You are on page 1of 154

Kesehatan Mental

Bagian Petama Ruang Lingkup Kesehatan Mental

A.

Pengertian Kesehatan Mental Secara etimologis, kata mental berasal dari kata latin, yaitu mens atau mentis artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental).1 Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andary dalam Yusak, ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.2 Sebagaimana seorang dokter harus mengetahui faktor-faktor penyebab dan gejala-gejala penyakit yang diderita pasiennya. Sehingga memudahkan dokter untuk mendeteksi penyakit dan menentukan obat yang tepat. Definisi mereka berdua menunjukan bahwa kondisi mental yang sakit pada masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dulu hal-hal yang mempengaruhi kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene mental. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut : 1. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis dan psikosis). Pengertian ini terelihat sempit, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian, pengertian ini banyak mendapat sambutan dari kalangan psikiatri3. Kembali pada istilah neurosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tetapi juga dipengaruhi
1

Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.9 Lihat Ibid., h.9-10 Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 142

Kesehatan Mental oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4 2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. 3. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). 4. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, maupun menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.5 Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.6 Menurut H.C. Witherington, kesehatan mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama7 Kesehatan Mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang yang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Jiwa (mental) yang sehat keselarasan kondisi fisik dan psikis seseorang akan terjaga. Ia tidak akan mengalami kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental juga memiliki kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun spiritualnya. Selanjutnya bila dicermati aktivitas manusia, ada yang selalu bergembira dan berbahagia dan ada pula yang selalu mengeluh, merasa gelisah dan bersedi hati, tidak cocok dengan orang lain, tidak bersemangat serta tidak dapat memikul tanggung jawab. Gejala-gejala yang menggelisakan itulah yang mendorong para ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki faktor apa yang
4
5

Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah,1999), h.48 Lihat Sururin, op.cit., h. 144 6 Lihat dalam Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 154 7 Ibid.

Kesehatan Mental menyebabkan tingkah laku orang itu berbeda-beda, kendatipun kondisinya sama. Dan juga apa penyebabnya ada orang yang tidak mampu merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Usaha inilah menurut Zakiah Darajat menimbulkan satu cabang disiplin ilmu dari ilmu jiwa, yaitu kesehatan mental (Mental Hygiene).8 Memberikan definisi kesehatan mental tidaklah mudah. Dalam psikologi mutakhir, kesehatan mental oleh berbagai aliran dimasukkan ke dalam suatu cabang psikologi yang terkenal dengan nama Psikologi Kepribadian atau Psikologi Syahsiyah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh manusia yang secara keseluruhan dapat membedakan dengan orang lain. Ciri-ciri tersebut nampak dalam pola-pola tingkah laku, keinginan-keinginan dan cara-cara untuk memuaskannya. Atau berbagai polapola tingkah laku yang digunakan oleh seseorang untuk bergerak terhadap perangsang-perangsang yang dihadapinya, baik pola-pola itu merupakan ekspressi melalui wajah atau gerak jasmaniah ataupun merupakan ucapan kata-kata ataupun cara berfikir. Kadang juga kesehatan mental itu diartikan dengan kebahagiaan di dunia.9 Kesehatan mental adalah terjemahan dari Hygiene dan mens atau mentis. Hygiene berasal dari kata Hygeia bahasa Yunani yaitu nama dewi kesehatan Yunani yang artinya kesehatan mental. Sedang mental berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian kesehatan mental adalah jiwa yang sehat. Ilmu kesehatan mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks.10 Seseorang dikatakan sehat mentalnya bila terjalin secara harmonis antara fungsi-fungsi psikisnya dengan fungsi-fungsi pisiknya. Atau orang yang memiliki ketenteraman, kedamaian, ketenangan dan kestabilan hidupnya. Hal-hal yang dilakukan dalam kesehatan mental adalah agar seseorang mendapatkan keseimbangan jiwa, menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik, serta mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian. Kesemuanya itu bertujuan agar seseorang memiliki dan membina jiwa yang sehat, berusaha mencega kepatahan jiwa, mencegah berkembangnya macam-macam penyakit mental dan sebab

Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung,, 2005 ), h. 11 Lihat Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental (Cet.I; Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 1986),h.

295
10 Lihat Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Cet.VI; Bandung, CV Mandar Maju, 1989), h.3-4

Kesehatan Mental musabab timbulnya penyakit tersebut serta mengusahakan penyembuhan dalam stadium permulaan Kesehatan mental adalah salah satu cabang dalam psikologi. Oleh karena itu pembicaraan tentang teori-teori dalam kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dengan teori-teori dalam psikologi. Dalam kaitan ini akan dikemukakan beberapa teori yang menyangkut mental manusia diantaranya; Teori Psikoanalisa, Behaviorisme, Eksistensialisme dan Teori Humanistic.11 a. Teori Psikoanalisa Para penganut Psikoanalisa berpendapat bahwa kesehatan mental yang wajar terletak pada kesanggupan Aku yang Agung untuk membuat sintesis antara berbagai alat-alat diri dan tuntutan masyarakat. Atau pertarungan yang timbul antara alat-alat ini dan tuntutan-tuntutan realitas (Freud). Tetapi mereka berpendapat bahwa manusia hanya sanggup mencapai sebagian saja kesehatan mentalnya, sebab manusia tidak sanggup mncapai kebahagiaan dan kemajuan sekaligus.12 Freud berpendapat bahwa kesehatan mental tentang manusia dimana manusia bertarung terus menerus dengan kandungan-kandungan si Dia dan tuntutan-tuntutan realitas dengan si Aku harus menyelesaikan pertarungan itu. Akulah yang bertanggung jawab untuk memuaskan dorongan-dorongan si Dia tanpa menentang tuntutan-tuntutan realitas.13 Selanjutnya beliau mengatakan bahwa perkembangan mental adalah belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksikan tegangan yang timbul karena individu menghadapi berbagai hal yang dapat menjadi sumber tegangan (tension) dan hal yang dapat menimbulkan tegangan atau rasa tidak enak. Sering kali individu belajar, karena ingin mengurangi atau menghilangkan rasa tidak enak. Itu dengan cara bertingkah laku seperti orang lain. Inilah yang dimaksud dengan identifikasi.14 Kemudian Psikoanalisa sering ditafsirkan dalam tiga batas pengertian. Pertama, sebagai suatu konsep toritik dalam ilmu perilaku yang menjelaskan struktur dan dinamika kepribadian manusia. Kedua, suatu bentuk psikoterapi bagi gangguan jiwa. Ketiga, sebagai suatu teknik untuk menelusuri pikiranpikiran dan perasaan-perasaan tak sadar manusia. Jadi konsep kepribadian dalam teori ini diawali dengan pendapat Sigmund Freud tentang kehidupan manusia yang dikuasai oleh alam ketidaksadarannya.15 Seorang tokoh dari aliran ini bernama Carl Gustav Jung juga semula murid Freud tidak berbicara tentang mental kepribadian, tetapi berbicara
Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987), h. 77 Hasan Langgulung, op.cit., h. 18-19. 13 Ibid. h. 19 14 Sumardi Suryabrata, op.cit., h. 78 15 Lihat Elmira N. Sumintradja Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi, Kritik dan Titik Temu dengan Psikologi Islami dalam Metodologi Psikologi Islami (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 23
12 11

Kesehatan Mental tentang psike. Adapun yang dimaksud dengan psike oleh Jung ialah segala peristiwa psikis, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Jadi Psike dapat diartikan kepribadian. Menurut Jung kepribadian itu sendiri terdiri dari dua alam yaitu : alam sadar dan alam tidak sadar. Kesadaran mempunyai dua kelompok yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa yang keduanya mempunyai peranan masing-masing dalam orientasi manusia terhadap dunianya.16 b. Teori Behaviorisme Behaviorisme dianggap sebagai reaksi terhadap teori psikoanalisa. 17 Penganut aliran ini berpendapat bahwa mempelajari pengalaman pribadi tentang asosiasi bebas atau tafsiran mimpi tidak akan memberikan fakta-fakta ilmiah yang dapat diterima, karena sukar membuktikan kebenaran persyaratan ini. Aliran behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat kontradiktif dengan psikoanalisa yang memandang manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Teori ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang menjadi inti dari psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulus lingkungan yang bisa membentuk perilaku manusia dangan sesuka hati lingkungan eksternal itu.18 Kebiasaan merupakan konsep dasar pada teori tentang tingkah laku, yaitu proses kepribadian (personality). Seseorang memperoleh kebiasaankebiasaannya, yakni ia mempelajarinya. Sedang kepribadian itu adalah susunan tertentu yang terdiri dari kebiasaan. Susunan itulah yang menentukan tingkah laku seseorang dan membedakan kepribadian dari orang lain. Teori ini menguatkan pentingnya faktor lingkungan yang dihadapi seseorang dalam hidupnya.19 Pendeknya teori ini memandang manusia sebagai satu susunan tertentu yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dan dipelajarinya. Olehnya itu ditekankan pentingnya faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh seseorang dalam perkembangannya, dan kegoncangan emosi dan sosial adalah hasil dari salah satu faktor dari: (a) kegagalan mempelajari atau memperoleh tingkah laku yang sesuai, (b) mempelajari pola-pola tingkah laku yang tidak sesuai atau penyakit, dan (c) seseorang menghadapi suasanasuasana pertarungan yang menghendaki ia untuk membedakan dan mengambil keputusan dimana ia merasa tidak sanggup mengerjakannya. Jika seorang telah memperoleh kebiasaan yang sesuai dengan budaya masyarakatnya dan menolong untuk hidup dengan dinamis, aktif dan berhasil dengan orang-orang lain, maka ia memiliki kesehatan mental yang wajar.
Sumardi Suryabrata, op cit., h. 111 Mike W.Martin, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a Therapeutic Culture (Oxford: Oxford University Press, 2006), h.16 18 Lihat Rismiyati.E.Koesma Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep dalam Metodologi.. op.cit.,h.56. 19 Hasan Langgulung,op.cit.h. 23.
17 16

Kesehatan Mental Sebaliknya, jika ia gagal memperoleh kebiasaan atau ia memperoleh kebiasaan yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang disetujui oleh masyarakat, maka kesehatan mentalnya adalah buruk atau goncang emosinya.20 Dengan demikian dapat dipahami bahwa teori behaviorisme sangat mengagungkan pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan pasif, karena tergantung dari perlakuan yang diberikan lingkungan kepadanya. c. Teori Eksistensialisme Kesehatan mental menurut teori ini adalah agar manusia menikmati wujudnya. Manusia menikmati wujudnya berarti ia mengetahui arti wujud ini, menyadari potensi-potensinya, dan bahwa ia bebas untuk mencapai apa yang ia kehendaki dengan cara yang dipilihnya. Begitu juga ia menyadari segi-segi kelemahannya dan menerimanya. Ia menyadari sifat-sifat hidup yang mengandung pertentangan-pertentangan. Wujudnya pertentangan ini salah satu ciri-ciri kehidupan ini, ia berhasil mencapai susunan nilai-nilai tertentu yang akan menjadi bingkai kehidupannya, dan akhirnya ia kembali dari pengasingannya kepada ketentramannya. Manusia tidak sanggup mencapai itu, kecuali jika ia menghadapi dirinya dengan jujur dan amanah atau berdiri telanjang di depan cermin tanpa pakaian kepalsuan atau sarung dosa.21 Jadi aliran ini sangat pesimistis, sebab mereka menyadari kesulitan yang dihadapi manusia untuk mencapai kesehatan mental yang wajar, terutama dalam kehidupan yang tidak punyakeamanan dan ketentraman. d. Teori Humanistik (kemanusiaan) Teori Humanistik merasa kurang puas dengan eksplanasi tentang perilaku manusia menurut psikoanalisa dan behavorisme. Kritiknya adalah mengapa konsepsi tentang perilaku manusia harus dibangun pemahamannya melalui studi manusia yang tidak sehat mental dan manusia yang dapat dibentuk seenaknya seperti tanah liat oleh lingkungannya? Bukankah manusia adalah mahkluk yang bebas menentukan perkembangan dirinya menjadi sehat mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga ia dapat berperilaku optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya?22 Selanjutnya teori ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan seluruh kompleksitasnya dan segi pandangan ini diringkaskan dengan istilah personologi, yang diciptakan oleh Murray (1983) untuk memberi usahausahanya sendiri dan usaha orang-orang lain yang memiliki keprihatinan mendalam untuk memahami individu secara penuh. Secara konsisten ia

20 21

Lihat Ibid.,h.24. Ibid.,h.30-31 dan Rasmiyati,op.cit.,h. 58. Elmira M.Sumintradja,op.cit.,h.41.

22

Kesehatan Mental menekankan lainnya dalam pribadi berhubungan dengan fungsi yang lain. 23 Manusia tidak dapat menyatu dengan alam, mereka terisolasi dan kesepian. Agar dapat survive, manusia harus menyatu dengan orang lain.24 Jadi teori humanistik tidak menolak mentah-mentah konsep yang mendukung mazhab atau teori sebelumnya, tetapi sebenarnya berupaya untuk mengintegrasikan segi yang bermanfaat, bermakna, dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan. Definisi-definisi kesehatan mental yang diungkap secara umum dengan menggunakan berbagai konsep, sebagian menggunakan istilah penyesuaian dan yang lain menggunakan penyesuaian terpadu, dan ada pula yang menggunakan konsep keterpaduan. Keterlepasan dari teori-teori tersebut di atas, ada yang memberikan definisi kesehatan mental sebagai penyesuaian sosial seseorang, seperti pendapat Boehm (1955) yang mengatakan bahwa kesehatan mental adalah keadaan dan paras dinamisme seseorang dari segi sosial yang membawa kepada pemuasan kebutuhan-kebutuhan. Jadi yang dimaksud kesehatan mental di sini adalah keadaan seseorang yang menentukan dinamisme sosialnya. Definisi ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang hidup bersama dengan orang lain karena bertujuan memuaskan berbagai kebutuhannya. Semakin sanggup seseorang hidup bersama dengan orang lain dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya tanpa membangkitkan kemarahan mereka, maka itulah tanda baiknya penyesuaiannya dan selanjutnya menjadi bukti kesehatan mentalnya yang wajar.25 Selanjutnya ada beberapa tokoh yang memberikan definisi kesehatan mental sebagai berikut: Kilander (1965) mengatakan kesehatan mental seseorang dapat diukur dengan mengetahui sejauh mana ia dapat memberi pengaruh pada lingkungannya, kesanggupan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang akan membawa kepada pemuasan pribadi, kemampuan dan kebahagiaan yang wajar bagi seseorang. Shoben (1965) berbeda sedikit dengan apa yang dikemukakan oleh Kilander. Ia berbicara tentang penyesuaian terpadu yang ditentukan oleh berbagai sifat seperti kesanggupan menjaga diri, rasa tanggung jawab pribadi, rasa tanggung jawab sosial, menaruh perhatian pada berbagai nilai-nilai terutama nilai-nilai demokrasi.26
Sumadi Suryabrata,op.cit.,h.126. Paulus Budiharjo,op.cit.,h.62. 25 Lihat Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah (Kaheran: Dar an-Nahdah alArabiyah, 1977), 167 dan lihat Hasan Langgulung, op.cit., h. 299. 26 Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality (New York: The Guilford Press, 2005), h.167
24 23

Kesehatan Mental Al-Qoussy (1970) mengatakan bahwa kesehatan mental adalah perpaduan antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kesanggupan menghadapi krisis-krisis psikologis yang biasa menimpa manusia dan dengan perasaan positif terhadap kebahagiaan dan kepuasan. Istilah perpaduan dimaksudkan pengumpulan unit-unit kecil ke dalam jumlah besar untuk membentuk unit yang lebih besar. Di sisi lain pemaduan yang dimaksud beliau adalah penyesuaian yang sempurna di antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dan bebasnya manusia dari pertarungan dari dalam. Bebasnya seseorang dari pertarungan kerisauan dan keragu-raguan yang diakibatkannya, dan kemampuannya menyelesaikan pertarungan itu bila ia terjadi, itulah syarat pertama kesehatan mental. Itu dapat dicapai melalui falsafah agama atau sosial atau moral. . . Gejala-gejala kesehatan mental pada definisi ini bukan hanya terbatas pada penyesusian psikologis seseorang, sebab fungsi kehidupan psikologis dengan berbagai unsurnya adalah penyesuaian seseorang dengan suasana lingkungan sosial dan pisik, dan tujuannya adalah pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusia.27 Definisi ini menonjolkan pentingnya seseorang berpegang pada falsafah agama, sosial, atau moral supaya ia dapat merasakan kebahagiaan. Dan orang yang betul-betul bahagia adalah yang memiliki pribadi yang kuat, selalu mengejar tujuan yang mulia dan kebutuhan-kebutuhan serta keingingankeinginannya tidak bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan. Magarius (1974) menyatakan berbagai gejala aktivitas psikologis, yang dianggap merupakan tanda-tanda kesehatan mental yang wajar. Menurut beliau kesehatan mental adalah kesediaan seseorang menerima kesanggupannya secara realistik, kenikmatan seseorang menikmati hubunganhubungan sosialnya, kejayaan seseorang dalam pekerjaannya dan kerelaannya terhadap kerja tersebut, kegembiraan hidup secara umum, kesanggupan menghadapi kekecewaan-kekecewaan hidup sehari-hari, kesanggupan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif, ketetapan sikap, kesanggupan memikul tanggung jawab pekerjaan dan keputusan serta keseimbangan emosi.28 Maslow (1972) menyatakan indikator terhadap kesehatan mental yang wajar adalah bahwa orang itu adalah manusia yang sempurna sebab ia bertalian dengan sejumlah nilai-nilai, di antaranya adalah kejujuran kepada diri sendiri dan kepada orang lain, keberanian menyatakan apa yang dianggap benar, bekerja keras, menunaikan kerja yang harus ditunaikannya, mengetahui siapa dirinya, apa keinginannya, apa yang disukainya, mengetahui apa yang
27 28

Lihat Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah (Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970), h. 274 Lihat Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- Amal al-Madrasi (Kairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1974), h.

73- 80.

Kesehatan Mental baik baginya . . . dan menerima itu semua tanpa menggunakan cara membela diri yang bertujuan merusak fakta yang sebenarnya.29 Zakiah Darajat memberikan pengertian kesehatan mental sebagai berikut: 1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) 2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana dia hidup dan berinteraksi. 3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa 4. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan diri. 30 Jadi dalam hal ini Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis yang dimiliki oleh seseorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupankehidupannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga sehat baik secara mental maupun secara sosial. Dari pemikiran tersebut di atas, maka muncul pula pengertian mengenai kesehatan dalam beragam ungkapnya. Pengertian sehat atau kesehatan menurut dokter mungkin sedikit banyak akan berbeda dengan perawat, fisioterapi, apoteker atau tenaga paramedis lainnya, meskipun mereka bersama-sama mengabdi pada bidang kesehatan. Adapun pengertian tentang kesehatan dalam indeks buku The International Dictionary Of Medicine and Biology (Freund,1991) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu kondisi yang dalam keadaan baik dari suatu organisme atau bagiannya yang dirincikan oleh fungsi yang normal dan tidak adanya penyakit. WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan (Smeet, 1994). Pembahasan mengenai konsep kesehatan lebih difokuskan pada model-model kesehatan yang muncul. Model-model kesehatan itu antara lain model barat dan model timur. Menurut Eisenberg (Helman, 1990) yang dimaksud dengan model adalah cara merekonstruksi realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam
29 Lihat Maslow, The Further Reaches of Human Nature (New York: The Viking Press, 1972), h. 45-51 dan lihat dalam Hasan Langgulung, op.cit. h. 304 30

Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 6

Kesehatan Mental yang pada dasarnya bersifat chaos. Model kesehatan barat dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu model biomedis atau sering disebut sebagai model medis ( Joesoet, 1990; Freund, 1991; Helman, 1990; Tamm, 1993), model spikiatris (Helman, 1990) dan model psikosomatis (Tamm, 1993) sedangkan model kesehatan timur umumnya disebut model kesehatan holistik (Joesoet, 1990) yang menekankan pada keseimbangan (Helman,1990). Model biomedis (Freud, 1991) memiliki 5 asumsi. 1.Terdapat perbedaan yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada suatu bagian tubuh tertentu. 2.Bahwa penyakit dapat direduksi pada gangguan fungsi tubuh, entah secara biokimia atau neurofisiologi.31 3.Keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang secara potensial dapat didefinisikan. 4.Melihat tubuh sebagai suatu mesin. 5.Konsep bahwa obyek yang perlu diatur dan dikontrol. Asumsi ini merupakan kelanjutan dari asumsi bahwa tubuh adalah suatu mesin yang perlu mendapatkan pemeliharaan. Model psikosometik menyatakan penyakit berkembang melalui saling terkait secara berkesinambungan antara faktor fisik dan mental yang saling memperkait satu sama lain melalui jaringan yang kompleks. Holisme dalam arti yang sempit melihat organisme manusiawi sebagai suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan saling tergantung. Sementara menurut arti luas pandangan holistis menyadari bahwa sistem tersebut merupakan suatu bagian integral dari sistem-sistem yang luas dimana organisme individu berinteraksi terus menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya yaitu tetap terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang dikatakan sehat tidak cukup dilihat hanya dari segi fisik, psikologis dan sosial saja, tapi juga harus dilihat dari segi spiritual dan agama. Inilah yang kemudian disebut Dadang Hawari sebagai dimensi sehat itu, yaitu : Bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak hanya sebatas pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauh mana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problem hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.32 Istilah kesehatan mental sendiri memperoleh pengertian yang beragam seiring perkembangannya: 1. Sebagai kondisi atau keadaan sebagaimana
Robert H.Frank, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in Competitive Environments (Oxford: Princeton University Press, 2004), h. 7 Lihat Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Cet.XI; Jakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), h. 413- 415
32 31

10

Kesehatan Mental gambaran di atas. 2. Sebagai ilmu pengetahuan cabang dari ilmu psikologi yang bertujuan mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin dan menghindarkannya dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Seseorang dapat berusaha memelihara kesehatan mentalnya dengan menegakkan prinsipprinsipnya dalam kehidupan, yaitu : 1. Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif. 2. Memiliki interaksi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi problema hidup termasuk stress. 3. Mampu mengaktualisasikan secara optimal guna berproses mencapai kematangan. 4. Mampu bersosialisasi dan menerima kehadiran orang lain 5. Menemukan minat dan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan 6. Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya. 7. Mawas diri atau memiliki kontrol terhadap segala kegiatan yang muncul 8. Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab atas perbuatanperbuatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kesehatan mental itu dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri, 2. Aktualisasi diri, 3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis 4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri), 5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada serta 6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri. B. Sejarah Kesehatan Mental Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan aspek sangat penting bagi setiap fase kehidupan manusia. Kesehatan mental terentang dari yang baik sampai dengan yang buruk. Setiap orang, mungkin dalam hidupnya mengalami kedua sisi rentangan tersebut, kadang-kadang keadaan mentalnya sangat sehat, tetapi di lain waktu justru sebaliknya. Pada saat mengalami masalah kesehatan mental, seseorang membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut. Kesalahan mental dapat memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari atau masa depan seseorang termasuk anak-anak dan remaja. Merawat dan melindungi kesehatan mental anak-anak merupakan aspek yang sangat penting yang dapat membantu perkembangan anak yang lebih baik di masa depan. Untuk mengetahui sejarah kesehatan mental, berikut ini akan diuraikan mulai dari masa pra ilmiah sampai dengan sekarang. 1. Era pra Ilmiah a. Kepercayaan Animisme Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitif animeisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya 11

Kesehatan Mental bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebut. Orang yunani percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban. b. Kemunculan Naturalisme Perubahan sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-467). Dia dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan Naturalisme, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh, dewa, sistim atau hantu sebagai penyebab sakit. Dia menyatakan: Jika anda memotong batok kepala, maka anda akan menemukan otak yang basah, dan memicu bau yang amis, akan tetapi anda tidak akan melihat roh, dewa atau hantu yang melukai badan anda. Ide naturalistik ini kemudian dikembangkan oleh Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau pembedahan hewan. Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan naturalistik ini tidak dipergunakan lagi di kalangan orang-orang Kristen. Seorang dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat politik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat di tembok dan di tempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih, badan mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Akhirnya, di antara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri. 33 2. Era Ilmiah (Modern) Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme (ir-rasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya Psikologi Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika itu Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota staf medis di rumah sakit Penisylvania. Di rumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai lunaties (orang-orang gila atau sakit ingatan). Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut dikurung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekalisekali digugur dengan air.
33

Lihat dalam Ibid., h. 387-388

12

Kesehatan Mental Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orangorang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan (selama 13 tahun), yaitu pada tahun 1796 di rumah mental. Ruangan ini dibedakan untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesenambungan, Rush mengadakan pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan. 34 Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu Body Of Knowledge berikut gerakan-gerakan yang teorganisir. Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioner), selama 40 tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi. Usahanya mula-mula diarahkan pada para pasien mental di rumah sakit. Kemudian diperluas kepada para penderita gangguan mental yang dikurung di rumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini merupakan faktor penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana dia layak mendapat pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad 19. Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul. Selama dekade 19001909 beberapa organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti: American Social Hygiene Associatin (ASHA), dan American Federation for Sex Hygiene.35 Perkembangan gerakan-gerakan dibidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasajasanya itulah, dia dinobatkan sebagai The Founder Of The Mental Hygiene Movement. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental, dipengaruhi juga oleh pengalamannya sebagai pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau
34 35

Lihat dalam Maslow, op.cit., h. 313 Lihat dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005), h. 7-8

13

Kesehatan Mental pengobatan yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini terjadi, karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya. Setelah dua tahun mendapatkan perawatan di rumah sakit dia mulai memperbaiki dirinya, dan selama tahun terakhirnya sebagai pasien, dia mulai mengembangkan gagasan untuk membuat suatu gerakan untuk melindungi orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila ( insane). Setelah dia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya), pada tahun 1908 di menindaklanjuti gagasannya dengan mempublikasikan sebuah tulisan autobiografinya sebagai, mantan penderita gangguan mental, yang berjudul A Mind That Found It Self. Kehadiran buku ini disambut baik oleh Willian James, sebagai seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia memberikan koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau treatment yang diberikan kepada para pasien di rumah sakit-rumah sakit yang dipandangnya kurang manusiawi. Disamping itu dia melupakan reformasi terhadap lembaga yang diberikan perawatan gangguan mental. Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah atau disembuhkan. Selanjutnya dia merancang suatu program yang bersifat nasional yang bertujuan: 1. Mereformasi program perawatan dan pengobatan terhadap orang-orang pengidap penyakit jiwa. 2. Melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat agar mereka memiliki pemahaman dan sikap yang positif terhadap para pasien yang mengidap gangguan atau penyakit jiwa. 3. Mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang kasus-kasus dan pengobatan gangguan mental. 4. Mengembangkan praktek-praktek untuk mencegah gangguan mental.36 Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan masyarakat, terutama kalangan para ahli, seperti William James dan seorang Psikiatris ternama, yaitu Adolf Mayer. Begitu tertariknya terhadap gagasan Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama Mental Hygiene. Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah Mental Hygiene adalah Mayer. Belum lama setelah buku itu diterbitkan, yaitu pada tahun 1908, sebuah organisasi pertama, didirikan, dengan nama Connectievt Society For Mental Hygiene. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 19 Februari 1909 didirikan National Community Society For Mental Hygiene , 37di sini Beers diangkat menjadi sekretarisnya.
36

Lihat Ibid., h.9 Bandingkan dengan Maslow, op.cit., h. 317-318

37

14

Kesehatan Mental Organisasi ini bertujuan: Melindungi kesehatan mental masyarakat, menyusun standar perawatan para pengidap gangguan mental, meningkatkan studi tentang gangguan mental dalam segala bentuknya dan berbagai aspek yang terkait dengannya. Menyebarkan pengetahuan tentang kasus gangguan mental, pencegahan dan pengobatannya dan mengkoordinasikan dengan lembaga-lembaga perawatan yang ada. Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch mengemukakan bahwa pada masa dan pasca Perang Dunia I, gerakan kesehatan mental ini mengkonsentrasikan programnya untuk membantu mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan kesehatan mental semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi berbagai bidang kegiatan, seperti: pendidikan, kesehatan masyarakat, pengobatan umum, industri, kriminologi dan kerja sosial. Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika Presiden Amerika Serikat menandatangani The National Mental Health Act. Dokumen ini merupakan bluprint yang komprehensif, yang berisi program-program jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat. Beberapa tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut itu meliputi: Meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian, investigasi, eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis dan pengobatan. Membantu lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan koordinasi antara para peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan kegiatan dan mengaplikasikan hasil-hasil penelitiannya. Memberikan latihan terhadap para personel tentang kesehatan mental, dan mengembangkan serta membantu negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan pengobatan terhadap para pengidap gangguan mental38 Pada tahun 1950 organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu dengan berdirinya National Association For Mental Health yang bekerjasama dengan tiga organisasi swadaya masyarakat lainnya, yaitu National Committee For Mental Hygiene, National Mental Health Foundation, dan Psychiatric Foundation. Gerakan kesehatan mental ini terus berkambang, sehingga pada tahun 1075 di Amerika Serikat terdapat lebih dari seribu tempat perkumpulan kesehatan mental. Di belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui The World Federation For Mental Health dan The World Health Organization.39
38 Lihat dalam Yusuf Syamsu, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama (Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004), h. 5-8 39

Bandingkan dengan Maslow,op.cit., h. 323-324

15

Kesehatan Mental Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran Anda mungkin ingat, pada tahun 2002, sebuah film berjudul A Beautiful Mind John Nash peraih Nobel matematika yang juga penderita schizophrenia.40 Asal tahu saja, film itu lalu dikritik habis-habisan oleh beberapa pengamat film dan perusahaan film pesaing, gara-gara dianggap mengabaikan sisi homoseksualitas dan kecenderungan anti-Semit yang ada pada diri Nash. Sementara itu, penulis biografi Nash, Sylvia Nasar, meskipun membelanya namun ia malah menulis bahwa karya-karya tulis anti-Semit dari Nash lebih merupakan wujud dari sakit jiwanya ketimbang kefanatikannya, dinominasikan meraih piala Oscar. Kisah dalam film tersebut adalah karya Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya (yang tampak membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra negatif dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap orang yang mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis biografi Nash sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai praktek yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial, atau setidaknya disembuhkan. Nasib Orang Gila dalam Keseharian. Dalam kehidupan sehari-hari kisah lain tentang orang gila, orang yang mengalami masalah kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis, schizophrenia, stress, depresi, dan sebagainya seringkali mengalami nasib yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang sebagai penyakit yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash. Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat berkeliaran di pinggiran jalan dan menjadi obyek cemohan. Mereka berada dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan. Orang-orang gila ini seringkali dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka, masyarakat menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya, setidaknya mengasingkannya secara tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kotakota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap sebagai sampah yang mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa rasa prikemanusiaan sedikitpun.
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan haluninasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Lihat selengkapnya dalam Dadang Hawari, op.cit., h.592-594
40

16

Kesehatan Mental Perlakuan buruk masyarakat dan aparat pemerintah terhadap orangorang yang disebut gila ini ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kalangan akademis dan orang-orang terpelajar yang menempuh studi bidang kedokteran. Atas nama penelitian ilmiah, kegilaan dipahami dan diajarkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis. Mereka, para ahli psikiatri, sibuk menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi kegilaan berikut cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu lantas mereka merasa berhak menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta siapa yang normal dan siapa yang abnormal. Pada gilirannya lalu mereka mengintrodusir mekanismemekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan mereka. Perlakuan terhadap orang gila yang semena-mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang kegilaan pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada gilirannya cara penanganan yang salah ini akan menyebabkan orang yang mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya dipulihkan. Dalam sajian ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya konsep kegilaan telah dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap masa dan periode memiliki konsep tersendiri mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep kegilaan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis adalah fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini. Demikian juga kategorikategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparataparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Dalam hal ini tidak bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel Foucault yang berhasil menggali bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah kegilaan di Eropa.41 Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit Lepra Pada abad Tengah, sebelum abad ke-15. Di Eropa orang-orang gila dihubungkan dengan terjadinya penghilangan dan pengeksklusian terhadap para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka ditempatkan pada rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah rumah sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII membuat undang-undang rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000 kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris sendiri terdapat 43 kantor. Dua
41

Lihat selengkapnya dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa . . .op.cit., h. 27-29

17

Kesehatan Mental kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-Lazare. Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya 220 rumah sakit bagi setengah juta penduduknya. Lalu memasuki abad ke-15 semua rumah sakit itu perlahan-lahan mulai kosong. Dengan mulai menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat menyelenggarakan pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah berubah. Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya lepra. Pada abad berikutnya kantor Saint-Germain di Paris bergeser menjadi tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu di Inggris institusiinstitusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin. Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589 mengindikasikan bahwa selama lima puluh tahun tidak ada lagi penderita lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah sakit lepra berubah dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang-orang gila.42 Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa. Meski demikian ada hal yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya. Yakni suatu struktur yang tetap tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri penderita lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur ini masih bertahan meski penderita lepra telah tiada?. Berlanjutnya tradisi pengucilan ini sebenarnya bisa ditemukan akarnya pada kosmologi gereja abad pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah Tuhan. Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut memungkinkan struktur pengucilan itu terus terjadi dan direproduksi bersamaan dengan kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya hilangnya penderita lepra ini telah menyebabkan kekosongan obyek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja, sehingga konsekuensinya nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa kambing hitamnya? Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya. Orang gila dan parodi kritik sosial memasuki periode renaisans, kisah tentang orang-orang gila mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik digambarkan mengenai orang-orang gila yang yang dinavigasikan dalam kapal
Bandingkan dengan Zakiah Darajat dalam Kesehatan Mental op.cit., h. 17-24 dan Dadang Hawari, op.cit., h. 115-116.
42

18

Kesehatan Mental di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan satiris yang secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan kebenaran mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier yang memadukan Ship of Princes and Battles of Nability pada tahun 1502 dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503. Terdapat juga Ship of Health bersama dengan Bauwe Schute Jacob van Oestvoren tahun 1413. Adapun dalam Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota. Mereka berlayar dengan mudah dan diijinkan mengembara di daerah terbuka. Pada masa renaisance ini, orang-orang gila diperlakukan secara baik, dirawat sedemikian rupa di tengah-tengah warga kota, seperti di Jerman. Selain itu bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila yang tengah mencari rasionya. Masa ini disebut juga fase ambang bagi orang-orang gila. Mereka yang di samping sebagai tahanan, juga memiliki ruang bebas. Dalam karya sastra, semisal Praise of Folly karangan Erasmus, dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch, kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan drama-drama. Justeru mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang dengan keanehannya membawa kabar kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritisisme sosial dan moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma, asumsiasumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog dengan supermasi kepintaran rasio. Orang Gila dan Hospital Generale seiring bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara kebodohan dan rasio ini pelan-pelan lenyap. Tema-tema kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema Rumah Sakit Jiwa. 43 Pada abad ke-17 terjadi pergeseran makna dan posisi orang-orang gila ini. Di Paris, Inggris, Skotlandia, dan juga Jerman, tiba-tiba secara serentak hampir bersamaan, orang-orang gila ditempatkan dalam Hospital Generale; sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya pemerintah. Di Paris, pendirian Hospital Generale ini sengaja didekritkan pada tahun 27 April 1656. Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah-rumah sakit difungsikan sebagai rumah pengurungan. Ruang di mana orang miskin Paris, orang-orang cacat dengan segala jenis kelamin dan keturunan, dalam kondisi sehat atau tidak sehat ditempatkan di dalamnya. Pinel, misalnya menemukan orang-orang gila dalam
43

Lihat Zakiah Darajat, Kesehatan op.cit ,h. 7-9 dan bandingkan Hasan Langgulung, op.cit., h. 5-9

19

Kesehatan Mental Hospital Generale di Bicetre (rumah prajurit) dan La Salpetriere (gudang senjata). Di sana hukuman dan represi diberlakukan dengan sadis oleh raja, polisi dan pengadilan. Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara ( Grand Almonry of the Realm) yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh penguasa raja.. Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih leluasa menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital Generale tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis belaka yang dijalankan di Perancis selama periode tersebut. Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern, semacam Hospital Generale didirikan di Hamburg sekitar tahun 1620, Basel (1667), Breslau (1668), Frankfurt (1684), Spandau (1684) dan Konigsberg (1691). Jumlah ini pun masih berkembang di Leipzig, Halle, Cassel, Brieg, Osnabruck dan Torgau. Bangunan kurungan ini mirip struktur semi-pengadilan, yang memiliki aparat-aparat administratif yang memiliki kekuasaan mutlak dan aturan-aturan yang independen di luar peradilan, kehakiman, dan keputusan raja. Orang-orang gila dikurung bersama-sama dengan para tuna-wisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, orang yang tidak waras, dan kaum miskin. Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta pada tahun 1575 yang berisi hukuman atas para gelandangan dan pembebasan orang-orang miskin. Rumah-rumah pengoreksian dibangun mencapai angka satu rumah setiap desanya. Akta proyek ini telah menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke dalam rumah-rumah pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di dalamnya. Yang paling mengerikan mereka berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang. Sebuah akta tahun 1670 pengadilan menegaskan status mereka dalam rumah-rumah kerja. Tidak kalah juga pada tahun 1697 beberapa jemaah gereja Bristol bersatu padu membentuk rumah-rumah kerja pertama di Inggris. Rumah kerja kedua dibangun di Worcester tahun 1703 dan ketiga di Dublin, lalu di Plymouth, Norwich, Hull dan Exester. Hingga pada akhir abad ke-18, rumah-rumah kerja ini sudah mencapai 126 buah. Rumah-rumah kerja ini lalu meluas sampai Belanda, Italia, dan Spanyol. Penghuninya pun mulai heterogen. Dari orangorang yang dituduh melanggar hukum dalam masyarakat, anak nakal,

20

Kesehatan Mental pemboros, orang yang tidak memiliki profesi sampai mereka yang dianggap tidak waras. Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa. Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan bagi mereka yang tidak mampu bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi produktif. Pada tahun 1532, Parlemen Paris memutuskan menangkap pengemis dan memaksa mereka bekerja di pabrik tenun dengan kaki di rantai. Tahun 1534, para pengemis dan gelandangan harus meninggalkan kota dan dilarang menyanyi himne di jalan-jalan. Pada tahun 1657 keluar sebuah maklumat berisi larangan kepada siapapun untuk mengemis di kota dan di desa sekitar Paris. Bahkan pada tahun 1622 muncul pamflet Grievous Groan for the Poor (Rintihan yang menyedihkan bagi orang-orang miskin) dibuat oleh Thomas Dekker yang menekankan bahaya yang akan terjadi atas keberadaan orang-orang miskin dan merekomendasikan agar mereka dibuang ke tanah baru India Barat dan Timur. Atau mereka ditempatkan dalam rumah-rumah pengoreksian. Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale ini adalah tempat pengurungan bagi orang-orang yang dianggap abnormal, gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran, pengemis, pemalas, orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan pekerjaan oleh penguasa.44 Tujuannya bukan untuk menjamin kesejahteraan mereka, melainkan sebagai disposisi penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Tepatnya sebuah etika bahwa manusia harus melakukan kerja sebagai sebuah hukuman. Menjadi kewajiban moral penguasa untuk membuat manusia itu bekerja. Dengan bekerja, manusia membedakan dirinya dengan binatang, yakni sebagai manusia yang waras. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale adalah alat koreksi belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang malas, pengemis dan pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan manusia. Atas nama kewajiban moral ini penguasa melakukan serangkaian praktek pendisiplinan dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam pasungan, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja. Peristiwa ini bisa dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral setelah penyakit lepra di daratan Eropa menghilang.

