You are on page 1of 25

Milatia ningrum 1102012164

Sasaran Belajar
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun LO.1.1. Definisi LO.1.2. Klasifikasi LO.1.3. Mekanisme LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Sistemic Lupus Eritematosus LO.2.1. Etiologi LO.2.2. Patogenesis dan Patofisiologis LO.2.3. Manifestasi Klinik LO.2.4. Diagnosis dan Diagnosis Banding LO.2.5. Pencegahan LO.2.6. Penatalaksanaan LO.2.7. Prognosis LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam dalam Menghadapi Penyakit

Milatia ningrum 1102012164


LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun LO.1.1. Definisi Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan. Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri. Sistem munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi. Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap antigen yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut disebut toleransi kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu : Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel) limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B, selama proses pematangan; Anergi klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya; Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi pembantu limfosit T.

Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen) dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini terjadi toleransi imunologik terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem kekebalan gagal membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).

Milatia ningrum 1102012164

LO.1.2. Klasifikasi Penyakit autoimunity dapat secara luas dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organspesifik atau lokal, tergantung pada fitur clinico-pathologic pokok masing-masing penyakit. Sistemik autoimun : penyakit lupus, sindrom Sjgren, skleroderma, rheumatoid arthritis, dan dermatomyositis. Kondisi ini cenderung dikaitkan dengan autoantibodi untuk antigen yang tidak spesifik jaringan. Lokal sindrom yang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan: o Gastrointestinal: penyakit Coeliac, anemia pernisiosa o Dermatologic: Pemphigus vulgaris, Vitiligo Haematologic: Autoimmune haemolytic anaemia, Idiopathic thrombocytopenic purpura o Neurologis: Myasthenia gravis o Endocrinologic: Diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison. Menggunakan tradisi organ khusus dan non-organ khusus pada skema klasifikasi, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung penyakit autoimun.

LO.1.3. Mekanisme

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
3

Milatia ningrum 1102012164

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu menimbulkan penyakit. Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi). Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit. LI. 2.

Memahami dan Menjelaskan Sistemic Lupus Eritematosus LO.2.1. Etiologi Penyakit lupus eritematosus termasuk penyakit kolagen, penyakit kolagenosis, penyakit mesenkhim. Menurut klasifikasi oleh Klemperer, yang termasuk golongan tersebut selain lupus eritematosus antara lain ; skleroderma, dermatomiositis, arthritis rematika, demam rematik dan poliarthritis. Klasifikasi tersebut berdasarkan atas degenerasi fibrinoid serat-serat kolagen yang
4

Milatia ningrum 1102012164


luas yang terdapat di dalam jaringan mesenkhikm. Kelainan serat kolagen dan serat fibrin menimbulkan manifestasi klinis yang berlainan. Yang sama ialah, bahwa semua penyakit pada golongan ini merupakan satu kompleks respon autoimun, disini hanya akan dibahas lupus eritematosus sistemik. Lupus sebernanya telah dikenal kurang dari seabad lalu. Kala itu, penyakit itu dikira gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh, maka muncullah sebutan lupus eritematosus sistemik (LES) itu. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Sekitar 80 % kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit dan darah ; 30-50 % menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-20 % menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan anti-bodi anti-kardiolipin 1,2,4,5 . Prevalensi lupus eritematosus sistemik di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1 : 250, wanita kulit putih 1 : 4300 dan wanita cina 1 : 10001,2 . Faktor Genetik Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah faktor risiko lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak selalu mengembangkan penyakit autoimun. Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.

Imunoglobulin T-sel reseptor Kompleks histokompatibilitas utama (MHC). Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas. Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu allotypes berkorelasi sangat

HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus Erythematosus , narkolepsi[6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi negatif dengan tipe DM 1.
5

Milatia ningrum 1102012164

HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjgren , myasthenia gravis , SLE , dan Jenis DM 1. HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1 diabetes mellitus , dan pemfigus vulgaris . Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun. Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian, pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ). Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison, Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan arthritis psoriatis. Jenis Kelamin Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun Hashimoto thyroiditis Graves disease Multiple sclerosis (MS) Miastenia gravis Systemic lupus erythematosus (SLE) Rheumatoid arthritis 10/1 7/1 2/1 2/1 9/1 5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan, meskipun jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang

Milatia ningrum 1102012164


pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus , Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis . Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu, meningkatkan risiko autoimunitas. [7]Keterlibatan steroid seks ini ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung keseimbangan gender dalam arah betina. Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki. LO.2.2. Patogenesis dan Patofisiologis Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri. Berbagai teori patogenesis autoimunitas Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotip Gen abnormal: gen respons imun, gen immunoglobulin Faktor virus Faktor hormone Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.

