You are on page 1of 22

REFERAT ABORTUS

Disusun Oleh: Nurul Faizatul Amira Bt Ab Mutalib 10-2012-228

Dokter Pembimbing Dr. Afra, SpOG

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA KEPANITERAAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN RUMAH SAKIT BAKTHI YUDHA, DEPOK 24 JUNI 2013 31 AGUSTUS 2013

PENDAHULUAN
Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara klinis, 10-15% kehamilan yang terdiagnosis berakhir dengan abortus. Kasus abortus sebenarnya angkanya lebih besar daripada yang disebutkan di atas, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak tercatat, dan tidak diketahui. Seorang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil. Abortus bisa juga tidak diketahui karena hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang), dan insiden abortus kriminalis yang pada umumnya tidak dilaporkan. Abortus dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan dapat menimbulkan syok, perforasi, infeksi, dan kerusakan faal ginjal sehingga mengancam keselamatan ibu. Kematian dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan secara cepat dan tepat. Disamping menimbulkan dampak fisik yang buruk sebagaimana disebutkan di atas, abortus juga menyebabkan efek psikologis bagi wanita yang mengalaminya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi psikologis wanita yang mengalami abortus. Pada sejumlah besar abortus yang terjadi pada wanita yang mengalaminya merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan atau mengecewakan.

PEMBAHASAN I. Definisi
Terdapat beberapa definisi abortus: 1. Dari bahasa Latin: Aboriri yaitu keguguran.1 2. New Shorter Oxford Dictionary (2002): Abortus adalah kelahiran prematur sebelum kelahiran hidup adalah mungkin, dan dalam pengertian ini identik dengan keguguran. Abortus juga berarti tindakan penghentian kehamilan yang diinduksi untuk menghancurkan janin.1 3. Buku ilmu kebidanan Sarwono: Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.2 a. Abortus spontan: abortus yang berlangsung tanpa tindakan. Early abortion: terjadi pada kehamilan < 12 minggu. Late abortion: terjadi pada kehamilan 12-20 minggu.3

b. Abortus provokatus: abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan yang dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter (minimal 3 orang dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam dan spesialis Jiwa) untuk menyelamatkan ibu. Bila perlu dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di kemudian hari.2 4. Penggunaan istilah aborsi di kalangan orang awam: Meskipun kedua istilah ini digunakan secara bergantian dalam konteks medis, penggunaan populer dari kata aborsi oleh orang awam menyiratkan penghentian kehamilan yang disengaja. Dengan demikian, banyak lebih memilih untuk merujuk pada keguguran bagi kehilangan janin secara spontan sebelum viabilitas.1

5. Definisi berdasarkan lamanya kehamilan: digunakan untuk tujuan statistik dan hukum. Misalnya, National Center for Health Statistics, Centers for Disease Control and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu atau dengan janin lahir dengan berat kurang dari 500 gram. Meskipun demikian, definisi bervariasi sesuai dengan undang-undang negara.1

II. Insiden
1. Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena: a. Abortus provokatus banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. b. Abortus spontan dan tidak jelas umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor atau berobat.2 2. Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Dan, lebih dari 80% abortus spontan terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan.3 3. Kalau dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi.2 4. Abortus lebih tinggi pada wanita yang hamil pada usia tua (12% pada wanita berusia < 20 tahun, 26% pada wanita > 40 tahun).3

III. Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut: Faktor genetik ( translokasi parental keseimbangan genetik) Mendelian

Multifaktor Robertsonian Resiprokal

Kelainan kongenital uterus Anomali duktus Mulleri Septum uterus Uterus bikornis Inkompetensi serviks uterus Mioma uteri Sindrom Asherma

Autoimun Aloimun Mediasi imunitas humoral Mediasi imunitas seluler

Defek fase luteal Faktor endokrin eksternal Antibodi antitiroid hormon Sintesis LH yang tinggi

Infeksi Hematologik Lingkungan

i.

Penyebab genetik Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.

Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunstion meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh dua sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21) bisa bertahan. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun. Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi, triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan. Tetraploidi terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan. Struktur kromosom merupakan kelainan kategori tiga. Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3% kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran. Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi gen yang bisa menganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy, yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan

gangguan fungsi uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis. Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlons, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.2

ii.

Penyebab anatomik Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 1030% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.2

iii.

