You are on page 1of 41

MAKALAH DIABETES MELLITUS TIPE 2 & PENANGGULANGANNYA SECARA NUTRISI

Pembimbing dr. Rasita Sembiring

disusun oleh: Citra Aryanti Marianto Gembira Ira Hutahaean Yunita Manurung Novita Yudiana Pangaribuan 080100050 080100112 080100163 080100255 080100371

DEPARTEMEN ILMU GIZI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

ii

2012

iii

LEMBAR PENGESAHAN JUDUL : DIABETES MELLITUS TIPE 2 & PENANGGULANGANNYA SECARA NUTRISI NAMA PENULIS : Citra Aryanti Marianto Gembira Ira Hutahaean Yunita Manurung Novita Yudiana Pangaribuan 080100050 080100112 080100163 080100255 080100371

Makalah ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Gizi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, 12 Juli 2012 Disetujui, Dosen Pembimbing

iv

dr. Rasita Sembiring NIP. 19470727 197902 2 001

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Pada makalah ini, kami menyajikan sebuah topik mengenai diabetes mellitus tipe 2 serta penanggulangan penyakit ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Gizi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Rasita Sembiring atas kesediaan beliau sebagai pembimbing kami dalam penulisan makalah ini. Besar harapan kami, melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai diabetes mellitus tipe 2 semakin bertambah. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya kesehatan.

Medan, 12 Juli 2012

Penulis

vi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... ii KATA PENGANTAR.................................................................................. iii DAFTAR ISI................................................................................................. iv BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................ 1.1. Latar Belakang................................................................... 1.2. Tujuan................................................................................ 1.3. Manfaat.............................................................................. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 2.1 Definisi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus........................ 2.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus......................................... 2.3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus........................................ 2.4. Etiologi dan Patogenesis Diabetes Mellitus....................... 2.5. Diagnosa Diabetes Mellitus............................................... 2.6. Penatalaksanaan Farmakologi Diabetes Mellitus.............. 2.7. Penatalaksanaan Non-Farmakologi Diabetes Mellitus...... 2.8. Komplikasi Diabetes Mellitus............................................ 2.9. Prognosis Diabetes Mellitus............................................... 1 1 2 3 4 4 5 6 7 11 15 20 25 26 27 27 27 27 27

BAB II

BAB III METODE PENULISAN.............................................................. 3.1. Sumber dan Jenis Data....................................................... 3.2. Pengumpulan Data............................................................. 3.3. Analisa Data....................................................................... 3.4. Penarikan Kesimpulan.......................................................

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 28 4.1. Kesimpulan........................................................................ 28 4.2. Saran................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama dekade ini, penyakit tidak menular telah merajalela menggerogoti masyarakat dunia. Baik insidensi morbiditas maupun mortalitasnya terus meningkat dari tahun ke tahun memimpin ancaman terhadap kesehatan global. Insidensi penyakit tidak menular sekarang telah lebih mendominasi dibanding penyakit infeksi. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), tercatat pada tahun 2008, sekitar 63,2% kematian penyakit global disebabkan oleh penyakit non infeksi dengan jumlah kematian sekitar 35 juta orang. Sekitar delapan puluh persen angka mortalitas ini ditemukan tersebar pada kelompok dengan ekonomi menengah ke bawah. Penyakit tidak menular yang paling banyak adalah penyakit kardiovaskular, kanker, PPOK, dan diabetes mellitus (DM).1 Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang terus meningkat insidensi dari waktu ke waktu.2 International Diabetes Federation (IDF) menyatakan pada tahun 2005 terdapat 5,1% (200 juta orang) yang menderita diabetes.3 Pada tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah menjadi 285 juta orang atau 6,4% penduduk dunia menderita DM. 2 Angka ini akan terus melonjak sehingga diperkirakan pada tahun 2025, akan terdapat 334 juta orang yang mengidap DM. Menurut WHO tahun 2000, Indonesia termasuk 10 negara yang masyarakatnya paling banyak menderita diabetes yaitu sebanyak 8,4 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2030, Indonesia akan berada pada peringkat 4 pada urutan tersebut dengan sekitar 21,3 juta penduduk menderita DM.3 Prevalensi beberapa daerah rural di Bali menunjukkan prevalensi 3,9-7,2% pada 2004 dibandingkan Singaparna tahun 1995 tercatat hanya 1,1%. Pada 2006, jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap diabetes mellitus, dan hanya sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur.5 Statistik Riskesdas tahun 2007 pada 24.417 responden sampel perkotaan yang diperiksa didapatkan prevalensi nasional DM adalah 1,1% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala

sedangkan 5,7% berdasarkan hasil pengukuran gula darah. Hal ini juga menunjukkan DM, khususnya diabetes mellitus tipe 2, juga merupakan penyakit silent killer yang biasanya asimptomatik menjadikan mortalitasnya sangat tinggi.6 Mortalitas yang disebabkan oleh DM pada tahun 2002 mencapai 987.000 penduduk atau 1,7% dari seluruh mortalitas global yang menjadikan DM sebagai penyebab kematian kelima tertinggi di dunia.7 Pada tahun 2010, kematian akibat diabetes telah meningkat 5,5% dari perhitungan tahun 2007.2 Saat ini di Indonesia, DM merupakan penyakit penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dengan jumlah proporsi kematian sebesar 5,8% setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, dan kematian perinatal.8 Riskesdas tahun 2007 menyebutkan DM menyumbang 4,2% kematian dari seluruh kematian yang terjadi.6 Sekitar 80-90% kasus DM merupakan termasuk DM tipe 2. Penyakit DM tipe 2, yang sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, dapat dicegah dengan berbagai perubahan dalam pola hidup dan diet sehat. Terapi gizi, diet sehat, dan pola hidup yang baik telah diketahui dapat mengurangi resistensi insulin dan menurunkan berat badan pada penderita obese.9 MNT (Medical Nutrition Therapy) pada penderita diabetes sempat ditinggalkan karena kurangnya dasar-dasar yang mendukung. Namun, beberapa tahun ini, MNT bahkan telah menjadi salah satu terapi yang penting dalam mencegah diabetes, dan menangani penyakit, dan mencegah perkembangan komplikasi diabetes.10 Oleh karena itu, penting bagi para klinisi untuk mengetahui intervensi gizi diabetes mellitus ini. 1.2. Tujuan Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami tentang Diabetes Mellitus tipe 2 dan penanggulangannya dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

