You are on page 1of 11

NAMA : R.

NATALIA DEDETUWITRI NIM : 0608120133

A. SIRKLASE Pemasangan sirklase adalah terapi pilihan untuk pencegahan kelahiran prematur pada wanita dengan insufisiensi atau inkompetensi serviks. Penatalaksanaan inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah yaitu penguatan serviks yang lemah dengan jahitan yang disebut sirklase. Perdarahan, kontraksi uterus, atau ruptur membran biasanya merupakan kontraindikasi untuk pembedahan. Terdapat beberapa tehnik sirklase yang pernah dilakukan seperti McDonalds dan modifikasi Shirodkar. Waktu terbaik untuk prosedur sirklase serviks adalah pada bulan ketiga (12-14 minggu) kehamilan. Namun, beberapa wanita mungkin perlu dipasangkan sirklase darurat pada kehamilan lanjut jika terjadi perubahan seperti pembukaan atau pemendekan serviks. Jika sudah ada riwayat pemasangan sirklase darurat, pada kehamilan selanjutnya juga wanita ini akan memerlukan pemasangan sirklase pada serviksnya. Pendekatan dan penempatan dari jahitan sirklase ada berbagai macam dan tidak ada tehnik tunggal yang terbukti lebih unggul dari yang lainnya. Pendekatan McDonald, yang menempatkan jahitan transvaginal yang paling anestesi lokal monofilament popular atau adalah tehnik regional atau tape untuk serat menggunakan

(polypropylene)

polyester di persimpangan cervicovaginal. Sebuah spekulum tertimbang dimasukkan ke dalam vagina, dan Sims retractor digunakan untuk retraksi anterior vagina. Serviks ini digenggam lembut dengan penjepit atau forsep Allis cincin untuk traksi. Dimulai pada posisi jam 12, 4 atau 5 jepitan berurutan yang diambil secara tas-string. Jahitan terikat anterior dan dipangkas.

Beberapa keadaan yang perlu dipertimbangkan bahkan dihindari pada tindakan serklase seperti : 1. Adanya bukti dari pemeriksaan USG adanya kelainan janin, plasenta dan polihidramnion 2. Adanya tanda-tanda persalinan dengan kontraksi uterus yang kuat atau perdarahan pervaginam 3. Adanya korioamnionitis dan pecahnya ketuban 4. Adanya infeksi aktif pada vagina, terutama jika dilakukan srklase transvaginal B. AMNIOINFUSION
Amnioinfusion adalah suatu tindakan memasukkan cairan kristaloid kedalam rongga amnion untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang atau sudah tidak ada.

Indikasi Amnioinfusion Umumnya indikasi amnioinfusion dibagi atas indikasi intrapartum dan antepartum, dengan tujuan diagnostik, terapeutik atau profilaksis dan dapat dilakukan transervikal maupun transabdominal. Pada tahun 1976 gabbe dan kawan-kawan mengemukakan suatu metoda yang memindahkan cairan amnion yang mempunyai variabel yang dapat meyebabkan deselarasi denyut jantung janin dengan cairan salin. Transvagina infus amnion dilakukan pada tiga masalah klinik yaitu : 1. Pengobatan dari variabel atau deselarasi denyut jantung janin yang memanjang. 2. Profilaksis pada kasus kasus yang diketahui oligohidroamnion dengan pecah ketuban lama. 3. Untuk mendilusi atau membersihkan mekonium yang tebal.

Cara ini dilakukan dengan memberikan 500 sampai dengan 800 ml bolus cairan normal salin yang hangat diikuti dengan pemberian infus secara kontinu sebanyak 3 ml per jam.

