You are on page 1of 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Metabolik 2.1.1. Definisi Sindroma Metabolik Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan secara langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler

artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototombik, dan proinflamasi (Semiardji, 2004). Saat ini berkembang beberapa kriteria definisi dari sindroma metabolik yang pada akhirnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi yang terjadi (Grundy S.M., 2006). Beberapa kriteria definisi sindroma metabolik yang sering digunakan antara lain WHO tahun 1998, European Group for The Study of Insulin Resistance (EGIR) tahun 1999, National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) tahun 2001, dan American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) tahun 2003 (Tjokroprawiro A., 2005).

2.1.2. Epidemiologi Sindroma Metabolik Di luar negeri, angka-angka statistik yang didapat dari prevalensi sindroma metabolik cukup mengejutkan. Menurut analisis AusDiab dengan menggunakan kriteria IDF, 29, 1% populasi dewasa di Australia terkena sindroma metabolik (Zimmet et al., 2005). Terdapat beberapa penelitian mengenai prevalensi sindroma metabolik di Indonesia. Di Semarang 297 penderita DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di poliklinik Endokrinologi RS Dr. Kariadi, 52, 2% pasien memenuhi kriteria WHO dan 73% memenuhi kriteria ATP III. Di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya didapatkan bahwa dari 100 orang, 29% memenuhi kriteria WHO dan 31% memenuhi kriteria ATP III (Tjokroprawiro A., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Di Makasar dilaporkan pada sebuah studi yang dilakukan John M.F. Adam pada Oktober 2002 hingga Januari 2003, dari 227 pria berumur 21- 81 tahun, 56,4% memenuhi kriteria ATP III (Adam M.F., 2005).

2.1.3. Etiologi Sindroma Metabolik Secara garis besar, terdapat kepentingan klinis dari kriteria-kriteria tersebut. Antara lain disebutkan oleh WHO pada tahun 1998 yang menekankan bahwa resistensi insulin merupakan penyebab primer dari sindrom metabolik. Selain itu, WHO juga mengizinkan penggunaan terminologi sindroma metabolik untuk digunakan pada pasien DM tipe 2 yang juga memenuhi kriteria lain (Tjokroprawiro A., 2005; Grundy S.M., 2006). Pada tahun 1999, EGIR mengajukan revisi dari definisi WHO. EGIR menggunakan terminologi sindroma resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005). Pada tahun 2001, NCEP ATP III tidak memasukkan resistensi insulin dalam kriteria (Tjokroprawiro A., 2005). Hal ini disebabkan sulitnya melakukan pengukuran dan standardisasi resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005). AACE pada tahun 2003 merevisi kriteria ATP III untuk kembali berfokus pada resistensi insulin sebagai penyebab primer dari faktor risiko metabolik. Kriteria mayor lainnya adalah toleransi glukosa terganggu, peningkatan trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, dan obesitas (Grundy SM, 2006).

2.1.4. Patogenesis Sindroma Metabolik Menurut ATP III komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari (Grundy S.M., 2006; Semiardji, 2004; Tjokroprawiro A., 2005) : a. obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan meningkatnya lingkar perut/pinggang. b. dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar HDL-C, peningkatan kadar trigliserid, dan small dense LDL.

Universitas Sumatera Utara

c. peningkatan tekanan darah berhubungan dengan obesitas dan biasanya terjadi pada resistensi insulin. d. resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma metabolik lainnya, dan berbanding lurus dengan risiko penyakit kardiovaskular. e. keadaan proinflamasi meningkatkan kadar hsCRP sebagai akibat dilepaskannya sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard. f. keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII. Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral (Tjokroprawiro A., 2005). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak

visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen

proinflamasi,

(Tjokroprawiro A., 2005). Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya et al., 2004).