1.2.1. Tujuan Umum

1.2.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1.3. Mengetahui dan memahami definisi dan klasifikasi diabetes mellitus Mengetahui dan memahami epidemiologi diabetes mellitus Mengetahui dan memahami faktor resiko diabetes mellitus Mengetahui dan memahami etiologi dan patogenesis diabetes mellitus Mengetahui dan memahami penegakan diagnosis diabetes mellitus Mengetahui dan memahami penatalaksanaan diabetes mellitus dari segi farmakologi Mengetahui dan memahami penatalaksanaan diabetes mellitus nonfarmakologi Mengetahui dan memahami komplikasi diabetes mellitus Mengetahui dan memahami prognosis diabetes mellitus Manfaat Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai diabetes mellitus tipe 2 dan penanggulangannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti melewati. Mellitus berasal dari bahasa Latin yang berarti madu/manis. Penyakit ini ditemukan pertama sekali pada 1 tahun sebelum masehi oleh Aretaeus dan Cappadocian, diabetes mellitus saat itu masih di kenal sebagai honey sweet urine.11 Diabetes mellitus (DM) adalah hiperglikemia kronik yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak, resistensi insulin maupun disfungsi sel .12 DM dapat diklasifikasikan pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus (American Diabetes Association 2005)12

Diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) hanya mencakup sebagian kecil dari kasus diabetes mellitus. Etiologi DM tipe 1 bisa disebabkan oleh faktor genetik berupa mutasi pada reseptor HLA DR3 dan 4 maupun faktor infeksius berupa infeksi sitomegalovirus atau coxsakie virus. DM tipe 1 disebabkan gangguan

fungsi limfosit T supresor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas limfosit B yang membentuk autoantibodi yang menyerang sel islet, insulin, maupun fogrin sehingga sel terdestruksi dan menimbulkan gangguan sekresi insulin.13 Sekitar 80-90% kasus diabetes merupakan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus tipe 2 sendiri merupakan suatu penyakit multisistem dengan ciri hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Kelainan pada sekresi atau kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.14 2.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang terus meningkat insidensi dari waktu ke waktu.2 International Diabetes Federation (IDF) menyatakan pada tahun 2005 terdapat 5,1% (200 juta orang) yang menderita diabetes.3 Pada tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah menjadi 285 juta orang atau 6,4% penduduk dunia menderita DM. 2 Angka ini akan terus melonjak sehingga diperkirakan pada tahun 2025, akan terdapat 334 juta orang yang mengidap DM. Diketahui bahwa sekitar 55% penderita ini menderita diabetes mellitus tipe 2.14 Di Amerika, menurut CDC, pada tahun 2011, sekitar 23.613.000 orang di Amerika Serikat, atau 8% dari populasi, menderita diabetes melitus. Total prevalensi diabetes melitus ini meningkat sebanyak 13,5% dari 2005-2007.14 Menurut WHO tahun 2000, Indonesia termasuk 10 negara yang masyarakatnya paling banyak menderita diabetes yaitu sebanyak 8,4 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2030, Indonesia akan berada pada peringkat 4 pada urutan tersebut dengan sekitar 21,3 juta penduduk menderita DM.3 Prevalensi beberapa daerah rural di Bali menunjukkan prevalensi 3,9-7,2% pada 2004 dibandingkan Singaparna tahun 1995 tercatat hanya 1,1%. Pada 2006, jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap diabetes mellitus, dan hanya sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur.5 Statistik Riskesdas tahun 2007 pada 24.417 responden sampel perkotaan yang diperiksa didapatkan prevalensi

nasional DM adalah 1,1% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala sedangkan 5,7% berdasarkan hasil pengukuran gula darah. Hal ini juga menunjukkan DM, khususnya diabetes mellitus tipe 2, juga merupakan penyakit silent killer yang biasanya asimptomatik menjadikan mortalitasnya sangat tinggi.6 Mortalitas yang disebabkan oleh DM pada tahun 2002 mencapai 987.000 penduduk atau 1,7% dari seluruh mortalitas global yang menjadikan DM sebagai penyebab kematian kelima tertinggi di dunia.7 Pada tahun 2010, kematian akibat diabetes telah meningkat 5,5% dari perhitungan tahun 2007.2 Saat ini di Indonesia, DM merupakan penyakit penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dengan jumlah proporsi kematian sebesar 5,8 % setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, dan kematian perinatal.8 Riskesdas tahun 2007 menyebutkan DM menyumbang 4,2% kematian dari seluruh kematian yang terjadi. 2.3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Faktor risiko DM tipe 2 meliputi faktor yang tidak dapat diubah (1-2%) dan faktor yang dapat diubah (98-99%). Faktor yang tidak dapat diubah dalam penyakit ini seperti genetik, ras, etnik, riwayat keluarga diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional dan riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg. Faktor genetik yang berperan adalah mutasi pada reseptor insulin atau MODY yang telah dikelompokkan menjadi diabetes tipe lain oleh WHO dan ADA. Suku India ditemukan lebih banyak menderita DM tipe 2 dibanding suku lainnya. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi keterpaduan dengan sindroma metabolik yaitu obesitas dengan BMI 25 kg/m2, hipertensi, dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl) dan diet serta pola hidup yang kurang baik seperti kurang aktivitas fisik dan diet tinggi gula yang rendah serat.12,15,16 Faktor resiko lain yang terkait dengan resiko diabetes seperti penderita sindrom ovarium polikistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, sindrom metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah

puasa terganggu dan riwayat penyakit kardiovaskular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung, pembuluh darah arteri kaki).17

2.4.