44

Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 (Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 35-38

21

Kesehatan Mental Orang Gila dan Disiplin Psikiatri Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses penyembuhan. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapis atau seorang psikiater untuk disembuhkan baik penyakitnya. Lalu bagaimana mekanismenya? Adapun mekanismenya adalah melalui kesunyian dan penyadaran layaknya orang yang bertatapan dengan cermin. Maksudnya: orang-orang gila ini ditempatkan dalam kesunyian, berbicara, menatap dan mengoreksi dirinya sendiri, bagaikan berada dihadapan sebuah cermin, sehingga menyadari kegilaannya. Melalui percakapan, bahasa dan kata-kata, terapi mencoba meyakinkan orang gila akan status kegilaannya dan menyadari dirinya sendiri benar-benar gila supaya bebas dari kegilaan tersebut. Melalui terapi itu mereka dihinakan karena status kegilaannya itu. Di sini tentu saja sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan pengetahuan terapi ini diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu psikiatri, berikut teknik psikoanalisisnya. Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus. Apa yang dilakukan oleh tokoh medis ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri, melainkan mengobservasi dan mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh medis itu mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan unsur-unsur atau perasaan irasionalitas penyebab kegilaan. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan kehendak, moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien. Menurut Foucault, tahap ini merupakan tindakan yang lebih menyakitkan daripada represi fisik sebagaimana terjadi sebelumnya. Mengapa? Karena disiplin psikiatri justeru menjadi alat represi paling paripurna yang langsung menusuk ke jantung batin, mengawasi perasaan dan pikiran manusia. Jika pada abad klasik orang gila dibiarkan berkeliaran atau dihempaskan berlayar dalam samudra kebebasan, lalu pada abad berikutnya mereka dikurung dalam penjara Hospital Generale yang represif dan mematikan, maka pada abad 19 22

Kesehatan Mental ini kegilaan adalah sebuah penyakit dan penderitanya mesti ditempatkan dalam rumah sakit jiwa untuk disembuhkan secara medis. Bukan hanya itu, sekarang telah muncul suatu otoritas baru yang memiliki otoritas tunggal menentukan status kegilaan seseorang, yakni para ahli dan dokter. Tidak berhenti di situ mereka pun menciptakan disiplin keilmuan baru untuk melegitimasi kekuasaannya, yakni disiplin ilmu psikiatri. Dengan demikian pada zaman modern ada tiga institusi yang saling terkait dan dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang. Pertama, dokter atau ahli medis; Kedua, disiplin ilmu psikiatri; dan ketiga, sebuah struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Foucault menyebut fenomena ini sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.45 Ketiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru terhadap orang-orang gila ini sebagai orang yang berpenyakit jiwa. Dari hasil penelitian Michel Foucault mengenai sejarah kegilaan di atas, dapat dipahami bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani secara berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-pergeseran tentang makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam masyarakat. Di situ pula ditunjukkan kekuasaan macam apa yang mengklaim punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara penanganannya. Dalam kapal-kapal kegilaan abad renaisans, misalnya, orang-orang gila adalah mereka kaum bijak yang bebas menyampaikan khotbah-khotbah satiris dan kritis terhadap kekuasaan. Dalam Hospital Generale orang-orang gila didefinisikan dan dikendalikan oleh kuasa obligasi etis negara. Sedangkan dalam rumah sakit jiwa mereka diawasi, dikontrol dan dikendalikan para tokoh medis dan ilmu psikiatrinya. Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam penanganan masalah kelainan mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti disembuhkan secara medis. Misalnya laporan Scientific American 1999 yang mengutip hasil penelitian W.W. Eaton, menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 % penduduk dunia yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit Schizoperenia. Angka tersebut akan terus membesar karena hingga kini belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh yang manjur dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk mengenali gejala penyakit jiwa ini yaitu pendekatan genetika, pendekatan kejiwaan, dan pendekatan anatomis keorganan otak. Pendekatan genetika, katanya, cenderung mengkaitkan penderita penyakit Schizoprenia berdasarkan garis keturunan dengan genetika generasi sebelumnya seperti ayah-bunda, kakek, nenek dan seterusnya, mengenai kemungkinan mengidap penyakit yang sama. Adapun pendekatan kejiwaan
45

Lihat Ibid., h. 39-40

23

Kesehatan Mental menyimpulkan bahwa penyebab penyakit schizoprenia berasal dari ketidakberesan mental (mental disorder). Masalah kejiwaan ini (pathophysiology) berkaitan timbal balik dengan kerja fungsional otak melalui jaringan sistem persyarafan. Dan pada akhir laporan tersebut dinyatakan bahwa uji coba perawatan medis terhadap gejala-gejala kejiwaan tersebut (penyakit-penyakit itu, kata mereka) terkadang menimbulkan dampak yang mengerikan, terutama bagi penderita yang berusia produktif, karena dapat menimbulkan kekurangan pathognomonic yang berpengaruh pada tingkat kesuburan penderita.46 Oleh karena itu, diharapkan pengobatan alternatif dapat berperan. Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa penanganan medis terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa dipastikan), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap sebuah penyakit, padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh dari sistem sosial kita yang sebenarnya fasis dan tidak memberi ruang sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya. Bisa jadi mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria ketakutan oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit parah. Sayangnya orang-orang yang mengaku sehat (padahal sebenarnya sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita penyakit jiwa. Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya, kita dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan: apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan dehumanisasi? Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara kita memperlakukan orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari sebuah rezim kebenaran yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri yang sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Jika benar demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis, bahwa pengetahuan dan tindakan kita sepenuhnya dikendalikan rezim kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya mencengkeram kehidupan kita.
46

Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 56-58

24

Kesehatan Mental Perlu juga saya tambahkan tentang studi kasus penyakit lepra yang ada di Sulawesi Selatan yang konon menempati peringkat pertama di Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan dan lapisan. Dan begitu juga penderita gangguan jiwa dan penyakit jiwa (gila) perlu penghargan dan perhatian serius, apalagi dewasa ini meningkat tajam yang salah satu pemicunya adalah kegagalan dalam Pilkada, kegagalan dalam mencapai karir, jabatan dan sebagainya.

Bagian Kedua Gangguan Jiwa Secara umum gangguan jiwa mencakup berbagai keadaan gangguan fungsi mental dan perilaku seseorang seperti psikosis fungsional termasuk skizofrenia, gangguan mood dan afek, gangguan waham dan sebagainya. Demikian banyaknya jenis gangguan jiwa dan beragam manusia berbeda akibat reaksi secara holistik baik fisik, psikis dan sosial, sehingga penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial atau multidimensional. Bahkan hingga saat ini belum ada kesepahaman definisi tentang gangguan jiwa. Seseorang dikatakan mengalami gangguan jiwa bila terdapat gangguan pada unsur psikis

25

Kesehatan Mental berupa pikiran, perasaan, perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik dan sosial.47 Dadang Hawari membagi gangguan jiwa ke dalam dua golongan besar yaitu Psikosa dan Non-Psikosa. Golongan Psikosa ditandai dengan dua gejala utama yaitu tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidak mampuan menilai realitas (reality testing ability ). Sedang golongan non-Psikosa kedua gejala utama tersebut masih baik. Golongan Psikosa itu sendiri dibagi dalam dua sub golongan, yaitu Psikosa Fungsional dan Psikosa Organik. Yang dimaksud Psikosa Fungsional adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena terganggunya fungsi sistem tranmisi sinyal penghantar syaraf (neurotransmilter) sel-sel saraf dalam susunan saraf pusat (otak), tidak terdapat kelainan struktural pada sel-sel saraf otak tersebut. Sedangkan Psikosa Organik adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena adanya kelainan pada struktur susunan saraf pusat otak yang disebabkan misalnya terhadap tumor di otak, kelainan pembuluh darah di otak, infeksi di otak, dan sebagainya.48 Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal tetapi multiple. Berbagai penyebab baik fisik, psikis dan sosial sekaligus sebagai penyebab yang saling mempengaruhi sehingga dalam membuat diagnosa biasanya dibuat diagnosa multiaksial (multifaktorial/multidimensional) seperti yang digunakan pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ( PPDGJ ) yang mengacu kepada The Diagnosis And Statistical Manual of Mental Disorder ( DSM ). Tanda dan gejala gangguan jiwa sangat bervariasi tergantung jenis gangguan jiwa yang terjadi. Secara umum biasanya beberapa gejala yang muncul bersamaan, gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya atau bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus. Berbagai penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui tanda dan gejala fisik, psikis dan sosial. Banyak sekali gejala kejiwaan seperti sedih, marah, cemas yang langsung dapat mempengaruhi kondisi fisik orang yang bersangkutan. Manifestasi ini yang seringkali disebut sebagai psikosomatis atau reaksi psikofisiologi, yaitu gangguan jiwa yang dapat menimbulkan manifestasi pada gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya dapat terpicu oleh reaksi psikosomatis, antara lain: sakit kepala, insomnia, gangguan saluran cerna, diare atau asma. Gejala yang mungkin timbul adalah sakit kepala, nyeri perut, mual, muntah, sulit makan, diare, batuk, atau sesak. Bila dikaitkam dengan psikosomatis, biasanya gejalanya berlangsung lama atau lebih dari 2 minggu
47

Lihat M.Sattu Alang, op.cit., h. 14 Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 561-562

48

26

Kesehatan Mental hilang timbul. Sedangkan gejala psikis yang bisa timbul adalah persepsi yang kacau, pemikiran yang menyimpang dan kacau, ekpresi dari emosi yang keliru, depresi macam-macam pengekspresian emosi, reaksi emosi yang tidak tepat, aktivitas motorik yang tidak normal, atau aktivitas yang tidak terkendalikan.49 Selain itu terdapat gejala dan tanda tanda lain yang dapat terjadi pada penderita gangguan jiwa. Tanda-tanda lain tersebut sering kali dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Di antaranya adalah disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa dirinya, hari apa sekarang. Tanda lain adalah menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain, kecurigaan dan kepekaan yang berlebih-lebihan, rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal atau kekanak-kanakan. Tanda dan gejala gangguan sosial juga dapat menyertai gangguan jiwa. Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya. Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan, fanatisme tinggi atau malah sebaliknya keraguraguan yang terus-menerus. A. Klasifikasi Gangguan Jiwa Klasifikasi psikiatri melibatkan pembedaan dari perilaku normal dan abnormal. Dalam hal ini normal dan abnormal dapat berarti sehat dan sakit, tetapi bisa juga digunakan dalam arti lain. Sejumlah gejala psikiatri berbeda tajam dari normal dan hampir selalu menunjukkan penyakit. (Ingram et al., 1993) Gangguan Jiwa dibagi menjadi dua kelainan mental utama, yaitu penyakit mental dan cacat mental. Cacat mental suatu keadaan yang mencakup difisit intelektual dan telah ada sejak lahir atau pada usia dini. Penyakit mental secara tidak langsung menyatakan yang kesehatan sebelumnya, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermanifestasi kemudian dalam kehidupan. 1. Penyakit mental secara prinsip dibagi dalam psikoneurosis dan psikosis. Kategori ini sesuai dengan awam tentang kecemasan dan kegilaan.
49

Lihat Ibid., h. 564

27

Kesehatan Mental Psikoneurosis merupakan keadaan lazim yang gejalanya dapat dipahami dan dapat diempati. Psikosis merupakan penyakit yang gejalanya kurang dapat dipahami dan tidak dapat diempati serta klien sering kehilangan kontak realita. 2. Istilah fungsional dan organik menunjukkan etiologi penyakit dan digunakan untuk membagi psikosis. Psikosis fungsional berarti ada gangguan fungsi, tanpa kelainan patologi yang dapat dibuktikan50 Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis, 1994). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa. B. Macam-Macam Gangguan Jiwa Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa oleh (Rusdi Maslim, 1998), yaitu; Gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja. 1. Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/ RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk.51 Skizoprenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
50 51

Lihat Zakiah Dajat,Kesehatan op.cit., h. 36-37 Dadang Hawari, op.cit., h. 593

28

Kesehatan Mental penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog. Gejala Skizofrenia Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin. Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas: a. Gejala-gejala Positif Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain. b. Gejala-gejala Negatif Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).52 1. Gejala Positif Skizofrenia Secara rinci gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut: a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu. c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
52

Lihat selengkapnya Zakiah Darajat, Kesehatan Mental op.cit., h. 82-85

29

Kesehatan Mental d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. e. Merasa dirinya orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.

Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. g. Menyimpan rasa permusuhan. 2. Gejala Negatif Skizofrenia Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut: a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. b. Menarik diri atau mengasingkan diri ( withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). c. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. e. Sulit dalam berpikir abstrak. f. Pola pikir stereotip g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak ( avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu).53 Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan. Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal
53

f.

Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 594-596

30

Kesehatan Mental orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren. Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis. Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis. Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi. Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Berikut ini ada beberapa contoh kasus penderita Skizofrenia: Contoh Kasus 1. Joe adalah siswa yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim futbol, mempertahankan ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya. Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa 31

Kesehatan Mental kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya. Contoh Kasus 2. Roger adalah pria berusia 36 tahun yang memiliki riwayat panjang mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk melukai diri sendiri dan orang lain. Ia telah menuruti suara-suara itu di masa yang lalu dan akibatnya ia harus menjalani pemenjaraan karena telah mengancam seseorang dengan sebilah pisau. Ia juga takut dilukai oleh musuh-musuhnya dan hal itu mengakibatkannya tidak tidur dengan tujuan untuk melindungi dirinya sendiri. Roger secara aktif menggunakan alkohol, ganja dan kokain untuk mengatasi gejala-gejalanya. Roger telah lama berhenti minum obat dari dokternya karena pengalamannya akan ketidaknyamanan efek sampingnya. Ia melaporkan bahwa ia merasa letih dan tidak dapat berhenti melangkah. Ia pada mulanya mengalami pemulihan saat pertama kali menggunakan narkoba dan alkohol. Tapi segera setelah itu ia menemukan bahwa semakin banyak ia menggunakan narkoba dan alkohol semakin paranoid dan menjadi semakin waspada ia jadinya dan gejala-gejalanya kembali menjadi parah. Kekhawatiran Roger akan melukai orang lain dan ketakutan akan dilukai telah mengakibatkan dirinya memiliki rencana untuk bunuh diri. Ia tak mampu untuk mengetahui kaitan antara obat dari dokternya dan narkoba dengan pengendalian gejala dan pemburukan penyakitnya. Roger juga harus berjuang melawan diabetes dan ketidakmapanan gula darah karena kurang gizi dan penggunaan alkohol. Contoh Kasus 3 Edward menghabiskan waktunya sendirian di tempat tidur, jika ia bisa. Sebelum ia sakit, ia menikmati waktunya bersama keluarganya atau bekerja. Kadangkala ia berpikir masalah pekerjaan, dan kadang-kadang ia membuat rencana, namun ia nampaknya tak pernah mencapai tahap wawancara atau kontrak kerja. Saat ia mengunjungi orang tuanya mereka mencoba membujuknya untuk berbicara tentang masalah keluarga atau politik. Edward 32

Kesehatan Mental tak banyak berkata-kata. Walaupun ia menolak dikatakan depresi, dan ia mengungkapkan harapannya akan masa depan, ia hampir-hampir tak pernah tersenyum dan benci untuk membereskan piring sisa makan atau membereskan tempat tidurnya. Psikiater telah menanyainya tentang suarasuara, akan tetapi Edward bersikukuh bahwa ia tak pernah mendengarnya. Saat ia dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya, ia ingat, ia kesulitan untuk mempertahankan jalan pikirannya, dan ia tahu ia bertingkah aneh karena polisi menangkapnya saat ia keluyuran di jalanan ketika mengenakan pakaian menyelam. Tapi Edward tak dapat mengingat kenapa dan nampaknya hal itu bukan lagi merupakan masalah baginya. Seperti yang telah digambarkan dalam contoh kasus di atas, skizofrenia adalah penyakit mental yang memiliki rentang yang luas. Bahkan beberapa ahli meragukan bahwa penyakit ini adalah gangguan yang tunggal. Fakta bahwa hanya ada satu kata untuk merujuk ke sesuatu penyakit tidaklah berarti bahwa penyakit itu satu ekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak . Untuk pemberian terapi dan rehabilitasi kepada penderita gangguan jiwa skizofrenia perlu ditempuh cara-cara sebagai berikut: 1. Dari sisi organobiologik, dihindari kemungkinan adanya faktor genetik (keturunan), maka perlu diteliti riwayat atau sissilah keluarga. Bila dalam keluarga ditemukan salah seorang menderita skizofrenia sebaiknya menikah dengan orang jauh dan sesama penderita skizofrenia sebaiknya tidak saling menikah. Menikah sesuai anjuran agama adalah menentramkan kehidupan manusia sebagaimana firman-Nya surah ar-Rum (30) ; 21: Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.54 Ayat di atas memberikan petunjuk bagi manusia (laki-laki dan perempuan) untuk mengadakan perkawinan supaya merasa tenteram dan

54

Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1988/1999), h. 644

33

Kesehatan Mental berkasih-kasihan. Dengan cara ini seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofernia bisa sembuh. Untuk menghindari kemungkinan adanya faktor epigenetik, hendaknya selama kehamilan seorang ibu perlu mendapat perawatan yang baik. Olehnya itu perlu dicegah adanya infeksi virus atau infeksi penyakit lainnya. Dicegah menurunnya auto-immune, dicegah berbagai macam komplikasi kandungan. Gizi harus cukup dan berimbang dan selama kehamilan dipelihara kondisi mental emosional ibu dalam keadaan sehat atau stabil, bebas dari stres, cemas dan depresi. 2. Psiko-Edukatif; dalam perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang dari mulai lahir hingga menginjak usia remaja, hendaknya tidak hanya berkembang secara baik dari segi pisik tetapi juga aspek kejiwaaannya. Pendidikan anak hendaknya diperhatikan oleh orang tua agar terbentuk sifat /pribadi yang bisa menangkis terjadinya gangguan jiwa skizofrenia. Orang tua perlu memberikan perhatian, kasih sayang, pendidikan yang baik dan memberikan keteladanan bagi anak. Firman Allah dalam surah al-Ahzab (33) , 21:

Terjemahnya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ayat di atas dijadikan orang tua dalam membina, mendidik anak dengan Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.55 Selanjutnya orang tua memperhatikan sikap-sikap anak yang merupakan kemampauan daya kompetensi anak. Sikap itu antara lain; kemampuan untuk percaya kepada kebaikan orang lain, sikap terbuka dan kemampuan pengendalian diri terhadap orang lain. Perlu orang tua mendoakan anaknya agar menjadi orang yang bertaqwa, orang baik dan orang yang berguna bagi orang lain. Firman Allah dalam surah al-Furqan (25), 74: Terjemahnya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orangorang yang bertakwa.56
55 56

Ibid., h. 670 Ibid., h. 569

34

Kesehatan Mental Kalau meneladani atau mencontoh Rasulullah saw., maka hakkul yakin anak atau generasi bisa terhindar dari gangguan jiwa khususnya skizofrenia. 2. Depresi Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Orang yang mengalami depresi adalah orang yang paling banyak menderita. Kadang depresi penyebab utama tindakan bunuh diri. Pengertian depresi beraneka ragam komentar para pakar, tergantung dari sisi mana ia melihatnya. Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya57. Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktiftas (Depkes, 1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih (Atkinson, 2000). Adapun ciri-ciri kepribadian depresif antara lain; Pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk merasa bahagia, pesimis menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah dan berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan

57

Dadang Hawari, op.cit., h. 519

35

Kesehatan Mental menangis, gerakan lamban, lemah, lesu, kurang energik. Seringkali mengeluh sakit ini dan itu (keluhan-keluhan psikomatik), mudah tegang,agitatif, gelisah, serba cemas, khawatir, takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa tidak mampu, merasa tidak berguna. Merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan ataupun studi, suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul, pergaulan sosial amat terbatas. Lebih suka menjaga jarak, menghindari keterlibatan dengan orang, suka mencela, mengkritik, konvensional, sulit mengambil keputusan. Tidak agresif, sikap oposisinya dalam bentuk pasif-agresif, pengendalian diri terlampau kuat, menekan dorongan/impuls diri, menghindari hal-hal yan tidak menyenangkan. Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik ataupun konfrontasi. 58 Orang yang memiliki gejala tersebut di atas, Al-Quran memberikan solusi sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Anam (6) : 48: Terjemahnya: Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.59 Maksud mengadakan perbaikan pada ayat tersebut berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Ciri-ciri kepribadian depresif tersebut di atas pada setiap diri seseorang tidak harus sama mencakup semua gejala-gejala secara keseluruhan. Seseorang baru dikatakan mengalami gangguan depresi manakala yang bersangkutan mengalami gangguan di bidang fisik (somatik) maupun psikis sedemikian rupa sehingga menggangu fungsi dalam kehidupannya sehari-hari. Dadang Hawari memberikan gejala-gejala depresi sebagai berikut: a. Gejala Klinis Depresi; Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak bersemangat, merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. Nafsu makan menurun, berat badan menurun, konsentrasi dan daya ingat menurun. Mengalami gangguan tidur; insomnia (sukar/tidak dapat tidur) atau hipersomnia (terlalu banyak tidur). Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh
58

Lihat Ibid., h.,522-523 Ibid., h. 194

59

36

Kesehatan Mental gelemah tak berdaya). Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas dan prokdutivitas menurun. Gangguan seksual menurun dan pikiran-pikiran tentang kematian dan bunuh diri. 60 Gejala di atas ini banyak dialami oleh orang yang kehilangan jabatan dan kedudukan atau kekuasaan. Olehnya itu Al-Quran memberi peringatan sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali Imran (3) , 139: Terjemahnya: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.61 b. Depresi Pasca Kuasa Adapun keluhan-keluhan penderita yang disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, misalnya: Suka mengkritik, merasa dirinya benardan mengeluarkan kekesalan, prasangka buruk dan selalu curiga, merasa diperlakukan tidak adil, suka mencela dan skeptis, perasaan tertekan, tidak puas, kecewa dan bersikap oposan, suka menggerutu dan mengeluarkan kekesalan, dan kekecewaan hatinya yang biasa dilakukan atau diucapkan secara berulangulang. c. Depresi Pasca Stroke Gejala depresi pada penderita stroke, adalah adanya gejala utama pada gangguan afek (mood), tidak terdapat tanda-tanda delirium (menurunnya kesadaran), demensia (kemunduran daya ingat), sindrom waham organik, atau halusinasi organik. Terdapat faktor organik spesifik (kelainan pada otak akibat stroke) yang dinilai mempunyai hubungan etiologik (penyebab) dengan gangguan itu,yang terbukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Selanjutnya peningkatan aktivitas (di tempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual), atau ketidak-tenangan pikiran. Lebih banyak berbicara dari lazimnya atau adanya dorongan untuk berbicara terus menerus. Gagasan melompat-lompat (flight of ideas) atau penghayatan subyektif bahwa pikirannya sedang berlomba. Rasa harga diri yang melambung ( grandiosity), yang dapat setaraf dengan waham (keyakinan yang tidak rasional namun diyakini kebenarannya), Berkurangnya kebutuhan tidur, Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiaanya terlalu cepat tertarik pada stimulus luar yang tidak penting atau yang tidak berarti, Keterlibatan berlebihan dalam akvitasaktivitas yang mengandung kemungkinan resiko tinggi akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara bijaksana. Misalnya, berbelanja berlebihan, tingkah laku eksual secara terbuka, penanaman modal secara
60

Dadang Hawari, op.cit., h. 524 Departemen Agama, op.cit., h. 98

61

37

Kesehatan Mental bodoh,mengemudi kendaraan (ngebut) secara tidak bertanggung jawab dan tanpa perhitungan. Gejala depresif berat adalah kurangnya nafsu makan atau penurunan berat badan yang cukup berarti (tidak sedang diet), atau sebaliknya penambahan nafsu makan atau kenaikan berat badan yang cukup berarti. Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia). Gaduhgelisa (agitasi) atau pasif dan lemah (retardasi psikomotor), bukan hanya perasaan subyektif dari kegelisahan atau perlambanan. Hilangnya minat atau rasa senang dalam hal yang bisa dikerjakannya, atau pengurang gairah seksual yang tidak terbatas dalam periode ketika sedang ada waham atau halusinasi. (catatan : waham adalah suatu keyakinan yang tidak rasional namun diyakini kebenarannya; sedangkan halusinasi adalah pengalaman pancaindera tanpa ada rangsangan. Hilangnya semangat, rasa letih, perasaan tidak berguna, menyalahkan diri sendiri, atau perasaan bersalah dan berdosa berlebihan yang tidak pada tempatnya, seringkali perasaan ini setaraf dengan waham. Adanya tanda-tanda berkurangnya kemampuan berpikir atau konsentrasi dan pikiran berulang tentang kematian, gagasan untuk bunuh diri, keinginan mati atau usaha bunuh diri.62 Perlu dipahami bahwa hidup manusia itu selalu silih berganti, kadang senang kadang susah, kadang miskin kadang kaya dan kadang kita berkuasa dan kadang menjadi bawahan. Kalau kita mengalami depresi hendaklah ditingkatkan keimanan dan ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah swt. sambil memiliki kesabaran. Hal ini difirmankan dalam Al-Quran surah Al-Hajj ( 22 ), 34-35: Terjemahnya; (34). ... dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),(35). (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang Telah kami rezkikan kepada mereka.63 d.Depresi Neurotik Depresi neurotik adalah suatu gangguan afek (mood) yang menahun dn mencakup gambaran efek (mood) depresif atau hilangnya minat atau rasa senang di dalam semua atau hampir semua aktivitas kehidupan sehari-hari dan
62

Lihat dalam Ibid., h. 257-258 Departemen Agama, opcit., h. 517

63

38

Kesehatan Mental waktu senggang yang biasa dilakukannya. Kadang-kala seseorang yang mengalami depresi neurotik itu pada waktu-waktu tertentu (bebeapa hari sampai beberapa minggu) terbebas dari gangguan tersebut (periode normal), namun kemudian sesudah gangguan afektif tadi akan muncul kembali. Seseorang degan gangguan depresi neurotik selama dalam periode depresif akan menunjukkan gejala-gejala paling sedikit 3 dari gejala berikut : a. Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia). b. Lesu atau keluhan yang menahun. c. Perasaan kurang mampu, rendah diri atau mencela diri sendiri. d. Berkurangnya efektivitas atau produktivitas di sekolah, pekerjaan, atau di rumah. e. Berkurangnya konsentrasi, perhatian atau kemampuan untuk berpikir jernih. f. Menarik diri dari pergaulan sosial. g. Kehilangan minat atau kemampuan menikmati dalam aktivitas yang menyenangkan. h. Iritabilitas (mudah tersinggung) atau marah yang berlebihan tidak pada tempatnya. i. Tidak mampu menanggapi ujian atau penghargaan dengan perasaan senang. j. Kurang aktif atau kurang berbicara dari biasanya, merasa lamban dan gelisah. k. Bersikap pesimis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lalu atau mengasihani diri sendiri. l. Mudah haru, mata berlinang atau menangis. m.Pikiran berulang tentang kematian atau keinginan untuk bunuh diri.64 Pada gangguan depresif neurotik tadi yang bersangkutan masih mampu menilai ralitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan aik dan demikian pula halnya dengan pemahaman diri (insight), atau dengan kata lain tidak terdapat ciri-ciri gangguan jiwa berat (psikosis), seperti waham, halusinasi, inkoherensi ataupun asosiasi yang melonggar. Pengidak depresi neurotik banyak mengalami putus asa dalam hidupnya. Al-Quran melarang hamba-hamba Allah berpustus asa. Hal ini difirmankan dalam Al-Quran surah Az-Zumar (39) ; 53: Terjemahnya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
64

Lihat Ibid., h. 530-531

39

Kesehatan Mental rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.65 e. Depresi Siklotimit Seseorang dengan depresi Siklotimit paling sedikit dalam kurun waktu 2 tahun mengalami gangguan alam perasaan ( affect mood) ini, yang mencakup suatu saat yang lain mengalami episode hipomatik. Pada gangguan depresif siklotimit tidak terdapat ciri psikotik seperti waham, halusinasi, inkoherensi atau pelonggaran assosiasi. Juga tidak disebabkan gangguan jiwa lainnya, seperti remisi. Berikut ini beberapa contoh orang yang mengalami depresi: Kasus 1 : Dalam satu malam tetapi setiap satu jam sekali selalu terbangun. Ny T mengalami kesulitan memulai tidur dan hanya tidur kurang lebih tiga jam Kondisi ini mengakibatkan Ny T selalu merasa tubuhnya tidak fresh dan berat badannya mengalami penurunan dari 52 kg menjadi 47 kg. Penyebab Ny T mengalami insomnia adalah suami Ny T menuduh Ny T telah berselingkuh karena hasutan tetangga yang tidak suka pada Ny T. Ny T berusaha menjelaskan pada suaminya bahwa dirinya tidak berselingkuh, tetapi suami Ny T tetap tidak percaya. Suami Ny T selalu marah-marah pada Ny T dan melarang Ny T untuk berbincang-bincang dengan tetangga di luar rumah. Suami Ny T juga pelit dalam memberikan uang belanja dan melarang Ny T untuk berdagang. Pada awalnya, Ny T berusaha untuk tidak terlalu serius dalam memikirkan masalahnya dan menuruti keinginan suaminya, namun suami Ny T tetap memperlakukan Ny T dengan buruk. Suami Ny T selalu memarahi Ny T sehingga Ny T selalu memikirkannya dan merasa tertekan. Ny T dan suaminya juga pisah ranjang. Ny T juga takut bercerita pada suaminya bahwa dirinya mengalami kesulitan tidur setiap hari. Kasus 2. Takut pada kegelapan. Seorang pasien menghubungi saya untuk meminta diterapi. Ia mengatakan mengalami rasa takut bila ingin ke kamar mandi. Saya katakan padanya bahwa ia mengalami fear of darkness atau rasa takut di tempat gelap. Ia mengatakan bahwa ia merasa seolah-olah akan diserang oleh seseorang di rumahnya sendiri, terutama ketika ia ingin pergi ke kamar mandi. Ia tidak dapat tidur dan merasa kawatir bila tidur dengan kondisi lampu mati. Dan bila ia ingin ke kamar mandi semua lampu di rumah harus menyala. Atau kalau tidak ia akan memilih untuk tetap di kamar tidurnya dan menjalani malamnya dengan penderitaan. Saya hanya melakukan satu kali sesi dengan empat putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan tapping pada
65