1. Amnioinfusion antepartum Dalam masa antepartum tindakan amnioinfusion bertujuan janin akibat oligrohidramnion, namun lebih jarang dilakukan. Dalam sonografi, periode antepartum amnioinfusion bagi kultur dapat dan dilakukan untuk

menilai struktur anatomi janin, dan juga untuk mengurangi komplikasi pada

transabdominal yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pencitraan untuk mendapatkan cairan pemeriksaan karyotyping dan mencapai jumlah cairan amnion yang adekuat sehingga

mencegah terjadinya hipoplasia paru dan arthrogryposis. Pada kasus-kasus tertentu amnioinfusion dapat menjadi sarana untuk memasukkan antibiotik profilaksis pada ketuban yang pecah sebelum waktunya. Gembruch dan Hansmann pada tahun 1988 melakukan amnioinfusion transabdominal untuk dapat memperbaiki pencitraan ultrasonografi, saat ini dapat dilakukan konfirmasi terhadap pecahnya ketuban dengan menyuntikkan zat indigo carmin transabdominal dan dilihat apakah ada pengeluaran cairan berwarna biru dari vagina. Melalui tindakan amnioinfusion transabdominal ini dapat juga diambil cairan ketuban untuk kultur sel bagi pemeriksaan karyotyping. Beberapa tindakan yang pernah dilakukan untuk mengobati oligohidramnion pada pertengahan kehamilan dan bertujuan untuk meningkatkan perkembangan paru, antara lain :

Shunting vesicoamniotic pada kasus uropathi obstruktif Infus cairan melalui kateter transervikal

Hidrasi ibu Aminoinfusion transabdominal serial

Fisk dkk melakukan amnioinfusion serial untuk mencegah hipoplasia paru, tindakan ini dilakukan segera sesudah diagnosis oligohidramnion ditegakkan, dan diakhiri sesudah fase kanalikuler dari perkembangan paru menjadi sempurna. Amnioinfusion terapeutik juga dilakukan dalam masa antepartum untuk memasukkan antibiotik pada kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Amnioinfusion transabdominal dapat membantu keberhasilan versi luar. Para peneliti di Perancis memasukkan cairan 800 ml transabdominal pada pasien yang tidak berhasil dengan versi luar sebelumnya, pada 6 kasus yang dilakukan amnioinfusion kemudian berhasil dilakukan versi luar.

2. Amnioinfusion intrapartum Dalam periode intrapartum, amnioinfusion bertujuan untuk diagnostik (aspirasi cairan untuk pemeriksaan mikrobiologi), terapeutik (mengurangi kompresi tali pusat) atau profilaksis (mencegah aspirasi mekonium). Indikasi amnioinfusion pada saat intrapartum adalah adanya: Deselerasi variabel dengan atau tanpa oligohidramnion Mekonium dengan atau tanpa oligohidramnion Oligohidramnion pada preterm atau aterm akibat pecahnya ketuban Oligohidramnion dengan ketuban masih utuh Pada korioamnionitis dapat dilakukan aspirasi cairan untuk

pemeriksaan pewarnaan gram, kultur dan tes sensitivitas sesuai indikasi, dengan memasukkan cairan melalui kateter intrauteri kemudian dilakukan

pembilasan dapat menemukan pewarnaan mekonium yang tersembunyi (tidak nampak). Deselerasi variabel yang berulang dalam masa persalinan dapat menyebabkan asidosis pada janin, hal ini dapat diatasi dengan pemberian amnioinfusion untuk mengembalikan volume cairan ketuban yang dapat mengurangi kompresi tali pusat sehingga dapat mengurangi deselerasi. Gabbe dkk yang pertama kali melakukan percobaan pada monyet dan menemukan bahwa bila cairan ketuban dikeluarkan akan mengakibatkan terjadinya deselerasi variabel yang akan menghilang bila volume cairan dikembalikan. Banyak penelitian yang kemudian melaporkan terjadinya perbaikan variabilitas pada pemberian amnioinfusion transervikal yang tidak membaik dengan penanganan konvensional seperti pemberian cairan intravena, perubahan posisi, pemberian oksigen dan manipulasi presentasi janin. Bila setelah pemberian perbaikan maka tindakan ini dianggap gagal. Beberapa peneliti lain memberikan amnioinfusion dengan kecepatan 10 15 ml/menit pada jam pertama kemudian dilanjutkan dengan 23 ml/menit. Ada beberapa batasan yang dipakai untuk menghentikan tindakan, bisa berupa batas indeks air ketuban 8 cm, jumlah total cairan yang diberikan, kecepatan total cairan yang diberikan atau pengukuran tekanan istirahat uterus. Suatu penelitian prospektif pada tahun 1985 terhadap 98 kasus deselerasi variabel yang berulang dan tidak mengalami perbaikan dengan perubahan posisi ibu dan pemberian oksigen. Subjek dibagi atas yang mendapat amnioinfusion dan yang tidak. Didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hilangnya deselerasi variabel antara kelompok yang mendapat amnioinfusion dan kelompok control. 600800 cc cairan namun deselerasi variabel atau deselerasi yang memanjang tidak menunjukkan