Etiologi dan Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2 Resistensi insulin perifer, abnormalitas sekresi insulin, dan peningkatan

produksi glukosa hepar menjadi penyebab utama terjadinya hiperglikemia pada DM tipe II.11,12 Predisposisi genetik, obesitas, maupun gaya hidup mencetuskan terjadiya resistensi insulin pada jaringan perifer. Resistensi insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat diantisipasi kadarnya. Proses uptake glukosa dan glikogenesis akan terhambat. Pada keadaan awal, kadar glukosa darah tidak stabil sehingga disebut impaired glucose tolerance. Kadar glukosa darah yang terus meninggi mengakibatkan adanya proses kompensasi hiperplasia sel . Kompensasi yang mulai melemah akan menyebabkan masuknya penderita ke fase hiperglikemia sampai ke fase diabetes mellitus tipe 2. Sekresi insulin sel terus dipacu dan akhirnya sel akan kelelahan. Lama kelamaan akan terjadi disfungsi dan kerusakan sel . Sel tidak mampu lagi untuk mensekresikan insulin dan penderita masuk ke DM tipe 2 tahap lanjut. Pada penelitian disinyalir massa sel akan berkurang dan terjadi penimbunan amilin. Amilin akan bersifat patologis masuk dan mengkondensasi dalam sel . Akhirnya, DNA sel akan mengalami defragmentasi dan mengalami apoptosis.12,15,17-19

Tabel 2.2. Gen yang Berperan pada DM Tipe 220

Predisposisi Genetik

Obesitas dan Gaya hidup

Resistensi Insulin jaringan perifer

Kompensasi hiperplasia sel

Impaired Glucose Tolerance(IGT)

Hiperglikemia

Diabetes Mellitus Tipe 2(awal)

Sekresi insulin sel dipacu

Hiperinsulinemia Resistensi Insulin Disfungsi sel Sel kelelahan Catatan: Kedua patofisiologi ini dapat terjadi secara bersamaan bila terdapat faktor genetik yang mempengaruhi.

Sel rusak

Disfungsi sel

Sekresi Insulin

Diabetes Mellitus Tipe 2(akhir)

Massa sel berkurang/atropi

Penimbunan amilin

Amilin menjadi patologis

10

Amilin kontak dengan membran sel

Amilin masuk ke dalam sel

Amilin mengkondensasi kromatin

DNA mengalami defragmentasi

Apoptosis

Gambar 2.1. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 212,15,17,19 Insulin bekerja dengan berikatan dengan insulin reseptor kinase pada membran plasma. Substrat dari reseptor kinase (Insulin receptor substrate) akan mengalami fosforilasi oleh fosfor pada beberapa bagian yang menyebabkan adanya kaskade sinyal seperti translokasi transporter glukosa pada permukaan sel, sintesa glikogen, protein, mRNA, dan DNA nukleus.21,22 Pada resistensi insulin, terjadi satu atau lebih mekanisme molekuler yang memblok sinyal insulin. Salah satu molekul yang menghambat sinyal insulin adalah PTP1B.23 Fosforilasi serin/threonin IRS1 juga diketahui dapat menghambat kerja IRS1 sebagai substrat dalam aktivitas tirosin kinase sehingga akan mempengaruhi sinyal insulin.20

11

Pada obesitas, terjadi peningkatan NEFA (Non-Esterized Fatty Acid) dan sitokin inflamasi yang dilepaskan jaringan adiposa viseral. Hal ini juga akan mempengaruhi kaskade sinyal insulin. NEFA akan menghambat metabolisme glukosa yang distimulasi oleh insulin pada otot skeletal dan merangsang glukoneogenesis pada hati. NEFA juga mengaktifkan PKC yang akan meningkatkan kadar DAG. Hal ini akan mengaktivasi inflammatory kinase inhibitor kB kinase (IKK) dan c-jun N-terminal kinase, dan meningkatkan fosforilasi serin/treonin IRS1 dan mengurangi sinyal IRS1 seperti yang disebutkan sebelumnya.24 TNF- juga diketahui meningkatkan lipolisis yang akan meningkatkan NEFA dan menghambat jalur sinyal insulin.20

Gambar 2.2. Mekanisme Kerja Insulin dan Faktor yang Mempengaruhi Sinyal Insulin20

2.5.

Diagnosa Diabetes Mellitus

2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

12

Gejala-gejala utama pasien DM tipe 2 adalah polifagia, polidipsia, dan poliuria. Selain itu, terdapat gejala lain seperti penurunan berat badan, mudah lelah, kebas atau mati rasa. Perhatikan riwayat penyakit pasien sebelumnya. Misal, garis keturunan, riwayat GDM, pernah melahirkan bayi > 4kg. 12 Pada pemeriksaan fisik, bila terjadi gangguan pada organ vital dapat menjadi penanda adanya komplikasi kronik akibat DM.12,25 2.5.2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan dengan alat bantu dapat menggunakan Glucowatch prinsip iontophoresis atau the Minimed device menggunakan prinsip kateter untuk mengukur KGD pada cairan usus. Pemeriksaan dengan alat bantu lainnya yaitu menggunakan spektofotometer untuk mengukur KGD dengan metode GOD-PAD, larutan darah dihomogenkan dengan vorteks dan diwarnai dengan aminoantipirin.9

1. Pemeriksaan darah: Pemeriksaan definitif yaitu pemeriksaan kadar gula darah (KGD) baik dengan metode oksidasi reduksi maupun enzimatik.12 KGD yang diukur dapat berupa KGD puasa (8-12 jam puasa) untuk diagnosis pasti, KGD post prandial (2 jam untuk orang biasa) untuk mengukur resistensi insulin, dan KGD sewaktu dilakukan untuk penjagaan awal pada penderita yang diduga DM sebelum dilakukan pemeriksaan yang sungguh-sungguh dipersiapkan. Pemeriksaan laboratorium lainnya untuk diabetes adalah HbA1C untuk prediksi KGD 3 bulan ke depan dan menentukan risiko komplikasi.26 KGD Puasa dilakukan dengan 8-12 jam puasa. KGD Post Prandial (2 jam untuk orang biasa, 3 jam untuk pemeriksaan GDM) digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam hal penyimpanan dan pemecahan glukosa.26

Tabel 2.3. Range Nilai KGD Puasa dan 2 Jam PP26 No Jenis Pemeriksaan Nilai normal 1 KGD Puasa(Nucther) 70-110 mg/dl 60-100 mg/dl 60-100 mg/dl

Keterangan Orang Dewasa Whole Blood Anak-anak

13

KGD 2 jam setelah makan (Post Prandial)

