You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian inkontinensia urine? 2. Bagaimana epidemiologi inkontinensia urine? 3. Apa etiologi inkontinensia urine? 4. Apa saja faktor predisposisi inkontinensia urine? 5. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urine? 6. Apa saja tipe - tipe inkontinensia urine? 7. Apa manifestasi klinis inkontinensia urine? 8. Apa saja pemeriksaan diagnostik inkontinensia urine? 9. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urine?
Inkontinensia Urine | 1

10. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada inkontinensia urine?

C. Tujuan 1. Umum Mahasiswa mengetahui konsep dasar teori dan konsep asuhan keperawatan pada pasien Inkontinensia Urine.

2. Khusus a. Mahasiswa mengetahui pengertian inkontinensia urine. b. Mahasiswa mengetahui epidemiologi inkontinensia urine. c. Mahasiswa mengetahui etiologi inkontinensia urine. d. Mahasiswa mengetahui faktor predisposisi inkontinensia urine. e. Mahasiswa mengetahui patofisiologi inkontinensia urine. f. Mahasiswa mengetahui tipe - tipe inkontinensia urine. g. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis inkontinensia urine. h. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostik inkontinensia urine. i. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urine. j. Mahasiswa mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada inkontinensia urine.

Inkontinensia Urine | 2

BAB II PEMBAHASAN

I. Konsep Dasar Penyakit A. Pengertian Inkontinensia Urine Inkontinensia urine adalah kebocoran urine involunter yang menimbulkan masalah (Mauk, 2005). Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara, namun jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.

B. Epidemiologi Lebih dari 10 juta penduduk dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia urine (AHCPR, 1992). Inkontinensia urine terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering ditemukan pada lansia (Palmer dan Newman, 2003). Sekitar 15-30% wanita dewasa mengalami inkontinensia urine. Inkontinensia urine ditemukan pada 50% penghuni panti jompo dan pada 30% orang dewasa yang tinggal di rumah (Mauk, 2005).

C. Etiologi 1. Kerusakan persarafan mengakibatkan seseorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung kemih secara efektif. 2. Kelemahan otot spingter ureter. 3. Adanya tekanan di dalam abdomen seperti bersin, batuk. 4. Obat anastesi.

D. Faktor Predisposisi 1. Usia Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik
Inkontinensia Urine | 3

menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

2. Diet Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).

3. Cairan Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).

4. Latihan fisik Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).

5. Stres psikologi Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).

6. Temperatur Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan
Inkontinensia Urine | 4

cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).

7. Nyeri Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).

8. Sosiokultural Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).

9. Status volume Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).

10. Penyakit Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).

E. Patofisiologi Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Inkontinensia Urine | 5

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995). Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

Inkontinensia Urine | 6

Pathway

Kerusakan persarafan

Bersin, batuk

Obat anastesi

Kontraksi otot kandung kemih

Penekanan pada abdomen

kelemahan otot spinkter ureter

Tidak mampu menahan keluarnya urine

Inkontinensia Urine

Adanya desakan berkemih

penurunan mobilitas, lemah

adanya rembesan involunter urine pada aktivitas

Ketidakmampuan mencapai kamar mandi Risiko konfusio akut Intoleran aktivitas Inkontinensia urinarius stress

Risiko inkontinensia urinarius dorongan

Inkontinensia Urine | 7

F. Tipe - Tipe Inkontinensia urine 1. Inkontinensia akibat stress Inkontinensia akibat stress merupakan eliminasi urine di luar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini peling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Di samping itu, ganguan ini dapat terjadi akibat kelaian congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).

2. Urge incontinence Urge incontinence terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan factor yang menyertai ; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.

3. Overflow incontinence atau Paradoksa (Aliran Yang Berlebihan) Overflow incontinence ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urine terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Overflow incontinence dapat disebabkan oleh kelainan neurologi yaitu lesi medulla spinalis atau oleh factor-faktor yang menyumbat saluran keluar urine yaitu penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan hyperplasia prostat. Kandung kemih neurogenik dibahas secara terpisah dalam bagian berikutnya.

4. Inkontinensia fungsional Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada factor lain seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi misalnya, demensia Alzheimer atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.

Inkontinensia Urine | 8

5. Continuos incontinence Inkontinensia urine kontinua adalah urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula system urinaria yang menyebabkan urine tidak melewati sfingter uretra. Penyebab lain inkontinensia kontinua adalah muara ureter ektopik pada anak perempuan. Gejala khas muara ureter ektopik sama dengan fistula ureterovagina, yaitu urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan misi seperti orang normal.