Milatia ningrum 1102012164


Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen. Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B. Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit. Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit autoimun masih belum konsisten. Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya
8

Milatia ningrum 1102012164


terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut. Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang. Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik. Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif. Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya. Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada patogenesis autoimunitas.
9

Milatia ningrum 1102012164

10

LO.2.3. Manifestasi Klinik Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami resolusi ketika telah terjadi haid. Muskuloskeletal Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin
10

Milatia ningrum 1102012164


juga terdapat nyeri otot dan miositis. Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut. Gejala mukokutan Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.
3

11

Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang

terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Ginjal Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas terjadinya kelainan ginjal.

Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house). Sistem saraf Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental ringan

merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic
11

Milatia ningrum 1102012164


brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan dan konsentrasi ringan. Kardiovaskuler Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.
Paru

12

Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur, tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut. Saluran pencernaan Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. Mata Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba.Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina LO.2.4. Diagnosis dan Diagnosis Banding Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain
12

Milatia ningrum 1102012164


yang sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya. Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin (misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan. Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan kemajuan penyakit. Diagnosis SLE harus dipikirkan pada : Wanita muda Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari Manifestasi sendi Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).

13

Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi. Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997: 1. Malar rash erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial. 2. .Discoid rash Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi. 3. Fotosensitivitas. Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik. 4. Ulkus oral Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.

13

Milatia ningrum 1102012164


5. Arthritis nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri,bengkak,atau efusi. 6. Serositis Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard. 7. Gangguan Renal proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin granular,tubular,atau campuran. 8. Kelainan neorologis psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas). 9. Kelainan hematologis anemia hemolytic leukopenia(<4000/L) limfopenia (<1500/L) trombositopenia (<100.000/L). 10. Kelainan imunologis Anti ds-DNA , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos) ,Antifosfolipid antibody,STS false positve. 11. Antibodi antinuclear ANA test +. Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi. DIAGNOSIS BANDING Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya. Endokarditis bacterial subacute. Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.
14

14

Milatia ningrum 1102012164


Drug eruption. Limfoma. Leukemia. Trombotik trombositopeni purpura. Sarcoidosis. Lues II Bacterial sepsis. LO.2.5. Pencegahan Untuk mencegah kekambhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikutii: 1. Hindari stress dan trauma fisik. Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. 2. Hindari merokok 3. Hindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi, 4. Cukuplah beristirahat. Kelelahan dan aktivitas fisik berlebih bias memicu kambuhnya SLE. 5. Diet sesuai kelainan. Misalnya jika hiperkolestrol, maka pasien harus diet rendah lemak. 6. Hindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. 7. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena psien SLE cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet,kulit yang terkena sinar matahari akan menimbulkan kelainan kulit seperti timbul bercak merah yang menonjol/menebal. 8. Hindari obat-obatan yang mengandung hormone estrogen seperti KB/kontrasepsi.

15

15

Milatia ningrum 1102012164


LO.2.6. Penatalaksanaan Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi, seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari banyak penyakit. Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati RA. Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap infeksi. Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik Necator americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun gangguan. Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian. Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis. Kontrol metabolik Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.

16

16

Milatia ningrum 1102012164


Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk antigen. Obat anti-inflamasi Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid, menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis rheumatoid. Imunosupresan Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil, LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil kesimpulan akhir tentang manfaatnya. Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun. Kontrol imunologis Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas. Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa antibodi monoklonal seperti antikelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan percobaan. Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor
17

17

Milatia ningrum 1102012164


asetilkolin maternal dengan membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun. Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun bahan radioaktif. Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna).Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya fase akut tidak terjadi.Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,yaitu: a. Monitoring teratur b. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup c. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari d. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat. e. Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan . Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE. 1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID): NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini,
18

18

Milatia ningrum 1102012164


sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik. 2. Antimalaria Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang). 3. Kortikosteroid Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon. Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

19

19

Milatia ningrum 1102012164


1. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis. 1. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama. 2. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide. Setelah kelaainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose. 4. Methoreksat Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai steroid sprring agent dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria. Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut. 5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain. Azathhioprine (Imuran AZA) Cylophosphamide (chitokxan, CTX) Chlorambucil (leukeran, CHL) Cyclosporine A Tacrolimus (FK506) Fludarabine
20

20

Milatia ningrum 1102012164


Cladribine Mycophenolate mofetil 6. Terapi hormonal Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS) Danazol 7. Pengobatan Lain Dapsone Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis. Clofazimine (Lamprene) Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering. Thalidomide Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia). Immunoglobulin intravena Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.
21

21

Milatia ningrum 1102012164


External Device Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340400nm), and iradiasi limfoid total. 8. Transplantasi Sumsum Tulang Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih merupakan ekspwrimental untuk saat ini. Pengobatan Terhadap Komplikasi Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan. LO.2.7. Prognosis Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukan penyakit yang ringan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paruparu, jantung dan ginjal yang berat. Wanita hamil penderita lupus dapat melahirkan bayinya dengan aman, didampingi dokter spesialis kandungan (Sp.OG) dan dokter spesialis penyakit dalam (Sp.PD) yang berkompeten.