30-80 mg/dl < 140 mg/dl/2 jam < 120 mg/dl/2 jam

Bayi baru lahir Orang Dewasa Whole Blood

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75gram/kgBB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Tabel 2.4. Interpretasi OGTT dan FPG11

14

Gambar 2.3. Algoritma Pemeriksaan KGD25,27

Dalam keadaan normal, Hb yang dikeluarkan sumsum tulang tidak mengandung glukosa. Pengukuran HbA1C digunakan untuk mengukur KGD 3 bulan ke depan. Yang diperiksa pada HbA1C adalah tingkat ikatan gula pada HbA (umur eritrosit 120 hari/3 bulan). Nilai normalnya adalah 4-6%, 6-7% dalam batas toleransi, mungkin DM tanpa komplikasi. Apabila ditemukan >8%, menandakan adanya resiko komplikasi. Setiap penurunan 1% kadar HbA1C, menurunkan resiko gangguan mikrovaskuler 25%, menurunkan resiko komplikasi lain dan kematian 21%.26 Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.27 2. Pemeriksaan Urin

15

Pemeriksaan glukosa urin digunakan untuk memonitor KGD, biasanya pada pasien yang diberi suntikan insulin. Pemeriksaan untuk mengukur jumlah glukosa dalam g/24 jam dengan menggunakan reagen Benedict. Tabel 2.5. Interpretasi Pemeriksaan Glukosa Urin27 Negatif(-) Tidak ada perubahan warna, tetap biru sedikit kehijauan Positif 1(+) Warna hijau kekuningan dan keruh(terdapat 0,5-1% glukosa) Positif 2(++) Warna kuning keruh(terdapat 1-1,5% glukosa) Positif 3(+++) Warna jingga, sperti lumpur keruh(terdapat 2-3,5% glukosa) Positif 4(++++) Warna merah keruh(terdapat > 3,5% glukosa) Pemeriksaan immunoserologi (RIA, Elisa, EIA) yang dapat dilakukan pada penderita DM tipe 2 adalah RIA, ELISA, dan EIA. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa insulin dan C-peptida. Masa hidup C-peptida lebih lama sehingga pemeriksaan C-peptida lebih mudah. Diagnosis diabetes tipe 2 dapat ditegakkan bila ditemukan 1 atau lebih kriteria dibawah ini:28
HbA1c > 6.5% Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/L) Oral glucose tolerance test-glukosa 2 jam setelah makan 200 mg/dl (11.1 mmol/L)

2.5.3. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.27

16

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. (Lihat skema langkah-langkah diagnostik DM pada bagan 1). Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.27 2.7. Tatalaksana Diabetes Mellitus Tipe 2 Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan sebagai berikut.27 A. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Adapun beberapa indikasi pemakaian obat hipoglikemik oral.17 seperti, tindakan umum yang dilakukan bagi penderita diabetes berupa diet dengan pembatasan kalori, olah raga, berhenti merokok, tidak efektif menurunkan glukosa darah pada penderita diabetes tipe 2, diabetes yang terjadi sesudah umur 40 tahun, diabetes kurang dari 5 tahun, memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari, dan diabetes mellitus tipe 2, berat normal atau lebih.27 Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:27 1. Pemicu Sekresi Insulin (golongan sulfonilurea dan glinid) Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2.7.1. Terapi Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

17

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 2. Penambah sensitivitas terhadap insulin Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. 3. Penghambat glukoneogenesis Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer terutama pada pasien obesitas. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. 4. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Acarbose bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosadi usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. 5. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

18

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Berbagai obat yang masuk golongan DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-IV sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang pelepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. Tabel 2.6. Obat-obat Hipoglikemia Oral yang ada di Indonesia27

B. 1.

Terapi Suntikan Insulin Insulin diberikan secara subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar

gula darah dalam batas normal sepanjang hari yaitu 80-160 mg% setelah makan. Insulin dapat segera diberikan dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria.27

19

Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, diabetik ketoasidosis, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, Stroke), diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan terapi gizi medis, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.27 Berdasarkan mula dan lama kerjanya, insulin dapat dibagi menjadi beberapa tipe: Tabel 2.7. Jenis-Jenis Insulin27 Jenis Insulin Onset Ultra Short Acting 0 0,25 jam Short Acting 0,5-1 jam Intermediate 1-4 jam Long Acting 4-6 jam Tabel 2.8. Dosis Insulin27 Kadar Gula Darah < 140 mg/dL 140-200 mg/dL 201-300 mg/dL 301-400 mg/dL > 400 mg/dL 2. untuk Konsentrasi Puncak 1-2 jam 2-4 jam 6-10 jam 18 jam Durasi Kerja 2-4 jam 6-8 jam 16-24 jam 24-36 jam

Dosis Insulin Belum memerlukan insulin 2 IU 5 IU 10 IU 12 IU

Agonis GLP-1 (Glucagon like peptide-1) Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru pengobatan DM. Agonis GLP-1

dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel -pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.27

20

B. Terapi Kombinasi Terapi dengan obat hipoglikemik oral kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga obat hipoglikemik oral dari kelompok yang berbeda, atau kombinasi obat hipoglikemik oral dengan insulin.27 Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.27

Gambar 2.4. Algoritma Terapi Diabetes Melitus Tipe 227 Target: HbA1c 6,5 7,0 %; glukosa darah puasa < 110 130 mg/dL; glukosa darah 2 jam PP < 140 180 mg/dl

21

Gambar 2.5. Algoritma Terapi Kombinasi untuk Diabetes Mellitus Tipe 227 2.7.2. Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi diabetes mellitus meliputi diet, aktivitas fisik (olahraga), dan edukasi.29 Terapi ini dapat dilakukan sebagai komplementer terapi farmakologi maupun terapi tunggal awal penatalaksanaan DM. Bila dalam waktu 3-6 bulan, terapi non farmakologi belum menunjukkan perbaikan, terapi farmakologi harus segera dilakukan.30 Tujuan terapi non farmakologi adalah menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah, menurunkan dan mempertahankan kadar glukosa darah pada kadar normal, profil lipid pada kadar normal, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, memperbaiki sistem koagulasi darah, mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi kronik akibat diabetes mellitus, dan empertahanakan kebutuhan nutrisi penderita diabetes mellitus.31 Untuk melakukan perencanaan menu diet pada pasien diabetes mellitus, pertama yang harus dilakukan adalah menghitung kebutuhan kalori normal. Pada pasien obesitas, dapat digunakan berat badan ideal dalam perhitungan jumlah kalori untuk diet. Kebutuhan kalori total dapat dihitung dengan menggunakan rumus Cerra (1998) dengan mengalikan kebutuhan kalori basal dengan faktor aktivitas dan faktor stres atau menggunakan rumus Hill (1992) atas jumlah

