Al-Bukhoriy (2024), dan Muslim (1174)] Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah- berkata dalam Zaadul Maad (2/32), Diantara petunjuk beliau Shollallahu alaihi wasallam- di bulan Romadhon, memperbanyak ibadah. Membersihkan Mulut dengan Kayu Siwak Islam adalah agama yang menjaga kebersihan. Karenanya, Nabi -Shollallahu alaihi

wasallam- memerintahkan ummatnya bersiwak, baik saat puasa, maupun tidak. Sebagian ulama menganalogikan bolehnya bersikat gigi dengan bersiwak, sepanjang tidak masuk ke tenggorokan. [Lihat Shiyam Romadhon (hal.21) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zinu] Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Andaikan aku tidak (khawatir) memberatkan ummatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali (hendak) sholat. [Al-Bukhoriy (887), dan Muslim (252)] Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Siwak merupakan pembersih mulut, dan membuat Robb (Allah) ridho. [HR. An-Nasaiy (5), Ibnu Majah (289), dan Ahmad (7). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullahdalam Al-Irwa (66)] Abdur Rahman bin Ghonmin Al-Asyariy berkata, Aku pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal, Apakah aku boleh bersiwak sedang aku puasa? Dia menjawab, Ya. Aku berkata, Waktu mana aku boleh bersiwak? Dia jawab, Waktu mana saja kamu hendak; jika mau pagi (ya, boleh); jika mau siang (ya, juga boleh) [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (133). Atsar ini dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (2/202)] Menjauhkan Diri dari Sesuatu yang Menyalahi Hikmah Puasa Allah -Taala- berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh: 183) Jadi, hikmah disyariatkannya puasa adalah mencapai derajat taqwa. Seorang akan mencapainya jika ia menjauhkan dirinya dari dusta, berkata-kata jorok dan kotor, bertengkar, berkelahi, menghina, menonton aurat wanita (yaitu seluruh tubuh wanita), baik langsung atau lewat TV, dan gambar, dan lainnya. Orang yang melakukan hal-hal ini tak mendapatkan, kecuali penat di dunia, dan akhirat. Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Jika seorang diantara kalian berpuasa di suatu hari, maka janganlah ia janganlah ia berkatakata jorok, dan berbuat jahil. Bila ada seseorang yang mencela atau melawannya, maka hendaknya ia berkata, Sesungguhnya aku sedang puasa, sesungguhnya aku sedang puasa. [HR.Muslim (1151)] Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Barang siapa yang tidak mau meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak punya hajat (tidak peduli) ketika ia meninggalkan makan, dan minumnya. [AlBukhoriy (1804)] Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata, Bukan maknanya ia diperintahkan untuk meninggalkan puasanya. Maknanya hanya memberikan peringatan keras dari (bahaya) berkata dusta, dan sesuatu yang bersamanya. [Lihat Fath Al-Bari (4/117)] Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda, . Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya, selain lapar; terkadang seorang yang bangun (sholat) malam tidak mendapatkan dari bangunnya, selain begadang. [HR. Ibnu Majah (1690). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij AlMisykah (2014)] Menyegerakan Buka Puasa Ketika seorang telah melihat matahari tenggelam dengan sempurna, maka hendaknya ia segerakan; jangan ditunda, sekalipun belum terdengar adzan. Menyegerakan buka puasa merupakan kebaikan, karena ia adalah bentu penyelisihan ahlul Kitab yang senang mengakhirkannya. Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa. [AlBukhoriy (1957), dan Muslim (1098)] Ada dua sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang terlupakan ketika kaum muslimin berbuka, yaitu berbuka sebelum sholat maghrib, dan memakan ruthob (korma basah lagi segar), atau korma kering, atau air. Jangan sampai perut kosong sampai usai sholat maghrib. Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- juga berkata,

