Professional Documents
Culture Documents
2. Perkembangan antar bangsa seperti itu membawa pula dampak peningkatan dan
intensitas pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subyek
hukum internasional lainnya.
35
3. Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diatur dalam Pasal
11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.
(a) HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan
sistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlaku
diluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “aliran
dualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut
acara dan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan
dapat berlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah
tersebut yang telah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN
lainnya, dan tunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah
hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori)
36
(b) HI dan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum
sebagai keseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap
berlaku pula (“di-inkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”,
namun dengan mempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh
isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula
terhadapnya.
(c) HI dianggap tidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui
sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang
berlawanan dengannya. Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu
mengecualikan UUD dari pengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan
UUD pun dibawah HI.
Pilihan antara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-
beda. Ada HN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-
undang, atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya
hakim, atau pemerintah pusat)
Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakan teori
monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengaja
pandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satu
aliran ini. They deny the theory but their thinking reflect the theory.
Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakai untuk
menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukum dan
prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Dari pandangan
para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandangan mereka
terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusan teori, dan
belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb.
Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jika
dapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?)
***
Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yang dianut oleh Indonesia dalam
masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justru tidak konsisten dalam
masalah ini.
2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat
kalimat:
”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
7) Perjanjian Internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 (dan 1986) tentang Hukum
Perjanjian Internasional (dan oleh organisasi internasional) adalah:
9) Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi
oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional
menurut Konvensi Wina 1969 dan UU Nomor 24 Tahun tentang Perjanjian Internasional,
yaitu:
an International Agreement
by Subject of International Law
in Written Form
“governed by international law”((diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik)
whatever form.
40
Pakar hukum D.J. Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai ”unanswered questions”.
11. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan
bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup UU ini adalah hanya perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum
internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan
di bidang hukum perdata.
12. Praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah
lahirnya UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional tidak luput dari kerancuan ini.
Sebelum lahirnya UU ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara sepanjang
yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI diperlakukan sebagai perjanjian internasional
dan disimpan dalam ”treaty room”. Perjanjian yang dibuat dengan NGO juga dianggap
sebagai Perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex,
PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai Perjanjian Internasional dan
bahkan diratifikasi melalui UU Nomor 1 Tahun 1963.
13. Parameter untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional
sering luput dari perhatian sehingga acapkali menimbulkan kerancuan baik di kalangan
akademisi maupun praktisi. Kalangan publik Indonesia telah menggunakan istilah
perjanjian internasional secara popular yang mencakup seluruh perjanjian yang bersifat
lintas negara baik publilk maupun perdata (kontrak internasional), antar negara maupun
antar perusasahaan multinasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang
apakah perjanjian internasional perlu didefinisikan kembali.
14. Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang
dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini
juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi
suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau
prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau
masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah
mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian
internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk
mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah
apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam
suatu perundang-undangan?
Dilihat dari sudut umum, pilihan para fihak (negara atau organisasi internasional)
tentang penempatan (G-to-G) loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN
adalah pilihan politik (kebutuhan dan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan
teoretis juridis. Pertanyaan yang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih
mungkin bagi RI, dengan adanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul
ini boleh jadi oleh karena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan
41
perjanjian pinjaman/hibah antar-negara/organisasi internasional diperlakukan
sebagai perjanjian yang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut
juga boleh jadi melulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian
pinjaman/hibah, karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan
dengan UU itu dapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb.
dilingkungan HN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2
masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000
masih tetap kadang2 memuat klausula tentang “governing law” (lihat ToR ayat 24)
Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu dengan
Depkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang
Pinjaman/Hibah. Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua
jenis perjanjian ini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan.
Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan
juridis teoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain dari
hukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969
menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”.
***
42
15. Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional
ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar
perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim
hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki
karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata. Akibatnya, muncul
berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang
mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti
tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005.
16. Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status
perjanjian pinjaman, yaitu:
17. Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU
dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UU
Nomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya
persetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat
memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.
18. Dalam pembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan
Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku
selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan
disahkannya UU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada
saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.
19. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPR
dalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR)
seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untuk
mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untuk menyetujui
rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini, apakah lembaga
ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telah mengalami pergeseran
makna?
43
20. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini
adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU
Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori
perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjian
pinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed by
international law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan
Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman (loan
agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada
hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan
termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum
perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum
nasional bukan hukum internasional.
21. Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman
dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain
dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen
Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik
yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, yang tentunya membutuhkan ratifikasi sebelum
pemberlakuannya.
