You are on page 1of 16

LAMPIRAN 4

TOR DEPLU MENGENAI STUDI TENTANG SISTEM HUKUM SUATU


NEGARA TERKAIT DENGAN PROSES PENGESAHAN DAN
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA
PENGOLAHAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH
SUATU NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL

* TOR ini dilengkapi dengan “Diskusi Professor Ko Swan Sik


dengan Bapak Damos Dumoli Agusman berkaitan dengan TOR DEPLU
mengenai Studi Tentang Sistem Hukum Suatu Negara Terkait
dengan Proses Pengesahan dan Pemberlakuan Perjanjian
Internasional serta Pengolahan Naskah Perjanjian
Internasional oleh suatu Negara dan Organisasi Internasional”

Permasalahan yang lahir dari Praktek Negara RI tentang Perjanjian


Internasional yang perlu mendapatkan penjelasan akademis:
1. Dalam kaitannya dengan hubungan perjanjian internasional dengan hukum
nasional, apakah Indonesia menganut faham monisme atau dualisme?
2. Apakah perjanjian internasional perlu di definisi ulang sehingga mencakup semua
perjanjian yang bersifat transnasional?
3. Apakah loan agreements adalah perjanjian internasional?
4. Apakah nomenclauture membedakan bobot juridis suatu perjanjian internasional?
5. Apakah lembaga negara di luar eksekutif (MA, BPK, DPR) dapat membuat
perjanjian internasional?
6. Apakah Sekjen ASEAN dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas
nama angota ASEAN?

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM DINAMIKA GLOBAL

1. Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat


dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa
dampak pada percepatan arus globlalisasi, mengakibatkan hukum perjanjian
internasional juga mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat
internasional itu sendiri. Sekalipun Literarur hukum internasional telah menyediakan
banyak teori dan praktek tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan
konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah
memperkaya teori dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan
klausula yang kreatif dan inovatif.

2. Perkembangan antar bangsa seperti itu membawa pula dampak peningkatan dan
intensitas pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subyek
hukum internasional lainnya.

35
3. Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diatur dalam Pasal
11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.

4. UU tentang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan


kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional oleh Pemerintah RI. Pada dasarnya UU tersebut memuat
prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian
Internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional, yang sekalipun
tidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukum
kebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakat
internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.

PRAKTEK HUKUM RI: MONISME OR DUALISME?

5. Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum


nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme,
dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian
internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk
mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yang
diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No. 6/1996 tentang Perairan.
Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan
dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan
Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982.

 Komentar Prof. Swan Sik:

Pertanyaan berlakunya hukum internasional (HI) didalam lingkungan hukum nasional


Indonesia (HN) memang belum jelas terjawab. ToR tepat menitikberatkan bahwa
dari sudut tata-hukum Indonesia perlu dikembangkan pilihan politik hukum antara
kemungkinan2 sebagai berikut:

(a) HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan
sistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlaku
diluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “aliran
dualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut
acara dan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan
dapat berlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah
tersebut yang telah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN
lainnya, dan tunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah
hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori)

36
(b) HI dan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum
sebagai keseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap
berlaku pula (“di-inkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”,
namun dengan mempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh
isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula
terhadapnya.

(c) HI dianggap tidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui
sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang
berlawanan dengannya. Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu
mengecualikan UUD dari pengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan
UUD pun dibawah HI.

Pilihan antara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-
beda. Ada HN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-
undang, atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya
hakim, atau pemerintah pusat)

Disamping itu ada kemungkinan diadakannya perbedaan antara HI tertulis


(perjanjian internasional) dan HI tak tertulis (hukum kebiasaan) dalam penerapan
pilihan sistem.

Sikap tata hukum Indonesia (HN) terhadap berlakunya HI dalam lingkungan HN


sebagai keseluruhan belum jelas. Petunjuk paling jelas sebenarnya dapat dilihat
dalam praktik peradilan (“yurisprudensi” dalam arti-kata umum). Bahkan dari zaman
kolonial masih ada ketentuan yang berdasarkan peraturan2 peralihan masih berlaku,
seperti pasal 22a “Ketentuan2 umum perundang-undangan” (Algemene bepalingen
van wetgeving, Staatsblad 1847:23) yang berbunyi: “Wewenang hakim dan daya
pelaksanaan keputusan hakim dan akta otentik dibatasi oleh pengecualian2 hukum
internasional.” Berdasarkan ketentuan ini hakim wajib menguji wewenangnya
terhadap HI, sehingga dapat diharapkan ada keputusan2 hakim yang mengutarakan
pendapatnya tentang ada (tidak)-nya “pengecualian2” demikian, baik yang
bersumber di hukum kebiasaan, maupun di hukum PI yang berlaku untuk Indonesia.
Sayang sukar untuk diketahui praktek hakim karena masih belum adanya kebijakan
pengumuman luas keputusan2 hakim (selain dari pemberitaan2 wartawan disurat
kabar).