Penyebab autoimun Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya, pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10%., dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically false positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum. The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi: a. Trombosis vaskular Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi. Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi. b. Komplikasi kehamilan Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik, atau hormonal. Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara sonografi normal. Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklampsia berat atau insuffisiensi plasenta yang berat. c. Kriteria laboratorium

aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang seang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih atau sama dengan 6 minggu. aCL diukur dengan metode ELISA standar. d. Antibodi fosfolipid/antikoagulan Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT). Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma platelet normal. Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan plasma platelet normal. Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid. Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin. aPA ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada perempuan dengan SLE. Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap -2glikoprotein 1 yang lebih spesifik. Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta. Trombosis plasenta pada APS diawali dengan adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap protasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregasi trombosit, penurunan creaktif protein dan peningkatan sintesis platelet activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu. Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah, prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan

pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin dari 50% jadi 80% pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.2 iv. Penyebab infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellossis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain: a. Bakteri Listeria monositogenes Klamidia trakomatis Ureaplasma urealitikum Mikroplasma hominis Bakterial vaginosis b. Virus Sitomegalovirus Rubella Herpes simpleks virus (HSV) Human immunodeficiency virus (HIV) Parvovirus c. Parasit Toksoplasmosis gondii Plasmodium falsiparum d. Spirokaeta Treponema pallidum Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus/ EPL, di antaranya sebagai berikut:

a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotosin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta. b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup. c. Infeksi plasenta yang berakibat insuffisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin. d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi e. Amnionitis (oleh kuman gram positif dan gram negatif, Listeria monogenes) f. Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal misalnya rubella, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).2

v.

Faktor lingkungan Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anastesi dan tembakau.Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.2

vi.

Faktor hormonal Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron. a. Diabetes mellitus

Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus. b. Kadar progesteron yang rendah Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas

endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan. c. Defek fase luteal Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insuffisiensi progesteron saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini. d. Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B. Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama mempunyai peran penting dalam kelangsungan proses

kehamilan karena ia akan mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.2

vii.

Faktor hemoragik Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan: a. Peningkatan kadar faktor prokoagulan b. Penurunan faktor antikoagulan c. Penurunan aktivitas fibrinolitik Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-protasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida. Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari 22% kasus. Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sistein. Hiperhomosistein, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus

berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan asam folat akan mengembalikan kadar homosistein normal dalam beberapa hari.2

IV. Macam Macam Abortus


Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi yang terjadi. 1. Abortus Iminens Definisi Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, yang ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.2 Insidens: Terjadi pada 20-25 % wanita selama kehamilan dini. Selalunya kehamilan hanya dapat bertahan beberapa hari atau minggu.1 Diagnosis Anamnesis: Biasanya diawali dengan keluhan keputihan berdarah atau perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Pemeriksaan: Ostium uteri masih tertutup, besarnya kehamilan sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif.1,2 Prognosis Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya: prognosis baik. Bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif: dubia ad malam.2

Pengelolaan

Pengelolaan penderita sangat bergantung pada informed consent yang diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan, pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Diperlukan pemeriksaan USG baik secara transabdominal (pasien harus tahan kencing terlebih dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas) maupun transvaginal: Mengetahui pertumbuhan janin yang ada. Keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan. Ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis.

Terapi atau pengelolaan yang diberikan (tidak ada terapi efektif): Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan. Analgesik seperti acetaminophen dapat diberikan untuk ketidaknyamanan. Evaluasi ulang tranvaginal sonografi, serial serum kuantitatif HCG dan progesteron serum: untuk memastikan janin masih hidup atau sudah mati. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.1,2 2. Abortus Insipiens Definisi: Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. Diagnosis:

o Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. o Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. o Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus. Pengelolaan: Harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa, tindakan evakuasi dan kuretase harus hatihati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.2

3. Abortus Kompletus Definisi: Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosis: Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksan secara klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus.

Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.2

4. Abortus Inkompletus Definisi: Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosis: Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi dan jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan. Pengelolaan: Harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan

yang dianjurkan ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pasca tindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun peroral dan antibiotika.2

5. Missed abortion Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justeru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tudak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjedalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase. Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu diperhatikan, karena penderita umunya merasa gelisah setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk menegluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena

cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin. Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau sistensisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian misoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen. Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.2

6. Abortus Habitualis Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45%. Risiko abortus habitualis juga meningkat dengan usia ibu. Pada wanita usia > 40 tahun, risiko untuk terjadi abortus spontan sekitar 75%. Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan reaksi immunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada,

maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya. Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan di mana serviks uteri tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar. Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anmnesis yang cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14 minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang sutera/ MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.2

7. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis). Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus infeksiosus dan abortus sepsis perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat je seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septik.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun. Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram ditambah Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika. Antibiotika dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotika yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.2

8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum) Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi di mana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suatu kelainan kehamilan yang baru terdeteksi setelah berkembangnya ultrasonografi. Bila tidak diakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun tanpa ada janin di dalamnya. Biasanya sampai sekitar 14-16 minggu akan terjadi abortus spontan. Sebelum alat USG ditemukan, kelainan kehamilan ini mungkin banyak dianggap sebagai abortus biasa. Diagnosis kehamilan amenbrionik ditegakkan pada usia kehamilan 7-8 minggu bila pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang

atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai adanya gambaran mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG pertama kita mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu kemudian. Bila tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan diametre kantong gestasi sudah mencapai 25 mm maka dapat dinyatakan sebagai kehamilan anembrionik. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan terminasi kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics. 23rd ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010. 2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka; 2010. 3. Pernoll ML. Obstetrics & Gynecology. 10th edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2001.

You might also like