22

kebutuhan kalori basal, jumlah energi diet/pencernaan makanan, energi untuk beraktivitas, dan faktor stress.32 Penderita diabetes mellitus yang obesitas harus menurunkan berat badannya terlebih dahulu. Target penurunan berat badan adalah IMT < 23 kg/m 2 dan lingkar pinggang kurang dari 31 inch untuk wanita dan kurang dari 35 inch untuk pria.33 Diet puasa total maupun puasa setengah tidak dianjurkan untuk penderita diabetes mellitus. Diet kalori rendah juga tidak dianjurkan karena ditemukan dapat menyebabkan refeeding syndrome. Obat obesitas direkomendasikan bila BMI > 27 kg/m2.34 Diet obesitas yang dianjurkan pada penderita diabetes mellitus adalah diet rendah karbohidrat tinggi lemak dan diet rendah lemak tinggi karbohidrat. Diet meal replacement dapat menjadi selingan pada kedua diet tersebut. 35 Penelitian menujukkan diet rendah karbohidrat menurunkan BB lebih baik dibanding diet rendah lemak, kadar trigliserida menurun, HDL meningkat, namun LDL tetap tinggi.36 Pada follow-up 12 bulan pada pasien diabetes mellitus, ditemukan bahwa diet rendah sedang karbohidrat (30-40% dari energi total) dan diet rendah lemak tinggi karbohidrat menunjukkan efek penurunan berat badan, penurunan total kolesterol, LDL, trigliserida, dan pendurunan HbA1c yang sama. Namun, pasien yang melakukan diet rendah karbohidrat (20-30% dari energi total) menunjukkan penurunan yang lebih signifikan dan pada diet ini terdapat peningkatan HDL. 37 Kedua diet ini hanya dianjurkan dilakukan maksimal 1 tahun mengingat ketidakseimbangan nutrisi yang akan dialami pasien.37 Pada penderita diabetes mellitus yang tidak obesitas, komposisi makronutrien dapat dilakukan dengan pilihan 68% karbohidrat, 20% lemak, 12% protein atau 40-50% karbohidrat,30-35% lemak, 20-25% protein. Pola makan sama seperti biasanya yaitu makan pagi, makan siang, makan malam, disertai 2 selingan jajanan atau bahkan 3 bila terapi farmakologi sudah dimulai.37 Syarat-syarat jenis makronutrien dan mikronutrien tetap harus mengikuti diet yang dianjurkan untuk diabetes mellitus yang disebut medical nutrition therapy for diabetes mellitus (MNT). Menurut penelitian, pasien yang melakukan

23

MNT untuk diabetes mellitus akan menunjukkan penurunan 1-2% HbA1c dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan dan penurunan 15-25 mg/dL kolesterol dalam waktu 3-5 bulan. Bila dalam kurun waktu 3-6 bulan MNT tidak menunjukkan hasil seperti di atas, maka terapi farmakologi harus segera dilaksanakan bersamaan dengan terapi non farmakologi.38 Karbohidrat yang dibutuhkan per hari menurut RDA adalah 130 g. diet rendah karbohidrat tinggi lemak telah ditemukan berhasil menurunkan KGD puasa sebesar 28 g/dL. Walaupun begitu, keamanan dari diet ini belum dapat dikonfirmasi secara pasti.39 Karbohidrat untuk penderita DM dianjurkan berupa karbohidrat dengan beban glikemik yang rendah. Beban glikemik adalah hasil perkalian antara indeks glikemik dengan jumlah karbohidrat. Jadi, sumber karbohidrat yang dianjurkan hendaknya memiliki indeks glikemik yang rendah misalnya karbohidrat kompleks (gandum, kacang-kacangan, pasta, roti, apel, jeruk, susu). Selain itu, cara penyajian atau pemrosesan makanan harus diperhatikan agar tidak mengubah indeks glikemik makanan.40 Alternatif sumber karbohidrat lain yaitu sukrosa dan bahan pemanis buatan seperti kalium asesulfam aspartam, neotam, sakarin, dan sukralosa. Bahan pemanis buatan dapat menjadi alternatif yang baik karena bersifat rendah kalori dan mengenyangkan. Total maksimum pemanis buatan yang dinajurkan untuk dikonsumsi adalah di bawah 50 mg/kgBB/hari. Fruktosa, walaupun memiliki indeks glikemik rendah, tidak dianjurkan untuk menjadi substitusi sukrosa karena konsumsi > 20% dari kebutuhan energi total dapat menimbulkan diare dan meningkatkan trigliserida. Begitu juga dengan gula alkohol seperti manitol, sorbitol, silitol, yang hanya sebagian atau bahkan tidak dapat diabsorpsi oleh usus halus sehingga hanya mengandung sedikit kalori, ditemukan bahwa konsumsi terlalu banyak dapat menimbulkan flatulensi, diare, dan gangguan usus lainnya.41 Komposisi lemak pada diet seimbang untuk pasien DM yaitu 20-35% dari kebutuhan energi total. Konsumsi lemak trans harus seminimal mungkin atau dihentikan karena karena lemak trans dapat langsung diubah menjadi kolesterol. Lemak yang paling dianjurkan adalah asam lemak tidak jenuh rantai pendek