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:
Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum Indonesia, terdapat suatu pertanyaan
critical, yaitu ”apakah suatu negara mutlak memilih salah satu jurusan tersebut”.
Beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya ketiga jurusan itu bisa dipakai dengan
menggunakan parameter kepentingan nasional secara kasus per kasus. Artinya, jika
kepentingan nasonal (national interest) menuntut, maka ketiga jurusan itu bisa
dipakai secara bergantian. Dalam konteks ini mereka tidak menginginkan HN
Indonesia memilih jurusan dan membiarkan ketiganya applicable dalam setiap
kasus.
37
Saya sendiri berpendapat bahwa ”bukan jurusan yang menentukan apa yang HN
pilih, tapi apa yang HN pilih yang akan menentukan jurusan”. HN Indonesia tidak
perlu terjebak dengan berbagai jurusan tsb namun tetap diperlukan adanya sikap
(”legal provisions”) dalam HN Indonesia yang menentukan apa status HI dalam HN
(hubungan HI dan HN). Jika HN telah menetapkan status hubungan ini maka warna
jurusan akan terlihat dan teridentifikasi.

Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakan teori
monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengaja
pandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satu
aliran ini. They deny the theory but their thinking reflect the theory.

Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakai untuk
menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukum dan
prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Dari pandangan
para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandangan mereka
terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusan teori, dan
belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb.

Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jika
dapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?)

***

6. Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasanaliran hukum yang


dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini
juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi
suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau
prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau
masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah
mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian
internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk
mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah
apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam
suatu perundang-undangan?

 Komentar Prof. Swan Sik:

Syarat keberlakuan PI untuk lingkungan HN ditetapkan oleh HI (ada tidaknya PI yang


relevan untuk RI) dan HN (ketentuan status PI tsb. dalam lingkungan HN). Adanya
perundang-undangan yang mengatur hal2 sama dengan apa yang telah diatur pula
dalam suatu PI yang berlaku untuk RI, tidak per se merupakan bukti bahwa RI
menganut dualisme. Perundang2-an bersangkutan mungkin “mengatur lebih lanjut”
(ToR dengan tepat menggunakan istilah “implementasi”). Agar PI mengikat suatu
38
negara (berlaku, dari sudut HI, terhadap suatu negara) diperlukan seperangkat
tindakan pejabat hukum HN (ratifikasi) yang dalam hal ini bertindak baik dalam
fungsi HN maupun fungsi HI. Apakah tindakan2 tersebut juga berakibat PI
bersangkutan berlaku dalam lingkungan HN (lihat catatan diatas) adalah pertanyaan
yang perlu dijawab oleh HN, dalam bentuk tegas ataupun sebagai hasil penafsiran
(contoh: oleh hakim).

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yang dianut oleh Indonesia dalam
masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justru tidak konsisten dalam
masalah ini.

Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari:

1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan


perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam
lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian
yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”

2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat
kalimat:

”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang


diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung
tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes
Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961

4. Judicial review MK tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran


dan Rekonsiliasi: merujuk langsung pada “praktek dan kebiasaan internasional
secara universal”

5. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah


diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.

6. PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN-


PENGECUALIAN OLEH HI

Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya


dalam praktek penerapan UNCLOS 1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS
1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. UU ini baru
39
dicabut oleh UU No. 6/1996. Dalam hal ini, UU No. 17/1985 tidak dianggap
bertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka
dualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU yang
mentransformasikan UNCLOS 1982.
Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum
perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres
yang meratifikasi utatu PI sebagai produk perundang-undangan. Menurut kelompok
ini UU/Perpres ini hanya jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan
bukan merupakan UU/Perpres dalam pengertian perundang-undangan. Kelompok ini
masih menganggap perlu adanya UU/Perpres yang mentransformasikan PI
dimaksud.

Jurisprudensi Indonesia sendiri belum berkembang sehingga belum memberikan


kontribusi untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN.

TREATIES: WHAT ARE THEY?