G. Manifestasi Klinis 1. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah berkemih. 2. Penurunan mobilitas, lemah. 3. Melaporkan rembesan involunter sedikit urin pada saat aktivitas fisik. 4. Gelisah 5. Ketidaknyamanan abdomen.

H. Pemeriksaan Diagnostik 1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa dalam urine. 2. Uryflowmetri digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. 3. Cysometri digunakan untuk menngkaji fungsi nuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi reflek otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas. 4. Urografi ekskretorik disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. 5. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertropi lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis (pada pria). 6. Uterografi retrograde digunakan hampir secara eksklusif pada pria, membantu diagnosis stuktur dan obstruksi orifisium uretra. 7. Eletromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarius eksternal.
Inkontinensia Urine | 9

8. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan inkontinensia. 9. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang menandakan kekurangan ekstrogen. 10. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

I. Penatalaksanaan Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang mendasarinya. Namun demikian, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia apa pun, tetapi dapat dilakukan untuk meringankan terjadina inkontinensia dengan melakukan senam seperti senam kegel, yang berfungsi untuk menguatkan spinter otot panggul. Maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang bersifat interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin secara efektif. Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat diingat melalui singkatan DIAPPERS. Penyebabnya ini mencakup keadaan berikut: delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic agents (agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik, relaksan otot, preparat adrenergik), psychologic factors (faktor psikologis; depresi, regresi), excessive urin production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan diuresis), restricted activity (aktivitas yang terbatas), dan stool impaction (impaksi fekal) (AHCPR 1992). Setelah semua ini berhasil diatasi, pola urinasi pasien biasanya kembali normal.

Inkontinensia Urine | 10

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Inkontinensia Urine A. Pengkajian 1. Identitas klien Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan a. Riwayat kesehatan sekarang Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

b. Riwayat kesehatan masa lalu Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

c. Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan fisik a. Keadaan Umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia.

Inkontinensia Urine | 11

b. Pemeriksaan Sistem 1) B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

2) B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah.

3) B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh.

4) B4 (bladder) Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

5) B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

6) B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

c. Pemeriksaan Radiografi 1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.

Inkontinensia Urine | 12

2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

B. Diagnosa Keperawatan 1. Risiko inkontinensia urinarius dorongan berhubungan dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih. 2. Risiko konfusi akut berhubungan dengan penurunan mobilitas. 3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. 4. Inkontinensia urinarius stress berhubungan dengan tekanan intraabdomen tinggi.

C. Intervensi Keperawatan 1. Diagnosa Keperawatan 1 Risiko inkontinensia urinarius dorongan berhubungan dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan tidak adanya risiko inkontinensia urinarius dorongan. KH : Terlihat mampu mencapai toilet pada waktunya untuk menghindari keluarnya urine. Melaporkan tidak ada dorongan berkemih. Melaporkan kemampuan toilet pada waktunya untuk menghindari keluarnya urine. Pemahaman dan pengertian tentang risiko inkontinensia urine dorongan bertambah. Intervensi : 1. Orientasi pasien ke lokasi kamar mandi dan alat panggil. Berikan pencahayaan yang adekuat di dalam kamar mandi. Rasional: untuk membantu pasien terhindar dari kecelakaan selama malam hari.

2. Jelaskan semua pemeriksaan dan prosedur kepada pasien. Fasilitasi pasien untuk mengajukan pertanyaan, dan jawab dengan jujur. Berikan privasi untuk diskusi apapun. Rasional : memberikan kesempatan untuk bertanya, agar dapat memberikan suatu solusi dan pengertian lebih lengkap terhadap keluhan yang klien rasakan.

Inkontinensia Urine | 13

3. Jelaskan rutinitas latihan berkemih dan dipasang jadwal tersebut. Bantu pasien yang mendapat latihan berkemih untuk latihan napas dalam. Berikan penguatan positif yang cukup. Rasional : latihan napas guna menunda desakan berkemih, dan melatih pengeluaran urine untuk semua upaya kea rah kontinensia. 4. Bantu pasien memasukkan spiral, sesuai program. Jika kateterisasi intermiten diprogramkan, lakukan tepat waktu dan dokumentasikan jumlah urine yang kembali tertampung. Rasional : untuk mengetahui balance cairan yang mana intake seimbang dengan keluaran urine yang di ukur melalui penampung kateter. 5. Kolaborasi berikan antibiotic dan obat lainnya, sesuai program. Rasional : mencegah terjadinya infeksi.