24

seperti yang terdpaat pada minyak zaitun, minyak bawang, dan minyak kacang. Asam lemak tidak jenuh rantai pendek dianjurkan mendominasi konsumsi lemak yaitu 10-20%. Asam lemak tidak jenuh rantai panjang yaitu omega 3 juga dianjurkan karena ditemukan dapat menurunakan kadar trigliserida. Konsumsi dianjurkan 7-10% yang dapat diperoleh dari ikan berlemak. Konsumsi asam lemak jenuh harus dibatasi dengan maksimal 10% per hari yaitu seperti jeroan, otak, dan kuning telur. Kadar kolesterol makanan juga harus diperhatikan agar tidak melebihi 300 mg per hari. Pada meta analisis, restriksi konsumsi asam lemak jenuh < 7-10% per hari dan restriksi kolesterol < 300 mg per hari menurunkan 1013% kadar kolesterol total, 12-16% kadar LDL, dan 8% trigliserida.12,31,42 Komposisi protein biasanya 15-20% dari energi total per hari atau 0,8-1 mg/kgBB/hari. Pada penelitian ditemukan bahwa konsumsi protein > 20% dari energi total per hari dapat meningkatkan respon serum insulin. Namun, diet ini hanya boleh dikonsumsi dalam jangka waktu yang pendek karena meningkatakn risiko albuminuria di mana komplikasi diabetes kronik yang paling sering terjadi adalah gangguan fungsi ginjal. Pada pasien diabetes dengan komplikasi kardiovaskular, sumber protein hewani diganti dengan sumber protein nabati.43 Kadar garam pada pasien diabetes mellitus, khususnya yang menderita hipertensi, dianjurkan untuk dikurangi menjadi 2,4-6 g/hari. Pada penelitian ditemukan bahwa hal ini dapat menurunkan tekanan darah 5/2 mmHg.44 Konsumsi serat sebagai sumber sterol sangat dianjurkan karena dapat menurunkan gastric emptying time, menghambat hidrolisis dan absorpsi karbohidrat sehingga menimbulkan kekenyangan. Asupan serat yang dianjurkan adalah 30-50 g/hari yang setara dengan 4-5 porsi sayuran dan buah.31,45 Vitamin dan mineral harus cukup sebagai antioksidan untuk mencegah aterosklerosis lebih lanjut pada penderita diabetes. Sumber vitamin dan mineral dianjurkan melalui makanan, bukan melalui suplemen yang dapat menimbulkan efek toksik. Menurut FDA, kromium dan beberapa jenis herbal dapat menurunkan resistensi insulin tetapi dalam beberapa penelitian, kromium menunjukkan hasil yang positif palsu.41

25

Air dikonsumsi secukupnya sesuai dengan kadar air yang hilang baik dari insensible water loss, feses, maupun urin. alkohol dianjurkan untuk dihentikan dan bila tidak memungkinkan dapat dibatasi 10-15 g per hari. Minuman bergula juga harus diperhitungkan yaitu hendaknya tidak melebihi 10% dari kebutuhan energi total.46 Olahraga akan meningkatkan translokasi GLUT4 ke membran plasma melalui 5-AMP-kinase sehingga akan meningkatkan sensitivitas dan penggunaan insulin. Olahraga juga ditemukan dapat meningkatkan HDL, menurunkan LDL, dan menurunkan sekitar 0,45-0,66% HbA1C. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga sebanyak 3-5 kali semingu dengan waktu 20-60 menit ditambah 5-10 menit periode pemanasan. Tipe olahraga berupa olahraga aerobik (berjalan, jogging, bersepeda) dan olahraga ketahanan (angkat besi 10-15 kali) dengan intensitas VO2max 50-85%. KGD harus tetap dimonitor agar tidak terjadi hipoglikemia akibat olahraga yang terlalu berat.47

Gambar 2.6. Sinyal Insulin dan Exercise dalam Stimulasi GLUT47 Edukasi untuk pasien diabetes mellitus meliputi penyuluhan tentang segala sesuatu yang berhubungan tentang diabetes mellitus. Misal, keterampilan menggunakan alat pengukur KGD, dapat mengayomi diri sendiri dalam hal kesadaran akan terapi nutrisi dan olahraga, dan mengajarkan cara menyuntik insulin yang benar.12

26

2.8.

Komplikasi Diabetes Mellitus Komplikasi dari diabetes melitus dapat menyerang semua sistem organ

tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.
a. Komplikasi Makrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes.Perubahan aterosklerotik ini serupa dengan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi ateerosklerotik. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA (Transient Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer.48
b. Komplikasi Mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler yang dapat terjadi berupa retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler.49 Nefropati Diabetik terjadi apabila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal ajkan mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.50

27

c. Neuropati Diabetikum

Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. Neuropati diabetik yang lainnya adalah neuropati otonom (mononeuropati) neuropati pada sistem saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang mengenai hampir seluruh sistem organ tubuh. Ada lima akibat utama dari neuropati otonom antara lain kardiovaskuler, pencernaan, perkemihan, kelenjar adrenal dan disfungsi seksual.49

2.8.

Prognosis Diabetes Mellitus Prognosis diabetes mellitus tergantung pada beberapa hal dan tidak

selamanya buruk. Jika pasien cepat didiagnosa dan diobati maka akan memperlambat terjadinya komplikasi pada pasien sehingga morbiditas dan mortalitasnya menurun. Namun, jika telat didiagnosa dan diobati, maka tingkat mortalitas dan morbiditasnya akan meningkat karena komplikasi mudah terjadi.50

28

BAB 3 METODE PENULISAN 3.1. Sumber dan Jenis Data Data-data yang dipergunakan dalam makalah ini bersumber dari berbagai referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. 3.2. Pengumpulan Data Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku ilmiah, tesis, jurnal ilmiah, majalah dan artikel ilmiah, serta data dari internet. Data-data tersebut dikaji dan dipilih berdasarkan teknik critical apraisal yakni validitas, hasil, dan relevansinya dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau analisis pembahasan. 3.3. Analisis Data Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara sistematis, mulai dari latar belakang hingga analisis dan sintesis. Teknik analisa data yang dipilih adalah analisis deskriptif argumentatif dengan tulisan yang bersifat deskriptif, menggambarkan tentang gambaran radiologi abses hati. 3.4. Penarikan Simpulan Setelah proses analisis data, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori yang relevan serta pembahasannya. Selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.