7) Perjanjian Internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 (dan 1986) tentang Hukum
Perjanjian Internasional (dan oleh organisasi internasional) adalah:

“An International Agreement concluded between States and International


Organizations in written form and governed by international Law, whether embodied
in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation”

8) Perjanjian Internasional yang dimaksud dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang


Perjanjian Internasional adalah: setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur
oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain.

9) Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi
oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional
menurut Konvensi Wina 1969 dan UU Nomor 24 Tahun tentang Perjanjian Internasional,
yaitu:
 an International Agreement
 by Subject of International Law
 in Written Form
 “governed by international law”((diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik)
 whatever form.

10. Bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah ”governed by international


law” juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah dari:
a. the intention of the Parties?
b. the Subject-Matter of the agreement?
c. should there be a presumption that an inter-state agreement which is intended to
create legal relations is governed by international law?

40
Pakar hukum D.J. Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai ”unanswered questions”.
11. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan
bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup UU ini adalah hanya perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum
internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan
di bidang hukum perdata.

12. Praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah
lahirnya UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional tidak luput dari kerancuan ini.
Sebelum lahirnya UU ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara sepanjang
yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI diperlakukan sebagai perjanjian internasional
dan disimpan dalam ”treaty room”. Perjanjian yang dibuat dengan NGO juga dianggap
sebagai Perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex,
PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai Perjanjian Internasional dan
bahkan diratifikasi melalui UU Nomor 1 Tahun 1963.

13. Parameter untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional
sering luput dari perhatian sehingga acapkali menimbulkan kerancuan baik di kalangan
akademisi maupun praktisi. Kalangan publik Indonesia telah menggunakan istilah
perjanjian internasional secara popular yang mencakup seluruh perjanjian yang bersifat
lintas negara baik publilk maupun perdata (kontrak internasional), antar negara maupun
antar perusasahaan multinasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang
apakah perjanjian internasional perlu didefinisikan kembali.

14. Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang
dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini
juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi
suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau
prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau
masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah
mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian
internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk
mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah
apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam
suatu perundang-undangan?

 Komentar Prof. Swan Sik:

Dilihat dari sudut umum, pilihan para fihak (negara atau organisasi internasional)
tentang penempatan (G-to-G) loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN
adalah pilihan politik (kebutuhan dan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan
teoretis juridis. Pertanyaan yang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih
mungkin bagi RI, dengan adanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul
ini boleh jadi oleh karena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan
41
perjanjian pinjaman/hibah antar-negara/organisasi internasional diperlakukan
sebagai perjanjian yang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut
juga boleh jadi melulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian
pinjaman/hibah, karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan
dengan UU itu dapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb.
dilingkungan HN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2
masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000
masih tetap kadang2 memuat klausula tentang “governing law” (lihat ToR ayat 24)

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Dilihat dari historis pembuatan UU No 24/2000, perumus UU No. 24/2000 pada


waktu itu tidak dibekali oleh pemahaman tentang definisi perjanjian internasional,
sehingga menganggap semua perjanjian baik perdata maupun public adalah treaty
dalam pengertian Konvensi Wina 1969. Sehingga loan agreement pada waktu itu
oleh perumus UU No. 24/2000 selalu dianggap sebagai treaty sekalipun governed by
HN. Dalam konteks pemahaman yang keliru inilah loan agreements dirumuskan
dalam UU No. 24/2000. Akibatnya, maka berdasarkan UU No. 24/2000 tidak lagi
diberi ruang bagi adanya loan agreement governed by HN. Dalam praktek, hal ini
tidak dapat dipertahankan karena acapkali muncul loan agreements yang governed
by HN namun “dipaksakan” untuk dikategorikan sebagai PI berdasarkan UU No.
24/2000. Untuk itu sejak tahun 2006, dalam rangka pembuatan RUU tentang
Pinjaman/Hibah telah diupayakan untuk membedakan perjanjian pinjaman menjadi
dua jenis, yaitu governed by international law dan governed by national law. Untuk
kelompok pertama diterapkan UU No. 24/2000 tetapi untuk kelompok kedua tidak
perlu diberlakukan.

Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu dengan
Depkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang
Pinjaman/Hibah. Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua
jenis perjanjian ini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan.

Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan
juridis teoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain dari
hukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969
menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”.

Praktek negara (termasuk IBRD) yang cenderung menggunakan HI sebagai


governing law adalah karena konstelasi politik internasional dewasa ini beranggapan
“governed by international law” lebih secured dari pada “governed by a national
law”. Mereka enggan menggunakan pengadilan nasional dan HN untuk penyelesaian
conflict. Sehingga mereka menggunakan “treaty” dari pada “contract”. Pertanyaan
critical adalah apakah norma HI sudah cukup “adequate” dan available untuk
mengatur tentang loan agreements, their terms, misalnya penetapan loan interest.