Departemen Agama, opcit., h. 753

40

Kesehatan Mental bebeapa masalah emosional yang menjadi penyebabnya. secara keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu kurang dari satu jam dan kini pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus menyalakan semua lampu di rumah. Berhati-hatilan dengan segala informasi yang masuk kepada anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll. Karena bila sistim keyakinan anda memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang anda takutkan. Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan tergantung dengan obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu daya ingat. Kasus 3. Kejadian Traumatis Karena Dikhianati Pacar Sebut saja, Ani, wanita 28 tahun di sebuah kota di Jawa Timur, menceritakan pengalaman traumatisnya yang terjadi lebih dari 3 tahun yang lalu. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya yang baru sadar bahwa kekasihnya itu sudah beristri. Ia telah menyerahkan segalanya kepada kekasihnya ini, karena kekasihya berjanji akan menikahinya. Suatu peristiwa klien saya hamil dan oleh kekasihnya disuruh untuk menggugurkan kandungannya. Dan Klien saya mengambil resiko dengan nyawanya untuk menggugurkan calon bayi yang ada dalam kandungannya itu. Tapi sayang, setelah kekasihnya lalu meninggalkannya begitu saja. Sejak saat itu Klien saya mengalami depresi selama hampir tiga tahun lebih akibat trauma masa lalu dengan kekasihnya itu. Namun ia tidak menceritakan apakah traumanya itu sudah menimbulkan rasa sakit pada tubuh fisiknya. Begitu banyak hal, kenangan dan benda-benda yang mengingatkannya kembali pada kekasihnya, seperti bila melihat mobil Zenia ia akan teringat kekasihnya, bila melihat kalender, pakaian, ia akan teringat kekasihya, bila malam tiba ia juga teringat ketika kekasihnya sering datang ke kostnya dan mengobrol bersama teman-teman kostnya, ia teringat prosesi waktu menggugurkan kangdungannya,dll. Ia mengatakan dalam sehari bisa lebih dari 10 kali ia teringat akan kekasihnya itu. Bila trauma itu datang, maka di situ berkumpul kebencian, penyesalan, dendam, amarah, dan kekecewaan, dan ia akan mengirim sms kepada kekasihya sebagai ungkapan kemarahanya. Saya melakukan terapi dengan EFT untuk menghapus memori traumatis itu pada aspek-aspek-aspek yang membuatnya depresi. Sempat klien saya mengalami kesulitan mengingat hal-hal yang membuatnya depresi. Karena itu lalu saya meminta klien saya untuk segera mencatat ketika timbul hal-hal yang memicu ingatanya. Setelah dilakukan tapping pada semua aspek yang ada, klien saya melaporkan bahwa kini ia merasa lebih tenang dan dapat mengendalikan emosinya untuk tidak mengirim sms ke kekasihya itu. Ia juga mengatakan sekarang ia tidak merasa sakit hati lagi. 41

Kesehatan Mental Depresi yang dialami klien saya ini tidak hanya datang dari trauma masa lalunya, tapi juga rencana perkawinannya yang akan dilangsungkan satu bulan lagi. Ketakutan-ketakutan datang membayangi klien saya untuk menghadapi kehidupan bersama calon suaminya nanti. Beberapa ketakutannya seperti takut trauma masa lalunya akan mempengaruhi hubungan perkawinanya, klien saya tidak mencintai calon suaminya karena ia menikah atas kemauan orang tua, takut menghadapi malam pertama karena tidak ada hasrat seks kepada calon suaminya, beberapa bentuk fisik dari calon suami tidak ia sukai. Karena itu saya lakukan tapping pada aspek-aspek di atas. Setelah pesta perkawinan dilangsungkan, saya menunggu kabar dari klien saya pada keesokan harinya. Dan malam harinya klien saya memberi kabar bahwa baru besok malam ia akan menjalani malam pertama bersama suaminya. Ia mengatakan mohon dibantu doa. Dua bulan kemudian saya mencoba untuk menanyakan kabar dan keadannya. Klien saya mengatakan bahwa kehidupan perkawinan bersama suaminya dalam keadaan baik dan kini mereka sedang fokus untuk mendapatkan momongan serta mengembangkan usaha suaminya. Kasus 4. Trauma dibalik derita sakit kepala dan insomnia bertahun-tahun. Kita akan melihat bahwa derita fisik sering merupakan efek lanjutan dari masalah emosional. Hendi, pria 25 tahun, mengeluhkan sakit kepalanya yang intens yang ia derita setiap hari. Menurutya sakit kepalanya karena ia selalu kurang tidur atau insomnia. Saya mencoba melakukan tapping EFT pada aspek sakit kepalanya. Sesi tapping pertama menurukan intensitas sakit kepalanya menjadi 8 dari skala10. Tapping kedua menurunkan intensitas sakit kepalanya menjadi 5. Tapping ketiga tidak menurunkan intensitas sakit kepalanya. Lalu saya mulai menggali faktor-faktor emosional yang mungkin menjadi penyebabnya. Saya ketahui bahwa klien saya mengalami kepedihan emosional dari masa lalu dengan kekasihnya pada waktu mereka masih kuliah. Beberapa faktor utama emosional yang dimiliki klien saya ini adalah : - Merasa sangat kehilangan kekasihnya - Memendam amarah kepada bapak kekasihya - Teringat saat jalan-jalan bersama kekasihnya - Merasa hidupnya berantakan gara-gara peristiwa ini - Teringat kebaika kekasihya Setelah dilakukan tapping EFT intensitasnya turun menjadi 2 dan sakit kepalanya hanya tersisa sedikit dan hal itu bukan masalah lagi baginya sebagaimana penuturannya. Seluruh sesi terapi ini berjalan kurang dari satu jam Walaupun intensitas sakit kepalanya sudah tidak mengganggu lagi, saya menyarankan klien saya untuk melakukan tapping di rumah untuk menuntaskan masalah yang mungkin terlewatkan. Tiga bulan kemudian saya 42

Kesehatan Mental kembali menanyakan kondisi klien saya ini. Ia melaporkan bahwa sekarang ia dapat tidur dengan baik dan sakit kepalanya sudah hilang. Terapi Depresi Ada beberapa pendekatan dalam terapi depresi antara lain; a. Pendekatan Terapi Psikofarmaka Yang dimaksud dengan terapi psikofarmaka adalah pengobatan dengan memakai obat-obatan (farmaka) yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter di susunan saraf pusat otak. Terapi psikofarmaka yang banyak dipakai oleh para dokter (psikiater) adalah obat anti cemas ( anxiolytic) dan obat anti depresi. b. Pendekatan Terapi Somatik; Maksudnya dalam pengalaman praktek sehari-hari sering dijumpai gejala atau keluhan fisik (somatik) sebagai gejala ikutan atau akibat dari stress, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan. Untuk menghilangkan keluhankeluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat- obatan yang ditujukan kepada organ tubuh yang bersangkutan. c. Pendekatan Terapi Psikologik (Psikoterapi/Konseling) Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan baik individual maupun keluarga, misalnya; Psikoterapi suportif( memberikan motivasi), Psikoterapi re-edukatif (pendidikan ulang), Psikoterapi re-konstruktif (rekontruksi kepribadian), Psikoterapi kognitif (memulihkan fungsi kognitif pasien), Psikoterapi psiko-dinamik (menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan pasien), Psikoterapi perilaku (memulihkan gangguan perilaku untuk beradaptasi) dan Psikoterapi keluarga(memperbaiki hubungan kekeluargaan). c. Pendekatan Terapi Perilaku( Psikososial) Maksudnya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehaihari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja, maupun dilingkungan pergaulan sosialnya. Untuk mencapai hal tersebut di atas hendaknya kita melakukan perubahan-perubahan kebiasaan (gaya hidup) yang idak sehat. d. Pendekatan Terapi Religi (Agama). Allah berfirman dalam surah Asy-Syura ( 26 ), 80: Terjemahnya:Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.66

66

Departemen Agama, op.cit., h. 579

43

Kesehatan Mental .Ayat ini maksudnya manusia harus berusaha dan berikhtiyar apabila ia sakit, yaitu berobat dan Insya Allah akan menyembuhkanya. Soal penyembuhan juga disebutkan dalam Al-Quran surah Yunus (10): 57: Terjemahnya: Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.67 Olehnya itu setiap fasien harus mendekatkan diri kepada Allah dalam artian meningkatkan ketaqwaan serta selalu berdoa dan berzikir, supaya dosadosa yang salah satu penyebab penyakit bisa disembuhkan oleh Allah swt. 3. Kecemasan Kecemasan sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik. Seseorang akan menderita gangguan cemas manakala yang bresangkutan tidak mampu mengatasi stresor psikososial. 68 Tipe kepribadian pencemas antara lian; Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang; Memandang masa depan dengan was-was (khawatir); Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum (demam panggung); Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain; Tidak mudah mengalah, suka ngotot; gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah; Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir berlebihan terhadap penyakit; Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatisasi); Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu; bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-ulang; Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut: Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung; Merasa tegang, tidak
67 68

Ibid., h. 315 Dadang Hawari, op.cit., h.504

44

Kesehatan Mental tenang, gelisah, mudah terkejut; Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang; Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; Gangguan konsentrasi dan daya ingat; Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya. Gejala-gejala fisiknya adalah sebagai berikut: gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, mudah kaget, berkeringat berlebihan, jantung berdebar-debar, rasa dingin, telapak tangan/kaki basah, mulut kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran panas atau dingin, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat. Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. rasa cemas ini biasanya terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Misalkan, orang merasa cemas, ketika tampil dihadapan banyak orang atau ketika sebelum ujian berlangsung, dan masih banyak lagi. Kecemasan yang dimiliki seseorang seperti diatas adalah normal. dan bahkan kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. akan tetapi kecemasan berubah menjadi abnormal ketika kecemasan yang ada dalam diri individu menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya. Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang dikatakan menderita anxiety disorder apabila kecemasan atau anxietas ini mengganggu aktivitas dalam kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya terganggunya fungsi sosial dalam diri individu. Misalnya, kecemasan yang berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar individu maupun kelompoknya. Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan. Anxiety disorder memiliki bebrapa pembagian yang lebih spesifik. diantaranya: 1. Fobia Fibia adalah ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh benda, binatang ataupun peristiwa tertentu. sifatnya biasanya tidak rasional, dan timbul akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami individu. Fobia juga merupakan penolakan berdasar ketakutan terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan itu tidak ada dasarnya. Ada beberapa macam Fobia:

45

Kesehatan Mental a. Fobia Spesifik adalah ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda, atau peristiwa traumatik tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing (ailurfobia), ketakutan terhadap ketinggian (acrofobia), ketakutan terhadap tempat tertutup (agorafobia), fobia terhadap kancing baju, dsb. b. Fobia Sosial adalah ketakutan berlebih pada kerumunan atau tempat umum. ketakutan ini disebabkan akibat adanya pengalaman yang traumatik bagi individu pada saat ada dalam kerumunan atau tempat umum. misalnya dipermalukan didepan umum, ataupun suatu kejadian yang mengancam dirinya pada saat diluar rumah.69 2. Obsesif Kompulsif Seperti contoh Kasus dibawah ini: X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif). Berdasarkan cerita diatas, kita bisa melihat bahwa obsesif adalah pemikiran yang berulang dan terus-menerus. Sedangkan kompulsif adalah pelaksanaan dari pemikirannya tersebut. Perilaku ini merupakan ritual pembebasan dari dosa pada orang tersebut. dengan mencuci tangan ia berharap bisa membersihkan dari dosa yang telah ia perbuat. obsesif kompulsif ini biasanya cenderung pada perilaku bersih-bersih. Perilaku seperti ini sebenarnya banyak terjadi pada lingkungan kita tetapi, kita kadang malah menganggap perilaku ini wajar. 3. Post Traumatik-Stress Disorder (PTSD/ Gangguan Stress Pasca Trauma) PTSD merupakan kecemasan akibat peristiwa traumatik yang biasanya dialami oleh veteran perang atau orang-orang yang mengalami bencana alam . PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat mengembangkan PTSD. Simtom dan diagnosis: Akibat kejadian traumatik atau bencana yang tingkatnya sangat buruk:
Supratinya,A. Mengenal LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995), h.7-8
69

Perilaku

Abnormal,

(Yogyakarta:

Kanisius.

46

Kesehatan Mental perkosaan, peperangan, bencana alam, ancaman yang serius terhadap orang yang sangat dicintai, melihat orang lain disakiti atau dibunuh. Akan berakibat tidak dapat konsentrasi, mengingat, tidak dapat santai, impulsif, mudah terkejut, gangguan tidur, cemas, depresi, mati rasa; hal-hal yang menyenangkan tidak menarik lagi, ada perasaan asing terhadap orang-lain dan yang lampau. Kalau trauma dialami bersama orang lain, dan yang lain mati: ada rasa bersalah, sering terjadi mimpi buruk atau gangguan tidur. Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat orang, perang, serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama daripada trauma setelah bencana alam. Simtom memburuk jika dihadapkan kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang dewasa. Simtom pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku: ramai pendiam Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan Perlakuan Dapat melalui terapi kelompok. Dengan cara ini penderita mendapatkan support dari teman-temannya. 4. GAD (Generalized Anxiety Desease: Gangguan Kecemasan Tergeneralisasikan) Tanda-tanda; kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik: berpeluh, merasa panas, jantung berdetak keras, perut tidak enak, diare, sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering, tenggorokan terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa ada gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher dan bahu, pelupuk mata berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering berkeluh. Cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan.serangan jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak dapat tidur, tidak dapat konsentrasi. 5. Gangguan Panik Tanda-tanda: sekonyong-sekonyong\sesak nafas, detak jantung keras, sakit di dada, merasa tercekik, pusing, berpeluh, bergetar, ketakutan yang sangat akan teror, ketakutan akan ada hukuman. Depersonalisasi dan derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata, ketakutan kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya: sering, sekali seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan dengan situasi khusus, misalnya mengendarai mobil. 70 Terapi Gangguan Kecemasan
70

RSUD

Lihat dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi (Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Dr. Soetomo., 1994), h. 26-27

47

Kesehatan Mental Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka. Dalam menangani gangguan kecemasan dapat melalui beberapa pendekatan : 1.Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika Dari perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang dilekatkan kepada konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya tetap terepresi. Psikoanalisis tradisional menyadarkan bahwa kecemasan klien merupakan simbolisasi dari konflik dalam diri mereka. Dengan adanya simbolisasi ini ego dapat dibebaskan dari menghabiskan energi untuk melakukan represi. Dengan demikian ego dapat memberi perhatian lebih terhadap tugas-tugas yang lebih kreatif dan memberi peningkatan. Begitu juga dengan yang modern, akan tetapi yang modern lebih menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaaan hubungan sekarang daripada hubungan masa lampau. Selain itu mereka mendorong klien untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif. 2.Pendekatan-Pendekatan Humanistik Para tokoh humanistik percaya bahwa kecemasan itu berasal dari represi sosial diri kita yang sesungguhnya. Kecemasan terjadi bila ketidaksadaran antara inner self seseorang yang sesungguhnya dan kedok sosialnya mendekat ke taraf kesadaran. Oleh sebab itu terapis-terapis humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya. Sebagai akibatnya, klien menjadi bebas untuk menemukan dan menerima diri mereka yang sesunggguhnya dan tidak bereaksi dengan kecemasan bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul ke permukaan. 3.Pendekatan-Pendekatan Biologis. Pendekatan ini biasanya menggunakan variasi obat-obatan untuk mengobati gangguan kecemasan. Diantaranya golongan benzodiazepine Valium dan Xanax (alprazolam). Meskipun benzodiazepine mempunyai efek menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan depensi fisik. Obat antidepresi mempunyai efek antikecemasan dan antipanik selain juga mempunyai efek antidepresi. 71 4.Pendekatan-Pendekatan Belajar Efektifitas Penanganan kecemasan dengan pendekatan belajar telah banyak dibenarkan oleh beberapa riset. Inti dari pendekatan belajar adalah usaha
71 Lihat Panggabean, L. (2003). Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek Psikososial. (makalah). Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat DepKes. H.5-7

48

Kesehatan Mental untuk membantu individu menjadi lebih efektif dalam menghadapi situasi yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut. Ada beberapa macam model terapi dalam pendekatan belajar, diantaranya : a) Pemaparan Gradual Metode ini membantu mengatasi fobia ataupun kecemasan melalui pendekatan setapak demi setapak dari pemaparan aktual terhadap stimulus fobik. Efektifitas terapi pemaparan sudah sangat terbukti, membuat terapi ini sebagai terapi pilihan untuk menangani fobia spesifik. Pemaparan gradual juga banyak dipakai pada penanganan agorafobia. Terapi bersifat bertahap menghadapkan individu yang agorafobik kepada situasi stimulus yang makin menakutkan, sasaran akhirnya adalah kesuksesan individu ketika dihadapkan pada tahap terakhir yang merupakan tahap terberat tanpa ada perasaan tidak nyaman dan tanpa suatu dorongan untuk menghindar. Keuntungan dari pemaparan gradual adalah hasilnya yang dapat bertahan lama. Cara Menanggulangi ataupun cara membantu memperkecil kecemasan: b) Rekonstruksi Pikiran Yaitu membantu individu untuk berpikir secara logis apa yang terjadi sebenarnya. biasanya digunakan pada seorang psikolog terhadap penderita fobia. c) Flooding Yaitu individu dibantu dengan memberikan stimulus yang paling membuatnya takut dan dikondisikan sedemikan rupa serta memaksa individu yang menderita anxiety untuk menghadapinya sendiri. d) Terapi Kognitif Terapi yang dilakukan adalah melalui pendekatan terapi perilaku rasional-emotif, terapi kognitif menunjukkan kepada individu dengan fobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irrasional untuk penerimaanpenerimaan sosial dan perfeksionisme melahirkan kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi sosial. Kunci terapeutik adalah menghilangkan kebutuhan berlebih dalam penerimaan sosial. Terapi kognitif berusaha mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan fobia sosial mungkin berpikir bahwa tidak ada seorangpun dalam suatu pesta yang ingin bercakap-cakap dengannya dan bahwa mereka akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup mereka. Terapi kognitif membantu mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka dan membantu mereka untuk melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh tekhnik kognitif adalah restrukturisasi kognitif, suatu proses dimana terapis membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit kecemasan. e) Terapi Kognitif Behavioral (CBT) Terapi ini memadukan tehnik-tehnik behavioral seperti pemaparan dan tehnik-tehnik kognitif seperti restrukturisasi kognitif. Beberapa gangguan kecemasan yang mungkin dapat dikaji dengan 49

Kesehatan Mental penggunaan CBT antara lain : fobia sosial, gangguan stres pasca trauma, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik. Pada fobia sosial, terapis membantu membimbing mereka selama percobaan pada pemaparan dan secara bertahap menarik dukungan langsung sehingga klien mampu menghadapi sendiri situasi tersebut.72

4. Gangguan Kepribadian Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orangorang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian neurose dan gangguan intelegensi sebagaian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepridian histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat, Maslim (1998). John C. Nemiah, MD, profesor psikiatri dari Harvard Medical School dalam bukunya Foundations of Psychopathology menjelaskan istilah narsisme berasal dari kata Narcissus, nama seorang pemuda tampan dalam mitos Yunani kuno. Konon suatu hari Narcissus menangkap citra wajahnya pada permukaan air yang tenang di hutan, dan sontak ia jatuh cinta pada diri sendiri. Selanjutnya ia putus asa karena tidak mampu memenuhi apa yang sangat diinginkannya; ia bunuh diri dengan sebilah belati. Dari tetesan darahnya yang jatuh di dekat air, tumbuhlah bunga yang sampai sekarang dikenal dengan nama Narcissus. Dari penjelasan di atas, tergambar adanya kesulitan besar berhubungan dengan orang lain bila kita terlalu mengagumi diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri yang berlebihan membuat kita selalu lapar untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan diri sendiri, selalu mencari perhatian dan pujian, serta tidak peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. A. Pengertian Gangguan Kepribadian Gangguan Kepribadian adalah pola-pola perilaku maladaptive yang sifatnya kronis, dan sepenuhnya tidak merasakan gangguan (Meyer dan Salmon, 1984). Beberapa ciri lain gangguan kepribadian antara lain adalah kepribadian menjadi tidak fleksibel, tidak wajar atau tidak dewasa dalam menghadapi stres dalam memecahkan masalah. Mereka umumnya tidak
Lihat selengkapnya dalam Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. (Bandung: PT. Refika Aditama., 2005), h. 74-77
72

50

Kesehatan Mental kehilangan kontak dengan realitas dan tidak menunjukkan kekacauan perilaku yang mencolok seperti pada penderita narsistik. Penderitaan ini biasanya dialami oleh para remaja dan dapat berlangsung sepanjang hidup ( Atkinson dkk., 1992). Gangguan kepribadian narsissistik (narcissistic personality disorder) atau cinta pada diri sendiri digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa kepentingan diri yang melambung (gradiositas) dan dipenuhi khayalankhayalan sukses bahkan saat prestasi mereka biasa saja, jatuh cinta pada dirinya sendiri karena merasa mempunyai diri yang unik, selalu mencari pujian dan perhatian, serta tidak peka terhadap kebutuhan orang lain, malahan justru seringkali mengeksplorasinya. ( Atkinson dkk., 1992). Dan mereka juga beranggapan bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh karena itu, mereka sangat sulit atau tidak dapat menerima kritik dari orang lain. Mereka selalu ingin mengerjakan sesuatu sesuai dengan cara yang sudah mereka tentukan dan seringkali ambisius serta mencari ketenaran. Sikap mereka ini mengakibatkan hubungan yang mereka miliki biasanya rentan (mudah pecah) dan mereka dapat membuat orang lain sangat marah karena penolakan mereka untuk mengikuti aturan yang telah ada. Mereka juga tidak mampu untuk menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, biasanya mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri, atau dengan kata lain mereka bersifat self-absorbed. Meski mereka berbagi ciri tertentu dengan kepribadian histrionik, seperti tuntutan untuk menjadi pusat perhatian, mereka memiliki pandangan yang jauh lebih membanggakan tentang diri mereka sendiri dan kurang melodramatik dibanding orang dengan kepribadian histrionik. Label gangguan kepribadian ambang (BPD) terkadang dikenakan pada mereka, namun orang dengan kepribadian narsistik umumnya dapat mengorganisasi pikiran dan tindakan mereka dengan lebih baik. Mereka cenderung lebih berhasil dalam karier mereka dan lebih bisa meraih posisi dengan status tinggi dan kekuasaan. Hubungan mereka juga cenderung lebih stabil dibanding dengan orang BPD. Walaupun lebih dari setengah orang yang didiagnosis dengan gangguan ini adalah laki-laki, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perbedaan gender yang mendasar pada tingkat prevalensi dalam populasi umum. Derajat tertentu dari narsisme dapat mencerminkan penyesuaian diri yang sehat akan rasa tidak aman, sebuah tameng akan kritik dan kegagalan, atau motif untuk berprestasi (Goleman, 1988). Kualitas narsistik yang berlebihan dapat menjadi tidak sehat, terutama bila kelaparan akan pemujaan yang menjadi keserakahan. 51

Kesehatan Mental b. Ciri-Ciri Gangguan Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut: 1. Merasa Diri Paling Hebat 2. Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya (is often envious of others or believes that others are envious of him or her). 3. Fantasi Kesuksesan & Kepintaran 4. Sangat Ingin dikagumi (requires excessive admiration). 5. Kurang empati (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with the feelings and needs of others). 6. Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan (has a sense of entitlement). 7. Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik (shows arrogant, haughty behavior or attitudes). 8. Kepercayaan Diri yang Semu 9. Yakin bahwa dirinya khusus, unik dan dapat dimengerti hanya oleh atau harus dengan orang atau institusi yang khusus atau memiliki status tinggi. 73 Secara sains tidak ditemukan sebab-sebab yang sifatnya mengungkapkan narsistik, tapi banyak riset yang mengungkapkan bahwa ada faktor tertentu yang menandakan bahwa seseorang itu memiliki gangguan kepribadian narsistik antara lain: 1. merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain 2. merasa diri unik dan istimewa 3. Suka dipuji dan jika perlu memuji diri sendiri 4. kecanduan difoto atau di shooting 5. suka berlama lama di depan cermin 6. kebanggan berlebih 7. Eksploitatif secara interpersonal(is interpersonally exploitative), yaitu mengambil keuntungan dari orang lain demi kepentingan diri sendiri. 8. Perilaku congkak/ sombong.74 Spencer A Rathus dan Jeffrey S. Nevid menyebutkan dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000) bahwa orang yang Narcissistic memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Hal tersebut dapat berupa kekaguman yang berlebihan terhadap wajah sendiri atau dapat pula terhadap bagian tubuh tertentu seperti menyukai bentuk mata, bentuk bibir, betis
Lihat Fausiah, F & Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Klinis Dewasa (Jakarta : Universitas Indonesia, 2005), h. 47-51 74 Lihat Ibid., h. 54
73

52

Kesehatan Mental dsb.Kebutuhan untuk diperhatikan dapat pula menjadikan seseorang rentan terhadap kekurangan fisik. Ada yang merasa sangat tidak nyaman gara gara jerawat bandel, ada merasa perlu dandan total, walaupun cuma mau ke pasar.75 Contoh Kasus: David berprofesi sebagai pengacara dan berusia awal 40an. Dia pertama kali datang mengunjungi psikolog untuk mengatasi mood negatifnya. Sejak awal pertemuan tampak bahwa David sangat menaruh perhatian pada penampilannya. Dia secara khusus menanyakan pendapat terapis mengenai baju setelan model terbaru yang dikenakannya dan juga sepetu barunya. David juga bertanya kepada terapis tentang mobil yang digunakan dan berapa banyak klien kelas atas yang ditangani oleh terapis tersebut. David sangat ingin memastikan bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang yang terbaik bidangnya. David bercerita tentang kesuksesannya dalam bidang akademis dan olahraga, tanpa mampu memberikan bukti apapun yang memastikan keberhasilannya. Selama bersekolah di sekolah hukum, dia adalah seorang work- aholic, penuh akan fantasi akan keberhasilannya hingga tidak memiliki waktu untuk isterintya. Setelah anak mereka lahir, David semakin sedikit menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak lama setelah dia memliki pekerjaan yang mapan, David menceraikan isterinya karena tidak lagi membutuhkan bantuan ekonomi dario sang istri. Setelah perceraian tersebut, David memutuskan bahwa dia benar-benar bebas untuk menikmati hidupnya. Dia sangat suka menghabiskan uang untuk dirinya sendiri, misalnya dengan menghias apaartemennya dengan berbagai benda-benda yang sangat menarik perhatian. Dia juga seringkali berhubungan dengan wanita-wanita yang sangat menarik. Dalam pergaulannya, David merasa nyaman apabila dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Dia pun merasa nyaman ketika dia berfantasi mengenai kepopuleran yang akan diraihnya, mendapatkan suatu penghargaan, ataupun memiliki kekayaan berlimpah (sumber : Barlow & Durant, 1995). Dengan Individu dengan gangguan kepribadian narsisitik tidak memiliki self-esteem yang mantap dan mereka rentan untuk menjadi depresi. Masalahmasalah yang biasanya muncul karena tingkah laku individu yang narsistik misalnya sulit membina hubungan interpersonal, penolakan dari orang lain, kehilangan sesuatu atau masalah dalam pekerjaan. Kesulitan lainnya adalah mereka ternyata tidak mampu mengatasi stress mereka rasakan dengan baik. Gangguan kepribadian narsistik merupakan gangguan yang kronis dan sulit untuk mendapatkan perawatan. Mereka biasanya tidak dapat menerima
75

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. (Jakarta : Erlangga, 2003), h.. 72-

74

53

Kesehatan Mental kenyataan bahwa usia mereka sudah lanjut, mereka tetap menghargai kecantikan, kekuatan, dan usia muda secara tidak wajar. Oleh karena itu, mereka lebih sulit untuk melewati krisis pada usia senja ketimbang individu lain pada umumnya. Pada penderita narsisme terdapat hubungan erat antara kebutuhan narsistik dengan kemarahan, bila kebutuhan itu tidak terpuaskan maka akan timbul reaksi tidak setuju dan marah ketika gagal mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kebutuhan dan tuntutannya atas orang lain lebih kuat dan lebih sering dibanding orang dewasa yang berkepribadian matang. Akibat adanya perasaan lemah, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan yang dialami secara intensif; dan seringnya terjadi ketidakpuasan (kekecewaan); ia mulai berharap, seringkali mencari, menyeberang ke orang lain, dan makin kuat sensitivitasnya terhadap penolakan sehingga reaksi-reaksi kemarahannya sangat kuat. Ini bertentangan dengan harapannya untuk menjadi orang yang baik dan mencintai, sehingga menambah perasaan ketidakcakapan, ketidakberdayaan, dan rasa bersalah. Penderita narsisme terjebak dalam lingkaran setan, di mana sebuah tindakan dapat membuat mereka semakin mengalami kesulitan. Kondisi psikologis ambivalen (atau keadaan memiliki hubungan yang ambivalen dengan seseorang yang penting) seperti itu, jelas bukan keadaan yang nyaman. Nemiah juga menjelaskan bahwa penderita narsisme besar kemungkinannya menderita kesulitan emosional, bila dihadapkan pada kematian individu tempat dirinya bergantung dalam memenuhi kebutuhankebutuhan narsistiknya. c. Metode Penanganan Adakah cara untuk keluar dari gamgguan kepribadian narsisme? Tentu saja yaitu dengan mengambil jalur lain; tidak mengikuti dorongan emosi atau dorongan bertindak yang diarahkan oleh narsisme. Untuk itu diperlukan kesediaan mengamati gerak-gerik emosi dan keinginan-keinginan di balik perilaku kita dalam berhubungan dengan orang lain, supaya dorongan yang egoistis dan tidak realistis dapat dikenali. Selain itu juga harus mulai belajar berempati, membiasakan diri mengamati masalah dari perspektif orang lain.Sedikitnya ada dua fakta yang bisa menjelaskan kesombongan di dalam diri manusia. Yang pertama, semua orang tidak suka melihat kesombongan di dalam diri orang lain. Kedua, tidak ada orang yang bisa menerima dengan ikhlas apabila kesombongannya dikoreksi orang lain. Dalam Al-quran sifat-sifat seperti itu harus ditinggalkan dan dihindari dalam hubungan kita dengan sesama manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surah Luqman (31), ayat 18 berbunyi:

54

Kesehatan Mental Terjemahnya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.76 Adapun proses atau solusi yang dapat kita lakukan: 1. Selalu menciptakan perbandingan positif. Artinya,kita melihat orang lain sebagai makhluk yang piunya kelebihan dan mempunyai sesuatu materi yang bisa kita bagikan untuk memperbaiki diri, siapapun orang itu. 2. Koreksi langsung. Terkadang kita memunculkan ucapan, perilaku dan sifat-sifat yang mengandung kesombongan dan itu baru kita sadari setelah kita renungkan. 3. Menumbuhkan dorongan untuk melaklukan learning (pembelajaran hidup). 4. Belajar hidup sederhana. Sederhana disini bukan berati miskin atau berpura-pura miskin. Sederhana adalah moderasi yang proporsional. Sederhannya orang kaya adalah menghindari kefoya-foyaan atau berlebihlebihan untuk hal-hal yang manfaatnya kecil, sedangkan sederhannya orang yang belum atau tidak kaya adalah menghindari munculnya nafsu untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyengsarakan diri. Hal ini agar kita tidak masuk kedalam perangkap hedonisme. 5. Belajar memilih ungkapan, penyingkapan dan keputusan yang bersumber dari kerendahan hati ( humble). Misalnya: melihat cara orang lain, membaca buku, mengoreksi diri kita dimasa lalu dan lain. Karena hukum paradoks yang bekerja didunia ini menggariskan bahwa ketika kita humble,justru feed back yang muncul adalah sebaliknya, begitu juga tinggi hati (arogant), feed back yang muncul sebaliknya lagi. 5. Gangguan Mental Organik Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada
76

Departemen Agama, op.cit., h. 655

55

Kesehatan Mental berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan menahun. Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional.77 Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut Gangguan Mental Organik dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.78 Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh .79 PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.80
77

Lihat W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Cet. VI;Surabaya: Airlangga University Press, 1992), h.

179-211.

Lihat Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid 1. (Jakarta: Binarupa Aksara,1997), h. 502-540. Lihat Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. (Jakarta: Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001), h. 189-192.
80 79

78

Lihat Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993, h.3

56

Kesehatan Mental Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut : l. Demensia pada penyakit Alzheimer 1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini. 1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat. 1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran. 1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT). 2. Demensia Vaskular 2.1.Demensia Vaskular onset akut. 2.2. Demensia multi-infark 2.3 Demensia Vaskular subkortikal. 2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal 2.5. Demensia Vaskular lainnya 2.6. Demensia Vaskular YTT 3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK) 3.1. Demensia pada penyakit Pick. 3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob. 3. 3. Demensia pada penyakit huntington. 3.4. Demensia pada penyakit Parkinson. 3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV). 3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK 4. Demensia YTT. Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut : 1. Tanpa gejala tambahan. 2. Gejala lain, terutama waham. 3. Gejala lain, terutama halusinasi 4. Gejala lain, terutama depresi 5. Gejala campuran lain. 5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya 6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya 6.1. Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia 6.2. Delirium, bertumpang tindih dengan demensia 6. 3. Delirium lainya. 6.4 DeliriumYTT. 7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik. 7.1. Halusinosis organik. 7.2. Gangguan katatonik organik. 57

Kesehatan Mental 7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia) 7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik. 7.4.1. Gangguan manik organik. 7.4.2. Gangguan bipolar organik. 7.4.3. Gangguan depresif organik. 7.4.4. Gangguan afektif organik campuran. 7.5. Gangguan anxietas organik 7.6. Gangguan disosiatif organik. 7.7. Gangguan astenik organik. 7.8. Gangguan kopnitif ringan. 7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT. 7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT. 8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak 8.1. Gangguan keperibadian organik 8.2. Sindrom pasca-ensefalitis 8.3. Sindrom pasca-kontusio 8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak lainnya. 8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak YTT. 9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT81 Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut: 1. Demensia dan Delirium 2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala. 3. Aterosklerosis otak 4. Demensia senilis 5. Demensia presenilis. 6. Demensia paralitika. 7. Sindrom otak organik karena epilepsi. 8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan intoksikasi. 9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial. Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut: 1. Delirium 1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
81

Lihat Ibid., h. 5-9

58

Kesehatan Mental 1.2. Delirium akibat zat. 1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT) 2. Demensia. 2.1. Demensia tipe Alzheimer. 2.2. Demensia vaskular. 2.3. Demensia karena kondisi umum. 2.3.1. Demensia karena penyakit HIV. 2.3.2. Demensia karena penyakit trauma kepala. 2.3.3. Demensia karena penyakit Parkinson. 2.3.4. Demensia karena penyakit Huntington. 2.3.5. Demensia karena penyakit Pick 2.3.6. Demensia karena penyakit Creutzfeldt Jakob 2.4. Demensia menetap akibat zat 2.5. Demensia karena penyebab multipeL 2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT) 3. Gangguan amnestik 3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum. 3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat 3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT ) 4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.82 Salah satu contoh gejala utama pada penyakit delirium adalah kesadaran yang menurun. Gejala-gejala lain adalah penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada yang hanya berbicara komat-kamit dan inkoherent. Pasien delirium yang berhubungan dengan sindrom putus obat merupakan jenis hiperaktif yang dapat dikaitkan dengan tanda-tanda otonom, seperti flushing, berkeringat, takikardi, dilatasi pupil, nausca, mundan dan hipertermi. Orientasi waktu seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin terganggu pada kasus yang berat. Pasien seringh mengalami Abromalitas dalam berbahasa, seperti pembicaraan yang bertele-tele, tidak relevan dan inkoheren. Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat dan fungsi kognitif umum. Pasien mungkin tidak mampu membedakan rangsang sensorik dan mengintegrasikannya sehingga sering merasa terganggu dengan rangsang yang tidak sesuai atau timbul agitasi, gejala yang sering tampak adalah marah, mengamuk dan ketakutan yang tidak beralasan, pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga tampak mengamuk sepanjang hari dan tertidur dimana saja .