29

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Diabetes mellitus (DM) adalah hiperglikemia kronik yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak, resistensi insulin maupun disfungsi sel . 2. Indonesia termasuk 10 negara yang masyarakatnya paling banyak menderita diabetes yaitu sebanyak 8,4 juta orang. DM merupakan penyakit penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dengan jumlah proporsi kematian sebesar 5,8 % setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, dan kematian perinatal. 3. Faktor risiko DM tipe 2 meliputi faktor yang tidak dapat diubah (1-2%) dan faktor yang dapat diubah (98-99%). Faktor yang tidak dapat diubah dalam penyakit ini seperti genetik, ras, etnik, riwayat keluarga diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi keterpaduan dengan sindroma metabolik yaitu obesitas dengan BMI 25 kg/m2, hipertensi, dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl) dan diet serta pola hidup yang kurang baik seperti kurang aktivitas fisik dan diet tinggi gula yang rendah serat. 4. Resistensi insulin perifer, abnormalitas sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa hepar menjadi penyebab utama terjadinya hiperglikemia pada DM tipe II. Adanya predisposisi genetik, obesitas, dan gaya hidup tertentu mencetuskan resistensi insulin. Munculnya gejala disebabkan deposisi amyloid yang menyebabkan apoptosis sel beta. 5. Gejala-gejala utama pasien DM tipe 2 adalah polifagia, polidipsia, dan poliuria. Gejala lain yang dapat ditemukan seperti penurunan berat badan, mudah lelah, kebas atau mati rasa. Diagnosis diabetes tipe 2 dapat ditegakkan bila ditemukan 1 atau lebih: HbA1c yang meningkat,

30

pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl, tes OGTT 2 jam setelah makan 200 mg/dl. 6. Terapi farmakologi dapat diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis digunakan obat oral dan bentuk suntikan atau keduanya. 7. Terapi non-farmakologi diabetes mellitus meliputi diet, aktivitas fisik (olahraga), dan edukasi. Terapi ini dapat dilakukan sebagai komplementer terapi farmakologi maupun terapi tunggal awal penatalaksanaan DM. Bila dalam waktu 3-6 bulan, terapi non farmakologis belum menunjukkan perbaikan, terapi farmakologis harus segera dilakukan. Pada penderita diabetes dengan obesitas, dilakukan penurunan berat badan terlebih dahulu. Pada penderita diabetes mellitus yang tidak obesitas, komposisi makronutrien dapat dilakukan dengan pilihan 68% karbohidrat, 20% lemak, 12% protein atau 40-50% karbohidrat,30-35% lemak, 20-25% protein 8. Komplikasi yang dapat terjadi berupa makrovaskular, mikrovaskular atau pun neuropati diabetik. 9. Prognosis diabetes mellitus tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Semakin cepat dilakukan tatalaksana akan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas. 4.2. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terutama mengenai penanggulangan DM tipe 2 secara nutrisi. Dengan mengetahui pemberian asupan makanan yang sesuai, diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Hendaknya para peneliti dan kalangan akademis lebih menaruh perhatian pada DM tipe 2 agar morbiditas penyakit ini dapat teratasi.

31

DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. 2008. 2008-2013 Action Plan for the Global Strategy for the Prevention and Control of Noncommunicable Diseases. Available http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597418_eng.pdf. [Accessed 2012 July 10]. 2. World Diabetes Foundation. 2011. Diabetes Facts. Available from: http://www.worlddiabetesfoundation.org/composite-35.htm. [Accessed 2012 July 11]. 3. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. 2004. Global Prevalence of Diabetes Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes 27(5): 1047-53.
4. World Health Organization. 2003. The World Health Report 2003.. Available

from:

from: http://www.who.int/whr/2003/en/whr03_en.pdf. [Accessed 2012 July 11]


5. Perhimpunan Rumah Sakit. 2008. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup

Berperan

Besar

Memicu

Diabetes.

Available

from:

http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=914&tbl=kesling. [Accessed 2012 July 10]. 6. Riskesdas. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007. Available 7. from: http://kesehatan.kebumenkab.go.id/data/lapriskesdas.pdf. [Accessed 2012 July 11]. Roglic G, Unwin N, Bennet PH, Mathers C, Tuomilehto J, Nag S, et al. 2005. The Burden of Mortality Attributable to Diabetes. Diabetes Care 28(9): 2130-35. 8. Departemen Kesehatan. 2010. Diabetes Mellitus Dapat Dicegah. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1314-diabetesmelitus-dapat-dicegah.html. [Accessed 2012 July 11]. 9. Rendell M. 2004. Advances in Diabetes for The Millenium: Nutritional Therapy of Type 2 Diabetes. MedGenMed 6(3): 10.

32

10. Pastors JG, Warshaw H, Daly A, Franz M, Kulkarni K. 2002. Medical Nutrition Therapy in Diabetes Management. Diabetes Care 25(3): 608-613. 11. Porth, CM. 2010. Essentials of Pathophysiology: Concepts of Altered Health States 3rd edition. Porth: Lippincott Williams & Wilkins; 805. 12. Powers, AC. 2008. Diabetes Mellitus. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th edition. United States of America: McGraw-Hill; 776, 2252, 2276, 2279-2281, 2170 13. Silbernagl S & Lang F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Germany: Georg Thieme Verlag; 287. 14. Ligaray K and Isley M. 2012. Diabetes Mellitus type 2. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#a0156. 2012 July 10]. 15. Alpers, C.E., Anthony, D.C., Aster, J.C., Crawford, J.M., Crum, C.P., Girolami, U.D., et al., 2005. Robbins and Cortran Pathologic Basic of Diseases 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 776-780. 16. Soegondo, S & Gustaviani R. 2006. Sindroma Metabolik. Dalam Sudoyo, W.A., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1849-1851. 17. Soeyono, S. 2006. Diabetes Mellitus di Indonesia. Dalam Sudoyo, W.A., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1852-1855. 18. Kahn R. 2000. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Diabetes Care. 23(3): 381-9.
19. Hull RL, Westermark GT, Westermark P, & Kahn SE. 2004. Islet Amyloid:

[Accessed

A Critical Entity in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes . J Clin Endocrinol Metab 89(8): 3629-43. 20. Stumvoll M, Goldstein BH, van Haeften TW. 2005. Type 2 Diabetes: Principles of Pathogenesis and Therapy. Lancet 365: 1333-46.