2. Diagnosa Keperawatan 2 Risiko konfusi akut berhubungan dengan penurunan mobilitas. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan tidak adanya risiko konfusi akut. KH : Tidak terjadi keterbatasan aktivitas. Sosialisasi terjalin dengan baik. Intervensi : 1. Latihan kekuatan dengan latihan kegel. Rasional : untuk memperkuat spinkter otot panggul. 2. Ajarkan untuk mengurangi tekanan intraabdomen. Rasional : untuk mengontrol keluaran urine yang secara terus-menerus. 3. Berikan motivasi untuk meningkatkan kontrol kandung kemih. Rasional : dengan motivasi, klien merasa diperhatikan dan keinginan untuk meningkatkan control kandung kemih akan tercapai. 4. Ajarkan klien tehnik relaksasi. Rasional : untuk melemaskan otot-otot yang tegang.

Inkontinensia Urine | 14

3. Diagnosa Keperawatan 3 Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan tidak ada kelemahan fisik. KH : TTV dalam batas normal: S: 36,5-37,5oC, N: 60-80x/menit, TD: 100-130 mmHg, 60-90 RR: 12-20x/menit. Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan. Memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat di ukur. Intervensi : 1. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. Rasional : Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi. 2. Awasi TD, nadi, pernafasan selama dan sesudah aktivitas, catat respon tgerhadap tingkat aktivitas. Rasional: untuk mengetahui keseimbangan suplai oksigen dalam jaringan. 3. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. Rasional : Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat. 4. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat. Rasional : Tirah baring dapat menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respons individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernapasan. 5. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan. Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

Inkontinensia Urine | 15

4. Diagnosa Keperawatan 4 Inkontinensia urinarius stress berhubungan dengan tekanan intraabdomen tinggi. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan tidak terjadi inkontinensia urinarius stress. KH : Tidak terlihat adanya rembesan involunter sedikit urine saat batuk, bersin, tertawa. Melaporkan tidak ada rembesan involunter sedikit urine saat batuk, bersin, tertawa. Intervensi : 1. Berikan popok atau pampers. Rasional : untuk menampung urine yang keluar.

2.

Meminimalisir keadaan yang merangsang adanya respon batuk dan tertawa. Rasional : untuk mengontrol pengeluaran urine dengan jumlah sering.

3.

Ciptakan lingkungan yang bersih dan kondusif. Rasional : untuk mencegah terjadi rangsangan bersin.

D. Implementasi Keperawatan Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.

E. Evaluasi Diagnosa 1 a. Terlihat mampu mencapai toilet pada waktunya untuk menghindari keluarnya urine. b. Melaporkan tidah ada dorongan berkemih. c. Melaporkan kemampuan toilet pada waktunya untuk menghindari keluarnya urine. d. Pemahaman dan pengertian tentang risiko inkontinensia urine dorongan bertambah.

Inkontinensia Urine | 16

Diagnosa 2 a. Tidak terjadi keterbatasan aktivitas. b. Sosialisasi terjalin dengan baik.

Diagnosa 3 a. TTV dalam batas normal: S: 36,5-37,5oC, N: 60-80x/menit, TD: 100-130 mmHg, RR: 12-20x/menit. 60-90 b. Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan. c. Memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. d. Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat di ukur.

Diagnosa 4 a. Tidak terlihat adanya rembesan involunter sedikit urine saat batuk, bersin, tertawa. b. Melaporkan tidak ada rembesan involunter sedikit urine saat batuk, bersin, tertawa.

Inkontinensia Urine | 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Inkontinensia adalah salah satu penyakit yang dialami oleh lansia. Inkontinensia merupakan gangguan system perkemihan yang mana adanya otot spinger ureter. Penyebab lain yaitu kerusakan persarafan mengakibatkan seseorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung kemih secara efektif, keterbatasan gerak atau konfusi, adanya tekanan di dalam abdomen seperti bersin, batuk, pembesaran prostat. Ciri-ciri yang dapat dilihat yaitu pasien melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah berkemih, desakan, frekuensi, dan nokturia, dll. Penanganannya dapat dilakukan tergantung dengan penyebabnya.

Inkontinensia Urine | 18

DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddarth.2002.Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, vol.2.Jakarta:EGC

Potter&Perry.2010.Fundamental Keperawatan, Buku 3, edisi 7. Jakarta: Salemba Medika Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika Basuki B Purnomo.2009. Dasar-Dasar Urologi.edisi kedua.Jakarta: Sagung Seto Nanda International.2010.Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta:EGC

Inkontinensia Urine | 19

You might also like