82

Lihat W.F Maramis, op.cit., h. 211-215

59

Kesehatan Mental Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkannya sudah sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Jika disebabkan oleh proses langsung menyerang otak, bila proses itu sembuh, maka gejalagejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang ditinggalkan (gejala neurologik/gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi). Biasanya delirium muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari) faktor penyebabnya telah dapat diketahui dan dihilangkan, walaupun delirium biasanya terjadi mendadak, gejala-gejala prodnormal mungkin telah terjadi beberapa hari sebelumnya. Prognosa tergantung pada dapat atau tidak dapat kembalinya penyakit yang menyebabkannya dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh penyakit itu .83 Adapun upaya-upaya /pendekatan dalam menangani gangguan mental organik antara lain; 1. Pendekatan Medis pada Gangguan Mental a). Sejak 2 abad terakhir, konsep gangguan mental sebagai penyakit yang disebabkan oleh faktor natural dan dapat dijelaskan secara ilmiah merupakan pandangan yang cukup dominan. b). Para dokter berusaha menjelaskan bentuk dan jenis penyakit mental, menemukan penyebabnya, ciri-cirinya dan mengembangkan metode treatment yang tepat. c). Anggapan dokter adalah bahwa setiap terjadi perilaku yang patologis merupakan penyakit susunan saraf. Penelitian dalam hal ini sudah banyak dilakukan. d). Tradisi psikiatri medis paling terwakili oleh Emil Kraepelin (1855 1926). Ia mencoba mendaftar gejala-gejala yang tampak dari disfungsi mental, kemudian mengklasifikasikan pasien berdasarkan pola simtom dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan penyakit mental. e). Kraepelin melabel 2 penyakit mental parah yang paling umum yakni dementia praecox (sekarang lebih dikenal dengan sebutan skizofrenia, dari istilah Eugen Bleuler) dan manic-depressive psychosis. 2. Pendekatan Psikologis pada Gangguan Mental a. Psikopatologi tidak hanya mengetengahkan konsep penyakit psychological functioning, tapi juga mengetengahkan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor psikologis. b. Orientasi psikogenik muncul pada studi tentang histeria, yaitu suatu kondisi neurotis yang sering ditandai dengan gejala fisik seperti, mati rasa, kebutaan dan juga gejala behavioral seperti kehilangan memori, kepribadian atau kondisi emosi yang tidak menentu. Pada abad 18 dan

83

Lihat Ibid., h. 182

60

Kesehatan Mental 19, di Eropa banyak dijumpai subjek yang mengalami simtom histeria tersebut. c. Untuk menjelaskan terjadinya histeria tersebut, muncul beberapa pandangan yang berorientasi psikogenik. Salah satunya adalah dokter Austria, Franz Anton Mesmer (1734 1815). d. Studi tentang histeria ini menggunakan metode hipnotis. Di bawah kondisi hipnotis, pasien dengan histeria dapat memunculkan kembali simtom histeria yang biasanya muncul. Hipnotis kemudian menjadi suatu metode yang penting dalam treatment psikologis, terutama psikoanalisa yang biasa menggunakan asosiasi bebas dan interpretasi mimpi untuk mengeksplorasi alam bawah sadar. e. Selain hipnotis, metode lain yang digunakan untuk melakukan terapi pada gangguan mental adalah katarsis yang dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud. f. Katarsis adalah suatu metode terapeutik dimana pasien diminta untuk mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional. g. Mesmer, Charcot, Breuer dan Freud mengembangkan metode hipnotis dan katarsis. Hal itu menunjukkan adanya orientasi psikogenik terhadap gangguan mental.84 3. Pendekatan Agama yaitu dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: - Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar - Puasa dapat meningkatkan ketakwaan dan kesehatan. - Zakat dapat mendistribusikan kekayaaan dari mereka yang mampu - Menutup aurat dan Jilbab dapat mencegah dari kejahatan seksual - Sabar dan Shalat dapat menjadi penolong - Tahajud dapat meningkatkan daya sembuh penyakit - Wudhu dapat meredakan amarah - Mandi sebelum tahajud dapat meningkatkan kecerdasan - Shodaqoh dapat mencegah bala dan musibah - Dzikir dapat meningkatkan ketentraman - Membaca al-Quran meningkatkan ketenangan dan rasa bahagia - Majelis ilmu dapat meningkatkan sakinah - Seksual sehat dapat meningkatkan kasih sayang - Silaturahmi memperluas jejaring rizki - Tidur miring ke kanan posisi barat-utara memberi manfaat - Meludah dan taawudz dapat menghilangkan pengaruh mimpi buruk

84

Mike W.Martin, op.cit., h.126

61

Kesehatan Mental - Berdoa sebelum tidur menentramkan jiwa dan menghilangkan gangguan sulit tidur/semacam imsomnia - Berdoa setelah bangun tidur menghilangkan malas - Memaafkan dapat melapangkan hati - Ar-ruqyah dapat menghilangkan gangguan psikologis dan syetan Selanjutnya pengobatan dilakukan dengan beberapa cara dengan mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis (psikoterapi dan sosioterapi) serta psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh dokter sangat tergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait dengannya. Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada faktor somatis (fisik). Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan yang lebih parah akan menurunkan kepercayaan pasien akan kemungkinan penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah kelainan psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memang agak sulit untuk membedakannya dengan gangguan psikosomatis sehingga baru dapat dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah perlunya psikoterapi sebagai pendamping terapi somatik. Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis yang tersembunyi pada pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat turut hilang. Pada keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi penyakit masih menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan psikofarmaka (obat-obat yang biasa digunakan dalam bidang psikologi) karena mungkin gangguan psikologis yang diderita berhubungan dengan kondisi kimiawi di otak yang mengalami ketidakseimbangan. Terapi psikofarmaka dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengobati atau mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood (keinginan) yang mengalami gangguan akibat perubahan zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan otak pada satu sisi dan pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks dan belumlah dimengerti seluruhnya. Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya, terapi obat gangguan mental adalah bersifat empiris (bukti yang didapatkan setelah pemberian obat). Namun demikian, banyak terapi organik yang langsung memperbaiki kelainan pada otak telah terbukti sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi tertentu. Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat tidur, obat penenang, dan antidepresan. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan 62

Kesehatan Mental yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).85 Yang dapat anda lakukan: Lihat/ukur kemampuan sendiri. Belajar untuk menerima dan mencintai diri sendiri seperti apa adanya. Temukan penyebab perasaan negatif dan belajar untuk menangulanginya. Jangan memperberat masalah dan coba untuk sekali-sekali mengalah terhadap orang lain meskipun mungkin anda dipihak yang benar. Biarkan orang lain ikut memikirkan masalah anda. Ceritakan kepada pasangan hidup, teman, supervisor atau pemimpin agama. Mereka mungkin bisa membantu meletakkan masalah anda sesuai dengan proporsinya dan menawarkan cara-cara pemecahan yang berguna .Cobalah mandi dengan air hangat dan ramuan wewangian sebelum tidur untuk menghilangkan stress sepanjang hari. Teknik relaksasi seperti napas dalam, meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan stress. Tips untuk mencegah terjadinya gangguan mental organik adalah rencanakan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan anda dalam jangka lama dan beri waktu secukupnya bagi diri anda untuk menyesuaikan dari perubahan satu ke yang lainnya. Rencanakan waktu anda dengan baik. Buat daftar yang harus dikerjakan dan dilaksanakan sesuai urutan prioritas. Buat keputusan dengan hati-hati. Pertimbangkan masak-masak segi baik atau buruk sebelum memutuskan sesuatu. Bangun suatu sistim pendorong yang baik dengan cara banyak berteman dan mempunyai keluarga yang bahagia. Mereka akan selalu bersama anda dalam setiap kesulitan. Jaga kesehatan, makan dengan baik, tidur cukup dan latihan olah raga secara teratur. Rencanakan waktu untuk rekreasi dan teknik relaksasi seperti napas dalam, meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan stress. Berolahragalah, bisa berupa aerobic; paling sedikit 3 kali dalam satu minggu, selama 20-45 menit. Tingkatkan makan makanan yang kaya akan karbohidrat (buah-buahan, sayuran, dan padi-padian) dan kurangi konsumsi gula dan makanan yang telah dimurnikan. Kurangi konsumsi kopi, teh, dan alkohol. Di pagi hari bukalah jendela kamar, dan mulailah hari Anda dengan mengambil napas dalam-dalam, dan ulangilah bila Anda sedang mengalami stress. Pertahankan hubungan baik dengan keluarga anda. Tetap pelihara hubungan dengan teman-teman anda. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya dengan melakukan hobi anda atau melakukan sesuatu untuk orang lain. Pertahankan agar pikiran anda tetap aktif dengan mengikuti hal-hal yang baru.

85

Lihat Ibid., h. 137

63

Kesehatan Mental 6. Gangguan Psikosomatik Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik. 86 Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan prilaku kesehatan yang maladaptif. Kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta interaksi diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam perkembangan semua penyakit, namun apakah peranannya dalam memulai, perkembangan, memperberat dan eksaserbasi penyakit, predisposisi atau reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan. Dengan demikian kedokteran prilaku adalah istilah yang khusus untuk kedokteran psikosomatis.87-Psikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan somatis yang artinya tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual of Mental Disorders edisi ke empat (DSM IV) istilah psikosomatis telah digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis. 88 Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai usaha untuk mempelajari interelasi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek fisis semua faal jasmani dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara fenomena kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam keadaan sehat maupun sakit.89 Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis : 1. Stres Umum Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau suatu situasi kehidupan dimana individu tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala urutan penyesuaian kembali sosial (social read justment rating scale ) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata.
86

87

Lihat Ibid., h. 214-216 Lihat Grebb Saddock Kaplan, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi ketujuh. (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), h.

276-303 Lihat Ibid., h. 304 Lihat Budihalim S, dan Sukatman D . Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI Jakarta, 1999), h. 591-592
89
88

64

Kesehatan Mental Sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan. 2. Stres Spesifik Lawan Non Spesifik Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefenisikan sebagai kepribadian spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostatis yang berperan dalam perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertama kali diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi miokardium). 3. Variabel Fisiologis Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel lainnya adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipofisis anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai hormonal, hormon dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana hormon tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan hormon dari kelenjar endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja monosit sistem kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan sebagai pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis dan mood. --Proses emosi terdapat di otak dan disalurkan melalui susunan saraf otonom vegetatif ke alat-alat viseral yang banyak dipersarafi oleh saraf-saraf otonom vegetatif tersebut, seperti kardiovascular, traktus digestifus, respiratorius, sistem endokrin dan traktus urogenital.90 Adapun kriteria klinis penyakit psikosomatis terdiri atas kriteria yang negatif dan kriteria yang positif. 1. Kriteria yang positif ( yang biasanya tidak ada) a.. Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti sekalipun, walaupun mempergunakan alat-alat canggih. Bila ada kelainan organik belum tentu bukan psikosomatik, sebab :
Lihat Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. (Jakartta: Media Aesculapius FK UI 1999), h. 228-231
90

65

Kesehatan Mental 1).Bila penyakit psikosomatik tidak diobati, dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat yang dikeluhkan. 2). Secara kebetulan ada kelainan organik, tapi kelainan ini tidak dapat menerangkan keluhan yang ada pada pasien tersebut, yang dinamakan koinsidensi. 3). Sebelum timbulnya psikosomatis, telah ada lebih dahulu kelainan organiknya tetapi tidak disadari oleh pasien. Baru disadari setelah diberitahu oleh orang lain atau kadang-kadang oleh dokter yang mengobatinya. Hal ini membuatnya menjadi takut, khawatir dan gelisah, yang dinamakan iatrogen.91 b. Tidak didapatkan kelainan psikiatri. Tidak ada gejala-gejala psikotik yakni tidak ada disintegrasi kepribadian, tidak ada distorsi realitas. Masih mengakui bahwa dia sakit, masih mau aktif berobat. 2. Kriteria positif (yang biasanya ada) a. Keluhan-keluhan pasien ada hubungannya dengan emosi tertentu b. Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain, yang dinamakan shifting phenomen atau alternasi. c. Adanya vegetatif imbalance (ketidakseimbangan susunan saraf otonom) d. Penuh dengan stress sepanjang kehidupan (stress full life situation) yang menjadi sebab konflik mentalnya. e. Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhankeluhannya. f. Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) proksimal dari keluhankeluhannya. g. Adanya faktor predisposisi yang dicari dari anamnesis longitudinal. Yang membuat pasien rentan terhadap faktor presipitasi itu. Faktor predisposisi dapat berupa faktor fisik / somatik, biologi, stigmata neurotik, dapat pula faktor psikis dan sosiokultural. Kriteria-kriteria ini tidak perlu semuanya ada tetapi bila ada satu atau lebih, presumtif, indikatif untuk penyakit psikosomatis.92Manifestasi klinis Beberapa manifestasi klinis dari gangguan psikosomatis antara lain: 1. Terdapat suatu kondisi medis umum 2. Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umum dengan cara: a. Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum seperti yang ditunjukkan oleh hubungan temporal yang erat antara faktor
91

92

Lihat Ibid., h. 232-234 Lihat Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. (Surabaya: Airlangga University Press,1980), h.:339-341

66

Kesehatan Mental psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dari atau keterlambatan penyembuhan dari kondisi medis umum. b. Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum c. Faktor psikologis berperan dalam resiko kesehatan individu d. Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau mengeksasebasi gejala kondisi medis umum.93 Yang dimaksud dengan faktor psikologis tersebut adalah: a. Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (misalnya gangguan depresi berat memperlambat penyembuhan infark miokard) b. Gangguan psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresi memperlambat pemulihan setelah pembedahan, kecemasan mengeksasebasi asma) c. Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis (misalnya penyangkalan patologis terhadap kebutuhan pembedahan pada seorang pasien dengan kanker, psikologi lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi perilaku bermusuhan dan tertekan berperan pada penyakit kardiovaskuler) d. Gangguan kesehatan maladatif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak melakukan olahraga, seks yang tidak aman, makan yang berlebihan) e. Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis (misalnya eksasebasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau nyeri kepala yang berhubungan dengan stres). f. Faktor medis (misalnya faktor personal, kultural atau religius). 94Gangguan Spesifik pada Psikosomatis Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis: 1. Sistem Kardiovaskuler Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa mengurangi frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah. Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.95
Lihat Ibid., h. 345-347 Lihat Ibid., h. 348-349 95 Lihat Budihalim S. Mudjadid. Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV.(Jakarta: FK UI Jakarta 2006), h.: 903-908
94 93

67

Kesehatan Mental a. Penyakit arteri koroner Penyakit arteri koroner menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung yang ditandai oleh rasa tidak nyaman, tekanan pada dada dan jantung episodik. Keadaan ini biasanya ditimbulkan oleh penggunaan tenaga dan stres dan dihilangkan oleh istirahat atau nitrogliserin sublingual. Flanders Dunbar menggambarkan pasien dengan penyakit jantung koroner sebagai kepribadian agresif-kompulsif dengan kecenderungan bekerja dengan waktu yang panjang dan untuk meningkatkan kekuasaan. Meyer Fiedman dan Ray Rosenman mendefinisikan kepribadian tipe A tipe B. Kepribadian tipe A adalah berhubungan erat dengan perkembangan penyakit jantung koroner. Mereka adalah orang yang berorientasi tindakan berjuang keras untuk mencapai tujuan yang kurang jelas dengan cara permusuhan kompetitif. Mereka sering agresif, tidak sabar, banyak bergerak dan berjuang dan marah jika dihalangi. Kepribadian tipe B adalah kebalikannya. Mereka cenderung santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang mencapai tujuannya.96 Untuk menghilangkan ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi menggunakan obat psikotropika, contohnya diazepam. Terapi medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan. b. Hipertensi esensial Orang dengan hipertensi tampak dari luar menyenangkan, patuh dan kompulsif walaupun kemarahan mereka tidak di ekspresikan secara terbuka, mereka memiliki kekerasan yang terhalangi, yang ditangani secara buruk. Mereka tampak memiliki presdiposisi untuk hipertensi, yaitu bila terjadi stres kronis pada kepribadian kompulsif yang terpresdiposisi secara genetik yang telah merepresi dan menekan kekerasan, dapat terjadi hipertensi. Keadaan ini cenderung terjadi pada kepribadian tipe A.97 Psikoterapi supotif dan dan teknik perilaku ( biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam pengobatan hipertensi. c. Gagal jantung kongestif Faktor psikologis seperti stres, dan konflik emosional non spesifik, sering kali bermakna dalam memulai atau eksaserbasi gangguan. Intinya bahwa psikoterapi suportif adalah penting pada pengobatannya. d. Sinkop vasomotor (vasodepressor) Sinkop vasomotor ditandai oleh kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh serangan vasovagal. Rasa khawatir atau takut akut
Lihat Ibid., h. 909-910 Lihat Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I. Aspek Psikosomatis Gangguan Pernafasan. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI ,1999), h.:614-620
97
96

68

Kesehatan Mental menghambat impuls untuk berkelahi atau melarikan diri, dengan demikian menampung darah di anggota gerak bawah, dari vasodilatasi pembuluh darah didalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan penurunan pasokan darah ke otak, sehingga terjadi hipoksia otak dan kehilangan kesadaran. e. Aritmia jantung Aritmia yang potensial membahayakan hidup kadang-kadang terjadi dengan luapan emosional dan trauma emosional. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti propanolol. f. Fenomena Raynaud Fenomena Raynaud seringkali disebabkan oleh stres eksternal. Terapi dapat diobati dengan psikotropika suportif, relaksasi progesif atau biofeedback dan dengan melindungi tubuh dari dingin dan menggunakan sedatif ringan. g. Jantung psikogenik bukan penyakit Beberapa pasien adalah bebas dari penyakit jantung tetapi masih mengeluh gejala yang mengarah ke jantung. Mereka seringkali menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantung mereka dan rasa takut akan penyakit jantung yang meningkat. Rasa takut mereka dapat terentang dari masalah kecemasan yang dimanifestasikan oleh fobia atau hipokondriasis parah, sampai pada keyakinan waham bahwa mereka menderita penyakit jantung. 98 Pengobatan psikofarmaka ditujukan pada gejala yang menonjol. Obat antiansietas dapat digunakan pada kecemasan yang berat. 2. Sistem pernafasan a. Asma bronkialis Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan konstriksi bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien asma karateristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan. b. Hay fever Faktor psikologis yang kuat berkombinasi dengan elemen energi untuk menimbulkan Hay Fever. Faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus dipertimbangkan sebagai terapi hay fever. c. Sindroma hiperventilasi
98

Lihat Ibid., h. 621-624

69

Kesehatan Mental -Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo asma, distonia pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa: 1). Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki 2). Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang dikenal sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing 3). Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan tidak dapat bernafas bebas 4). Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan juga ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan sirkulasi 5). Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca d. Tuberkulosis Onset dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan stres akut dan kronis. Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi psikososial yang rumit.99 3. Sistem gastrointestinal a. Gastritis Kriteria psikologis diperlukan karena diagnosis dengan penemuan negatif organis dan keluhan vegetatif tidak mencukupi. Dari evaluasi psikis ditemukan:7 1). Gejala bersifat neurosis 2). Depresi dan anxietas 3). Berkeinginan untuk dirawat dan dimanja dan untuk memiliki objek yang diinginkan b. Ulkus peptikum Sifat kepribadian ulkus menjadi faktor presdiposisi. Sifat kepribadian itu antara lain:1,8 1). Tingkah laku Orang tersebut biasanya tegang, selalu was-was, sangat aktif dalam berbagai bidang. Tidak mudah menerima kenyataan bila dia gagal 2). Kepandaian Mempunyai kepandaian dalam berbagai bidang yang dikerjakan sekaligus pada waktu yang bersamaan 3). Pertanggungjawaban
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI 1999), h. 623-624
99

70

Kesehatan Mental Mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bahkan sampai memikirkan pekerjaan orang lain 4). Pengenalan terhadap penyakitnya Tidak menghiraukan penyakitnya, sering terlambat makan, merasa sakit ulu hati tapi masih mau bekerja terus, sering datang terlambat ke dokter 5). Umur Terbanyak pada usia 30-an, karena banyak faktor stres, kesulitan dalam bidang ekonomi dan keluarga 6). Jenis kelamin/ bangsa laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Kulit hitam lebih jarang dibandingkan kulit putih 7). Faktor sosial Sering ditemukan dikota besar dan daerah industri.100 Stres dan kecemasan yang disebabkan oleh berbagai konflik yang tidak spesifik dapat menyebabkan hiperasiditas lambung dan hipersekresi pepsin, yang menyebabkan suatu ulkus. Psikoterapi merupakan terapi yang dapat dipakai untuk konflik ketergantungan pasien. Biofeedback dan terapi relaksasi mungkin berguna. Terapi medis lain yang digunakan adalah cimetidine, famotidine. c. Kolitis ulserativa Tipe kepribadian dari pasien dengan Kolitis ulserativa menunjukkan sifat kompulsif yang menonjol. Pasien cenderung pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malu-malu, dan terinhibisi dalam mengungkapkan kemarahan. Stres non spesifik dapat memperberat penyakit ini. Terapi yang dianjurkan pada kolitis ulserativa yang akut adalah psikoterapi yang non konfrontatif dan suportif dengan psikoterapi interpretatif selama periode tenang. Terapi medis terdiri dari tindakan medis nonspesifik, seperti antikolinergik dan anti diare. d. Obesitas Terdapat presdiposisi familial genetika pada obesitas, dan faktor perkembangan awal ditemukan pada obesitas masa anak-anak. Faktor psikologis adalah penting pada obesitas hipergrafik (makan berlebihan). Terapi yang dianjurkan adalah pembatasan diet dan penurunan asupan kalori. Dukungan emosional dan modifikasi perilaku adalah membantu untuk kecemasan dan depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan diet. Teknik behaviour modification bertujuan untuk mengubah kebiasaan makan, salah satu programnya sebagai berikut:
Lihat Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II (Jakarta: FK UI ,1999), h., 628-629
100

71

Kesehatan Mental 1). Dekripsi tingkah laku untuk mengidentifikasi unsur mana dalam tingkah laku itu yang dapat diubah. 2). Pengendalian stimuli yang mendahului makan 3). Memperlambat proses makan 4). Menyediakan nilai untuk pengendalian yang berhasil e). Anoreksia nervosa Anoreksia nervosa ditandai oleh perilaku yang diarahkan untuk menghilangkan berat badan, pola aneh dalam menangani makanan, penurunan berat badan, rasa takut yang kuat terhadap kenaikan berat badan, gangguan citra tubuh, dan pada wanita amenore:101 4. Sistem muskuloskletal a. Artritis rematoid Stres psikologis mungkin mempresdiposisikan pasien pada artritis rematoid dan penyakit autoimun melalui supresi kekebalan. Orang artritik merasa terkekang, terikat dan terbatas. Karena banyak orang artritik memiliki riwayat aktivitas fisik. mereka seringkali memiliki rasa marah yang terepresi tentang pembatasan fungsi otot-otot mereka, yang memperberat kekakuan dan imobilitas mereka. Kriteria diagnostik untuk rasa sakit psikosomatis adalah : 1). Saat rasa sakit bersamaan dengan krisis emosional 2). Kepribadian yang khusus 3). Perbedaan frekuensi pada pria dan wanita 4). Hubungan dengan gangguan psikosomatis yang lain 5) Riwayat keluarga 6). Hilang timbul 7). Hilang pada perubahan lingkungan, pergaulan, kebudayaan b. Nyeri punggung bawah Seringkali seorang pasien dengan nyeri punggung bawah melaporkan bahwa nyerinya dimulai saat trauma psikologis atau stres. Disamping itu reaksi pasien terhadap nyeri adalah tidak sebanding secara emosional, dengan kecemasan dan depresi yang berlebihan.102 5. Sistem endokrin a. Hipertiroidisme Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh perubahan biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon tiroid endogen atau eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa intoleransi panas, keringat berleb ihan, diare, penurunan berat
Lihat Ibid., h. 630-633 Lihat Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. (Jakarta: FK UI, 1999), h. 657-658
102
101

72

Kesehatan Mental badan, takikardi, palpitasi dan muntah. Gejala dan keluhan psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan, eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan rasa takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian. b. Diabetes melitus Diabetes melitus adalah suatau gangguan metabolisme dan sistem vaskuler yang dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein tubuh. Riwayat herediter dan keluarga sangat penting dalam onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali berhubungan dengan stres emosional yang mengganggu keseimbangan homeostatik pasien yang terpredisposisi.1 Meninger berpendapat bahwa ada hubungan antara psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan: 1). Jelas adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit diabetes 2). Gangguan mental yang lain dari gejala mental yang timbul pada penyakit hati atau hipoglikemi 3). Penyembuhan gangguan mental pararel dengan keadaan kadar gula darah 4). Gangguan metabolisme karbohidrat dan glukosuria membaik dengan diet 5). Dengan sembuhnya gangguan mental, diabetes juga membaik Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada diabetes: a. Depresi b. Anxietas c. Fatik (letih)103 c. Gangguan Endokrin Wanita Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa kesehatan fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara khusus, perubahan kadar estrogen, progesteron, dan prolaktin dihipotesiskan berperan penting sebagai penyebab.Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secara bertahap, dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis telah terlibat didalam patogenesis gangguan. Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan yang terjadi setelah tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun yang disebut menopause. Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan, labilitas emosional, mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia. Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan kilatan panas ( hot flash). keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi luteinizing hormone
103

Lihat Ibid., h. 659-660

73

Kesehatan Mental (LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan, dan wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis. Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan lemak, kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan tersebut mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca menopause, seperti osteoporosis dan aterosklerosis koroner. Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan pemutusan hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk menahan proses ketuaan, kesehatan, dan tingkat aktivitas mereka, serta arti psikologis ketuaan bagi mereka. Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama menopause.104 6. Gangguan kekebalan a. Penyakit Infeksi Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan keadaan psikologis yang buruk menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang. b. Gangguan Alergi Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus alergi. Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan proses psikososial. c. Transplantasi Organ Pengaruh psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stres, kecemasan dan depresi mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan dalam mekanisme penolakan transpalantasi organ.105 7. Kanker a. Masalah Pasien Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa takut diterlantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa
104

Lihat Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II.(Jakarta: FK UI,1999), h.

659-660
105

Lihat Ibid., h. 667-668

74

Kesehatan Mental takut diputuskan dari hubungan, fungsi peran dan finansial, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker menderita gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%, gangguan depresi berat 13% dan delirium 8%. Pada pasien kanker sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri. b. Masalah yang berkaitan dengan pengobatan 1). Terapi radiasi. Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. 2). Kemoterapi. Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah 3). Rasa sakit. Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa sakit. c. Masalah Keluarga Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi yang aktif. Keluarga harus memberikan pelayanan untuk pasien. 8. Gangguan kulit a. Pruritus Menyeluruh Pruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik . kemarahan yang terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling sering, karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara kasar. b. Pruritus setempat (Pruritus ani dan Pruritus vulva). c. Hiperhidrosis Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat, karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah.106 9. Nyeri kepala a. Migren Migren adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala rekuren, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien memiliki riwayat gangguan yang sama. Kepribadian obsesional yang jelas terkendali dan perfeksionistik, yang menekan marah, dan yang secara genetik berpresdisposisi pada migren mungkin menderita nyeri kepala tersebut 1 Mekanisme terjadinya migren psikosomatis berupa: 1). Vasospasme arteri serebri
Lihat Sukatman D, Budihalim S, Aspek Psikosomatis Penyakit Reumatik Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI,1999), h. 648- 649
106

75

Kesehatan Mental 2). Distensi arteri karotis eksterna 3). Edema dinding arteri Pada periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine, Tartrate (Cafergot), dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan efek konflik dan stres. b. Tension ( kontraksi otot) Terjadi pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian tipe A yang tegang, berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan ini. Stres emosional sering kali disertai kontraksi otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh darah yang menyebabkan iskemia. Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub ocipitalis yang menyebar keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan tidak disertai gejala prodromal seperti mual dan muntah. Onset cenderung pada sore dan malam hari. Pada stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan pemijatan atau aplikasi panas pada kepala dan leher. Jika terdapat depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika kronis psikoterapi merupakan terapi pilihan. 107 Pemeriksaan Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai dengan keluhan dan masalah. Pada 239 penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering didapati yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45% merasa kecemasan, oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu: 1. Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu, hubungan dengan dengan keluarga dan orang lain, minatnya, pekerjaan yang terburu-buru, kurang istirahat. 2. Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan. 3. Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau. 4. Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul. Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan : a. Lapangan psikis
107

Lihat Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,(Jakarta: FK UI, 1999), h. 665-666

76

Kesehatan Mental b. Lapangan sosial c. Lapangan somatis Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik. Yang ditujukan pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non identik, yang terdiri dari pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik dengan obat, memperbaiki kondisi sosial ekonomi, lingkungan, kebiasaan hidup sehat.