33

21. Fritsche L, Weigert C, Haring HU, Lehmann R. 2008. How Insulin Receptor Substrate Proteins Regulate The Metabolic Capacity of The LiverImplication for Health and Disease. Curr Med Chem. 15(13): 1316-29. 22. Goodyear L. 2011. Insulin Receptor Signalling. Available from: http://www.cellsignal.com/reference/pathway/Insulin_Receptor.html. [Accessed 2012 July 11]. 23. Goldstein BJ. 2003. Protein-Tyrosine Phosphatases and The Regulation of Insulin Action. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, eds. Diabetes mellitus: a fundamental and clinical text. Philadelphia: Lippincott: 255-68. 24. Griffin ME, Marcucci MJ, Cline GW, Bell K, Barucci N, Lee D, et al. Free fatty acid-induced insulin resistance is associated with the activation of protein kinase C theta and alterations in the insulin signaling cascade. Diabetes 1999; 48: 1270-1274. 25. Gustavani, R. 2006. Diagnosa dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam Sudoyo, W.A., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1857-1859. 26. Sutedjo, A.Y. 2006. Pemeriksaan Darah dan Pemeriksaan Urin. Dalam: Pang Warman. Buku Saku Mengenal Penyakit melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books; 114-117,160-161,165,166.
27. Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia (Perkeni).

2011. Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011 . Jakarta: PERKENI; 6-30. 28. Riethof M, Flavin PL, Lindvall B, Michels R, OConnor P, Redmon B, Retzer K, et al. 2012. Institute for Clinical Systems Improvement. Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes Mellitus in Adults. Available from: http://www.icsi.org/diabetes_mellitus__type_2/management_of_type_2_diab etes_mellitus__9.html. [Accessed 2012 July 12]. 29. Harrison, Tinsley R. 2005. Endocrinology and Metabolism: Diabetes Mellitus. Dennis L. Kasper, Longo, Braunwald. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. New York: McGraw-Hill; 2158-2282.

34

30. Bantle JP, Rosett JW, Albright AL, Apovian CM, Clark NG, Franz MJ, et al., 2008. Nutrition Recommendations and Interventions for Diabetes: A Position Statement of the American Diabetes Association. Diabetes Care, 33 (1): 6178. 31. Mahan KL, Stump SE. 2003. Krauses Food, Nutrition, and Diet Therapy. Ed 11. Saunders: United States. 32. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Utama; 132-150. 33. Barba C, Manila M, Sforza TC, Cutter J, Hill ID, Deurenberg P, et al. 2004. Appropriate Body-Mass Index for Asian Populations and Its Implications for Policy and Intervention Strategies. Lancet 363:157163, 2004 34. Alberti KG, Zimmet P, Shaw J. 2005. The Metabolic Syndrome: A New Worldwide Definition. Lancet 366:10591062. 35. Dyson PA, Kelly T, Deakin T, Duncan A, Frost G, Harrison D, et al. 2011. Diabetes UK evidence-based nutrition guidelines for the prevention and management of diabetes. Diabetes Medicine, 28: 1282-1288. 36. Stern L, Iqbal N, Seshadri P, Chicano KL, Daily DA, McGrory J, et al. 2004. The Effects of Low-Carbohydrate versus Conventional Weight Loss Diets in Severely Obese Adults: One-Year Follow-Up of A Randomized Trial. Ann Intern Med 140:778785.
37. Asplund K, Lindahl B, Ranlow E, Axelsen M, Lindblom J, Toft E, et al.

2010. Dietary Treatment of Diabetes: A Systematic Review. Swedish Council on Health Technology Assessment, 1-27. 38. Pastors JG, Warshaw H, Daly A, Franz M, Kulkarni K. 2002. The Evidence for The Effectiveness of Medical Nutrition Therapy in Diabetes Management. Diabetes Care 25:608613. 39. Virella MF, Jenkins CH. Nutrition in Diabetes Mellitus. In: Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. Handbook of Nutrition and Food. 2nd ed. CRC Press: United States of America; 786-806. 40. Sukmaniah S. 1991. Diet untuk Penderita Diabetes Mellitus. Cermin Dunia Kedokteran 176 (1): 222-225.

35

41. Wolever T, Barbeau MC, Charron S, Harrigan K, Leung S, Madrick B, et al. 2003. Guidelines for The Nutritional Management of Diabetes Mellitus in the New Millennium: A Position Statement by The Canadian Diabetes Association. Canadian Journal of Diabetes Care, 23 (3): 3-16. 42. World Health Organization. 2003. Diet, Nutrition, and The Prevention of Chronic Disease: Report of A Joint WHO/FAO Expert Consultation. World Health Organization, 30-46. International Diabetes Federation, 2005. Global guideline for type 2 diabetes. International Diabetes Federation 1: 22-25.
43. Steyn NP, Mann J, Bennett PH, Temple N, Zimmet P, Tuomilehto, et al.

2005. Diet, Nutrition, and The Prevention of Type 2 Diabetes. Public Health Nutrition 7(1A): 147-165. 44. Whitworth JA, Chalmers J. 2004. World Health Organization-International Society of Hypertension (WHO/ISH) Hypertension Guidelines. Clin Exp Hypertension 26: 747-52. 45. Centers for Disease Control and Prevention. 2003. National diabetes fact sheet. Centers for Disease Control and Prevention , 1-7. Available from: http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/factsheet11.htm. [Accessed 2012 July 10]. 46. Mann JI, De Leeuw I, Hermansen K, Karamanos B, Karlstrom B, Katsilambros N, et al. 2004. Evidence-based nutritional approaches to the treatment and prevention of diabetes mellitus. Nutr Metab Cardiovasc Dis 14(6):373-94. 47. American Diabetes Association. Diabetes mellitus and exercise. Diabetes Care 2002; 25(1 suppl): 5054. 48. Diabetes Control and Complications Trial Research Group. 1993. The Effect of Intensive Diabetes Treatment on The Development Progression of LongTerm Complications in Insulin-Dependent Diabetes Mellitus. The Diabetes Control and Complication Trial. N Engl J Med 329(14): 978-986. 49. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. 1998. Intensive blood glucose control with sulphonylureas or and insulin compared with conventional treatment and risk of complication in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 352 (9131): 837-853.

You might also like