Untuk menyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa
loan agreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidak
treaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006
can apply.
Cara persetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnya
merupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang”
untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perincian
44
sumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat
tersebut dipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal
penafsiran yang dapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya
pemerintah mencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak
DPR.
Melihat kompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan
posisi apa pun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP
2/2006 tidak bertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR
dalam bentuk UU APBN.
Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik dengan
ratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act that already taken
by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi. UU 24/2000 tidak
mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalam hukum perjanjian
internasional.
22. Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian (nomenclature) tidak relevan untuk
dibedakan karena apa pun namanya tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para
pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, content
perjanjian merupakan tolok ukur ketimbang namanya. Namun demikian, dunia
diplomasi cenderung memberikan bobot yang berbeda untuk setiap nomenclature.
Treaty dan Agreement akan dianggap lebih mengikat ketimbang MOU.
Salah satu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam-
macam sebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-
negara/organisasi internasional. Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah
tertentu berakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang
sekali terlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat.
45
internasional] . Pustaka mengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak
saat itu, namun menurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka)
23. Perkembangan hukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan
praktek Negara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya pada
Negara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah
non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek
negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan
yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties.
24. Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negara akan
menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai
perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen
itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian
non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti
khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional.
25. Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalam
dunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjian internasional
berdasarkan namanya.
26. Praktek internasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatan
perjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR. Gejala
ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasa ini
pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsi
representation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuat perjanjian
internasional?
Bagi HI yang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara
subjek2 internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-
46
alat) perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan
lain daripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidak
ada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanya
pejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI.
Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar (lihat
dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannya kadang-kadang
menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelas terjawab, yalah
apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menurut tata hukum mana)
dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembaga dan alat
perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota) dari
negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrative agreements”.
27. Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaga non-eksekutif, maka
kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers. Dalam hal ini, apakah Menlu
lazim mengeluarkan full powers kepada lembagai non-eksekutif?
28. ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akan memberikan
landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupun eksternal. Treaty
making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diatur dalam konstitusi setiap
organisasi internasional sebagai bagian dari paragraf tentang external relations. Namun
ASEAN Charter tidak secara rinci mengatur mengenai treaty making power of ASEAN,
dan hanya mengindikasikan bahwa masalah ini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat
implementasi.
[Catatan ini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series]
47
Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) oleh
Sekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas nama
ASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasan
demikian.
Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khusus dalam
naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenang
khusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikian
tidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan.
Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; para
negara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek
hukum lain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan
perbuatan hukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan
perbuatan yang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang
(“surat kuasa”) tersebut tadi.
Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihak lainnya
(counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastian bahwa si wakil
RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memang di”tanggung” RI.
Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itu percaya, menerima dan
mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN, sehingga soal full powers
tidak timbul.
Treaty making power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam
membuat perjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang
akan saya sampaikan secara terpisah.
Pertanyaan yang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara
anggota adalah:
1. Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEAN adalah
full powers yang dimaksud oleh Vienna Convnetion 1969?
48
2. Jika negara itu ingin “terminate atau amandement perjanjian itu, dapatkan
dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN?
29. Praktek ASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat
dibedakan atas dua perspektif:
a. Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihak ketiga dimana status
negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri.
Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuk setiap Negara anggota
sebagai collective members;
b. Hubungan antara ASEAN sebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN
Secretariat) dengan pihak ketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya.
Kedudukan ASEAN dalam kaitan ini adalah sebagai organisasi internasional seperti
yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh
Organisasi Internasional.
30. ASEAN sebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengan
negara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itu menggunakan isitilah
ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara negara-
negara anggota secara individu dengan organisasi/negara ketiga (perjanjian
multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya serta pihak yang
menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masing negara
anggota ASEAN secara individual seperti pada the Cooperation Agreement between the
Member Countries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian ini yang
membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota dan bukan
ASEAN sebagai a distinct subject separated from its members. Hal ini merupakan
konsekuensi logis bahwa materi yang diperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup
atau wewenang ASEAN sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri namun terletak
pada negara-negara anggotanya. Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi
internasional as a distinct subject separated from its members
31. Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukum internasional,
ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannya sebagai a distinct
subject separated from its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN
Secretariat.
32. Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yang
tampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaitu Perjanjian
dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEAN tetapi
ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untuk dan atas
nama Negara-negara anggota.
49
33. Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian
menimbulkan beberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian
tersebut terhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum
internasional lain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama
subjek hukum internasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi,
dapatkah DPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek
hukum internasional lain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim
Menteri Luar Negeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota
ingin menarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpa melalui
Sekjen ASEAN?
50