Diagnosis Pada umumnya penderita dengan gangguan psikosomatis dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 1. Terdapat keluhan tentang fisik, akan tetapi tidak terdapat penyakit fisik dan kelainan organik yang dapat menyebabkan keluhan tersebut. 2. Terdapat kelainan organik tetapi yang primer yang menyebabkannya adalah faktor psikologis 3. Terdapat kelainan organik tetapi terdapat juga gejala lain yang timbul bukan sebab penyakit organik itu, akan tetapi karena faktor psikologis. Faktor psikologis ini mungkin timbul akibat penyakit organik seperti kecemasan. Lewis memberikan beberapa kriteria khusus untuk diagnosis gangguan psikosomatis yaitu: 1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan psikosomatik. 2. Dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan penyakit organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala. 3. Adanya suatu stres atau konflik yang menyulitkan penderita. 4. Reaksi penderita terhadap stres ini banyak hubungannya dengan gejalagejala yang dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara psikosomatik merupakan manifestasi fisik dari konflik atau penyelesaian masalah yang tidak memuaskan. 5. Terjadinya stres harus memiliki korelasi antara waktu dan timbulnya keluhan, bertambah beratnya penyakit yang ada.108 Untuk diagnosis perlu dievaluasi faktor-faktor sebagai berikut: Komponen organik versus komponen nonorganik. Komponen fungsional nonpsikogenik versus psikogenik. Dasar kestabilan emosi (kepribadian premorbid dan predisposisi). Stres yang menimbulkan gejala-gejala.
Lihat A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI, 1999), h. 652-654
108

77

Kesehatan Mental Beratnya gangguan fisik atau psikologik. Pengobatan Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan. Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita. Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu: Fase 1 : Ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya. Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain : Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan emosional Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul gejala Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa

78

Kesehatan Mental Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala. Fase 3 : Ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan.109 Terdapat 3 golongan senyawa psikofarmaka: 1. Obat Tidur (hipnotik) Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin, prometazin. 2. Obat penenang minor dan mayor Obat penenang minor, diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada anxietas, agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan. Obat penenang mayor, yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. 3. Antidepresan Yang dianjurkan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. 7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental) Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim,1998). Keterbelakangan Mental atau lazim disebut Retardasi Mental adalah suatu keadaan dimana keadaan dengan Intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah Intelegensi yang terbelakang. Retardasi Mental disebut juga Oligofrenia (oligo- kurang atau sedikit dan fren jiwa) atau Tuna Mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI,1999),h. 602-603
109

79

Kesehatan Mental umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif Retardasi Mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses Patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap Intelektualitas dan fungsi Adaptif. Retardasi Mental ini dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa maupun gangguan fisik lainnya. Retardasi Mental sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1. Lemah Pikiran ( feeble-minded) 2. Terbelakang Mental (Mentally Retarded) 3. Bodoh atau Dungu (Idiot) 4. Pandir (Imbecile) 5. Tolol (moron) 6. Oligofrenia (Oligophrenia) 7. Mampu Didik (Educable) 8. Mampu Latih (Trainable) 9. Ketergantungan Penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat 10. Mental Subnormal 11. Defisit Mental 12. Defisit Kognitif 13. Cacat Mental 14. Defisiensi Mental 15. Gangguan Intelektual Pada kenyataannya IQ (Intelligence Quotient) bukanlah merupakan satusatunya patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya Retardasi Mental. Melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik yang berbeda. Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan Klinis, Prilaku Adaptif dan hasil Tes Psikometrik. Untuk diagnosis, yang pasti harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa seharihari. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan Retardasi Mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala: Mikrosefali, Hidrosefali, dan Sindrom Down. Wajah pasien dengan Retardasi Mental sangat mudah dikenali seperti Hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar, gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah tampak tumpul. Sebagai kriteria dan bahan pertimbangan dapat dipakai juga kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya mulai dari taraf yang Ringan, Taraf Sedang, Taraf Berat, dan Taraf Sangat 80

Kesehatan Mental Berat. . Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan Retardasi Mental Ringan IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena Retardasi Mental. Pada umumnya anak-anak dengan Retardasi Mental Ringan ini tidak dapat dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah. Retardasi Mental Sedang IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Retardasi Mental Berat IQ sekitar 20-25 sampai 35-40. Retardasi Mental Sangat Berat IQ dibawah 20 atau 25. Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan ( genetik) atau tak jelas sebabnya (simpleks).keduanya disebut Retardasi Mental Primer. Sedangkan Faktor Sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan, setelah lahir atau terhadap anak-anak. Beberapa Penyebab Retardasi Mental yaitu : 1. Akibat Infeksi dan/atau Intoksikasi. Dalam Kelompok ini termasuk keadaan Retardasi Mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi Intrakranial, cedera Hipoksia (kekurangan oksigen), cedera pada bagian kepala yang cukup berat, Infeksi sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis, Infeksi HIV, karena serum, obat atau zat toksik lainnya. 2. Akibat Rudapaksa dan atau Sebab Fisik Lain. Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan Retardasi Mental, Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, Keracunan metilmerkuri, Keracunan timah hitam juga dapat mengakibatkan Retardasi Mental. 4. Akibat Gangguan Metabolisme, Pertumbuhan atau Gizi. Semua Retardasi Mental yang langsung disebabkan oleh gangguan Metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik, Hipotiroid kongenital, Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini hal-hal seperti Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi dapat mengakibatkan Retardasi Mental. 5. Akibat Kelainan pada Kromosom

81

Kesehatan Mental Kelainan ini bisa diartikan dengan kesalahan pada jumlah Kromosom (Sindroma Down), defek pada Kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi), dan Translokasi Kromosom. 6. Akibat Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik Yang Diturunkan. Seperti Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs, Fenilketonuria, Sindroma Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma Sanfilippo, Leukodistrofi metakromatik, Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis tuberose 7. Akibat Penyakit Otak Yang Nyata (Postnatal). Dalam kelompok ini termasuk Retardasi Mental akibat Neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif. 8. Akibat Penyakit/Pengaruh Pranatal Yang Tidak Jelas. Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk Anomali Kranial Primer dan Defek Kogenital yang tidak diketahui sebabnya. 9. Akibat Prematuritas dan Kehamilan Wanita diatas 40 tahun. Kelompok ini termasuk Retardasi Mental yang berhubungan dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu. Serta behubungan pula dengan kehamilan anak pertama pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun. 10. Akibat Gangguan Jiwa Berat. Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu, dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak. 11. Akibat Deprivasi Psikososial dan Lingkungan Retardasi Mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor Biomedik maupun Sosiobudaya seperti kemiskinan, status ekonomi rendah, Sindroma deprivasi. Contohnya Gangguan gizi yang tergolong berat dan berlangsung lama dibawah dan sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Namun keadaan gangguan gizi ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum usia menginjak umur 6 tahun, namun tetap saja intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan walaupun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi. Untuk mendiagnosa Retardasi Mental pada seseorang dengan tepat, perlu diambil Anamnesa dari orang tua dengan sangat teliti mengenai kehamilan, persalinan dan perkembangan anak. Bila mungkin dilakukan juga pemeriksaan Psikologik, bila perlu diperiksa juga di laboratorium, diadakan evaluasi pendengaran dan bicara. Observasi Psikiatrik dikerjakan untuk

82

Kesehatan Mental mengetahui adanya gangguan Psikiatrik disamping Retardasi Mental itu sendiri. Pencegahan Primer pada orang dengan Retardasi Mental dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan SosioEkonomi, Konseling Genetik dan Tindakan Kedokteran (seperti perawatan Prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak). Pencegahan Sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak, Perdarahan Subdural, Kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat, dapat dibuka dengan Kraniotomi; pada Mikrosefali yang Kogenital, operasi tidak menolong) Pencegahan Tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi Neuroleptika kepada yang gelisah, Hiperaktif atau Dektruktif. Konseling kepada orang tua dilakukan secara Fleksibel dan Pragmatis dengan tujuan antara lain membantu mereka dalam mengatasi Frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan Retardasi Mental. Orang tua sering menghendaki anak diberi obat, oleh karena itu dapat diberi penerangan bahwa sampai sekarang belum ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat yang dapat membantu pertukaran Zat (Metabolisme) sel-sel otak

83

Kesehatan Mental

Bagian Ketiga PENYAKIT JIWA A. Pengertian Penyakit Jiwa Seorang yang diserang penyakit jiwa (Psychose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa dirinya normal saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain. Sakit jiwa itu ada 2 macam, yaitu : Pertama : Yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh. Misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar. hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat penyakit kotor dan sebagainya. Kedua : Disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar atau hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan sebagainya.110 B. Macam-Macam Penyakit Jiwa Menurut Zakiah Darajat ada antaranya:

beberapa

macam

penyakit

jiwa

di

110

Lihat Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XIV; Jakarta: Masagung, 2006), h. 34-37

84

Kesehatan Mental 1.Schizophrenia Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya, penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian pada umumnya, yang biasanya mulai tampak pada masa puber, dan paling banyak adalah orang yang berumur antara 15 30 tahun. Gejala-gejala diantaranya : Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tidak terlihat padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih dan takut. Segala sesuatu dihadapinya dengan acuh tak acuh. Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikirannya. Dan ia lebih suka menjauhi pergaulan dengan orang banyak dan suka menyendiri. Mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar dan tidak beralasan, misalnya apabila ia melihat orang yang menulis atau membicarakan sesuatu, disangkanya bahwa tulisan atau pembicaraan itu ditujukan untuk mencelanya. Sering terjadi salah tanggapan atau terhentinya pikiran, misalnya orang sedang berbicara tiba-tiba lupa apa yang dikatakannya itu. Kadang-kadang dalam pembicaraan ia pindah dari suatu masalah ke masalah lain yang tak ada hubungannya sama sekali atau perkataannya tidak jelas ujung pangkalnya. Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, dimana penderita seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain (tetangga) membicarakannya, atau melihat sesuatu yang menakutkannya. Banyak putus asa dan merasa bahwa ia adalah korban kejahatan orang banyak atau masyarakat. Merasa bahwa semua orang bersalah dan meyebabkan penderitaannya, keinginan menjauhkan diri dari masyarakat , tidak mau bertemu dengan orang lain dan sebagainya, bahkan kadang-kadang sampai kepada tidak mau makan atau minum dan sebagainya, sehingga dalam hal ini ia harus diinjeksi supaya tertolong. 111 Demikian antara lain gejala Schizophrenia, dan tiap-tiap pasien mungkin hanya mengalami satu atau dua macam saja dari gejala tersebut, sedangkan dalam hal lain terlihat jauh dari kenyataan. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat bahwa keturunanlah yang besar peranannya. Menurut hasil beberapa penelitian terbukti bahwa 60% dari orang yang sakit ini berasal dari keluarga yang pernah dihinggapi sakit jiwa. Adapula yang mengatakan bahwa sebabnya adalah rusaknya kelenjar-kelenjar tertentu dalam tubuh. Ada yang menitik beratkan pandangannya pada penyesuaian diri yaitu karena orang tidak mampu menghadapai kesukaran hidup , tidak bisa menyesuaikan diri
111

Lihat Ibid., h. 42-44

85

Kesehatan Mental sedemikian rupa sehingga sering menemui kegagalan dalam usaha menghadapi kesukaran. Apapun sebab sesungguhnya, namun terbukti bahwa kebanyakan penyakit ini mulai menyerang setelah orang setelah menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang berakibat munculnya penyakit yang mungkin sudah terdapat secara tersembunyi di dalam orang itu. Faktor pendorong lain ialah kesukaran ekonomi, keluarga, hubungan cinta, selain itu terdapat kegelisahan yang timbul akibat terlalu lama melakukan onani, sehingga merasa berdosa dan menyesal, sedang menghentikannya tak sanggup. Penyakit ini biasnya lama sekali perkembangannya, mungkin dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, baru ia menunjukkan gejala-gejala ringan, tapi akhirnya setelah peristiwa tertentu, tiba-tiba terlihat gejala yang hebat sekaligus. 2.Paranoia Paranoia merupakan penyakit gila kebesaran atau gila menuduh orang. Di antara ciri-ciri penyakit ini adalah delusi yaitu satu pikiran salah yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi ini berbeda bentuk dan macamnya sesuai dengan suasana dan kepribadian penderita, misalnya : Penderita mempunyai satu pendapat (keyakinan) yang salah, segala perhatiannya ditujukan ke sana dan yang satu itu pula yang menjadi buah tuturnya, sehingga setiap orang yang ditemuinya akan diyakinkannya pula akan kebenarannya pendapatnya itu. Misalnya ada seorang suami yang menyangka bahwa istrinya berniat jahat meracuninya. Maka selalu menghindar makan di rumah, karena takut akan terkena racun itu. Penderita merasa bahwa ada orang yang jahat kepadanya dan selalu berusaha untuk menjatuhkannya atau menganiayanya. Penderita merasa bahwa dirinya orang besar, hebat tidak ada bandingannya, meyakini dirinya adalah seorang pemimpin besar atau mungkin mengaku Nabi. Delusi atau pikiran salah yang dirasakan oleh penderita sangat menguasainya dan tidak bisa hilang. Kecuali itu jalan pikirannya terlihat teratur dan tetap. Pada permulaan orang menyangka bahwa pikirannya itu logis dan benar., biasanya orang yang diserang paranoia ia cerdas, ingatannya kuat, emosinya terlihat berimbang dan cocok dengan pikirannya. Hanya saja ia mempunai suatu kepercayaan salah, sehingga perhatiaan dan perkataannya selalu dikendalikan oleh pikirannya yang salah itu. Sebenarnya kita harus membedakan antara antara sakit jiwa paranoia yang sungguh-sungguh dengan kelakuan paranoid. Kelakuan paranoid yang juga abnormal juga diantaranya : Terlihat sekali dalam segala tindakannya, bahwa ia egois, keras kepala dan sangat keras pendirian dan pendapatnya. Tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangannya, selalu melempar 86

Kesehatan Mental kesalahan pada orang lain, dan segala kegagalannya disangkannya akibat dari campur tangan orang lain. Ia berkeyakinan bahwa dia mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa. Ia berasal dari keturunan yang jauh lebih baik dari orang lain dan merasa bahwa setiap orang iri, dengki dan takut kepadanya. Dalam persaudaraan ia tidak setia, orang tadinya sangat dicintainya, akan dapat berubah menjadi orang yang sangat dibencinya oleh sebab-sebab yang remeh saja. Orang ini tidak dapat bekerja dan mempunyai kepatuhan pada pimpinan. Karena ia suka membantah atau melawan dan mempnuayai pendapat sendiri, tidak mau menerima nasehat atau pandangan dari orang lain.112 3. Manicdepressive Penderita mengalami rasa besar/gembira yang kemudian kemudian menjadi sedih/tertekan. Gejalanya yaitu : a. Mania, Mania mempunyai tiga tingkatan yaitu ringan ( hipo), berat (acute) dan sangat berat (hyper). Dalam tindakannya orang yang diserang oleh mania ringan terlihat selalu aktif, tidak kenal payah, suka penguasai pembicaraan, pantang ditegur baik perkataan maupun perbuatannya, tidak tahan mendengar kecaman terhadap dirinya.biasanya orang ini suka mencampuri urusan orang lain. Dalam mania yang berat (acute), orang biasanya di serang oleh delusidelusi pada waktu-waktu tertentu, sehingga sukar baginya untuk melakukan suatu pekerjaan dengan teratur. Penderita mengungkapkan rasa gembira dan bahagianya secara berlebihan. kadang-kadang diserang lamunan yang dalam sekali, sehingga tidak dapat membedakan tempat, waktu dan orang disekelilingnya. Dalam hal mania yang sangat berat (hyper) orang yang diserangnya kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri dan mungkin membahayakan orang lain dalam sikap dan perbuatannya. Penyakit ini dinamakan juga gila kumat-kumatan, karena penderita berubah-ubah dari rasa gembira yang berlebihan, sudah itu bisa kembali atau menurun menjadi sedih, muram dan tak berdaya. Dalam hal pertama penderita berteriak, mencai-maki, marahmarah dan sebagainya, kemudian kembali pada ketenangan biasa dan bekerja seperti tidakl ada apa-apa. b.Melancholia Penderita terlihat muram, sedih dan putus asa. Ia merasa diserang oleh berbagai macam penyakit yang tidak bisa sembuh,atau merasa berbuat dosa yang tak mungkin diampuni lagi. Kadang-kadang ia menyakiti dirinya sendiri. Orang yang diserang penyakit melancholia ringan sering mengeluh nasibnya

112

Lihat Ibid., h.51-53

87

Kesehatan Mental tidak baik dan merasa tidak ada harapan lagi. Dan bagi penderita melancholia berat menjauhkan dirinya dari masyarakat. Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa yang membuktikan betapa besar akibat terganggunya kesehatan mental seseorang, yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.113 Ada juga pakar lain yang membagi macam-macam penyakit jiwa sebagai berikut: 1. Kleptomania Kleptomania (bahasa Yunani: , kleptein, "mencuri", , "mania") adalah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang penderita biasanya merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya.Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau border114 Penyakit jiwa ini membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri gula, permen, sisir, ya apa deh terserah si penderita. Sang penderita biasanya merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya. Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau borderline personality disorder.Kleptomania dapat muncul setelah terjadi cedera otak traumatik dan keracunan karbon monoksida. 2.Neurosis

113

Lihat Ibid., h. 57-62

Lihat Grant JE (2004). "Co-occurrence of personality disorders in persons with kleptomania: a preliminary investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law 32 (4):, (2004), 395-398.

114

88

Kesehatan Mental Adalah istilah umum yang merujuk pada ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stress, tapi tidak seperti psikosis atau kelainan kepribadian, neurosis tidak mempengaruhi pemikiran rasional. Konsep neurosis berhubungan dengan bidang psikoanalisis, (suatu aliran pemikiran dalam psikologi atau psikiatri.) 3.Psikosis Psikosis adalah ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut. Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan lingkungannya. 4.Sindrom mahasiswa kedokteran Sindrom ini muncul ketika seseorang membaca atau mempelajari mengenai suatu penyakit atau kelainan dan mulai percaya bahwa ia juga sedang mengidap penyakit atau kelainan tersebut, misalnya pada apofenia. Sebenarnya sindrom ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa kedokteran saja, namun bisa pada siapapun. Namun, sindrom ini dipercaya banyak diidapi oleh mahasiswa kedokteranDalam masa pembelajaran, para mahasiswa kedokteran harus mempelajari berbagai daftar sindrom dan tanda ataupun gejala penyakit baik yang sering maupun jarang terjadi. Ketika sedang mempelajari, mereka merasa mereka turut memiliki gejala atau sindrom yang ada. Misalnya, ketika mempelajari tumor otak, salah satu tandanya adalah sakit kepala. Ketika mahasiswa tersebut sakit kepala, ia percaya hal itu disebabkan oleh tumor di otak. C. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa Tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang terbebas sama sekali dari kemungkinan untuk menjadi penderita gangguan kejiwaan. Dalam pemakaian "defense mechanism" misalnya, barangkali dapat dikatakan bahwa perbedaan normal dan abnormal hanya terletak pada frekuensi dan intensitas dari 89

Kesehatan Mental penggunaan defense itu. Begitu juga dengan gejala dan tanda-tanda yang abnormal pada umumnya. Hampir setiap orang yang tergolong normal pada saat-saat tertentu dan dalam kondisi hidup yang tertentu pernah menunjukkan gejala abnormal dalam sikap, cara berpikir, dan tingkah laku mereka. Oleh karena itu, hamba-hamba Tuhan sebagai konselor harus berhatihati dalam mengenali dan mengklasifikasikan klien dalam kelompok orangorang yang disebut penderita gangguan kejiwaan. Hal ini disebabkan oleh karena tanda-tanda dan gejala-gejala abnormal yang klien tunjukkan belum tentu gejala penyakit jiwa yang sesungguhnya sehingga, kita menyadari keterbatasan dan kelemahan manusiawi dokter- dokter jiwa dan petugas rumah sakit jiwa yang sering kali salah mendiagnosa klien/pasien. D.N. Rosenhan telah membuktikan hal ini dengan eksperimeneksperimennya, yang seharusnya membuat setiap hamba Tuhan lebih waspada dan berhati-hati dalam mengirimkan pasien ke rumah sakit jiwa. Ini tidak berarti bahwa hamba Tuhan tidak perlu bekerja sama dengan psikiater dan rumah sakit jiwa, karena hal tersebut di atas menunjukkan kepada kelemahan manusiawi si dokter dan pihak rumah sakit jiwa dan bukan menunjukkan pada "ketidakbenaran" ilmu psikatri dan psikologi itu sendiri. Kelemahan-kelemahan manusiawi dari profesional-profesional lain justru menyadarkan hamba-hamba Tuhan betapa besar tanggung jawab mereka dalam pelayanan konseling. Untuk itu ia harus mempunyai pengenalan umum tentang gejala-gejala dan tanda-tanda utama dari penyakit jiwa. a. Beberapa gejala yang muncul secara bersamaan. Bagi orang yang tergolong normal, gejala abnormal biasanya muncul sebagai satu-satunya gejala, sedangkan aspek-aspek hidup lainnya tidak menunjukkan gejala abnormal. Misalnya: Oleh karena tekanan kehidupan, seorang dapat menangis meraungraung; tetapi begitu muncul orang lain ia sadar dan tahu mengontrol ataupun mengarahkan tangisan itu pada tujuan yang rasional dan dapat diterima oleh lingkungan itu pada umumnya. Tapi lain halnya dengan penderita penyakit. Beberapa gejala abnormal muncul dan nampak secara bersamaan; ia menangis meraung- raung, tidak menyadari bagaimana pikiran orang lain terhadap tingkah lakunya dan ia mengarahkan tangisan itu pada sesuatu yang kacau dan irrasional. b. Gejala-gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya. Munculnya gejala itu membuat orang yang bersangkutan lain daripada sebelumnya. Orang-orang lain mengenali bahwa ia sesungguhnya tidak seperti itu, dan seharusnya tidak melakukan tingkah laku yang semacam itu. Misalnya: Bermain-main dengan kotorannya sendiri, bahkan kadang-kadang dimakannya. 90

Kesehatan Mental c. Gejala-gejala itu bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus. Orang yang normal dapat bertingkah laku abnormal, tetapi akan segera menyadari dirinya dan cenderung untuk segera menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan lingkungannya. Tetapi lain halnya dengan penderita penyakit jiwa. Di samping itu penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui gejala- gejala: 1. Physical (fisik/badani) Banyak sekali gejala kejiwaan (seperti misalnya, perasaan tidak aman, sedih, marah, cemas, dsb.) yang langsung dapat mempengaruhi kondisi tubuh orang yang bersangkutan. Jikalau orang tersebut kemudian menderita sakit, maka jelas penyakit itu pertama-tama disebabkan oleh keadaan kejiwaannya. Ini yang seringkali disebut sebagai 'psychosomatic' atau 'psychophysiological reaction', yaitu gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya (tidak selalu) tergolong 'psychosomatic reaction' antara lain: asma, sakit kepala, insomnia, radang usus besar, diarrhea, beberapa penyakit kulit seperti: eksem, gatal-gatal, borok yang tidak sembuh-sembuh, dsb. Tentu saja orang-orang dengan gejala psyhosomatis tidak begitu saja dapat digolongkan sebagai penderita sakit jiwa, meskipun gejala-gejala itu timbul oleh karena gangguan-gangguan kejiwaan. Sebagian besar dari gejalagejala ini ada pada orang-orang yang normal, oleh karena itu meskipun memerlukan pengobatan dari dokter, mereka tidak boleh sama sekali diperlakukan sebagai pasien-pasien penyakit jiwa. 2. Psychological (jiwani) Penyakit dan gangguan kejiwaan biasanya juga diekspresikan secara jiwani misalnya: Faulty Perception (persepsi yang kacau) Manusia diperlengkapi dengan bermacam-macam indera. Jikalau rangsangan tiba, maka rangsangan itu akan diteruskan melalui sistem persyaratan ke otak. Dengan inilah orang dapat melihat, mengenali, mendengar suara, merasa panas dingin, sakit, mencium bau, dsb. Tetapi, ada kasus-kasus kejiwaan yang kadang-kadang dapat menyebabkan terganggunya proses persepsi ini sehingga orang tersebut dengan mata, hidung, telinga, lidah dan kulit yang normal ternyata mempunyai persepsi yang berbeda bahkan kacau balau. Ia bisa seolah-olah buta (psychological blindness), tidak dapat mendengar apa-apa, atau selalu mendengar suara yang orang lain tidak dengar, dan melihat penglihatan yang orang lain tidak lihat. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan orang merasa lampu 20 watt dalam kamar itu terlalu terang, atau suara titik air yang jatuh satu per satu dari kran sebagai suara pukulan palu di kepalanya, dsb. 91

Kesehatan Mental Dari sini kita mengenal istilah-istilah seperti: Ilusi, yaitu penyalahtafsiran stimulan pada indera penglihatan. Misalnya: Melihat pohon sebagai orang. Halusinasi, yaitu persepsi yang terjadi meskipun tidak ada stimulan yang sesungguhnya. Misalnya: Melihat suami yang sudah meninggal, bahkan dapat berkata-kata kepadanya. Mendengar suara-suara aneh, dsb. 3.Distorted thinking (pemikiran yang menyimpang dan kacau) Gangguan kejiwaan sering kali juga diekspresikan dalam bentuk pemikiran yang kacau dan tidak masuk akal. Misalnya: Si Amir yang yakin bahwa ia lahir 2000 tahun yang lalu. Si Ahmad yang begitu yakin bahwa di bawah tempat tidurnya ada bom waktu yang dipasang oleh anak buah Khomeini. Inilah yang disebut 'distorted thinking', yang menjadi salah satu tanda dari gangguan kejiwaan. Melihat isinya, 'distorted thinking' dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu: a. Obession (obsesi): Yaitu pemikiran yang irasional yang timbul karena dorongan dan kenangan yang tidak menyenangkan, sehingga seolah-olah ada sesuatu yang membuat dia terus-menerus berpikir, "...saya harus..." atau "pasti akan...", dsb. Misalnya: Pengalaman melihat orang yang dianiaya dalam peperangan, menyebabkan ia berpikir "pasti suatu hari saya akan mengalami hal yang serupa". Ia begitu yakin di luar rumah sudah menanti orang-orang yang akan menganiaya dia, sehingga ia terdorong untuk terus-menerus melakukan hal-hal yang irasional, seperti bersembunyi di bawah kolong, mengintip melalui lubang pintu, dsb. Pengalaman dengan orangtua yang perfectionist, membuat ia selalu merasa ada dorongan "saya harus membereskan ini", "saya harus menyelesaikan itu"; dan ini sering kali tidak masuk akal, misalnya, bangun tengah malam hanya untuk membersihkan mobil, dsb. b. Phobia: Yaitu rasa takut yang irasional. Dan ini bisa berbentuk rasa takut berada dalam ruangan gelap, rasa takut pada darah, air, ular, angin, di tengah banyak orang, berada di tempat tinggi, lewat jembatan, dsb. c. Delusion (delusi): Yaitu pemikiran yang irasional yang menggejala dalam bentuk munculnya keyakinan (palsu) bahwa hal itu benar-benar ia alami, atau ia dengar, atau ia lihat, dsb. Misalnya: Yakin betul bahwa ia bertemu dengan AlQaeda, bahkan yakin betul bahwa ia sendiri telah diangkat menjadi rasul dan menuntut orang-orang lain mengikut dan menyembah dia. 4. Faulty Emotional Expression (Ekpresi dari emosi yang keliru) Setiap orang sudah belajar sejak kecil bagaimana mengekspresikan perasaan senang, susah, sakit, bahagia, kasih, benci, dsb. Dan umumnya orang 92

Kesehatan Mental yang normal mempunyai pengekspresian yang mirip dengan orang-orang lain. Misalnya, tertawa sebagai ekspresi dari rasa sedih. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, mereka seringkali melakukan pengekspresian emosi secara keliru, dan tentunya berbeda daripada orang-orang pada umumnya. Pengekspresian emosi yang keliru ini dapat berbentuk: a. Tanpa ekspresi Penderita sakit jiwa seringkali hidup dalam dunianya sendiri, sehingga emosinya tidak tergerak oleh keadaan dan situasi di sekelilingnya. Mereka tidak tertawa atas hal-hal yang lucu dan menyenangkan, juga tidak sedih atas hal-hal yang menyedihkan. b. Elation atau Euphoria (ekspresi/gembira yang berlebih-lebihan) Penderita sakit jiwa juga sering kali mengekspresikan emosi secara berlebih-lebihan. Untuk hal yang kecil dia bisa tertawa sampai menangis. c. Depresi Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa mengalami/merasa tidak bergairah, kecil hati dan susah, tetapi hanya untuk sementara saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan penderita sakit jiwa. Ada kasus-kasus di mana tanpa alasan yang jelas perasaan sedih itu timbul tenggelam dan bahkan bertahan lama. Mereka memang dapat mengatakan bahwa mereka kuatir terhadap sesuatu (entah pekerjaan, keluarga, kesehatan, masa depan, dll.) tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan penyebab utama dari kekuatiran yang berlebih-lebihan itu. Hal-hal itu hanyalah 'precipitating factor' yang menjadi gangguan kejiwaan oleh karena sudah ada 'predisposing factor' pada mereka itu. Oleh karena itu, hal-hal yang bagi orang lain cuma menimbulkan perasaan sedih yang normal dan untuk sementara, bagi mereka menjadi "depresi" dimana putus asa dan tidak bahagia yang terus-menerus. Enos D. Martin seorang psikiater menyebutkan tentang tiga jenis depresi dengan contoh-contoh praktis: 1) Normal grief reaction (rasa sedih sebagai reaksi yang normal atas suatu 'kehilangan'). Seorang pejabat yang mendekati masa pensiun merasa sedih oleh karena munculnya perasaan 'tidak berguna dan tidak dapat dipakai lagi'. Tekanan kesedihan itu telah menimbulkan macam- macam gangguan seperti misalnya kehilangan nafsu makan, tidak bisa tidur, sakit kepala, dsb. Ternyata setelah ustas menyatakan bahwa jabatan baginya cuma berarti bahwa ia tidak perlu lagi mengerjakan tugas-tugas administrasi (yang berarti bahwa ia masih boleh berkarya, melakukan konseling, dsb.) langsung gejala-gejala kejiwaan itu lenyap.

93

Kesehatan Mental 2). Neurotic depression (depresi yang neurotis) Seorang ustas mengalami depresi oleh karena sebagai ustas senior ia merasa tersaing dengan munculnya ustas muda yang dalam beberapa hal sangat dikagumi oleh jamaah. Ia tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, dsb. Penghiburan dari banyak orang bahwa ia mempunyai lebih banyak kelebihan ternyata tidak menolong. Dalam kasus ini jelas bahwa kesedihannya bukan sekedar 'normal grief reaction', ia betul-betul menderita depresi dan harus mendapatkan pengobatan dari dokter. Diketemukan oleh dokter jiwa bahwa ustas ini ternyata mempunyai 'predisposing faktor' untuk depresi, seperti misalnya, kegoncangan emosi cukup hebat pada masa kecil ketika ia sakit dan harus masuk rumah sakit, juga faktor lain bahwa semasa kecilnya ia kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. 3) Endogenous depression (bakat depresi yang diturunkan dari orang-tuanya). Seorang direktur mengalami depresi oleh karena usahanya untuk mendamaikan dua orang pakar, bahkan berakibat fatal, yaitu kedua-duanya justru menyalahkan dan melawan dia. Ia sekarang merasa bahwa seluruh kehidupannya termasuk pelayanannya gagal. Ia kemudian menderita insomnia (tidak dapat tidur), kehilangan nafsu seksuil, nafsu makan, tidak ada gairah lagi pada segala hobinya, sering menangis dan menjauhkan diri dari perjumpaan dengan orang lain bahkan berkali-kali mencoba untuk bunuh diri. Diketemukan pada direktur ini, adanya 'predisposing factor' depresi yang lebih berat dari ustas karena direktur mempunyai bakat-bakat biologis yang diturunkan dari orangtuanya. Ibunya juga seorang penderita depresi berat.115 d. Emotional variability (macam-macam pengekspresian emosi) . Setiap orang akan mengalami naik turunnya emosi sebagai reaksi atas pengalaman-pengalaman kehidupan ini. Tetapi bagi penderita penyakit jiwa naik turunnya emosi ini tidak sesuai dengan realita yang ada. Mungkin pengalaman yang menyenangkan ini sudah terjadi beberapa hari yang lalu dan tiba-tiba ia bisa tersenyum-tersenyum bahkan tertawa-tawa tanpa dapat dikontrol oleh karena ingat akan hal itu. Sering juga diketemukan penderita penyakit jiwa yang menangis tanpa alasan untuk menangis, atau tiba-tiba marah dan menyerang orang lain tanpa sebab, dsb. d. Inappropriate affect (reaksi emosi yang tidak tepat) Sedikit berbeda dengan 'emotional variability', di sini orang yang mendapat gangguan kejiwaan biasanya memberikan reaksi emosi yang tidak cocok dengan stimulan yang ada. Misalnya: -- Menangis mendengar cerita yang lucu -- Tertawa geli melihat orang yang sedih menangis ditinggalkan kekasihnya. 5. Unusual motor activity (activitas motorik yang tidak normal)
115

Lihat dalam Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1, h., 82-83.

94

Kesehatan Mental Dalam kehidupan ini kita kadang-kadang dapat melakukan aktivitas motorik yang tidak biasa, misalnya: berlari, berkata, berpikir, berbuat lebih cepat atau lebih lambat daripada biasanya. Tetapi untuk itu selalu ada alasan dan tujuan yang jelas dan disadari, dan hanya untuk sementara saja, tetapi lain halnya dengan penderita penyakit jiwa. Sering kali kita bisa mengenali adanya tanda-tanda gangguan kejiwaan melalui aktivitas motorik yang tidak normal, misalnya: a. Over activity (activitas yang berlebihan) Sebagai contoh, pasien yang berbicara terus-menerus dengan susunan kalimat yang tidak mengandung pengertian sama sekali (kacau, dan irasional). Ketidakmampuan untuk duduk tenang, terus- menerus gelisah; terkejut bahkan lari ketakutan atas suara tertentu; tangan dan kaki bahkan mata yang bergerak-gerak terus, dsb. b. Under Activity (kurang aktif) Sebagai kebalikan dari 'over activity', maka gejala penyakit jiwa sering kali ditandai oleh sikap diam, tidak bergerak-gerak, seperti seolah-olah lemah badan, tidak dapat berbicara, dsb. c. Compulsive activity (aktivitas yang tidak terkendalikan) Dalam hidup ini sering kali kita merasakan adanya dorongan yang besar untuk melakukan sesuatu, tetapi sering kali oleh karena sebab-sebab tertentu hal itu belum dapat dilaksanakan. Bagi orang yang normal hal ini biasa dan ia bisa menyesuaikan diri dengan mengalihkan perhatian pada aktivitas-aktivitas yang lain. Tetapi pada penderita penyakit jiwa tidak demikian, mungkin apa yang ia ingin lakukan sendiri tidak ia sadari lagi, tetapi ia merasakan adanya dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu aktivitas. Dan ini diekspresikan dengan menggigit-gigit kuku terus-menerus, menggaruk-garuk kaki, mempermainkan alat kelamin, menggigit-gigit bibir, melipat-lipat tangan, menulis-nulis dengan jari, menghisap ujung baju, dsb. 6. Gejala abnormal yang lain Tanda-tanda lain dari adanya gangguan kejiwaan dalam ketegori ini sering kali dapat diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan tidak menyamaratakan setiap gejala sebagai abnormal atau gejala penyakit jiwa. Misalnya: a..Disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa dirinya, hari apa sekarang, dsb. b. Withdrawal; menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain. c. Kecurigaan yang berlebih-lebihan. Kepekaan yang berlebih-lebihan terhadap otoritas. 95

Kesehatan Mental d. Menyembunyikan sesuatu secara tidak normal, misal, uang disimpan di bawah tanah. e. Rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal. f. Kekanak-kanakan, dsb. 3. Sosial Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Meskipun demikian, tidak secara otomatis orang yang "tidak dapat menyesuaikan diri" dapat disebut sebagai orang yang tidak normal atau punya gejala penyakit jiwa, jikalau ia dengan sadar melakukan hal itu. Yang mungkin oleh karena ia memang tidak/belum menjadi bagian integral dari masayarakat itu. Kasus-kasus seperti misionaris konteks sosial, kita baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya. 4. Spiritual (rohani) Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan, fanatik, keragu-raguan yang terus-menerus, dsb. Frank Minirth mengatakan bahwa gangguan-gangguan kejiwaan bisa menggejala secara rohani: "A person with an impending psychotic break may display an intense religious preoccupation. Someone having an obsessive compulsive neurosis may struggle with a fear of having committed the unpardonable sin. Or he may fear he hasn't really trusted Christ as Savior. Emotional and physical problems manifest still another spiritual cloaks. Individuals with temporal lobe epilepsy may communicate renewed religious interest and moral piety. Those with a manic-depressive psychosis may talk in a religious jargon. People diagnosed as having schizophrenia, obsessive-compulsive, ego-alien thought, and multiple personalities are sometimes victims of demon-possession." 5. Terapi atau Pengobatan Salah seorang ulama Islam Syekh Muhammad bin al-Utsaimin mencoba mengobati atau menawarkan terapi dengan pendekatan Ruqyah bagi fasien penyakit jiwa sebagai berikut: Ada seorang mengajukan pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa? Apakah obatnya secara syara? Perlu diketahui bahwa pengobatan modern mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini saja? 96

Kesehatan Mental Beliau menjawab tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita penyakit-penyakit jiwa berupa hamm (sakit hati) terhadap masa depan huzn (duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-penyakit kejiwaaan lebih banyak mempengaruhi tubuh dari penyakit-panyakit anggota tubuh. Pengobatan penyakit-penyakit ini dengan perkara-perkara syariyah ( ruqyah) lebih manjur daripada pengobatannya dengan obat-obatan yang bisa digunakan. Di antara obat-obatnya adalah hadits shahih Ibnu Masud: : Artinya : Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm, atau duka cita, lalu ia menjawab, Ya Allah sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tanganMu, berlalu hukum Engkau padaku, qadhaMu sangat adil padaku, aku memohon kepadaMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu dengannya, atau Engkau beritahu kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku. Melainkan Allah Subhanahu wa Taala melapangkan darinya [HR Ahmad dalam Al-Musnad 3704-4306] Ini termasuk pengobatan secara syara. Demikian pula seorang manusia membaca. Artinya : Tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang berbuat aniaya (HR AtTirmidzi, Ad-Daawt 3505 dan Ahmad no. 1465) Siapa yang meginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab yang ditulis para ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, AlAdzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Maad karya Ibnul Qayyim. Tetapi, manakala iman lemah, niscaya lemahlah penerimaan jiwa terhadap obat-obat syariyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang kepada obat-obatan nyata daripada berpegang mereka terhadap obat-obatan syariyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syariyah memberikan implikasi secara sempurna, bahkan implikasinya lebih cepat dari pada pengaruh obat-obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita seseorang yang diutus Rasulullah saw dalam satu pasukan ( sariyah). Lalu mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang mereka singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah Subhanahu wa Taala menghendaki pemimpin kaum tersebut di gigit ular. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, Pergilah kepada mereka yang telah singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di 97

Kesehatan Mental sisi mereka. Para sahabat berkata, Kami tidak akan meruqyah pimpinan kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada kami kambing sebanyak begini dan begini. Mereka mejawab, Tidak mengapa. Lalu salah seorang sahabat pergi membacakan atas orang yang di gigit ular tersebut. Ia hanya membaca surah Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung berdiri,seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti inilah, bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh atas laki-laki ini; karena ia muncul dari hati orang yang penuh iman. Nabi saw bersabda setelah mereka kembali kepada beliau, Tahukah engkau bahwa ia adalah ruqyah (HR Al-Bukhari, kitab Ath-Thibb 5749, Muslim, kitab As-Salam 2201) Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah. Manusia berpegang atas perkara-perkara yang terasa dan nampak. Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan mereka terdapat para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia. Mereka meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Quran) yang bersih, namun mereka sebenarnya adalah pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada di antara dua sisi yang kontradiktif, di antara mereka ada yang bersikap ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolut terhadap bacaan. Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan bacaan bohong serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.116 D. Ilmuwan Islam, Perintis Pengobatan Penyakit Jiwa Peradaban Barat kerap mengklaim bahwa Philipe Pinel (1793) merupakan orang pertama yang memperkenalkan metode penyembuhan penyakit jiwa. Tak cuma itu, Barat juga menyatakan rumah sakit jiwa (RSJ) pertama di dunia adalah Viennas Narrenturm yang dibangun pada tahun 1784. Benarkah klaim peradaban Barat itu? Klaim itu tentu sangat tak berdasar. Sebab, jauh sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat perawatannya, pada abad ke-8 M di Kota Baghdad. Menurut Syed Ibrahim B PhD dalam bukunya berjudul Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times , mengatakan, rumah sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter dan psikolog Islam beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir semua kota besar di dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain di Baghdad ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah insane asylum juga terdapat di kota Fes, Maroko. Selain itu, rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada tahun 800 M. Pada abad ke-13. M, kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa. Mari kita bandingkan dengan Inggris. Negara terkemuka di Eropa itu baru membuka
Lihat selengkapnya dalam Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Quran wa Sunnah, Ar-Ruqa ma Yataallahqu Biha Al-Lajnah al-Daimah, h. 22-24 dan lihat fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
116

98

Kesehatan Mental rumah sakit jiwa pada th 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di negeri Ratu Elizabeth itu adalah Middlesex County Asylum yang terletak di Hanwell sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris mengeluarkan Madhouse Act 1828 M. Lalu Bagaimana peradaban Islam mulai mengembangkan pengobatan kesehatan jiwa? Menurut Syed Ibrahim, berbeda dengan para dokter Kristen di abad pertengahan yang mendasarkan sakit jiwa pada penjelasan yang takhayul, dokter Muslim justru lebih bersifat rasional. Para dokter Muslim mengkaji justru melakukan kajian klinis terhadap pasien-pasien yang menderita sakit jiwa. Tak heran jika para dokter Muslim berhasil mencapai kemajuan yang signifikan dalam bidang ini. Mereka berhasil menemukan psikiatri dan pengobatannya berupa psikoterapi dan pembinaa moral bagi penderita sakit jiwa. Selain itu, para dokter dan psikolog Muslim juga mampu menemukan bentuk pengobatan modern bagi penderita sakit jiwa seperti, mandi pengobatan dengan obat, musik terapi dan terapi jabatan, papar Syed Ibrahim. Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spritual dan kesehatan psikologi. Sedangkan untuk kesehatan mental dia kerap menggunakan istilah Tibb al-Qalb . Ia pun sangat terkenal dengan teori yang dicetuskannya tentang kesehatan jiwa yang berhubungan dengan tubuh. Menurut dia, gangguan atau penyakit pikiran sangat berhubungan dengan kesehatan badan. Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan, tutur al-Balkhi. Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit. Inilah yang disebut keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejalagejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya. Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Menurut dia, depresi bisa disebabkan alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan ilmu 99

Kesehatan Mental kedokteran. Selain al-Balkhi, peradaban Islam juga memiliki dokter kejiwaan bernama Ali ibnu Sahl Rabban al-Tabari. Lewat kitab Firdous al-Hikmah yang ditulisnya pada abad ke-9 M, dia telah mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari menekankan kuatnya hubungan antara psikologi dengan kedokteran. Menurut dia, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi. Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi atau keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata al-Tabari, dapat dilakukan melalui konseling bijak. Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor yang tinggi. Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri pasiennya. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi , dokter Muslim legendaris al-Razi juga telah berhasil mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalahmasalah yang berhubungan dengan kesehatan mental. Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk pengobatan penyakit kejiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar juga telah berhasil mengungkap penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes ilmuwan Muslim termasyhur telah mencetuskan adanya penyakit Parkinsons. Sejarawan Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada tahun 1860 M. Begitulah, kedokteran dan psikologi Islam mengembangkan pengobatan penyakit jiwa. merupakan Utang Budi Kedokteran Modern. Kontribusi umat Islam bagi peradaban manusia adalah fakta yang tak terbantahkan. Para sejarawan sains Barat dalam sebuah konferensi mengakui bahwa dunia kedokteran modern berutang begitu banyak terhadap para ilmuwan Muslim di era keemasan Islam. Betapa tidak, dokter Muslim di era kekhalifahan merupakan perintis diagnosis dan penyembuhan beragam penyakit.