22

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam dalam Menghadapi Penyakit Salah satu di antara amalan hati, sikap jiwa yang akan menghantar seseorang kepada keuntungan dan kebahagiaan ialah sabar. Sabar, di segi bahasa ialah teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana. Apabila dikaitkan dengan pandangan Islam, maka sabar diartikan: Telah menerima ujian ujian Tuhan dalam bakti dan perjuangan dengan tujuan memperoleh ridha Allah. Sikap sabar ini sebenarnya merupakan persediaan penting dalam rohani manusia, kerana hanya dengan sifat sabar, seseorang dapat berhasil dalam cita citanya.

22

Milatia ningrum 1102012164


Sebaliknya orang yang tidak memiliki sifat ini, usahanya akan terbantut di tengah jalan dan cita citanya menjelma sebagai khayalan dan impian belaka. | Sabar itu amat penting pada rintangan pertama di kala menghadapi tentangan dan ujian. Ini diperkukuhkan lagi dengan sepotong hadith yang mafhumnya: Sesungguhnya sabar itu hanyalah pada rintangan (pukulan) pertama (Bukhari, Muslim) Jika rintangan pertama dilalui dengan penuh sabar, maka rintangan rintangan berikutnya akan dapat dilalui dengan lebih mudah daripada rintangan pertama itu. Sehubungan dengan itu Allah menurutkan ayat yang mafhumnya: Hai orang orang yang beriman! Berlaku sabarlah, sabarkanlah dan perteguhkanlah kekuatanmu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu memperoleh kebahagiaan . (Ali Imran: 200) Bala atau ujian ujian yang didatangkan oleh Allah untuk membuktikan sesiapa yang sabar. Firman Allah yang mafhumnya: Sesungguhnya Kami akan beri percubaan kepada kamu, sehingga Kami buktikan orang yang besungguh sungguh di antara kamu, dan orang orang yang sabar, dan (hingga) Kami nyatakan hal-hal kamu . (Muhammad: 31) Tidaklah semua orang mempunyai sifat sabar, maka sikap ini dianggap mahal, tinggi nilainya dan dipandang termasuk sikap yang dipuji. Firman Allah yang mafhumnya: Dan orang yang sabar dan memaafkan, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu, termasuk perkara perkara yang digemari . (Al Syura: 43) Sabar menanti adanya kelapangan adalah solusi paling ampuh dalam menghadapi masalah, bukan dengan mengeluh dan berkeluh kesah. | Imam Asy Syafii rahimahullah pernah berkata dalam bait syair
23

23

Milatia ningrum 1102012164


Bersabarlah yang baik, maka niscaya kelapangan itu begitu dekat Barangsiapa yang mendekatkan diri pada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, maka ia pasti tidak merasakan penderitaan Barangsiapa yang selalu berharap pada-Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan | Rasulullah saw pernah ditanya, Siapakah yang paling berat ujiannya? Nabi menjawab, Para nabi, kemudian yang terbaik, lalu yang terbaik, seseorang mendapatkan (bala) ujian sesuai dengan kadar agamanya, bila agamanya kuat maka bertambah berat ujiannya, dan apabila agamanya dangkal, maka Allah mengujinya sesuai dengan kadar agamanya, seorang hamba tidak akan lepas dari ujian sampai ia berjalan di bumi dengan keadaan tidak berdosa Fakta telah menunjukkan bahwa manusia yang paling gampang shock, kaget, dan paling cepat goncang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, orang-orang yang ragu dan lemah imannya. Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengn berada di tepi, maka bila ditimpa kebaikan ia merasa tenang, dan jika ditimpa fitnah ia membalikkan wajahnya (murtad) ia merugi di dunia dan akirat, itulah kerugian yang nyata . (QS. Al Hajj: 11) Demikian itu karena mereka tidak beriman terhadap takdir Allah yang membuatnya rela, tidak mengimani Tuhan yang membuat tenang. Tidak pula beriman kepada para nabi sehingga dapat mene mukan keteladanan pada kehidupannya yang serba sulit, tidak mempercayai kehidupan akhirat yang menghembuskan udara segarnya yang dapat melegakan nafas, mengusir kesedihan dan membangkitkan harapan.
24

24

Milatia ningrum 1102012164

25

Skenario 3 Rona Merah Dipipi MPT

25

You might also like