Rasulullah -Shollallahu alaihi wasallam- berbuka dengan ruthob (korma basah dan segar), sebelum beliau sholat. Jika tak ruthob, maka dengan tamer (korma kering). Jika tamer juga tak ada,maka beliau meneguk beberapa teguk air. [Abu Dawud (2356), dan At-Tirmidziy (696). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalamAsh-Shohihah(2840)] Memberi Buka Puasa Diantara amal sholeh yang terpuji, memberi makan, karena mengharapkan pahala di sisi Allah. Terlebih lagi di bulan Romadhon. Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, niscaya ia akan mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu; Cuma tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun. [ At-Tirmidziy (807).Hadits ini shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami (11361)] Bersemangat untuk Berpuasa & Sholat Tarawih Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

Barang siapa yang bangun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu . Barangsiapa yang berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu .. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

PUASA TIDAK SEKEDAR MENAHAN MAKAN DAN MINUM Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah taala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: . :

Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah taala berkata: Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginankeinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku. (Shahih, HR. Muslim) Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah taala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Taala. Padahal kita tahu bahwa Allah taala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda. Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah Taala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah taala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman. Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah Taala dengan meyakini bahwa Allah Taala mengetahui segala gerak-geriknya. Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah Taala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan taqdir-Nya Taala. Allah Taala berfirman:

Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan. (Az-Zumar: 10) Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah Taala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut. Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Taala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Naudzubillahi min dzalik.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah taala janjikan. Diantaranya: 1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah Taala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah Taala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun alaih) 2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah k, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada Allah Taala. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Taala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya. (Shahih HR. Al-Bukhari no. 1804) Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah Taala. Begitu pula menjauhi televisi karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. 3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu anhu:

Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa. (Shahih, HR. Muslim) Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.

Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah k. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas. Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya. Wallahu alam bish-shawab.

HADITS-HADITS PALSU DAN LEMAH YANG SERING DISEBUT DI BULAN RAMADHAN Sesungguhnya segala pujian hanya bagi Allah, kami menyanjung-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya, dan kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka sungguh dia termasuk orang yang mendapatkan hidayah, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Adapun setelah itu, bahwasanya sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi kita Muhammad shallallahu alaihi waala alihi wasallam, dan bahwasanya sejelek-jelek perkara adalah segala sesuatu yang diadakan-adakan, dan segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama ini adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. Kemudian setelah itu, ketahuilah bahwasanya perbuatan dusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan penyakit berbahaya dan sulit diobati yang telah menyebar (di tengah-tengah umat) seperti menyebarnya api pada tumbuhan yang kering. Pernyakit ini merupakan penjerumus ke dalam kebidahan, kesesatan, khurafat, menentang dalil, serta menyimpang dari jalan yang lurus dan jalan kaum muminin. Berdusta atas nama nabi shallallahu alaihi wasallam juga menyebabkan pelakunya pantas untuk mendapatkan ancaman berupa tempat duduk dari neraka.[1] Saudara pembaca sekalian, akan kami sebutkan untuk anda beberapa hadits yang dusta (palsu) atas nama nabi shallallahu alaihi wasallam dan juga hadits dhaif (lemah) yang sering disebut pada bulan yang penuh barakah ini, dengan harapan agar anda berhati-hati darinya, tidak mencampuradukkan antara al-haq dengan al-bathil, dan agar urusan (agama) anda benar-benar di atas ilmu. HADITS PERTAMA

Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadhan (keutamaannya), maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya. Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam (palsu). Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya [III/190], Abu Yala AlMushili di dalam Musnadnya [IX/180], dan selain keduanya. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:

Abu Nuaim Al-Fadhl bin Dukain mengatakan bahwa dia suka memalsukan hadits. Al-Bukhari, Abu Hatim, dan Abu Zurah mengatakan bahwa dia adalah Munkarul Hadits. Ibnu Khuzaimah mengatakan: Jika haditsnya shahih [2] Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhuat [II/103] dan juga Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah [hal. 74] menghukumi dia (Jarir bin Ayyub) adalah perawi yang suka memalsukan hadits -yakni pendusta-. Lihat Lisanul Mizan [II/302] karya Ibnu Hajar. HADITS KEDUA