100

Kesehatan Mental Dr Emilie Savage-Smith dari St Cross College di Oxford mengungkapkan, Islam adalah peradaban pertama yang memiliki rumah sakit. Menurut dia, rumah sakit pertama di dunia dibangun Kekhalifahan Abbasiyah di kota Baghdad, Irak sekitar tahun 800 M. Rumah sakit yang berdiri di Baghdad itu lebih mutakhir dibandingkan rumah sakit di Eropa Barat yang dibangun beberapa abad setelahnya, papar Savage-Smith seperti dikutip Independent. Savage-Smith mengungkapkan, rumah sakit (RS) Islam terbesar di zaman keemasan dibangun di Mesir dan Suriah pada abad ke-12 dan 13 M. Pada masa itu, RS Islam sudah menerapkan sistem perawatan pasien berdasarkan penyakitnya. Menurut Savage-Smith, pembangunan sebuah sistem rumah sakit yang begitu luas merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam peradaban Islam pada abad pertengahan. Peradaban Islam pada abad ke-10 M untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem pendidikan kedokteran secara langsung di rumah sakit, papar Savage-Smith. Ia pun mengagumi Islam yang mengajarkan umatnya untuk merawat seluruh jenis penyakit tanpa memandang status ekonomi pasiennya. Menurut dia, rumah sakit Islam pada era kejayaannya terbuka bagi semua; laki-laki, perempuan, warga sipil, militer, kaya, miskin, Muslim dan nonMuslim. Pada masa itu, kata Savage-Smith, rumah sakit memiliki beragam fungsi yakni sebagai; pusat perawatan kesehatan, rumah penyembuhan bagi pasien yang sedang dalam tahap pemulihan dari sakit atau kecelakaan. Selain itu, ungkap Savage-Smith, peradaban Islam juga sudah memiliki rumah sakit jiwa atau insane asylum. Menurut dia, masyarakat Muslim juga tercacat sebagai yang pertama mendirikan dan memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit pada era keemasan Islam juga berfungsi sebagai tempat perawatan para manusia lanjut usia (manula) yang keluarganya kurang beruntung. Smith-Savage menuturkan, para dokter Muslim menguasai dunia kedokteran berkat upaya penerjemahan terhadap karya-karya kedokteran Yunani klasik. Tak cuma menerjemahkan, namun para dokter Muslimpun mengembangkan, menemukan serta menulis buku-buku kedokteran. Para dokter Muslim pun berhasil menemukan sejumlah penyakit, cara pengobatan hingga penyembuhannya. Menurut Smith-Savage, dokter Muslim telah mampu menjelaskan beragam jenis penyakit infeksi seperti cacar air. Selain itu, kedokteran Islam juga menemukan penyakit yang sebelumnya tak diketahui manusia, seperti kataraks. Bahkan, kedokteran Islam juga telah berhasil melakukan operasi atau bedah. Peradaban Barat pun belajar dan mengembangkan hasil penemuan dan penelitian di bidang kedokteran. Tanpa

101

Kesehatan Mental kontribusi kedokteran Islam, boleh jadi dunia Barat tak akan menguasai ilmu kedokteran seperti saat ini. Berikut ini penulis menyajikan beberapa contoh studi kasus yang erat kaitannya dengan penyakit jiwa sebagai berikut: Studi Kasus 1 Putriku mengalami gangguan kejiwaan kronis. Pada bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa karena kambuh dan kesadarannya hilang. Saya sangat berat menghadapinya penderitaannya selama berbulan-bulan. Apa yang harus saya lakukan?. Pertanyaan kedua: Putriku ini kalau tidur tidak dapat dibangunkan untuk shalat apa saja, sampai dia bangun sendiri. Karena kesulitan tersebut, apakah ibunya terkena dosa? Anak wanitaku berumur 23 tahun dan mengalami sakit sudah 4 tahun, dan kambuh dua kali dalam setahun. Mohon doa anda agar dia sembuh. Alhamdulillah. Pertama: Kami memohon kepada Allah agar menyembuhkan putri anda, dan memperbaiki kondisinya. Kedua: Kalau penyakitnya parah sampai hilang kesadarannya selama bulan Ramadan. Maka dia tidak diharuskan mengqada dan membayarat kaffarah. Karena waktu itu dia tidak termasuk terkena beban berpuasa. Sedangkan kalau kondisi sakitnya hanya sebatas stres, sedangkan kesadaraannya masih ada, dalam hal ini ada dua kondisi. Kondisi pertama, jika sakitnya ada harapan sembuh menurut rekomendasi para dokter. Maka dia harus mengqada yang telah terlewat ketika penyakitnya telah hilang. Kondisi kedua, penyakitnya tidak ada harapan sembuh. Maka dia tidak wajib berpuasa, cuma diharuskan memberi makan untuk setiap hari yang tidak berpuasa kepada seorang miskin. Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah sebagai berikut, 'Ada orang sakit telah mendapatkan sebagian bulan Ramadan kemudian mengalami hilang kesadaran dan terus berlanjut. Apakah anak-anaknya mengqada untuknya?' Beliau menjawab: Dia tidak perlu mengqada kalau mengalami hilang kesadaran atau yang dikenal dengan pingsan. Kalau kesadarannya kembali, dia tidak perlu mengqada. Hal ini seperti kondisi orang gila atau idiot, tidak wajib qada. Melainkan kalau pingsannya sebentar, misalnya sehari, dua hari atau paling lama tiga hari. Maka tidak mengapa diqada sebagai kehati-hatian. Adapun kalau waktunya lama, maka tidak wajib mengqada karena disamakan seperti orang idiot. Kalau Allah kembalikan akalnya, maka dia mulai lagi dengan amalan (yang baru).' (Majmu Fatawa Syekh Ibn Baaz) Ketiga: Jika putri anda tidak bangun untuk menunaikan shalat pada waktunya, dan anda tidak dapat membangunkannya. Maka tidak mengapa bagi anda Insya Allah Taala. Jika sudah bangun, dia harus mengqada shalatshalat yang terlewatkan. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: 102

Kesehatan Mental Barangsiapa lupa (menunaikan) shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah menunaikan shalat ketika mengingatnya. (HR. Muslim, no. 684) Kalau pelaksanaan shalat setiap waktu membuatnya berat, maka dia dibolehkan menjama antara Zuhur dan Ashar, dan antara Magrib dan Isya, baik taqdim (memajukan waktu akhir di waktu yang lebih awal) maupun takhir (mengakhirkan waktu awal ke waktu yang akhir), mana yang mudah baginya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Qashar (memendekkan shalat) sebabnya adalah khusus safar. Tidak diperkenankan selain safar. Sedangkan jamak (menggabungkan dua shalat menjadi satu) sebabnya adalah keperluan dan uzur. Kalau dia butuh, maka dia dapat menjama dalam safar, baik safar sebentar ataupun lama. Begitu juga dibolehkan menjamak jika ada hujan dan semisalnya. Dan sebab-sebab lainnya. Karena tujuan jamak adalah menghilangkan kesulitan pada umat. (Majmu Fatawa, 22/293) Studi kasus kedua ini terjadi pada hari senin 15 Pberuari 2010 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat yang dimuat di Antara News oleh Aco sebagai berikut: Kasus 2: Mamuju (ANTARA News) - Amri (40) penderita sakit lumpuh dari lingkungan So`do, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat yang sedang menjalani perawatan medis di RSUD Mamuju kian terguncang setelah dokter setempat mendiagnosa dirinya mengalami "Sakit Jiwa" (gila). "Seminggu saya menjalani perawatan di RSUD karena penyakit lumpuh, namun tiba-tiba dokter ahli penyakit dalam, dr Arif Ibrahim yang menangani saya menyarankan untuk menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Jiwa di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan," kata Amri, saat ditemui di RSUD Mamuju, Minggu. Ia mengatakan, dirinya terkejut mendengar permintaan dokter tersebut karena telah menyarankan untuk segera dirujuk ke rumah sakit jiwa jika ingin mencari kesembuhan secara total. "Saya tidak tahu, kenapa dokter menyarankan seperti itu, padahal saya masih merasa cara berfikir hingga saat ini masih normal dan masih berkelakuan yang wajar," katanya. Dia mengatakan, pernyataan dokter yang meminta untuk segera menjalani perawatan di rumah sakit jiwa telah mengganggu dirinya secara psikologis bahkan keluarganya pun ikut terguncang, apalagi mereka itu dari keluarga yang tidak mampu. "Mestinya dokter tidak mengeluarkan pernyataan yang membingunkan saya, karena mau tidak mau beban derita yang saya tanggung selama ini justeru malah bertambah, apalagi kondisi saya belum sempat sembuh, tiba-tiba muncul penyakit baru yakni kelainan jiwa," tuturnya.

103

Kesehatan Mental Dia mengatakan, sejak dirawat di RSUD Mamuju, keluarga Amri sudah tak mampu menutupi biaya karena keluarga mereka sudah menganggur yang hanya mengandalkan menambang pasir di sungai oleh istri pasien. "kami tidak punya biaya apa-apa untuk hidup untuk menjalani perawatan di rumah sakit ini apalagi jika harus di rujuk ke tempat lain, karena kami tidak lagi bekerja," sebut Asmija, Istri Amri yang turut setia mendampinginya di RSUD Mamuju. Ia mengatakan, untuk biaya sehari-hari keluarganya selama dirawat di rumah sakit Mamuju tidak ada, meski biaya pengobatan suaminya ditanggung oleh pihak rumah sakit secara gratis. "Sejak suami saya (Amri) menderita lumpuh akibat mengalami infeksi usus di bagian pencernaannya sejak dua tahun lalu, hanya saya yang mencari nafkah untuk suami saya itu, karena suami saya sudah tidak bisa bekerja, jangankan bekerja untuk berdiri saja sulit," katanya. Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga sudah tidak mampu lagi memberikan sesuap nasi bagi anaknya Nuramanah (6), yang juga mengalami kelainan atau cacat karena kulitnya bersisik seperti ular sejak lahir. "Saya bekerja sebagai penambang pasir dengan upah Rp15.000 per hari, untuk memberi makan anak saya yang cacat dan suami saya yang lumpuh meski saya sendiri juga menderita penyakit gondok dan tidak lagi bekerja," ujarnya. Namun, sejak suaminya diboyong ke rumah sakit Mamuju oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju, maka pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena harus mendampingi suaminya yang dirawat di rumah sakit. "Saya sudah tidak bekerja sehingga tidak punya uang untuk hidup di rumah sakit, karena petugas medis hanya memberikan pengobatan gratis tanpa memberikan biaya hidup," katanya. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah Kabupaten Mamuju dapat memberikan bantuan dana untuk mengurangi beban hidup keluarganya yang membutuhkan selama dirawat di rumah sakit. E. Berbagai Pendekatan dalam Memahami Agama Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan

104

Kesehatan Mental pendekatan lain, yang secara oprasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.117 Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap. Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam kehidupan, di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.118 Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka penulis akan mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya, sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat tidak fungsional, dan akhinya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berbagai pendekatan yang dilakukan para peneliti dalam memahami agama, namun penulis dalam makalah ini membatasi pada pendekatan
117

Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer (Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006),h. 3 Lihat Ibid., h. 6

118

105

Kesehatan Mental teologis normatif filosofis dan pendekatan Antropologi. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Ada dua variabel yang perlu dijelaskan pengertiannya di sini yaitu pendekatan Teologis Normatik dan pendekatan Antropologi. 1. Pendekatan Teologis Normatif Menurut M. Amin Abdullah teologi pasti mengacu kepada agama tertentu. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar.119 Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya.120 Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan fundalisme, modernis, mislanis, dan tradisionalis. Salah satu ciri teolog masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Pendekatan teologis normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat ini. Kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi masa kritis yang termanifestasikan dalam budaya tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empiris faktual.121 Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu'tazilah, teologi Asy'ariyah, dan Maturidivah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji'ah. Menurut pengamatan Savyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam,
119 Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 3.

Lihat Ibid., h. 5 Lihat dalam H.M. Amin Abdullah, dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural . (Yogyakarta; IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 12
121

120

106

Kesehatan Mental yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis, dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai "keyakinan" teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah "teologi" di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru. 122 Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. 123 Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.124 Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
122 123

Lihat Ibid., h. 23-24 Lihat Amin Abdullah, op.cit., h.6

Lihat Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Cet.II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), h. 27-28.

124

107

Kesehatan Mental Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya.125 Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya. Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, tolong menolong, tenggang ras, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.126 Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Pendekatan Missionaris Tradisional Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat. Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), h. 52-55
Lihat Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama , (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h. 57-59
126

125

108

Kesehatan Mental Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam. Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.127 2. Pendekatan Apologetik Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah keasyikannya (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.128 Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali. Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan
127 128

Lihat dalam Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h.., 7-8. Lihat Ibid., h. 14-16

109

Kesehatan Mental membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk tetapi irasional dalam isi.129 2. Pendekatan Irenic Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan. Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa. Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang menekuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahasa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini. Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama ( religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.130 Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah ( scientific question)
129

Lihat D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984),h. 47-48

130

Lihat Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), h., 57-

58

110

Kesehatan Mental untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis ( theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.131 Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan faham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.132 Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. 2. Pendekatan Antropologis Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. 133
131

Lihat Ibid., h. 59

Lihat Mudzhar, M. Atho, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999, h.5-7 . Lihat Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, (Canada: Thomson Wadsworth, 2003), h. 76-77
133

132

111

Kesehatan Mental Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.134 Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.135

Lihat dalam D. Hendopuspiti, op.cit., h. 54-56 Lihat Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 15-17
135

134

112

Kesehatan Mental Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. Dalam kajian Islam memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat, baik dalam wacana dan praktis sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang tercermin dalam kitabkitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.136 Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.137 Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.. 82-84
137 136

Lihat Ibid., h. 84

113

Kesehatan Mental antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ' khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.138 Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.139 Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbangan gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.140 Menurut M.Atho Mudhar , ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu: a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama. b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. c. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan. d. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya
Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis 2006), h. 67
139

138

( Cet.II; Jakarta: Grafindo Persada,

Lihat Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 91-92. Lihat Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah. ( Cet IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 62-

140

63

114

Kesehatan Mental e. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syiah dan lain-lain. Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.141 Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan Islam that is practised yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Dari uraian di atas dapat dipahami bawa: 1. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. 2. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral, wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. 3. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.. F. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat) 1. Religiosity, Meaning in Life, and Psychological well-being (Hubungan antara Religiusitas, Makna Dalam Hidup, dan Kesejahteraan Psikologis). Agama telah sering dipertimbangkan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jiwa dan psikologi kesejahteraan, meskipun arah dari pengaruh ini telah sering diperdebatkan. (Bergin, Masters, & Richards,
141

Mudzhar, M. Atho, op.cit., h. 47-48

115

Kesehatan Mental 1987; Bergin, Stiuchfield, Gaskin, Masters dan Sullivan, 1988). Penelitian terakhir dan Tinjauan dari bukti menyatakan, bahwa keagamaan itu memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan dan kesehatan jiwa. Dalam suatu tinjauan awalnya, Lea (1982) menyimpulkan keagamaan yang positif berhubungan dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa serta lebih kuat bagi usia lanjut. Witter, Stock, Okun dan Haring (1985) melakukan suatu meta-analisis dari 28 penelitian yang diberikan efek ukuran 56 tentang hubungan antara agama dan subjektif kesejahteraan. Efek ukuran berkisar dari 01 dan + -.. 58, dan Witter dkk, menyimpulkan bahwa "beragama yang positif berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan" (p.335). Pengukuran beragama diklasifikasikan sebagai kegiatan keagamaan (pertemuan jemaat gereja dan keikutsertaan diberi nilai) atau keagamaan (minat pada agama dan kesadaran akan agama), dan efek ukuran yang ditemukan itu sedikit lebih besar pada kegiatan keagamaan daripada beragama. Langkah-langkah Kesejahteraan ini juga diklasifikasikan sebagai penilaian kepuasan hidup, moral, kualitas hidup, kesejahteraan, atau kebahagiaan, namun tidak ada perbedaan dalam efek ukuran yang ditemukan antara keduanya. Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis terhadap 24 penelitian yang meneliti hubungan antara beragama dan psikopatologi. Efek ukuran di sini berkisar dari 32 -. sampai + 0,82. Sebagian kecil (23 persen) terkait hubungan negatif antara beragama dan kesehatan jiwa, sedangkan hampir setengah (47 persen) menunjukkan hubungan yang positif. Namun, efek yang paling kecil dan tidak signifikan. Bergin menyimpulkan bahwa klaim sebelumnya keyakinan beragama mengerahkan efek negatif terhadap kesehatan jiwa tidak dapat dipertahankan namun memerhatikan kesulitan dalam penilaian hubungan itu dengan jelas mengingat ukuran keragaman beragama dan kesehatan jiwa yang terkait. Donahue (1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti religiusitas ekstrinsik dan intrinsik. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan kesehatan jiwa dan masalah kesejahteraan, Donahue melaporkan bahwa beberapa relevan konstruksi yang diferensial yang berkaitan dengan dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness ditemukan berkorelasi positif dengan prasangka dan dogmatisme, sedangkan instrinsicness itu tidak berkorelasi dengan sifat-sifat ini. Extrinsicness berkorelasi positif dengan kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi negatif dengan kegelisahan. Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan dari pandangan mereka bahwa religiusitas psikis memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk . (1987) menemukan orientasi keagamaan hakiki yang negatif berhubungan dengan kecemasan sedangkan yang positif berhubungan dengan kontrol diri dan 116

Kesehatan Mental penyesuaian pribadi. Mereka menyarankan bahwa "keterlibatan agama secara signifikan mampu berkorelasi positif yang berfungsi menjadi pribadi yang normal" (hal. 200), dan tidak selalu berhubungan dengan kemiskinan terhadap kesehatan mental . Bergin dkk . (1988), dalam penelitian kualitatif bersama peserta agama, tidak menemukan bukti religiusitas berkorelasi negatif dengan kesehatan mental, dan menemukan penyesuaian yang lebih baik bagi peserta yang agamanya terintegrasi secara positif ke dalam gaya hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan bahwa religiusitas dalam sampel paruh baya berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa hubungan simbolis dengan korelasi yang signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif kesejahteraan. Bersamaan, dangan bobot pembuktian yang menunjukkan bahwa agama itu memiliki hubungan yang kecil namun positif dengan kesehatan mental dan psikologis kesejahteraan. Namun, temuan tersebut sering dicampur dan tampaknya tergantung pada keduanya baik secara religiusitas serta kesejahteraan yang diukur. Beberapa peneliti di bidang ini telah mencatat pengaruh ini, menyatakan bahwa agama dapat memiliki kedua aspek yaitu peningkatan dan patogen (misalnya, Bergin dkk , 1988;. Willits & Crider, 1988). Hubungan tersebut juga telah ditemukan bervariasi tergantung pada variabel lainnya yang terlibat dan yang dikendalikan (misalnya, Lea, 1982; Peterson & Roy, 1985). Mekanisme dengan agama yang mana dapat memberikan efek terhadap kesejahteraan belum dieksplorasi secara luas, meskipun beberapa hipotesis telah dikemukakan. Pollner (1989) mengusulkan tiga proses melalui religiusitas dapat mempengaruhi kesehatan mental serta kesejahteraan. Pertama, agama bisa memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta penyelesaian keadaan yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi untuk meningkatkan rasa diri sendiri sebagai kewenangan atau berkhasiat. Ketiga agama dapat memberikan dengan berdasarkan arti bagi perasaan , tujuan, serta identitas pribadi, dan menanamkan potensi dalam menjauhkan peristiwa dengan makna. Argumen serupa juga dikemukakan oleh Peterson serta Roy (1985), yang menyatakan secara khusus bahwa agama dapat memberikan skema penafsiran yang menyeluruh hal itu memungkinkan seorang individu untuk memahami eksistensi. Jadi, agama tidak dapat berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang , melainkan dapat mempengaruhi kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa pemaknaan serta arah tujuan dalam hidup. Terlepas dari mana makna muncul, apakah dari sumber agama atau tidak ada keterkaitan yang nyata antara pencarian seseorang terhadap (pencapaian) makna serta kesehatan emosional mereka. Pandangan ini telah 117

Kesehatan Mental didukung keduanya baik secara secara teoritis empiris. Frank (1959, 1967) meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah motivasi manusia yang penting, ketika pencarian kesejahteraan seseorang terhadap makna dihalangi, maka frustrasi eksistensi terjadi, yang menyebabkan kondisi patologis yang disebutnya "penyakit saraf noogenic." Maddi (1967) menggambarkan kondisi serupa, penyakit saraf eksistensi, yang "ditandai dengan keyakinan hal itu hidup seseorang tidak berarti dengan nada afektif apatisme kebosanan, dengan tidak adanya selektivitas dalam tindakan" (p.313). Demikian pula, Reker Wong (1988 / mengusulkan bahwa pencapaian pemaknaan pribadi memberikan seseorang sebuah penafsiran terhadap pengalaman hidup, tujuan yang berharga maksud tertentu, perasaan kepuasan dan pemenuhan. Penelitian ini juga mendukung kesimpulan umum bahwa tercapainya pemaknaan dikaitkan dengan hasil positif kesehatan mental, sedangkan kurangnya pemaknaan dikaitkan dengan hasil patologis (Coleman, Kaplan, & Downing, 1986; Ganellen & Blaney, 1984; Harlow, Newcomb, & Bentler, 1986; Yalom, 1980; Zika & Chamberlain, 1987). Pencarian makna dan pencapaian yang muncul menjadi dasar dalam kehidupan yang sukses (Lacocque, 1982; Yalom, 1980). Di samping itu erat kaitannya dengan psikologis kesejahteraan, makna secara konseptual terkait dengan agama yang mana. Yalom (1980) membedakan antara dua kelompok luas terhadap pemaknaan, makna kosmos, dimana "... mengimplikasikan beberapa desain yang ada di luar dan unggul kepada orang dan selalu mengacu dalam beberapa keajaiban atau urutan spiritual alam semesta" (p.423) dan bumi tak bermakna tanpa makna kosmis maka akan mengalami makna pribadi yang dipenuhi selaras dengan makna kosmik. Adanya perasaan pemaknaan kosmik akan memberikan hubungan yang jelas antara religiusitas dan sistem makna. Gagasan bahwa agama menyediakan sebuah kerangka kerja yang memberikan arti dan tujuan hidup telah didukung oleh beberapa penyelidikan empiris. Makna dalam kehidupan telah ditemukan lebih tinggi dalam intrinsik daripada ekstrinsik agama (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975; Soderstrom & Wright, 1977), bagi mereka dengan sudut pandang agama berkomitmen kemudian tidak berkomitmen (Soderstom & Wright , 1977), bagi mereka yang konservatif agama daripada nonreligius (Dufton & Perlman, 1986) dan bagi mereka yang baru-baru ini mengalami konversi agama (Paloutzian, 1981). Yalom (1980) melaporkan bahwa rasa makna positif dalam hidup dikaitkan dengan kedua nilai-nilai diri transenden dan keyakinan agama yang dipegang. Namun, makna dalam konteks tentang religiusitas telah rancu. Peneliti mengajukan dimensi dari religiusitas yang telah mengusulkan bahwa makna 118

Kesehatan Mental tersebut hanya satu dimensi (Raja & Hunt, 1975; Hilty, Morgan, & Burns, 1984). Peneliti lain telah menemukan arti sebagai bagian dari kesejahteraan psikologis (misalnya, Peterson & Roy, 1985). Yang lainnya telah diperjualbelikan arti yang terpisah (Reker & Wong, 1988), dengan tidak ada relevansi yang kuat dengan agama dan spiritual (misalnya, Yalom, 1980; Paloutzian, 1981). Jelaslah bahwa, makna dapat berasal dari berbagai sumber, dan agama hanya salah satu dari sejumlah yang mudah diakses. Battista dan Almond (1973) menyarankan beberapa model yang berbeda untuk mengenali makna dalam kehidupan, yang artinya berasal dari Tuhan (agama), dari yang (eksistensial), dari kemanusiaan (humanistik), atau dari kehidupan (selftransenden). Mereka menemukan bahwa orang-orang sering berkomitmen untuk dua atau lebih dari sistem kepercayaan, yang artinya berasal dari gabungan sumber. DeVogler-Ebersole dan Ebersole (1985) menemukan bahwa makna dapat digolongkan menjadi delapan sumber yang berbeda, dengan individu biasanya pelaporan tentang empat yang relevan dengan diri mereka sendiri. Reker dan Wong (1988) mengusulkan tiga belas sumber penting dari makna, mencakup keyakinan agama dan aktivitas. Reker & Guppy (1988) menemukan perubahan umur dalam sumber-sumber, dengan agama menjadi sumber semakin penting dengan usia. Chamberlain dan Zika (1988), dalam studi faktor analisis tindakan makna, menyimpulkan bahwa artinya adalah multidimensional. Mereka menyarankan bahwa makna memiliki beberapa asalusul, melalui pencapaian tujuan atau pemenuhan, memiliki filosofi yang jelas atau kerangka kerja, kami melalui contentedness dan kepuasan dengan apa yang dimiliki seseorang dalam hidup. Dengan demikian, bisa berarti memiliki berbagai sumber yang berbeda, termasuk agama. Meskipun agama bisa meningkatkan arti, itu tidak mungkin satu-satunya sumber makna, dan tampaknya tidak pantas untuk membatasi makna pada dimensi religiusitas. Kami telah menguji penelitian hubungan antara religiusitas, makna dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis. Berikut ini adalah rincian dari dua studi tersebut. Sebagaimana dicatat bahwa makna dapat diperoleh dari beberapa sumber selain dari agama, dan dengan demikian kita ingin menilai hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan ketika artinya itu diperhitungkan. Alasan lebih lanjut bahwa makna termasuk dari sumber tersebut karena memiliki hubungan kuat dengan agama dan kesejahteraan dan karena itu kami menganggap itu sebagai variabel kontrol kritis. Penelitian yang terbaru telah disarankan bahwa kesejahteraan terdiri dari setidaknya tiga dimensi utama: kepuasan hidup, dampak positif dan dampak negatif. Kepuasan hidup ini dianggap secara kognitif berdasarkan (rasional) evaluasi terhadap kesejahteraan, berbeda dengan efek positif dan negatif, 119

Kesehatan Mental yang berdasarkan evaluasi afektif (emosional) evaluasi tampaknya sesuai dalam mencakup semua ketiga dimensi kesejahteraan karena bukti secara empiris menunjukkan bahwa mereka memiliki korelasi yang berbeda (Chamberlain, 1988). Karena hasil campuran dari penelitian sebelumnya menghubungkan religiusitas dan kesejahteraan, kami menganggap penting untuk menguji apakah tingkat religiusitas akan berbeda terhadap masingmasing dimensi kesejahteraan. Studi 1 Penelitian ini melibatkan dua kelompok yang berbeda dari masyarakat yang ikut serta dalam penelitian secara umum tentang kepribadian dan kesejahteraan dan telah disarankan akan menjadi "resiko" dalam hal mengalami kesejahteraan yang lebih rendah. Kelompok-kelompok ini adalah para ibu di rumah untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia. Individu di dalam kelompok telah dianggap sebagai "resiko" karena mereka cenderung agak terisolasi tidak membayar kerja sering memiliki keterbatasan sumber daya keuangan dan sering memiliki tingkat ketergantungan pada orang lain. Selain itu ibu memiliki tuntutan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak dan orang lanjut usia sering menghadapi masalah kesehatan. Para ibu yang termasuk dalam studi ini jika mereka bukan dalam pekerjaan yang dibayar dan memiliki perawatan paling tidak satu anak di bawah usia lima tahun. Dari 188 ibu dalam kelompok itu, hampir semua sudah menikah (95 persen) dan tinggal sedikit saja (5 persen). Yang dapat dimasukkan kedalam sampel lanjut usia, peserta harus berusia 60 tahun atau lebih. Berbeda dengan ibu, proporsi yang jauh lebih kecil (54 persen) dari 137 subyek lansia yang sudah menikah, dan proporsi yang jauh lebih besar (43 persen) tinggal sendirian. Kedua kelompok responden menyelesaikan sebuah kuesioner yang berisi langkah-langkah psikologis kesejahteraan, religiusitas, dan tujuan dalam hidup. Psikologis kesejahteraan dinilai dengan dua ukuran yang berbeda. Dimensi afektif kesejahteraan, dampak positif dan negatif, ditentukan dengan efek ukuran (Kammann & Flett, 1983). Komponen kesejahteraan lainnya, kepuasan hidup, dinilai dengan (1976) ukuran secara global Andrews dan Withey's, Kepuasan hidup-3. Arti hidup dinilai dengan ujian Tujuan Hidup (Crumbaugh & Maholick 1964.). Religiusitas diukur dengan dua dari (1975) skala Raja dan Hunt, Orientasi terhadap Pertumbuhan dan Berjuang, dan Arti: mental. Skala ini telah dicatat oleh Raja dan Hunt (1975) meliputi dimensi intrinsik keagamaan dan dipilih sebagai yang paling relevan untuk meneliti dalam konteks -makna kehidupan. Sebuah analisis korelasional terhadap dokumen dari skala ini mendorong kami untuk menggabungkan mereka dalam mengukur keagamaan tunggal bagi analisis kami. 120

Kesehatan Mental Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan ukuran keagamaan tunggal. Kami memilih ukuran yang intrinsik sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan instrinsicness untuk menjadi lebih kuat terkait dengan makna kehidupan (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975; Soderstorm & Wright, 1977). Namun, hubungan antara keagamaan dan kesejahteraan dapat bervariasi dengan berbagai komponen kesejahteraan. Kami memutuskan untuk meneliti ini dalam studi kedua dengan menggunakan ukuran multidimensi keagamaan. Studi 2 Penelitian ini terus meneliti hubungan antara agama dan kesejahteraan dalam konteks makna, dengan menggunakan sampel agama dan ukuran multidimensi religiusitas. Dua kelompok responden agama yang dilibatkan melalui kelompok-kelompok lokal yaitu jemaat kajian Injil, Katolik Roma 99 dan 112 anggota jemaat Pantekosta. Setiap responden menyelesaikan kuesioner tertulis yang meliputi ukuran religiusitas, yang berarti dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis. Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik dan terestrial. arti Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom, 1980), secara langsung relevan dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna yang komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi YahudiKristen di dunia barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama adalah hanya salah satu sumber yang tersedia beberapa makna, ia harus memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik. Karena itu, mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan terestrial dalam penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan, dan khususnya untuk membandingkan kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada masalah-masalah. Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam pengembangan sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada perdebatan tentang apakah makna ditemukan atau dibuat. Baird (1985) berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan daripada penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri dan makna dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong (1988) menyatakan bahwa makna diciptakan dengan membuat pilihan, mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna yang juga ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama. Sebagaimana Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja potensial yang dapat eksis sebagai diberikan untuk banyak orang. Salah satu 121

Kesehatan Mental alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki tingkat yang lebih tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam penelitian masa depan. Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konteks di mana hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari penelitian kami, menunjukkan bahwa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna mungkin akan berasal dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973). Temuan kami menunjukkan bahwa makna hidup sangat terkait dengan kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna. Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan atau kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan tetap fokus pada aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan merupakan relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus ini seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual dalam dirinya sendiri. Mengingat lebih konseptual memperjelas dari kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang menarik dapat diatasi tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan. Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan pada studi dalam menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983 'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978; Paloutzian & Ellison, 1982) berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang berkaitan dengan rasa kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan yang lain yang berkaitan dengan rasa kepuasan hidup dan tujuan. Dalam publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa kesejahteraan rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen" (p.352). Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa dibagi yaitu agama kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison, 1983). Penelitian di bidang ini akan berkembang lebih pesat sekali konsepsi spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan sekali hubungannya dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan. Temuan dari studi 2 menunjukkan secara jelas bahwa dimensi religiusitas berbeda yang berhubungan dengan kesejahteraan. Tiga dari variabel religiusitas menunjukkan asosiasi yang konsisten dengan kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang berhubungan (keyakinan pribadi, 122

Kesehatan Mental keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan keyakinan agama pribadi, komitmen, dan keterlibatan, dan mungkin bahwa dimensi religiusitas semacam ini hanya relevan untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan pengetahuan agama) tidak memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan, akan ada kemungkinan nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan agama dan sikap positif terhadap keterlibatan gereja dalam masalah-masalah sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran seperti apa sebenarnya yang dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya. Sebelumnya kami telah berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun sangat relevan dengan keyakinan agama, dapat dicapai dengan cara nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas. Isu-isu konseptual memerlukan klarifikasi. Walaupun temuan-temuan ini sulit diperbandingkan dari studi 1 dan Studi 2 secara langsung, perbandingan ini dapat dilakukan di seluruh kelompok untuk ukuran religiusitas intrinsik dalam studi 1 dan ukuran intrinsik, keyakinan pribadi, dalam Studi 2. Perbandingan ini menunjukkan bahwa arti-penting agama bagi kelompok mempengaruhi kekuatan dan ruang lingkup pergaulan. Ibu memiliki korelasi positif kecil dengan kepuasan hidup saja. Tetapi orang yang lanjut usia, agama telah meningkat arti-penting, yang memiliki korelasi positif moderat dengan kepuasan hidup dan Katolik positif menunjukkan pola yang serupa dengan orang tua, sementara Pentakosta, dengan orientasi mereka yang lebih intrinsik, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan semua tiga ukuran sumur sedang. Yang menjadi utama bagi kami adalah untuk mempelajari bagaimana hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan akan bertahan ketika makna kehidupan diperhitungkan. karena ada perbedaan religiusitas antara kelompok, analisis yang terpisah dilakukan pada setiap kelompok. Namun, menghasilkan hasil yang sama pada kedua kelompok, meskipun perbedaan dari segi religiusitas. Analisis menunjukkan bahwa setiap dimensi religiusitas dicatat dalam berbagai varians dalam dimensi kesejahteraan sekalipun makna dalam hidup ini sebagian keluar. Dalam kasus terbaik, religiusitas menjelaskan hanya satu-setengah dari satu persen dari varians dalam kesejahteraan. seperti dalam studi 1, mengontrol efek makna secara efektif menghapus semua hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan yang disarankan oleh (orde pertama) korelasi sederhana. Sebaliknya, kehidupan yang berarti dengan religiusitas sebagian keluar adalah prediktor substansial dari setiap dimensi kesejahteraan, menjelaskan antara 20 persen dan 30 persen dari varians dalam kesejahteraan.