Hasil metaanalisis terhadap 9 penelitian lain juga menemukan hal yang sama. Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa amnioinfusion tidak bermanfaat dalam penanganan deselerasi variabel intrapartum. 3,5 Hofmeyr dalam Cochrane Review 2004 menyimpulkan bahwa amnioinfusion tidak bermanfaat untuk penanganan ketuban yang pecah sebelum waktunya. Still dkk melaporkan tindakan amnioinfusion profilaksis pada ketuban yang pecah saat aterm dan oligrohidramnin (AFI < 5 cm) menurunkan kejadian aspirasi mekonium, deselerasi variabel, bradikardia, seksio sesar karena gawat janin dan pH darah arteri umbilkalis yang rendah. Para peneliti lain melaporkan manfaat tindakan amnioinfusion pada persalinan yang berkomplikasi dengan mekonium atau mekonium dan oligohidramnion. Amnioinfusion dapat menurunkan insiden :

Apgar skor yang rendah ( < 7) Mekonium di bawah pita suara dan orofaring Mekonium yang kental pH a.umbilikalis < 7,20 Gawat janin intrapartum Partus tindakan atas indikasi gawat janin Seksio sesaria Pemberian ventilasi tekanan positif untuk bayi baru lahir

Kontra Indikasi Pada umumnya kontraindikasi untuk persalinan pervaginam seperti plasenta previa, riwayat ruptura uteri juga merupakan kontraindikasi absolut untuk amnioinfusion transervikal intrapartum.

Kondisi lain yang juga merupakan kontraindikasi adalah bila tidak mempunyai manfaat untuk janin misalnya kelainan bawaan yang lethal dan kematian janin dalam rahim. Pada keadaan yang sudah jelas ada kegawatan janin maka lebih bijaksana untuk segera melahirkan bayi tersebut daripada mencoba dengan amnioinfusion. Kontraindikasi ibu pada tindakan amnioinfusion termasuk kelainan jantung dengan klasifikasi fungional (NYHA) II atau lebih karena dapat kelebihan cairan akibat ammnioinfusion yang cepat. menyebabkan

Korioamnionitis masih menjadi perdebatan apakah termasuk kontraindikasi, karena ada pendapat lain yang justru memasukkannya sebagai indikasi. Yang termasuk kontraindikasi relatif untuk amnioinfusion adalah : Anomali uterus Korioamnionitis Penyakit jantung ibu yang termasuk klasifikasi klas II, III dan IV Petumbuhan janin terhambat Malformasi janin Gawat janin Malpresentasi Riwayat seksio sesar klasik, atau jenis seksio sesar sebelumnya tidak diketahui Solusio plasenta Kehamilan ganda

Protokol

Proktokol yang direkomendasikan sebagai berikut : 1. Berikan penjelasan kepada pasien mengenai keuntungan dan kerugian

tindakan ini dan lebih baik kalau ada persetujuan tertulis. 2. Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menilai prensentasi, ada tidaknya

prolaps tali pusat, dilatasi dan pendataran serviks dan penurunan kepala. 3. Lakukan konfirmasi apakah selaput ketuban sudah pecah untuk amnioinfusion transervikal. Pasang elektroda untuk internal

tindakan

kardiotokografi dan kateter tekanan intrauteri. Pemasangan elektroda di kulit kepala janin untuk pemantauan jantung janin yang kontinu bukan suatu keharusan, namun dianjurkan untuk memantau kesejahteraan janin dengan lebih akurat. 4. Kateter intrauteri yang dipasang harus dapat memantau tekanan dan memasukkan cairan, ada pula yang memakai

intrauteri

tokodinamometer eksternal untuk memantau tekanan uterus. 5. Cairan yang digunakan adalah normal salin atau ringer laktat,

sebaiknya suhu cairan 37C untuk janin yang prematur atau untuk infus yang cepat. 6. Infus diberikan dengan kecepatan 10 14 cc/menit, bisa lebih cepat

sampai 15 25 cc/menit. Infus awal umumnya 500-600 ml. Ada yang menganjurkan untuk menghentikan infusion setelah pemberian bolus namun ada pula yang menganjurkan melanjutkan infusion dengan kecepatan 2-3 ml/menit. Biasanya diperlukan waktu 15 20 menit untuk memasukkan 500 ml cairan. Dengan pemberian awal sebanyak 500 cc sebagian besar (90% kasus) menunjukkan hilangnya deselerasi variabel dan dapat meningkatkan AFI > 10,0 cm, namun ada 15 % yang memerlukan pemberian kedua dan 5% yang memerlukan pemberian ketiga.