***
42
15. Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional
ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar
perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim
hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki
karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata. Akibatnya, muncul
berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang
mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti
tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005.

16. Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status
perjanjian pinjaman, yaitu:

a. perjanjian internasional publik governed by international law seperti yang dimaksud


oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional dan,
b. perjanjian perdata internasional biasa yang governed by other than international
law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina
dan UU tersebut.

17. Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU
dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UU
Nomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya
persetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat
memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.

18. Dalam pembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan
Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku
selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan
disahkannya UU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada
saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.

19. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPR
dalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR)
seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untuk
mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untuk menyetujui
rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini, apakah lembaga
ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telah mengalami pergeseran
makna?

43
20. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini
adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU
Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori
perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjian
pinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed by
international law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan
Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman (loan
agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada
hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan
termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum
perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum
nasional bukan hukum internasional.

21. Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman
dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain
dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen
Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik
yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, yang tentunya membutuhkan ratifikasi sebelum
pemberlakuannya.

 Komentar Prof. Swan Sik:

Menurut tafsiran yang manapun, dengan (dan selama) adanya UU 24/2000


pemerintah tidak mungkin mengadakan perjanjian pinjaman yang mulai berlaku
sejak saat ditandatangani, dan dengan demikian pasal 16 PP 2/2006 bertentangan
dengan UU.

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Untuk menyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa
loan agreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidak
treaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006
can apply.

 Komentar Prof. Swan Sik:

Cara persetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnya
merupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang”
untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perincian
44
sumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat
tersebut dipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal
penafsiran yang dapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya
pemerintah mencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak
DPR.

 Komentar Damos Dumoli

Melihat kompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan
posisi apa pun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP
2/2006 tidak bertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR
dalam bentuk UU APBN.

Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik dengan
ratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act that already taken
by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi. UU 24/2000 tidak
mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalam hukum perjanjian
internasional.

NOMENCLATURE, SHOULD THEY BE DISTINGUISHED?

22. Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian (nomenclature) tidak relevan untuk
dibedakan karena apa pun namanya tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para
pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, content
perjanjian merupakan tolok ukur ketimbang namanya. Namun demikian, dunia
diplomasi cenderung memberikan bobot yang berbeda untuk setiap nomenclature.
Treaty dan Agreement akan dianggap lebih mengikat ketimbang MOU.

 Komentar Prof. Swan Sik:

Salah satu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam-
macam sebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-
negara/organisasi internasional. Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah
tertentu berakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang
sekali terlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat.

Bagaimanapun persoalan ini sekali-kali tidak semata-mata soal nomenclatur,


melainkan soal usaha politik antar-negara untuk menghindari keterikatan pada
kewajiban hukum tanpa mengaku maksud tersebut. Petunjuk utama jika
menghadapi persoalan bersangkutan yalah tafsiran segala faktor yang memain
peranan dalam terjadinya “perjanjian” bersangkutan. (Masalah tersebut pernah saya
bahas sebagai judul pidato inaugurasi saya pada tahun 1990, sayang sekali dalam
bahasa Belanda: “De verplichting in het volkenrecht” [Kewajiban dalam hukum

45
internasional] . Pustaka mengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak
saat itu, namun menurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka)

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Praktek Indonesia dalam pembuatan PI dengan negara-negara lain sangat


inkonsisten. Pandangan para negotiators selalu terjebak pada mind setting bahwa
MOU lebih rendah dari agreement dan agreement lebih rendah dari Treaty.

23. Perkembangan hukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan
praktek Negara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya pada
Negara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah
non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek
negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan
yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties.

24. Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negara akan
menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai
perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen
itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian
non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti
khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional.

25. Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalam
dunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjian internasional
berdasarkan namanya.

APAKAH LEMBAGA NEGARA DI LUAR EKSEKUTIF DAPAT MEMBUAT PERJANJIAN


INTERNASIONAL?

26. Praktek internasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatan
perjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR. Gejala
ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasa ini
pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsi
representation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuat perjanjian
internasional?

 Komentar Prof. Swan Sik:

Bagi HI yang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara
subjek2 internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-
46
alat) perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan
lain daripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidak
ada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanya
pejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI.

Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar (lihat
dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannya kadang-kadang
menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelas terjawab, yalah
apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menurut tata hukum mana)
dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembaga dan alat
perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota) dari
negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrative agreements”.

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Secara traditional, eksekutif adalah the legitimate representive of states. Adanya


pembagian kekuasaan negara yang semakin ketat di Indonesia menimbulkan
implikasi bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga non-eksekutif bukan merupakan
urusan eksekutif sehingga perjanjian yang dibuat oleh mereka bukan tanggung
jawab eksekutif. Kenapa pertanyaan full power muncul? Karena non-ekeskutif tidak
mengakui Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari eksekutif mengeluarkan full
power bagi mereka. Mereka mengklaim tidak perlu memperoleh kuasa dari
pemerintah. Dalam HN, kedudukan Menlu sebagai pejabat khas dalam hukum
internasional tidak dikenal

27. Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaga non-eksekutif, maka
kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers. Dalam hal ini, apakah Menlu
lazim mengeluarkan full powers kepada lembagai non-eksekutif?

ASEAN’S TREATY MAKING POWER

28. ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akan memberikan
landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupun eksternal. Treaty
making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diatur dalam konstitusi setiap
organisasi internasional sebagai bagian dari paragraf tentang external relations. Namun
ASEAN Charter tidak secara rinci mengatur mengenai treaty making power of ASEAN,
dan hanya mengindikasikan bahwa masalah ini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat
implementasi.

 Komentar Prof. Swan Sik:

[Catatan ini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series]

47
Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) oleh
Sekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas nama
ASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasan
demikian.

Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khusus dalam
naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenang
khusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikian
tidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan.

Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; para
negara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek
hukum lain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan
perbuatan hukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan
perbuatan yang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang
(“surat kuasa”) tersebut tadi.

Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihak lainnya
(counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastian bahwa si wakil
RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memang di”tanggung” RI.
Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itu percaya, menerima dan
mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN, sehingga soal full powers
tidak timbul.

 Komentar Damos Dumoli


Agusman:

Treaty making power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam
membuat perjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang
akan saya sampaikan secara terpisah.

Permasalahannya adalah, European Union yang sudah demikian terintegrasi tidak


pernah suatu negara anggota memberi mandate kepada Presiden Komisi untuk
bertindak atas nama negara tersebut mengikatkan diri dengan pihak lain. Dalam EU
dikenal adanya Mix Agreements, dimana negara anggota akan turut membubuhkan
tanda tangan jika bagian dari perjanjian dengan EU tersebut adalah wewenang
negara anggota.
Praktek ASEAN dalam hal ini tidak didasarkan pada prinsip hukum perjanjian
internasional bahwa “consent to be bound” harus dinyatakan oleh negara itu sendiri.
Apa yang dilakukan oleh ASEAN adalah hanya untuk kebutuhan praktis.

Pertanyaan yang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara
anggota adalah:

1. Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEAN adalah
full powers yang dimaksud oleh Vienna Convnetion 1969?

48
2. Jika negara itu ingin “terminate atau amandement perjanjian itu, dapatkan
dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN?

29. Praktek ASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat
dibedakan atas dua perspektif:

a. Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihak ketiga dimana status
negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri.
Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuk setiap Negara anggota
sebagai collective members;
b. Hubungan antara ASEAN sebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN
Secretariat) dengan pihak ketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya.
Kedudukan ASEAN dalam kaitan ini adalah sebagai organisasi internasional seperti
yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh
Organisasi Internasional.

30. ASEAN sebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengan
negara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itu menggunakan isitilah
ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara negara-
negara anggota secara individu dengan organisasi/negara ketiga (perjanjian
multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya serta pihak yang
menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masing negara
anggota ASEAN secara individual seperti pada the Cooperation Agreement between the
Member Countries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian ini yang
membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota dan bukan
ASEAN sebagai a distinct subject separated from its members. Hal ini merupakan
konsekuensi logis bahwa materi yang diperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup
atau wewenang ASEAN sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri namun terletak
pada negara-negara anggotanya. Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi
internasional as a distinct subject separated from its members

31. Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukum internasional,
ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannya sebagai a distinct
subject separated from its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN
Secretariat.

32. Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yang
tampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaitu Perjanjian
dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEAN tetapi
ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untuk dan atas
nama Negara-negara anggota.

49
33. Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian
menimbulkan beberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian
tersebut terhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum
internasional lain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama
subjek hukum internasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi,
dapatkah DPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek
hukum internasional lain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim
Menteri Luar Negeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota
ingin menarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpa melalui
Sekjen ASEAN?

50

You might also like