123

Kesehatan Mental Hubungan yang diperoleh dalam studi ini memastikan hasil temuan penelitian yang sebelumnya dari asosiasi positif sederhana antara religiusitas dan psikologi kesejahteraan (Bergin, 1983; Lea, 1982; Witter dkk, 1985.). Namun demikian, sebagai peneliti sebelumnya telah mencatat kekuatan dari hubungan tersebut dapat bergantung tentang bagaimana kesejahteraan ditentukan, bagaimana religiusitas ditentukan, dan sifat dari kelompok yang terlibat. Hasil ini menunjukkan bahwa, di mana religiusitas secara signifikan berhubungan dengan kesejahteraan, hal ini bias menjelaskan antara 5 persen dan 23 persen dari varians dalam kesejahteraan, tergantung pada dimensi religiusitas dan kesejahteraan yang terlibat. Temuan ini paralel dengan hasil sebelumnya yang melibatkan hubungan langsung antara komponen religiusitas dan langkah-langkah kesejahteraan dan kesehatan mental (Bergin, 1983; Witter et al, 1985.). Akhirnya, kami menguji hubungan antara religiusitas, makna dan kesejahteraan bagi kedua kelompok. Untuk Katolik, tiga dimensi religiusitas berkorelasi antara, keyakinan pribadi, keterlibatan gereja dan ortodoksi, semua berhubungan di moderat ke tingkat yang rendah dengan semua tiga ukuran kesejahteraan. Dimensi religiusitas dua lainnya, hati nurani sosial dan ilmu agama, yang tidak berkorelasi dengan kesejahteraan kecuali untuk asosiasi negatif kecil antara pengetahuan agama dan dampak negatif pada kelompok Pentakosta. seperti yang diharapkan, tujuan hidup berkorelasi sedang dengan semua dimensi kesejahteraan pada kedua kelompok. Selanjutnya kita meneliti hubungan antara dimensi religiusitas, dan termasuk makna kehidupan karena Hilty dkk. (1984) menganggap di antara dimensi. Untuk kedua kelompok, tiga dimensi religiusitas (keyakinan pribadi, terlibat di gereja, dan ortodoksi) yang berkorelasi pada tingkat sedang, dan sakit tiga berkorelasi sedang dengan tujuan dalam hidup. Dua dimensi lainnya religiusitas berbeda antara kelompok. Untuk Pentakosta, kesadaran sosial dan pengetahuan agama tidak berkorelasi dengan dimensi lain. Pada kelompok Katolik, kedua dimensi tersebut berkorelasi dengan beberapa dimensi lain. Tujuan dalam hidup ini tidak berkorelasi dengan kedua dimensi. Hasil ini secara umum mirip dengan Hilty dkk. (1984) mengemukakan beberapa pengecualian. Di sini, pengetahuan agama tidak berkorelasi negatif dengan dimensi lain dalam kelompok, dan hati nurani sosial memiliki korelasi yang lebih tinggi bagi umat Katolik. Pentakosta juga dinilai lebih tinggi dari ortodoks, ukuran penerimaan kepercayaan tradisional dan doktrin. Hal ini mencerminkan penekanan Pentakosta terhadap keyakinan fundamental dan interpretasi literal dari Alkitab (McGaw, 1980). Katolik dinilai lebih tinggi terhadap hati nurani sosial, 124

Kesehatan Mental menunjukkan bahwa mereka melihat diri mereka sendiri dan gereja mereka memiliki peran yang kuat dalam masyarakat dan isu-isu sosial daripada Pentakosta. Tidak ada perbedaan terhadap dimensi pengetahuan agama, mungkin karena kelompok belajar Alkitab adalah sumber peserta dari kedua gereja. Pantekosta dinilai lebih tinggi terhadap keyakinan pribadi, yang menilai pentingnya agama dalam kehidupan pribadi seseorang, dan merupakan ukuran religiusitas intrinsik. Mengingat Pantekosta menekankan terhadap spiritualitas pribadi dan komitmen, hasil ini menegaskan harapan bagi Pentakosta lebih hakiki. Pentakosta juga dinilai lebih tinggi terhadap pengaturan gereja, dan mencerminkan orientasi ekstrinsik. Sekali lagi, penekanan Pantekosta pada partisipasi pribadi dalam pertemuan gereja, digabungkan dengan harapan yang kuat untuk mendukung gereja dan terlibat dalam penginjilan, yang akan memprediksi hasil ini. Temuan ini menunjukkan bahwa Pentakosta sesuai dengan (1978) kategori Hood tentang agama tanpa pandang bulu . Pertama-tama kita membandingkan hasil antara Katolik dan Pentakosta terhadap perbedaan dalam religiusitas, makna hidup, dan kesejahteraan. Tidak ada perbedaan antara kelompok dalam kesejahteraan, kecuali untuk efek positif, di mana Pentakosta memiliki tingkat sedikit lebih tinggi daripada Katolik. Begitupun juga tidak ada perbedaan dalam arti kehidupan, tetapi perbedaan-perbedaan substansial muncul di religiusitas. Dimensi afektif kesejahteraan lagi-lagi dinilai dengan pengaruh meter . Kepuasaan hidup diukur dengan Tingkat Kepuasan dengan Skala Kehidupan (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Arti dalam hidup ini sekali lagi dievaluasi dengan ujian Tujuan dalam Kehidupan . Untuk menilai religiusitas secara lebih rinci, kami menggunakan revisi Raja dan skala Hunt yang dikemukakan oleh Hilty dkk. (1984). Dua skala dihilangkan: Tujuan Hidup, yang kita ukur dengan ujian Tujuan dalam Hidup, dan Intoleransi Kerancuan, yang berisi item budaya sesuai untuk sampel kami. Skala Sosial Hati Nurani juga diubah dengan menghilangkan referensi untuk orang kulit hitam. Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan pada studi dalam menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983 'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978; Paloutzian & Ellison, 1982) berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang berkaitan dengan rasa kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan yang lain yang berkaitan dengan rasa kepuasan hidup dan tujuan. Dalam publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa kesejahteraan rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen" (p.352). Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa 125

Kesehatan Mental dibagi yaitu agama kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison, 1983). Penelitian di bidang ini akan berkembang lebih pesat sekali konsepsi spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan sekali hubungannya dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan. Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan atau kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan tetap fokus pada aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan merupakan relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus ini seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual dalam dirinya sendiri. Mengingat lebih konseptual memperjelas dari kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang menarik dapat diatasi tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan. Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konteks di mana hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari penelitian kami, menunjukkan bahwa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna mungkin akan berasal dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973). Temuan kami menunjukkan bahwa makna hidup sangat terkait dengan kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna. Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam pengembangan sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada perdebatan tentang apakah makna ditemukan atau dibuat. Baird (1985) berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan daripada penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri dan makna dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong (1988) menyatakan bahwa makna diciptakan dengan membuat pilihan, mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna yang juga ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama. Sebagaimana Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja potensial yang dapat eksis sebagai diberikan untuk banyak orang. Salah satu alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki tingkat yang lebih tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam penelitian masa depan. Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik dan terestrial. arti Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom, 1980), secara langsung relevan 126

Kesehatan Mental dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna yang komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi YahudiKristen di dunia barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama adalah hanya salah satu sumber yang tersedia beberapa makna, ia harus memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik. Karena itu, mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan terestrial dalam penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan, dan khususnya untuk membandingkan kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada masalah-masalah. Dari uraian di atas, secara teoritis ditemukan bahwa agama telah sering dipertimbangkan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jiwa dan psikologi kesejahteraan. Keagamaan yang positif berhubungan dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa serta lebih kuat bagi usia lanjut (Lea, 1982). Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan bahwa religiusitas psikis memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk (1987) menyatakan bahwa orientasi keagamaan hakiki yang negatif berhubungan dengan kecemasan sedangkan yang positif berhubungan dengan kontrol diri dan penyesuaian pribadi. Keterlibatan agama secara signifikan mampu berkorelasi positif yang berfungsi menjadi pribadi yang normal, dan tidak selalu berhubungan dengan kemiskinan terhadap kesehatan mental. Pollner (1989) mengusulkan tiga proses melalui religiusitas dapat mempengaruhi kesehatan mental serta kesejahteraan. Pertama, agama bisa memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta penyelesaian keadaan yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi untuk meningkatkan rasa diri sendiri sebagai kewenangan atau berkhasiat. Ketiga agama dapat memberikan dengan berdasarkan arti bagi perasaan , tujuan, serta identitas pribadi, dan menanamkan potensi dalam menjauhkan peristiwa dengan makna. Peterson serta Roy (1985), menyatakan secara khusus bahwa agama dapat memberikan skema penafsiran yang menyeluruh hal itu memungkinkan seorang individu untuk memahami eksistensi. Jadi, agama tidak dapat berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang, melainkan dapat mempengaruhi kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa pemaknaan serta arah tujuan dalam hidup. Frank (1959, 1967) meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah motivasi manusia yang penting, ketika pencarian kesejahteraan seseorang terhadap makna dihalangi, maka frustrasi eksistensi terjadi, yang menyebabkan kondisi patologis yang disebutnya "penyakit saraf noogenic." Maddi (1967) menggambarkan kondisi serupa, penyakit saraf eksistensi, yang "ditandai dengan keyakinan hal itu hidup seseorang tidak berarti dengan nada 127

Kesehatan Mental afektif apatisme kebosanan, dengan tidak adanya selektivitas dalam tindakan" (p.313). Demikian pula, Reker Wong (1988) mengusulkan bahwa pencapaian pemaknaan pribadi memberikan seseorang sebuah penafsiran terhadap pengalaman hidup, tujuan yang berharga maksud tertentu, perasaan kepuasan dan pemenuhan. Namun demikian, secara empiris teori di atas masih banyak diperdebatkan. Hal ini dapat ditemukan dalam artikel ini sebagaimana terungkap sebagai berikut: Witter, Stock, Okun dan Haring (1985) melakukan suatu meta-analisis dari 28 penelitian. Witter dkk, menyimpulkan bahwa "beragama yang positif berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan" (p.335). Sementara itu, Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis terhadap 24 penelitian yang meneliti hubungan antara beragama dan psikopatologi. Berdasarkan meta-analisis tersebut Bergin menemukan sebagian kecil (23 persen) terkait hubungan negatif antara beragama dan kesehatan jiwa, sedangkan hampir setengah (47 persen) menunjukkan hubungan yang positif. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Donahue (1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti religiusitas ekstrinsik dan intrinsik. Donahue melaporkan bahwa beberapa relevan konstruksi yang diferensial yang berkaitan dengan dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness ditemukan berkorelasi positif dengan prasangka dan dogmatisme, sedangkan instrinsicness itu tidak berkorelasi dengan sifat-sifat ini. Extrinsicness berkorelasi positif dengan kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi negatif dengan kegelisahan. Bergin dkk (1988), dalam penelitian kualitatif bersama peserta agama, tidak menemukan bukti religiusitas berkorelasi negatif dengan kesehatan mental, dan menemukan penyesuaian yang lebih baik bagi peserta yang agamanya terintegrasi secara positif ke dalam gaya hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan bahwa religiusitas dalam sampel paruh baya berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa hubungan simbolis dengan korelasi yang signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif kesejahteraan. Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris di atas, maka saya menyimpulkan bahwa dalam penelitian mengenai religiusitas, makna dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis memiliki variabel atau dimensi yang banyak. Oleh karena itulah sehingga antara penelitian yang satu dengan yang lainnya menunjukan perbedaan karena dimensi yang digunakan adalah berbeda. Mengenai penelitian dalam artikel ini ada beberapa hal menurut saya merupakan suatu kelemahan penelitian yaitu penggunaan pengukuran variabel keagamaan yaitu hanya menggunakan ukuran intrinsik, sementara varibel ini dapat diukur dengan ukuran lain. Namun demikian, peneliti telah jujur 128

Kesehatan Mental mengungkap hal ini sebagai keterbatasan dalam penelitiannya sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: One limitation of this study was the use of a single religiosity measure. We chose an intrinsic measure in line with previous research that had shown instrinsicness to be more strongly associated with meaning (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975; Soderstorm & Wright, 1977). Kelemahan lain bila dikaitkan anatara studi 1 dan studi 2 dalam hal pemilihan sampel atau penentuan responden menjadi berbeda yaitu pada studi 1 sampelnya adalah kelompok ibu rumah tangga yang berjumlah 188 orang dan kelompok lansia yang berjumlah 137 orang, sementara pada studi 2 sampelnya adalah dua kelompok responden agama yang dilibatkan melalui kelompok-kelompok lokal yaitu Jemaat Kajian Injil, Katolik Roma 99 orang dan 112 orang anggota Jemaat Pantekosta. Penentuan sampel atau responden termasuk perbedaan jumlah sampel dalam penelitian perbandingan menurut saya sangat berpengaruh terhadap jastifikasi hasil penelitian atau dengan kata lain akan sulit untuk mengambil keputusan hasil penelitian. Hal ini secara tidak langsung diakui oleh peneliti sebagaimana diungkapkan dalam kesimpulan artikel ini yaitu sebagai berikut: Although it is difficult to compare findings from Study 1 and Study 2 directly, a comparison can be made across groups for the intrinsic religiosity measure in Study 1 and the intrinsic measure, personal faith, in the Study 2. Hal lain paling mendasar dalam suatu penelitian menurut saya adalah metodologi dan alat analisis atau metode analisis yang digunakan. Dalam artikel atau penelitian ini tidak ditunjukan atau dijelaskan dengan jelas mengenai metode analisis yang digunakan. Oleh karena itu, menurut saya, ini juga adalah merupakan kelemahan dalam penelitian ini. Terlepas dari beberapa kelemahan di atas, namun penelitian ini telah membuktikan beberapa hal sebagaimana terungkap dalam hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut: dimensi religiusitas berbeda yang berhubungan dengan kesejahteraan. Tiga dari variabel religiusitas menunjukkan asosiasi yang konsisten dengan kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang berhubungan (keyakinan pribadi, keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan keyakinan agama pribadi, komitmen, dan keterlibatan, dan mungkin bahwa dimensi religiusitas semacam ini hanya relevan untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan pengetahuan agama) tidak memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan, akan ada kemungkinan nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan agama dan sikap positif terhadap keterlibatan gereja dalam masalah-masalah sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran seperti apa sebenarnya yang dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya. Sebelumnya kami telah berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun sangat relevan dengan 129

Kesehatan Mental keyakinan agama, dapat dicapai dengan cara nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas. Isu-isu konseptual memerlukan klarifikasi. Hasil lain disebutkan bahwa arti-penting agama bagi kelompok mempengaruhi kekuatan dan ruang lingkup pergaulan. Ibu memiliki korelasi positif kecil dengan kepuasan hidup. Tetapi orang yang lanjut usia, agama telah meningkat arti-penting, yang memiliki korelasi positif moderat dengan kepuasan hidup dan Katolik positif menunjukkan pola yang serupa dengan orang tua, sementara Pantekosta, dengan orientasi mereka yang lebih intrinsik, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan semua tiga ukuran. References Andrews, F.M., & Withey, S.B. (1976). Social indicators of wellbeing. New York: Plenum. Baird, R.M. (1985). Meaning in life: Discovered or created? Journal of Religion and Health, 24, 117-124. Battista, J., & Almond, R. (1973). The development of meaning in life. Psychiatry, 36, 409-427. Bergin, A.E. (1983). Religiosity and mental health: A critical reevaluation and meta-analysis. Professional Psychology: Research and Practice, 14, 170184. Bergin, A.E., Masters, K.S., & Richards, P.S. (1987). Religiousness and mental health reconsidered: A study of an intrinsically religious sample. Journal of Counseling Psychology, 34, 197-204. Bergin, A.E., Stinchfield, R.D., Gaskin, T.A., Masters, K.S., & Sullivan, C.E. (1988). Religious life-styles and mental health: An exploratory study. Journal of Counseling Psychology,35, 91-98. Bolt, M. (1975). Purpose in life and religious orientation. Journal of Psychology and Theology, 3, 116-118. Chamberlain, K. (1988). On the structure of subjective and well-being. Social Indicators Research, 20, 581-604. Chamberlain, K., & Zika, S. (1988). Measuring meaning in life: An examination of three scales. Personality and Individual Differences, 9, 689-596. Coleman, s., Kaplan, J., & Downing, R.D. (1975). Life cycle and loss-the spiritual vacuum of heroin addiction. Family Process, 25, 5-23. Crandall, J.E., & Rasmussen, R.D. (1975). Purpose in life as related to specific values. Journal of Clinical Psychology, 31, 483-485. Crumbaugh, J.C., & Maholick, L.T. (1964). An experimental study in existentialism: The psychometric approach to Frankls concept of noogenic neurosis. Journal of Clinical Psychology, 20, 200-207. 130

Kesehatan Mental DeVogler-Ebersole, K.L., & Ebersole, P. (1985). Depth of meaning in life. Psychological Reports, 56, 303-310. Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575. Diener, E., Emmons, R.A., Larsen, R.J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75. Donahue,M.J. (1985). Intrinsic and extrinsic religiousness: Review and metaanalysis. Journal of Personality and Social Psychology, 48, 400-419. Dufton, B.D., & Perlman, D. (1986). The association between religiosity and the Purpose in Life Test: Does it reflect purpose or satisfaction? Journal of Psychology and Theology, 14, 42-48. Ellison, C.W. (1983). Spiritual well-being: Conceptualization and measurement. Journal of Psychology and Theology, 11, 330-340. Frankl, V. (1959). Mans search for meaning. London: Hooder & Stoughton. Frankl, V. (1967). Psychotherapy and existentialism. New York: Simon & Schuster. Ganellen, R.J., & Blaney, P.H. (1984). Hardiness and social support as moderators of the effects of life stress. Journal of Personality and Social Psychology, 47, 156-163. Harlow, L.L., Newcomb, M.D., & Bentler, P.M. (1986). Depression, selfderogation, substance use, and suicide ideation: Lack of Purpose in life as a mediational factor. Journal of Clinical Psychology, 42, 5-21. Hilty, D.M., Morgan, R.L., & Burns, J.E. (1984). King and Hunt revisited: Dimensions of religious involvement. Journal for the Scientific Study of Religion, 23, 252-266. Hood, R.W. (1973). Forms of religious commitment and intense religious experience. Review of Religious Research, 15, 29-36.

2. Ritual Agama dan Kesehatan Mental Penelitian lintas-budaya ritual agama yang biasanya merujuk kepada perspektif sosial dimana ritual upacara keagamaan diperiksa melalui lensa teori seorang fungsionalis. Adanya pengecualian untuk pendekatan ini ditemukan dalam karya Scheff (1979), sosok yang lebih dari 1 dekade memprakarsai perdebatan tentang nilai emosional ritual dari sudut pandang rasa terharu dan pengurangan kecemasan. Menurut Scheff, ritual memungkinkan adanya pengakuan atas gangguan emosi dalam lingkungan sosial serta sanksi yang menyediakan batas aman dimana untuk menghidupkan kembali, mengalami rasa sakit, dan penderitaan emosi. Pembebasan perasaan dalam membalikkan kecenderungan terhadap 131

Kesehatan Mental penindasan dengan memfasilitasi pengakuan dan ekspresi menyakitkan, takut, sedih, atau memalukan. Teori Scheff tentang ritual pembersihan merupakan konsep yang terkemuka dalam menjauhkan emosional. Hasilnya, Scheff menentang bahwa ritual menawarkan bentuk pembebasan dari rasa haru dengan menciptakan kondisi dimana peserta dapat menjadi aktif dengan melibatkan ekspresi perasaan sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional. Kesenjangan emosi dapat diwujudkan dalam peran ganda yang mengasumsikan bahwa individu baik sebagai peserta maupun sebagai pengamat dalam suatu upacara keagamaan. Pemecahan yang mengarah pada suatu respon yang bertentangan sebagai peserta adalah pada orang yang percaya pada saat yang sama atau pada orang yang sedang ragu. Oleh karena itu, Scheff menyimpulkan bahwa ritual doa berfungsi sebagai jarak pada komunikan sehingga membuat hal ini terjadi baik antara individu maupun pengamat. selama komunikan baik beriman maupun kafir berada dalam komunikasi dengan makhluk ghaib. Sementara itu interpretasi Scheff tentang kesenjangan emosi yang menawarkan perspektif menarik tentang ritual dan emosi. Bab ini menyajikan pemahaman alternative tentang hubungan antara ritual, katarsis dan kesehatan mental. Sebagai sebuah proses interaktif, ritual melibatkan peserta dalam perilaku yang memperkuat hubungan keterkaitan yang signifikan kepada orang lain. Subjek yang menjadi lampiran tersebut bisa jadi merupakan pribadi ilahiyah, pemimpin spiritual, komunitas agama atau seluruh masyarakat. Namun, ada rasa keterkaitan yang memfasilitasi respon katarsis yang melalui emosi rasa sakit dapat di bawah pada kesadaran dan kenangan atau mengungkapkan untuk pertama kali. Kembali ke contoh Scheff tentang doa dan nilai katarsis dari upacara agama melalui hubungan interpersonal antara komunikan dan dewa. Dibandingkan dengan keraguan dan emosional, keduanya memiliki keterkaitan ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan yang member kekuatan potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang kemudian diakhiri dengan tindakan yang nyata dalam aktualisasi ketaatan beragama. Dalam kerangka ini, interaktif, analisis, lintas budaya, ritual dan katarsis akan disajikan melalui penggambaran data antropologi dan teori sosial psikologis, rasa malu, kesedihan, kemarahan, yang akan diuji melalui upacara pengakuan ritual, berkabung dan konfortasi. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Scheff menentang ritual yang menawarkan bentuk pembebasan dari rasa haru dengan menciptakan kondisi dimana peserta dapat menjadi aktif dengan melibatkan ekspresi perasaan sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional. pemahaman alternative tentang hubungan antara ritual, katarsis dan kesehatan mental. 132

Kesehatan Mental Sebagai sebuah proses interaktif, ritual melibatkan peserta dalam perilaku yang memperkuat hubungan keterkaitan yang signifikan kepada orang lain, keraguan dan emosional, keduanya memiliki keterkaitan ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan yang memberi kekuatan potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang kemudian diakhiri dengan tindakan yang nyata dalam aktualisasi ketaatan beragama. Sementara itu interpretasi Scheff tentang kesenjangan emosi yang menawarkan perspektif ritual dan emosi, hal ini sangat bergantung pada pemahaman seseorang tentang bagaimana proses ritual yang memiliki kesempurnaan ritual supranatural. Ritual memang bagian dari ajaran agama. Ritual itu penting, dimana kita bisa menafikan ritualitas dalam malaksanakan agama. Tetapi ada aspek yang tidak kalah penting yaitu aktualitas. Aktualitas dalam beragama berarti mengejawantahkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Scheff menyimpulkan bahwa ritual doa berfungsi sebagai jarak pada komunikan sehingga membuat hal ini terjadi baik antara individu maupun pengamat. selama komunikan baik beriman maupun kafir berada dalam komunikasi dengan makhluk ghaib. Seorang muslim seharusnya mengaktualsiasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah dalam Islam tidak hanya untuk dikerjakan, tetapi juga harus diimplementasikan nilainilainya dalam kehidupan sehari-hari. Kesalehan tidak hanya berupa kesalehan ritual hubungan mansusia dengan Tuhannya, tetapi juga kesalahan sosial hubungan manusia sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Malu dan Pengakuan Malu mungkin merupakam sesuatu yang sangat meresap pada emosi manusia dan merupakan unsur intrinsik dalam pemahaman tentang nilai ritual sebagai katarsis. Dalam membahas tentang pentingnya rasa malu dalam pengembangan kepribadian dan hubungan sosial di tengah-tengah masyarakat barat, Giddens (1984) mencatat tingginya pevalensi, istilah yang berhubungan dengan rasa malu saat mereka berada dalam kursus bahasa sehari-hari. Ia mengamati bahwa malu akan mengancam pondasi harga diri dan beberapa komentar bahwa komponen motivasi berasal dari kepribadian anak dan orang dewasa yang umumnya menghindar dari kecemasan dan pengokohan harga diri melawan banjir melalui rasa malu dan rasa bersalah. (Giddens, 1984. p 55-57). Rasa malu dan rasa bersalah memiliki lintas budaya yang sangat relevan, itu terbukti melaui tatacara yang menginformasikan berbagai sistem agama. Dari sebuah suku, dipraktekkan seekor kambing hitam sebagai ritual pengakuan dosa umat katolik. Universalitas pengakuan ritual telah diamati oleh Reik (1959) yang merasakan dalam diri manusia adanya suatu keharusan 133

Kesehatan Mental untuk mengakui (hal. 180), yang dapat meringankan beban penderitaan. Seperti perspektif pada ritual yang menunjukkan bahwa harga diri dan penerimaan merupakan inti dari tindakan pengakuan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu dan kebencian terhadap diri sendiri yang menyertai persepsi dari khilaf dan dosa. Di Hunchol, meksiko selatan, pengakuan layaknya api yang berkobar, api suci di mana semua dosa dilemparkan. Berikut. La Barre (1964) menggambarkan pengakuan dosa seksual dalam persiapan untuk sebuah kunjungan: Setiap wanita menyiapkan pada setiap rumah sehelai benang strip daun kelapa dengan simpul berpasangan. Dia membawa benang ke kuil dan berdiri di depan kobaran api sambil menyebutkan nama mereka satu per satu kemudian melemparkan kabel pada api untuk di bakar. Dikatakan bahwa tidak ada bentakan keras dari pengakuan ini jika tidak maka pria tidak akan menemukan sebuah pabrik hikuli tunggal. Orang-orang juga tidak merasa ganjil saat mereka pergi bersama mengingat dosa-dosa mereka dan di kamp tertentu mereka berbicara kepada arah angin dan disertai hembusannya, kepada pemimpin yang akan dibakar di dalam kobaran api. (Hal. 41). Yang lebih umumnya lagi, dari pengakuan telah ditemukan di kalangan penduduk asli Amerika di Amerika Serikat sebagaimana dicontohkan dalam upacara pengakuan dosa dari Ojibway yang menyatakan dosa-dosa mereka secara terbuka di hadapan seluruh masyarakat. Pada awal abad keduapuluh, Skinner (1914) mempersiapkan tabungan financial khusus untuk upacara pengakuan dosa: Ini dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan kepada publik perihal hubungan seksual yang tidak sah pada interval. Beberapa laki-laki, diberi hak dalam mimpi untuk memanggil, mengumpulkan orang bersama-sama di penginapan di mana mereka berada. Pertama para orang tua kemudian para pemuda dan kemudian wanita. Sebuah batu yang diibaratkan semangat besar hadir dan ditempatkan di tengah-tengah lantai untuk membuat satu kesungguhan. batu itu mendengar perkataan mereka dan bencana melanda semua pendusta. Pria yang tidak mengatakan kebenaran itu pasti akan mati terbunuh pada perang antar budaya dikalangan mereka berikutnya. Demikian pula, Hari Raya Pendamaian Yahudi dirayakan dengan cepat komunal selama dua puluh empat jam disertai dengan pelayanan keagamaan di mana anggota jemaat bersama-sama bertobat dari perbuatan yang salah pada tahun sebelumnya. Pengakuan dosa dibacakan dengan keras dan bersamaan, dalam pengakuan tersebut mereka menekankan tanggung jawab bersama dari komunitas Yahudi. Beberapa kali ditampilkan dalam ibadah, para peserta bangkit dan berkata kepada Allah : Kami telah berdosa terhadapMu dengan menjadi orang yang keras hati. 134

Kesehatan Mental Dan kami telah berdosa terhadapMu dengan berbicara sembarangan. Kami telah berdosa terhadapMu baik secara terbuka maupun secara rahasia. Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui lisan yang ofensif. Kami telah berdosa kepadaMu melalui pikiran kotor. Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui pengakuan kosong (Harlow, 1978, hal 407). Umumnya, pengakuan semacam ini melibatkan ekspresi kolektif dari dosa, yang menciptakan kesadaran salah paham. Efeknya adalah untuk mengurangi lebih jauh rasa isolasi yang melekat pada perasaan malu. Kami menyarankan penggunaan inklusif ini tidak ada satu orang lebih atau kurang yang jauh dari dosa. Dalam ritual publik, hal ini telah dibahas dalam semua upacara pengakuan dosa. Pengungkapan melalui upacara meningkatkan ekspresi katarsis emosi oleh ekisternalisasi rasa bersalah dan rasa malu yang mungkin akan berbalik ke arah dalam diri. Oleh karena itu, upacara pengakuan menjadi salah satu sarana untuk melepaskan penderitaan diinternalisasi penderitaan emosional. Dalam cara yang sama, ritual publik berkabung memberikan struktur ritual di mana perasaan duka dan kesedihan secara terbuka mengakui dan divalidasi dalam sebuah komunitas agama yang mendukung. Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki rasa malu. Islam telah memberikan tempat yang mulia bagi perasaan malu. Simaklah beberapa hadits berikut: Salim bin Abdullah dari ayahnya, mengatakan bahwa Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi nasihat (dalam riwayat lain: menyalahkan) saudaranya perihal malu. (Ia berkata, Sesungguhnya engkau selalu merasa malu, seakan-akan ia berkata, Sesungguhnya malu itu membahayakanmu.) Lalu, Rasulullah saw. bersabda, Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman. (Shahih Bukhari). Karena sesungguhnya rasa malu itu punya tempat, dan rasa malu yang baik itu pasti kan membawa kebaikan bagi pemiliknya. Reik berperspektif pada ritual yang menunjukkan bahwa harga diri dan penerimaan merupakan inti dari tindakan pengakuan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu dan kebencian terhadap diri sendiri yang menyertai persepsi dari khilaf dan dosa. Orang-orang dengan sifat pemalu secara naluri menyimpan kesadaran kalau diri mereka terlewatkan dari orang lain. Sifat pemalu biasanya membuat seseorang kehilangan kesempatan, kurang mendapat kesenangan dan terkucil dari hubungan sosial. Sifat pemalu dapat membawa banyak kerugian. Tapi bagi orang yang memiliki sifat ini, tak perlu berkecil hati, karena pada dasarnya ada banyak cara untuk mengusir jauh-jauh sifat yang merugikan ini. Sebenarnya, formula dari rasa malu terdiri dari 135