7.

Batas akhir infusion

tergantung dari pengalaman dan tujuan yang

ingin dicapai dan bersifat individual, biasanya dihentikan bila : Sudah ditetapkan memberikan infusion 600 1000 ml Ada perbaikan deselerasi variabel Indeks cairan amnion > 8 10 cm 8. Bila dilakukan pemantauan dengan ultrasonografi, dianjurkan memakai

panduan sebagai berikut : Bila indeks cairan amnion > 10 cm, tidak perlu menambah cairan bolus Bila indeks cairan amnion 5-10 cm, berikan cairan bolus kedua sebanyak 250 ml dan lakukan usg ulang. Bila indeks cairan ammnion < 5 cm, berikan cairan bolus kedua sebanyak 500 ml dan lakukan usg ulang. 9. Dapat juga dilakukan bolus ulangan 500 600 ml tiap 6 jam atau infus dengan kecepatan 2-3 ml / menit, tergantung pada tekanan

yang tetap

uterus, indeks cairan amnion yang diperiksa secara periodik dan perkiraan jumlah cairan ketuban yang keluar. 10. Lakukan penilaian periodik terhadap: pola denyut jantung janin, aktivitas dan tonus uterus, jumlah cairan yang diberikan, rembesan dari vagina, dan kemajuan persalinan. 11. Penilaian terhadap komplikasi.

Komplikasi

Dari survei yang dilakukan ada 26% senter yang melaporkan paling sedikit satu komplikasi, yang paling sering adalah hipertonus uteri (14%) kemudian denyut jantung yang anormal (9%), namun komplikasi yang berat jarang terjadi. Untuk mencegah terjadinya overdistensi uterus uterus maka pemberian cairan harus diawasi dengan baik, telah dilaporkan kejadian overdistensi pada pemberian 4 liter cairan salin secara kontinu. Posner dkk melaporkan 2 kasus polihidramnion yang terjadi sesudah amnioinfusion, satu disangka solusio plasenta dan yang satunya terjadi bradikardi janin dan peningkatan tonus uteri, namun keduanya membaik setelah dilakukan satu pengeluaran kasus cairan amnion. janin Miyazaki saat dan Taylor melaporkan bradikardi pada memberikan

amnioinfusion yang cepat (400 ml dalam 8 menit. Strong dkk melaporkan perpanjangan lama persalinan dari 10,1 + 6,5 jam menjadi dan 16,8 Elliott + 12,1 jam 2 sedang kasus Schimmer emboli air dkk melaporkan pasca pemendekan lama persalinan pada pasien yang diberikan amnioinfusion. Dibble melaporkan ketuban amnioinfusion, namun merupakan emboli ringan karena adanya efek dilusi dari cairan yang diberikan terhadap partikel. Penulis lain melaporkan adanya distres pernafasan ibu yang berhubungan dengan amnioinfusion

SUMBER WiknjosastroH,Saifuddin AB Rachimhadi T.editor. Ilmu Kebidanan Edisi kelima Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirhardjo, 2007 Siswodarmo R. Obstetri Fisiologis. Edisi 1. Yogyakarta : Andi Offset , 1992

Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Intrapartum assessment. In: Williams obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 345-46.

Ouzounian J, Paul R. Role of amnioinfusion in contemporary obstetric practice. Contemporary OB/GYN Archive 1996.

Weismiller D. Transcervical amnioinfusion. Available at: URL: www.aafp.afp/index.html. Accessed September, 1, 2013.

Amon E, Kerns J, Winn H. Amnioinfusion. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: The Parthenon Publishing Group; 2000. p. 833 - 839.

Ganong WF. Fisiologi Kedokteran Edisi 10 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007

You might also like