Rajab adalah bulan Allah, Syaban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam (palsu). Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Bakr An-Naqqasy. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya: Thalhah bin Muhammad Asy-Syahid mengatakan bahwa Abu Bakr An-Naqqasy suka memalsukan hadits, dan kebanyakannya tentang kisah-kisah. Abul Qasim Al-Lalikai mengatakan bahwa tafsir dari Abu Bakr An-Naqqasy justru akan mencelakakan hati, tidak menjadi obat bagi hati-hati ini. Dan di dalamnya juga terdapat rawi yang bernama Al-Kisai yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai rawi yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Fath bin Al-Fawaris di dalam Al-Amali dari Al-Hasan AlBashri secara mursal. Al-Hafizh Al-Iraqi mengatakan dalam Syarh At-Tirmidzi: Ini adalah hadits dhaif jiddan (sangat lemah), dan dia termasuk hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (AlBashri), kami meriwayatkannya dari Kitab At-Targhib Wat Tarhib karya Al-Ashfahani, hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri) tidak bernilai (shahih) menurut Ahlul Hadits, dan tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab. Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhuat [II/117], Adz-Dzahabi dalam Tarikhul Islam [I/2990], dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah [hal. 95] menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [VI/202] karya Ibnu Hajar. HADITS KETIGA

Wahai sekalian manusia, sungguh hampir datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh barakah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang sunnah, barangsiapa yang dengan rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka dia seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut , dan dia merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Hadits ini adalah hadits munkar, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya [III/191], dan beliau mengatakan: Jika haditsnya shahih. Maksud ungkapan ini adalah bahwa Al-Hafizh Ibnu Khuzaimah ragu (tidak memastikan) penshahihan hadits ini karena derajat sanadnya yang rendah (tidak sampai derajat shahih), maka jangan ada seorangpun yang mengira bahwa hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Tadribur Rawi [I/89] karya As-Suyuthi. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman [III/305], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/412], dan yang lainnya. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Judan yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya: Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa dia tidak bsa dijadikan hujjah karena jeleknya hafalan dia. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia tidak bisa dijadikan hujjah. Di dalam sanadnya juga terdapat rawi yang bernama Iyas bin Abi Iyas yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya: Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak dikenal. Al-Uqaili mengatakan bahwa dia adalah rawi yang majhul (tidak dikenal) dan haditsnya tidak mahfuzh (yakni syadz/ganjil). Abu Hatim mengatakan: Ini adalah hadits Munkar. (Al-Ilal karya Ibnu Abi Hatim [I/249]). Lihat Lisanul Mizan [II/169] karya Ibnu Hajar, As-Siyar [V/207] karya Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dhaifah [II/262] karya Asy-Syaikh Al-Albani. HADITS KEEMPAT

Ketika malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluknya, ketika Allah melihat kepada seorang hamba, maka Dia tidak akan mengadzabnya selamanya, dan Allah azza wajalla pada setiap harinya memiliki seribu hamba yang dibebaskan dari neraka.[3] Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam (palsu). Di dalam sanadnya banyak rawi yang majhul (tidak dikenal) dan rawi yang dituduh berdusta yaitu Utsman bin Abdillah Al-Qurasyi Al-Umawi Asy-Syami yang dikatakan oleh para ulama di antaranya: Al-Juzajani menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), suka mencuri hadits. Abu Masud As-Sijzi menyatakan dia adalah kadzdzab. Ibnul Jauzi di dalam Al-Maudhuat [II/104], Ibnu Arraq di dalam Tanzihusy Syariah [II/146], Asy-Syaukani di dalam Al-Fawaid Al-Majmuah [hal. 85], dan yang lainnya menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [V/147] karya Ibnu Hajar. HADITS KELIMA

Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat. Ini adalah hadits dhaif, dikeluarkan oleh Al-Uqaili dalam Adh-Dhuafa [II/92], AthThabarani dalam Al-Mujam Al-Kabir [1190], dan selain mereka. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, riwayat penduduk negeri Syam dari dia adalah riwayat yang di dalamnya banyak riwayat munkar. Dalam sanadnya yang lain, terdapat rawi yang bernama Nahsyal bin Said, dan dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Ishaq bin Rahuyah dan Abu Dawud AthThayalisi menyatakan dia adalah rawi yang kadzdzab (pendusta). Di samping itu sanadnya juga terputus. Dalam sanadnya yang lain juga terdapat rawi yang bernama Husain bin Abdillah bin Dhamirah Al-Himyari yang dikatakan oleh para ulama di antaranya: Al-Imam Malik menisbahkan dia sebagai rawi yang pendusta. Ibnu Main menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), tidak ada nilainya sedikitpun. Al-Bukhari menyatakan bahwa dia adalah munkarul hadits (kebanyakan haditsnya munkar). Abu Zurah menyatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak ada nilainya sedikitpun, hinakan haditsnya (yakni yang dia riwayatkan).

Al-Hafizh Al-Iraqi melemahkan sanadnya, dan Asy-Syaikh Al-Albani melemahkan hadits ini. [As-Silsilah Adh-Dhaifah (253)]. HADITS KEENAM : Umatku ini pada bulan Ramadhan diberi lima perangai yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya: (1) Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk,(2) Ikan-ikan memintakan ampun untuk mereka sampai berbuka Ini adalah hadits dhaif jiddan (sangat lemah). Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya [II/292, 310], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/410], dan selain keduanya. Di salam sanadnya terdapat rawi yang bernama Hisyam bin Ziyad bin Abi Zaid yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai matrukul hadits (ditinggalkan haditnya). Asy-Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits dhaif jiddan (sangat lemah), sebagaimana dalam Dhaif At-Targhib Wat Tarhib [586]. HADITS KETUJUH

Sesungguhnya bulan Ramadhan itu tergantung di antara langit dan bumi, tidaklah bisa diangkat kecuali dengan zakat fitrah. Ini adalah hadits dhaif. Diriwayatkan oleh Ibnu Shishri di dalam Al-Amali dan bagian hadits ini hilang, juga diriwayatkan oleh Ibnu Syahin di dalam At-Targhib, dan Ibnul Jauzi di dalam Al-Ilal AlMutanahiyah [II/499]. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ubaid yang dikatakan oleh Ibnul JAuzi bahwa dia adalah majhul (tidak dikenal). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan setelah menyebutkan hadits ini di dalam Lisanul Mizan [V/276]: Dia adalah rawi yang tidak ada satupun yang mengikutinya. Asy-Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini di dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah (43). -Ditulis secara ringkas oleh Abu Zurah Sulaiman bin Ali bin Syihab As-Salafy-. Dan diterjemahkan secara ringkas[4] pula dari http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380588 ditambah sedikit catatan kaki dari penerjemah.

Wallahu alam bish-shawab. [1] Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka. [Muttafaqun Alaihi dari shahabat Abu Hurairah, Al-Mughirah bin Syubah, dan yang lainnya] [2] Ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa beliau tidak memastikan keshahihan hadits sebagaimana yang akan disebutkan dalam penjelasan hadits ketiga setelah ini. Wallahu alam. [3] Demikian lafazh yang tercantum dalam sumber rujukan. Namun di dalam sebagian referensi, -dengan keterbatasan pengetahuan kami-, ditemukan ada perbedaan lafazh, yaitu tentang jumlah hamba yang dibebaskan dari neraka, di referensi tersebut disebutkan berjumlah satu juta. Wallahu alam. [4] Sengaja bagian yang tidak kami terjemahkan adalah beberapa istilah muhadditsin atau istilah dalam ilmu hadits yang belum bisa kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tepat. Tetapi insya Allah tidak akan mengubah isi dan substansi pembahasan. Wallahu alam.

You might also like