Kesehatan Mental terlalu berpusat pada diri sendiri dicampur dengan rasa gugup. Rasa malu adalah sebuah kombinasi dari kegugupan sosial dan pengkondisian sosial. Ini dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan kepada publik perihal hubungan seksual yang tidak sah pada interval. Dalam kebanyakan kasus, emosi yang memuncak dalam bersosialisasi membuat orang menanggapi berbagai kejadian dengan rasa takut. Bila kita kembali kepada hadits Rasulullah di atas yang mengatakan rasa malu adalah manifestasi dari iman, maka hanya orang-orang yang imannya menancap kuat dan tumbuh yang memiliki tingkat sensitivitas rasa malu yang sangat tinggi. Kesedihan dan Upacara Berkabung Studi tentang upacara berkabung telah sebagian besar dikaitkan dengan investigasi antropologi ke dalam fungsi sosial dari upacara kematian. Dalam kerangka ini ritus komunal untuk orang mati telah dijelaskan dalam hal solidaritas kelompok dan interaksi yang disimbolkan dengan proses berkabung (Mandelbaum, 1959). Dibandingkan dengan pendekatan fungsionalis, penekanan yang jauh lebih sedikit telah ditempatkan pada nilai psikologis dari upacara berkabung, meskipun penelitian dokumen yang intens ekspresi kesedihan sering menyertai aspek-aspek sosial dari ritual keagamaan untuk orang mati. Di antara COCOPA, seorang penduduk asli Amerika Budaya, Kelly (1949) melaporkan bahwa, pada pengumuman kematian, anggota keluarga masuk ke dalam masa berduka di mana mereka menangis, meratap dan menjerit hampir sampai ke titik kelelahan sempurna. katarsis rilis tersebut, yang terganggu dengan lagu upacara dan tari, dapat dilakukan selama dua hari sebelum kremasi almarhum. Ungkapan duka melalui ritual seperti ini melibatkan pertukaran individu dalam membuka perasaan mereka. Menurut Pincus (1974), ini memberikan kontribusi bagi kesehatan mental peserta yang dinyatakan mungkin menderita akibat efek dari penolakan dan "kemiskinan pribadi" yang lebih nampak pada kebudayaan represif . Dalam hal ini, tidak adanya ritual berduka dapat menyebabkan penolakan norma-norma budaya dan sifat pemberontak di mana penderitaan seseorang mendapat respon melalui perlakuan yang keras dan dengan sikap acuh tak acuh (Gorrer, 1965). Bagian dari nilai katarsis dari ritual berduka yang terkandung dalam aspek-aspek berkabung yang memfasilitasi identifikasi korban dengan penderitaan almarhum. COCOPA ini misalnya, menganalisis sebab kematian sebelum membakarnya dengan melibatkan harta benda dalam sebuah upacara kremasi rumit. Masa penguburan Katolik memberikan asosiasi yang sama dengan orang mati melalui representasi simbolis dari penyaliban. Jackson (1959) menjelaskan identifikasi antara pelayat katolik dengan cara ini : 136

Kesehatan Mental Dalam upacara ritual orang mengidentifikasi dirinya (sendiri) dengan Yesus. Seorang individu yang telah mati (almarhum) (pemuka agama) yang terlibat dalam suatu ritus yang melibatkan baik pikiran dan tindakan. Bersama dengan orang tersebut, ia memiliki penerimaan agama sosial pada saat yang sama memiliki khasiat pribadi sehingga menjadikan kondisi aman bagi perasaan yang mendalam. Sejak perang dunia II, upacara peringatan untuk Hari Raya Pendamaian dalam tradisi Yahudi mengingatkan para peserta tidak hanya kehilangan orang yang mereka cintai tetapi juga kematian enam juta orang Yahudi dalam Holocaust. Sebuah kutipan dari layanan ini berbunyi sebagai berikut: Wahai Tuhan penuh kasih, perdamaian yang besar di hadapanMu kini tengah berlindung di antara yang kudus dan yang murni untuk diri kami sekalian, saudara laki-laki, perempuan dan anak-anak dari rumah Israel yang dibantai dan dibakar. memori Mei silam, membuat mereka perpegang teguh pada kebenaran dan kesetiaan inspirasi dalam hidup. Semoga jiwa mereka terjaga sampai pada datangnya kehidupan selanjutnya. (Harlow. 1978.p. 691). Setiap Tahun, identifikasi pelayat Yahudi dengan almarhum mengasumsikan pribadi serta dimensi sosial sebagai pengingat dari Holocaust yang kemudian menimbulkan emosi yang mendalam disertai kesedihan dan kesedihan kolektif. Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis yang secara kontekstual merupakan pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat dengan mereka yang telah meninggal. Melalui ikatan emosional dengan almarhum, perasaan putus asa dan kerinduan yang dinyatakan sebagai kematian merupakan perpisahan akhir. Perasaan takut, serta kesedihan, menyampaikan respon individu untuk takut akan kematian. Hal ini dibuktikan dalam prevalensi mitologi dan keyakinan yang mengelilingi nasib yang tidak diketahui oleh orang-orang yang telah meninggal. Dengan demikian, ritual berkabung menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi rasa takut dan kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk memastikan memberikan perasaan aman dan tenang pada jiwa. Dalam tradisi Kristen, tindakan pencegahan tersebut ditemukan dalam penyelenggaraan upacara terakhir, sedangkan agama Hindu membutuhkan perhatian besar dalam membebaskan jiwa untuk reinkarnasi. Di Kota di India, seorang anak muda melakukan pembakaran jenazah secara kremasi yang seolah-olah semua anggota masyarakat lainnya dianggap najis. Kebiasaan ini memastikan bahwa roh tidak akan berlama-lama dan menyebabkan kerusakan bagi yang hidup, dan juga akan menemukan bagian-bagian yang aman bagi dunia di luar kehidupan jasmani (Mandelbaum. 1959). Ritual berkabung bertujuan untuk mengurangi kecemasan melalui pengenaan ritual seremonial yang mengatur interaksi dengan almarhum. 137

Kesehatan Mental Pengaruh katarsis dengan demikian ditingkatkan dalam situasi di mana perlindungan dan keamanan menginformasikan kerangka relasional dari proses ritual. Dalam ekspresi ritual keprihatinan, kemarahan dan keselamatan sangat signifikan sebagai pelepasan permusuhan yang berpotensi merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, kemarahan ritual yang telah dipelajari secara ekstensif jauh lebih sedikit dibandingkan upacara pengakuan dosa atau berkabung yang menawarkan wawasan ke dalam proses katarsis dari perspektif hubungan kekuasaan konflik dan seremonial. Dengan demikian, ritual berkabung menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi rasa takut dan kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk memastikan memberikan perasaan aman dan tenang pada jiwa, umumnya kesedihan akan berkurang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Namun pada beberapa orang, kesedihan tetap bertahan meskipun peristiwa yang menyebabkannya sudah lama terjadi. Orang yang menderita kesedihan, merasa sangat sedih dan terus teringat dengan peristiwa penyebabnya, seolah-olah peristiwa itu baru saja terjadi. Orang yang menderita kesedihan tidak bisa merasakan indahnya hidup, selalu murung, mengurung diri, tidak semangat bekerja, mudah sakit, dan mengalami berbagai masalah fisik atau emosi lainnya. Tidak jarang, banyak penderita kesedihan menjadi pemabuk atau pecandu narkoba. Beberapa gejala lain adalah: Banyak orang yang menderita kesedihan merasa hidupnya sudah berakhir. Bahkan tidak jarang yang mengira dirinya sudah gila karena dia tidak bisa mengendalikan perasaanya sendiri. Apabila kita mengalami kesedihan yang mendalam sehingga kita tidak punya semangat hidup seperti dulu. Janganlah berputus asa..! Rokok, alkohol, dan narkoba bukanlah obatnya. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bangkit, salah satunya adalah hipnoterapi. Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis yang secara kontekstual merupakan pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat dengan mereka yang telah meninggal. Melalui ikatan emosional dengan almarhum, perasaan putus asa dan kerinduan yang dinyatakan sebagai kematian merupakan perpisahan akhir. Kehidupan di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada kalanya menang ada kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan yang menipu, sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Itulah dinamika kehidupan di alam fana. Sungguh berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat kelak nanti. Barangsiapa senang, maka ia akan selamanya senang. 4. Ekspresi Ritual Kemarahan 138

Kesehatan Mental Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan, katarsis ekspresi emosi bertentangan dalam kebanyakan katarsis. Spesifiknya, ketika target permusuhan berada dalam hubungan yang kurang baik (marah) kepada individu (Tavris, 1982). Ketika kemarahan dinyatakan oleh seseorang dalam posisi kurang kuat, pengaruh katarsis dikurangi dengan kecemasan yang mengelilingi perasaan takut akan pembalasan. Selanjutnya, karena asosiasi kemarahan dengan agresi, manfaat katarsis pelepasan mungkin dapat dikurangi dengan ketegangan yang mengelilingi ekspresi marah secara terbuka, karena kesulitan yang menjadi ciri katarsis pelepasan kemarahan, tindakan ritual agresi memberikan interaksi yang terstruktur di mana permusuhan menyatakan akan dikendalikan oleh batas-batas ritual seremonial yang menengahi hubungan sosial dari kekuasaan di antara anggota masyarakat yang terlibat dalam ekspresi upacara kemarahan terhadap anggota masyarakat yang lebih kuat. Dalam karyanya pada Ritual dan proses, Turner menjelaskan panjang lebar Festival Holi di India, sebuah ritual musim semi yang didedikasikan untuk Lord Krishna di mana aggress lemah terhadap yang kuat. berikut mengilustrasikan ini ritual dari pembalikan peran : Siapakah wanita yang sedang tersenyum ketika dipukuli tanpa ampun? Mereka adalah Brahman Jat kaya dan petani desa. Dan siapakah mereka orang-orang yang bersemangat, istri-istri desa "memikirkan dengan baik melalui sistem intercaste nyata dan fiksi kekerabatan. Istri dari "pasangan itu tengah bercanda seorang pria, dia lalu dihapus dalam aturan hormat ekstrim, tetapi keduanya bergabung sebagai ibu manusia, istri-istrinya "ayah adik laki-laki". Dalam salah satu komplotan rahasia revolusioner dari "istri" yang memotong semua garis yang lebih kecil dan link. Orang paling berani dalam batalionnya terselubung sebenarnya istri petani rendah kasta lapangan-buruh, pengrajin atau-menials para selir yang membantu korban. "Pergilah dan panggang roti!" Goda seorang petani, menghasut penyerangnya. "Apakah Anda ingin beberapa benih dari saya?" Teriak korban lain tersanjung, pedih di bawah pukulan, tapi berdiri di tempatnya. Brahman enam pria di usia lima puluhan, sosok yang dijadikan pilar masyarakat desa, tertatih-tatih di masa lalu dan terengah-engah dalam penerbangan dari staf kuartal dikerahkan oleh tukang sapu Bhangin besar. (Turner, 1969, hal.186). Menurut turner (1969) ritual tersebut katarsis karena mereka membersihkan masyarakat dari "struktural menimbulkan 'dosa (hal. 185) melalui pelanggaran norma legitimasi yang memungkinkan ketidak berdayaan untuk melampiaskan amarah mereka dari permusuhan dengan orang-orang yang menindas dan menyiksa mereka. Pada saat yang sama, yang kuat harus mempertahankan serangan fisik dan verbal sosial mereka. Dalam pendekatan yang agak berbeda untuk pembalikan daya ritual, wallance (1966) membahas istilah Saturnalia ritual, yakni ritual pemberontakan 139

Kesehatan Mental yang melanggar norma kesopanan sosial. Dalam budaya Zuni, misalnya, badut memainkan peran seremonial penting. Dalam golongan misionaris Katolik. Norbeck (1961) menyediakan akun ini sebagai ritual pura-pura. Meskipun Wallance mengusulkan bahwa ritual pemberontakan jenis ini lebih sekuler dibandingkan agama murni. Interpretasi yang dimilikinya gagal dalam mengambil bagian (peran) spiritual sebagai badut dalam tradisi amerika (Cameroon, 1981). Sebagai anggota masyarakat yang menyatakan sebuah kebenaran dan menghadirkan kebijakan terhadap suku bangsa. Contoh yang disebutkan disini, yakni kebijakan tentang komunikasi melalui perasaan terhina dan kemarahan yang telah dialami oleh orang-orang pribumi yang budaya dan warisan leluhurnya telah hilang nilainya dan dirusak oleh koloni. Upacara penyembuhan yang ditemukan dikalangan golongan spiritual feminis di United States masih menawarkan perspektif lain dari ritual kemarahan dan ekspresi haru terhadap pembalasan dan sikap ketidakramahan. Dalam pergerakan ini, kaum wanita yang melakukan penyalahgunaan fisik dan seksual menemukan kekuatan dalam pusat ketuhanan sebagai upacara penyembuhan dari pembalasan terhadap pelanggaran melalui aksi serangan. Korban pemerkosaan mendeskripsikan pembagian sifat ketidakramahan dalam cara berikut : Disaat kita melempar telur seraya berteriak bahwasanya saya tengah merasakan kemarahan yang sebenar-benarnya, sangat cepat dan saya menagis dan melihatnya disana datang dengan wanita lain. Dan ini terasa seperti sesuatu yang dapat kamu raih dan sentuh. Sungguh kondisi yang menyerukan keadaan. Saya dapat melihat rasa sakit seorang wanita dan merasakan sesuatu yang sama antara rasa sakitnya dan rasa sakit saya. Saya menebak disana ada dua elemen, perasaan marah dan perasaan itu timbul kepermukaan dengan sangat cepat. Dan perasaan yang lebih besar yang pada umumnya dimiliki oleh wanita. Dan kita perlu untuk mendapatkannya. Dalam ritual penyembuhan, peserta melaporkan informasi ketegangan dan kegelisahan yang meningkat akibat kehadiran orang-orang yang memiliki pengalaman emosi. Juga, dalam status menyatakan upacara yang dideskripsikan oleh Turner dan Wallace, peserta menerima permohonan/izin untuk merasakan kebencian dan kemarahan tanpa konsekuensi ketakuatan atau sesuatu yang sifatnya murahan. Katarsis tersebut terjadi akibat emosi yang dibenarkan dalam struktur ritual yang membolehkan serangan tanpa ketakutan akan kerugian yang nyata. Melalui aksi ritual ini pihak korban menerima kekuasaan yang besar dari pelaku. Sebagai contoh saran ritual, emosi marah, lebih cenderung menjadi ritual yang diekspresikan oleh sebagian anggota masyarakat yang mengalami penurunan kekuatan dan dominasi. Aksi katarsis demikian menjadi makna untuk meniru 140

Kesehatan Mental kenyataan opresif hubungan sosial sebagai aksi ritual dari kekuatan yang menyatakan pengurangan moment dan efek ilmu psikologi dari strata sosial. Sementara beberapa ulama berpendapat bahwa masyarakat industri kontemporer menderita akibat tidak adanya ritual keagamaan ( Mandelbaum. 1959: klapp, 1969: Goffman 1971.). Penting bagi mereka untuk menunjukkan bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak memperhitungkan prevalensi praktek ritual antar budaya kelompok modern seperti Amerika Serikat. Di Afrika Amerika, Hispanik, dan populasi penduduk asli Amerika, ritual dan upacara keagamaan terus memberikan identitas sosial dan hubungan emosional untuk anggota masyarakat yang kehilangan haknya dan terasingkan dari masyarakat. Aspek katarsis tradisi revivalis di gereja hitam di Amerika Serikat sangat jelas dalam pengalaman Angelou (1969), yang menggambarkan efek dari pertemuan jasad dan rohani: Semua orang menghadiri pertemuan dalam upacara rohani. Anggota toity-hoity Gunung Sion, Gereja Baptis berbaur dengan anggota intelektual dari Afrika dengan menggunakan Methodist Episkopal, Methodis Episkopal Sion, dan orang-orang pekerja sederhana dari piscopal Methodist Kristen. Mereka tergabung dalam kebenaran dari keeksklusifan kaum miskin yang terinjak. Meskipun whitefolks punya uang dan kekuasaan, segregasi dan sarkasme serta rumah yang besar, sekolah-sekolah, halaman rumput seperti karpet, dan buku. Itu lebih baik untuk menjadi figure lemah lembut dan rendah, diludahi dan disalahgunakan, dan akan menghabiskan kekekalan dalam api neraka. Tidak seorang pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen dan amal perbuatan, memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. (Hal. 103-111). Dalam doa-doa para jemaat African American, kemarahan penindasan dan subordinasi terbantu dengan kepercayaan pada Tuhan yang adil dan benar yang akan menghukum orang fasik dan menebus umat yang beriman. Hubungan antara status sosial dan praktik ritual sehingga menjadi kesimpulan atas pertanyaan Goffinan bahwa "dalam ritual masyarakat kontemporer dilakukan untuk berdiri tegap dan untuk entitas supernatural di mana-mana di peluruhan" (1971, hal 63). Sebaliknya pendekatan yang lebih pluralistik terhadap studi budaya modern menunjukkan bahwa bagi perempuan dan etnis minoritas dan rasial, ritual keagamaan tetap menjadi kendaraan penting bagi pelepasan emosi yang dinyatakan mungkin akan ditolak dan ditekan oleh budaya yang dominan. Setiap orang yang benar-benar percaya pada keberadaan Allah, yang sungguh-sungguh takut kepada-Nya, dan bersandar pada kitab yang telah diturunkan-Nya, tidak akan pernah sanggup mengambil segala bentuk tindakan yang bisa menyakiti orang-orang yang tak bersalah dan tidak bisa membela diri. Karena itulah, orang yang melaksanakan tindak terorisme dan kekerasan atas nama Islam, tidak bisa dikatakan sebagai kelompok agama. 141

Kesehatan Mental Pesan sesungguhnya dari sebuah agama atau sistem pemikiran lainnya acapkali diselewengkan oleh mereka yang menamakan diri sebagai pengikutnya, atau ditafsirkan secara keliru. Hal tersebut berlaku untuk Yudaisme maupun Kristen. Para tentara Perang Salib, sebagai contoh, adalah orang-orang Kristen Eropa yang berangkat dari Eropa pada akhir abad ke-11 dengan tujuan membebaskan Tanah Suci. Mereka mungkin berangkat dengan tujuan agama, tapi nyatanya mereka menyebarkan ketakutan dan kebiadaban ke mana pun mereka pergi. Kebiadaban mereka, yang menyalah tafsirkan agama Kristen, yang merupakan agama cinta kasih dan tentunya tidak memberikan ruang untuk kekerasan, jelas sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama sejati sama sekali. Tidak boleh dilupakan bahwa pada akar semua gerakan-gerakan menyimpang, baik yang dibahas dalam penelitian ini maupun yang tidak, terdapat kenyataan bahwa orang-orang seperti itu telah berpaling dari akhlaq agama dan telah dibesarkan tanpa pengetahuan yang benar tentang agama. Akhlaq yang umum pada agama Islam, Kristen, dan Yahudi amat bertentangan dengan sistem Dajjal, yang dibangun di atas kekerasan dan kebiadaban. Pada akar agama terdapat cinta, perhatian, dan belas kasih. Allah telah memerintahkan kita untuk memperlakukan sesama dengan adil, tenggang rasa, pengertian, belas kasih, dan rasa hormat. Lebih jauh lagi, manusia diwajibkan bersikap seperti itu tanpa memandang agama, bahasa, ras, atau jenis kelamin dari orang yang dihadapinya. Karena itulah, mustahil terdapat kekerasan di dalam masyarakat tempat akhlaq agama berlaku. Akhlaq agama merupakan satu-satunya sistem yang dapat membimbing manusia ke arah kedamaian dan keamanan Dalam beberapa keterangan tentang kelompok dan organisasi yang menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dan perlu. Tidak seorang pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen dan amal perbuatan, memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. Tujuannya adalah mengungkap sistem ideologi Dajjal, yang memperdaya kelompok-kelompok ini hingga menganggap kekerasan sebagai pemecahan masalah, apa pun pahamnya. Informasi yang diberikan ini amat penting dari sudut pandang penggambaran rumitnya sistem, yang saat ini begitu meluas di dunia. Banyak orang mungkin membayangkan bahwa Ku Klux Klan melakukan sebagian besar serangan dan penindasan terhadap orang berkulit hitam hanya pada 1920-an dan 1930-an, tapi kenyataan itu sudah masuk keranjang sampah sejarah di zaman modern ini. Kelompok Klan masih hidup. Saat ini, di seluruh Amerika Serikat, terdapat banyak sekali gereja Ku Klux Klan, bahkan dengan nama yang berbeda, dan banyak organisasi rasis yang terkait dengan ajaranajaran gereja tersebut. Gereja dan organisasi yang terkait dengannya itu tidak 142

Kesehatan Mental hanya bermusuhan dengan orang berkulit hitam, tetapi juga memusuhi semua ras bukan Eropa, terutama muslimin yang tinggal di Amerika, dengan memercayai perlunya suatu kerja sama dalam perjuangan untuk melawan rasras tersebut. "Perjuangan" tersebut meliputi pembentukan satuan-satuan bersenjata. Dalam rangka mencegah pencemaran seperti itu, ras lainnya tidak boleh diizinkan hidup di wilayah ras kulit putih. Pemikirannya adalah bahwa ras lain tidak punya hak untuk setiap bentuk kesempatan yang dinikmati oleh ras kulit putih. Ras-ras ini dianggap sebagai hama yang mencoba mencemari kemurnian dan keunggulan ras kulit putih, dan mereka percaya bahwa segala tindakan yang perlu harus dilakukan untuk melawannya. Pandangan Klan inilah yang menjadi dasar dari serangan-serangan yang dilakukan terhadap ras lain di Amerika. Pada akar pemikiran ini terdapat kebencian dan agresi, dan bukannya cinta, tenggang rasa, dan musyawarah. Survei yang dilakukan terhadap mahasiswa Asia menunjukkan tidak adanya hubungan emosi positif dengan penurunan kadar stres atau depresi. Hal ini terlihat berbeda dengan orang Eropa dan Amerika yang justru menunjukkan adanya kaitan emosi positif terhadap penurunan kadar stres dan depresi sehingga lebih ekspresif dalam mengungkapkan kebahagiaan. Studi ini melibatkan 633 mahasiswa asal Asia, Amerika-Asia dan Eropa-Amerika. Penelitian ini untuk melihat perilaku ketika mengalami stres dan depresi, seberapa sering memiliki suasana hati yang sedih, merasa tidak berharga atau perubahan tidur dan nafsu makan. Temuan ini menunjukkan bahwa orangorang Asia menafsirkan dan memiliki reaksi emosi positif yang berbeda pada kesehatan mentalnya. "Orang Asia beranggapan kebahagiaan yang muncul adalah sinyal sesuatu yang buruk akan terjadi selanjutnya, dan mereka percaya rasa bahagia tersebut akan cepat berlalu," ujar Janxin Leu, seperti dikutip dari MedIndia: Kurangnya pengaruh emosi positif terhadap ekspresi bahagia pada orang Asia diduga karena sebagian besar orang Asia selalu berpegangan pada prinsip Yin dan Yang, yang menanamkan keseimbangan alami untuk hal baik dan buruk. Kondisi ini pula yang turut mempengaruhi orang Asia untuk sulit mengekspresikan kebahagiaan dan pikiran positifnya. "Jadi terapi yang mengandalkan emosi dan berpikir positif pada orang barat mungkin tidak akan cocok digunakan untuk orang Asia dan bisa saja membuat pasien merasa lebih buruk," ungkap Leu. Sebagai analisis lintas-budaya, studi ritual agama dan kesehatan mental mencakup pengkajian praktek keagamaan di seluruh dunia, serta terdapat pula dalam ragam budaya Amerika Serikat. Penilaian tersebut menyarankan bahwa upacara keagamaan memainkan peran penting dalam mengurangi kecemasan dan isolasi sebagai emosi yang mengakui, menyatakan, dan perspektif tentang 143

Kesehatan Mental katarsis serta menekankan hubungan antara pelepasan perasaan dan hubungan sosial interaktif yang menjadi ciri ritual berkabung, pengakuan, dan konfrontasi. Manfaat psikologis dari ritual sehingga muncul dari aspek relasional tindakan upacara yang memvalidasi dan memberikan ekspresi emosional dengan realitas pengalaman manusia. Menurut La Barre (1964), ritual pengakuan antara penduduk asli Amerika tidak dipaksakan oleh otoritas misionaris tetapi berasaskan adat budaya ini. Ritual itu intinya terletak pada pelaksanaannya dengan tepat. Sehingga lama kelamaan orang cenderung memfokuskan pada Teknik Ritual. Teknik pelaksanaan ritual itu umumnya rumit dan panjang. Sehingga kemudian diperlukan orang-orang khusus untuk menjadi pemimpin ritual. Dalam posisi pemimpin ibadah yang rutin (dan seringkali rumit) inilah, lalu diperlukan tempat dan jabatan khusus, muncullah kasta Imam (golongan Lewi, pandhita, pendeta, imam, brahmana, ulama, dll). Kemudian ada spesialisasi, ada yang menjadi penyanyi, ada yang sebagai pendoa, atau ada yang melaksanakan korban. Belakangan muncul spesialisasi pengkhotbah. Belakangan, banyak dari para imam yang tidak lagi hanya menjadi pemimpin ritual, tetapi mengarahkan perhatian pada teologi. References Angelou, M. (1969). I know why the caged bird sings. New York: Bantam Books. Cameron, A. (l981). Daughters of copper woman. Vancouver. BC: Press Gang Publishers. Darlington, H.S. (1937). Confessions of sins. Psychoanalytic Review. 24.l50-164. Giddens, A. (1984). The constitution of society. Berkeley. CA: University of California Press. Goffman, E. (1971). Relation in public. New York: Basic Books. Gorer, G. (1965). Death grief and mourning in contemporary Britain. London: The Crosset Press. Harlow, J.(Ed.).(1978). Mahzor for Rosh Hashanah and Yom Kippur . NewYork:The Rabbinical Assembly. Jackson, E. ( I959) Grief and ritual. In H. Feifel (Ed.). The meaning of death (pp. 213-218). New York: McGraw-Hill. Jacobs, J .L. (1989). The effects of ritual healing on female victims of abuse: A study of empowerment and transformation. Sociological analysis. 50, 265-279. Kelly, W. H. (1949). Cocopa attitudes and practices with respect to death and mourning. Southwestern Journal of Anthropolgy. 5 , 151- I65.

144

Kesehatan Mental Klapp, O.E. (1969). Collective research for identity. New York: Holt. Rinehart & Winston. La Barre, W. ( 1964) .Confession as a cathartic therapy in American Indian tribes. In .A. Kiev(Ed.). Magic, faith, and healing (pp. 36-49). Glencoe, IL: Free Press. Mandelbaum, D.G. (1959). Social uses of funeral rites. In H. Feifel (Ed.). The meaning of death (pp. 189-217). New York: McGraw-Hill. Norbeck, E.(1961). Religion in primitive society. New York:Harper & Row. Pincus, L.(1974). Death and the family; The importance of mourning. New York: Vintage. Reik, T. (l959).The compulsion to confess. New York:Farrar, Straus, &Cudahy. Scheff, T.J. (1979). Catharsis in healing ritual, and drama. Berkeley. CA: University of California Press. Skinner , A. ( l9 14). Political organizations cults, and ceremonies of the Plains Ojibway and Plains Cree Indans. Anthropological Papers, American Museum of Natural History. 11.540 Tavris, C. (l982). Anger: The misunderstood emotion. New York: Simon &Schuster . Turner, V.W. (1969). The ritual process. Chicago: Aldine. Wallace, A.F. C. ( 1969). Religion: An anthropological view: New York: Random House.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

145

Kesehatan Mental Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah Teheran: Dar anNahdah alArabiyah, 1977 Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006. Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006. --------------------------.,Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Yogyakarta; IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002 Multi Kultural .

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar Cet.II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990 Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006 A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI, 1999 Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI, 1999 A. Wiramihardja, Sutardjo, Pengantar Psikologi Abnormal Bandung: PT. Refika Aditama, 2005 Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970 Budihalim S, dan Sukatman D. Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI Jakarta, 1999 -----------, Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI 1999 -----------, Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI,1999 146

Kesehatan Mental Burhanuddin Yusak,, Kesehatan Mental Bandung: CV Pustaka Setia, 1999 Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II Jakarta: FK UI ,1999 Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002. Darajat, Zakiah, Kesehatan Mental Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung, 2005 --------------------, Ilmu Jiwa Agama Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005 D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984 Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah Cet IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000 E. Koesma,Rismiyati., Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep Fausiah, F & Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Universitas Indonesia, 2005 Klinis Dewasa Jakarta :

Frank.H, Robert, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in Competitive Environments (Oxford: Princeton University Press, 2004 Grant JE. "Co-occurrence of personality disorders in persons with kleptomania: a preliminary investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law 32 (4): 2004 Hawari, Dadang, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Cet.XI; Jakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 2004 Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II Jakarta: FK UI, 1999 Kartini, Kartini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam Cet.VI; Bandung, CV Mandar Maju, 1989 147

Kesehatan Mental -------------------, Patologi Sosial 3 Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006 Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara,1997 Kaplan, Saddock,Grebb, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi VII. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997 Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. Jakarta: Media Langgulung, Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental Cet.I; Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 1986 L. Panggabean, Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek Psikososial. (makalah). Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Departemen Kesehatan, 2003. Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- Amal al-Madrasi Kairo: al-Nahdah alMisriyah, 1974 Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jakartta: Media Aesculapius FK UI 1999 Maslow, The Further Reaches of Human Nature New York: The Viking Press, 1972 Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press,1980 Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 -----------------------.,Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999 Mudjadid, Budihalim S., Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV Jakarta: FK UI Jakarta 2006

148

Kesehatan Mental Mujib, Abdul, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis , Jakarta: Darul Falah,1999. Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI,1999 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. Jakarta : Erlangga, 2003 Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion ; a Selection of Critical Readings Canada: Thomson Wadsworth, 2003 Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion New York: Oxford University Press, 1996 Pedoman Diagnosis Dan Terapi Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD Dr. Soetomo., 1994 Rusdi Maslim (editor) Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, 1993 Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality New York: The Guilford Press, 2005 Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I . Aspek Psikosomatis Gangguan Pernafasan. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI ,1999 -----------------------------------------------, Aspek Psikosomatis Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI,1999 Reumatik

Sumintradja, Elmira N. Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi, Kritik dan Titik Temu dengan Psikologi Islami dalam Metodologi Psikologi Islami Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Sururin, Ilmu Jiwa Agama Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 Suryabrata, Sumardi, Psikologi Kepribadian Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987

149

Kesehatan Mental Supratinya, Mengenal Perilaku Abnormal, LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995

Yogyakarta:

Kanisius.

Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Quran wa Sunnah, Ar-Ruqa ma Yataallahqu Biha Al-Lajnah al-Daimah Syamsu, Yusuf, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004 Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis Jakarta: Grafindo Persada, 2006 W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Cet.VI; Surabaya: Airlangga University Press, 1992 Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1 W.Martin,Mike, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a Therapeutic Culture Oxford: Oxford University Press, 2006

KESEHATAN MENTAL

Oleh

Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, MA
150

Kesehatan Mental

2011

KATA PENGANTAR Buku kesehatan mental ini adalah lanjutan dari buku Kesehatan Mental dan Terapi Islam yang sudah dicetak beberapa kali. Paparannya memuat tentang ruang lingkup kesehatan mental yang diawali dari pandangan para pakar kesehatan mental tentang pengertian, ciri serta sejarah lahirnya ilmu kesehatan mental sebagai salah satu disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi Islam. Juga dikemukakan sebagian mengenai macam-macam gangguan jiwa dan penyakit jiwa serta bagaimana menangani setiap kasus kejiwaan tersebut lewat terapi agama dan pendekatan medis. Buku ini bertujuan untuk membantu para dosen dan mahasiswa jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dalam mengenal dan memahami beberapa masalah kejiwaan serta upaya menuntun para klien untuk menemukan kembali jati dirinya dalam artian sehat jasmani dan rohani yang dalam bahasa agama hasanah fi al-Dunyah wa alAkhirah. Buku ini juga memuat muatan-muatan sebagian silabi mata kuliah Kesehatan Mental dan mata kuliah Psikoterapi Islam bagi mahasiswa semester IV (empat) dan VI (enam) jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikai. Juga ditambah dengan berbagai pendekatan dalam memahami agama.Hal ini penting untuk memperkaya dan memperluas wawasan mahasiswa dan pembaca lainnya tentang pentingnya pemahaman 151

Kesehatan Mental agama bagi diri seseorang. Pada bagian terakhir kami sajikan beberapa pandangan tentang agama dan kesehatan mental (versi dunia barat). Hal ini penting agar wawasan tentang kesehatan mental baik menurut pandangan dari kalangan pakar muslim mapun dari para pakar yang menggeluti agama dan kesehatan mental di dunia barat. Bahan-bahan atau referensi dalam buku ini, banyak bersumber dari buku-buku para pakar psikologi Islam dan para pakar kesehatan mental serta bahan-bahan yang diperoleh lewat internet. Contoh kasus yang dipaparkan bersumber dari; majalah, surat kabar dan internet. Kemudian diolah dan dianalisa apa adanya serta didukung ayat-ayat al-Quran dan berbagai kasuskasus yang kami tangani beberapa tahun. Buku ini juga, saya hadirkan kepermukaan sebagai hasil motivasi dari research fellow ke luar negeri (Jerman) dalam peningkatan mutu dosen Pendidikan Tinggi Islam dalam meningkatkan wawasan intelektual dan budaya meneliti dan menulis bagi para dosen, utamanya yang sudah meraih gelar doktor dan profesor. Olehnya itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama Republik Indonesia Prof.Dr.Muhammad Ali, MA, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Prof.Dr.H.Machasin, MA. Dan kepala Kasubdit. Pendidikan Tinggi Islam Dr.Muhammad Zein ,MA. Juga kepada Rektor UIN Alauddin Makassar (Prof.Dr.H.A.Qadir Gassing, HT.MS) yang mencanangkan seribu buku pada masa kepemimpinannya Ucapan terima kasih saya haturkan juga kepada Prof.Dr.H.Ahmad M.Sewang, MA, selaku Pembantu Rektor Bidang Akademik bersama jajarannya yang berkenan menerbitkan buku ini. Juga kepada Dra.Hj.Sitti Trinurmi, M.Pd.I yang bersedia mengoreksi/mengedit bahasa buku ini, khususnya bahasa yang digunakan dalam penulisan. Saya pilih sebagai editor dengan pertimbangan beliau adalah dosen Psikologi dan Bahasa Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat, serta saya mengharapkan masukan-masukan dan perbaikan demi terwujudnya sebuah buku yang layak. Makassar, 25 Oktober 2011

.Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, M.A

152

Kesehatan Mental

A. B.

A. B.

DAFTAR ISI Bagian Pertama Ruang Lingkup Kesehatan Mental Pengertian Kesehatan Mental Sejarah Kesehatan Mental Bagian Kedua Gangguan Jiwa Klasifikasi Gangguan Jiwa Macam-Macam Gangguan Jiwa 1. Skizofrenia. 2. Depresi 3. Kecemasan 4. Gangguan Kepribadian 5. Gangguan Mental Organik 6. Gangguan Psikosomatik 7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental Bagian Ketiga Penyakit Jiwa

1.

Pengertian Penyakit Jiwa 153

Kesehatan Mental 2. Macam-Macam Penyakit Jiwa a. Schizophrenia b. Paranoia c. Manicdepressive d. Kleptomania e. Neurosis f. Psikosis 3. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa 4. Ilmuwan Islam, Penemu Pengobatan Penyakit Jiwa 5. Berbagai Pendekatan Dalam Memahami Agama 6. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat) Daftar Pustaka .

154

You might also like