2.1.5. Manifestasi Klinis Sindroma metabolik ATP III menyatakan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan manifestasi utama sindroma metabolik (Grundy S.M., 2006). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh NHANES yang menyebutkan bahwa sindroma metabolik memiliki hubungan kuat dan konsisten dengan infark miokard/stroke atau infark miokard dengan stroke (Ninomiya J.K. et al., 2004). ATP III juga menyebutkan bahwa sindroma metabolik memiliki hubungan dengan beberapa keadaan seperti policystic ovarii, fatty liver, batu empedu kolesterol, asma, sleep apnea, dan beberapa jenis kanker (Pranoto A., 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.2. Obesitas sebagai Faktor Risiko Sindroma Metabolik 2.2.1. Definisi Obesitas Obesitas merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor makanan, faktor genetik, faktor hormonal atau metabolisme, faktor psikologis dan faktor aktivitas fisik. Dalam setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, penyekat panas dan fungsi lainnya. Ratarata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibanding pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria (Arisman, 2008). Pada dasarnya obesitas berbeda dengan kelebihan berat badan atau overweight. Kegemukan dapat juga diartikan penimbunan lemak tubuh yang berlebihan sehingga berat badan remaja jauh diatas normal mencapai 20 % dari berat badan ideal, sedangkan kelebihan berat badan (overweight) adalah suatu keadaan terjadinya penimbunan lemak secara berlebih, hingga berat badannya mencapai 10%-20% dari berat badan ideal. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan total lemak tubuh >25% pada pria dan >33% pada wanita (Reilly J.J., 2006)

2.2.2. Epidemiologi Obesitas Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Flegal et al., 2001). Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998. Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan (Arisman, 2008)

2.2.3. Etiologi Obesitas Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas (Mahan et al., 2000). Faktor lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu, status sosial dan

Universitas Sumatera Utara

ekonomi juga dikaitkan dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade terakhir, hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena prevalensi obesitas meningkat secara drastis pada setiap kelompok status sosial ekonomi (Zhang, 2004). Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh (Mahan et al., 2000). Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity) (Vague J., 2006). Obesitas tubuh bagian atas merupakan penimbunan lemak tubuh di truncal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada truncal, yaitu truncal subcutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal (Tchernof A., 2007). Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah (Boivin et al., 2007). Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Bergman et al., 2001).

2.2.4. Pengukuran Antropometri sebagai Skrining Obesitas Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara. Metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran IMT (Indeks Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar pinggang dan lingkar panggul (Caballero B., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Sebuah studi menyatakan bahwa pengukuran lingkar leher dapat digunakan sebagai skrining obesitas yang mudah dan murah (Sjostrom et al., 2001). Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh:

a. IMT Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu BB/TB dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Caballero B., 2005). Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005) Kategori BMI (kg/m2) Resiko Comorbiditas 2 Underweight < 18.5 kg/m Rendah (tetapi resiko terhadap masalahmasalah klinis lain meningkat Batas Normal Overweight Pre-obese Obese I Obese II Obese III 18.5 - 24.9 kg/m2 > 25 kg/m2 25.0 29.9 kg/m 30.0 - 34.9kg/m > 40.0 kg/m2
2 2

Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya Sangat Berbahaya

35.0 - 39.9 kg/m2

b. Lingkar Pinggang IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan indikator terbaik untuk obesitas. Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang dan lingkar pinggul. (Grundy S.M., 2004). Jadi, setelah dilakukan pengukuran keduanya, akan dibuat suatu perbandingan atau rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul seperti tabel berikut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Nilai Perbandingan Lingkar Pinggang dan Lingkar Pinggul (Bell et al., 2001) Pengukuran PRIA WANITA Normal Besar Normal Besar Lingkar pinggang Perbandingan lingkar pinggang-pinggul 94-102cm 0.9 > 102cm 1.0 80-88cm 0.8 > 88cm 0.9

c. Lingkar Leher Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk skreening individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher sebagai index untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001). The North Association for The Study of Obesity menyatakan bahwa dari uji statistik, koefisien korelasi pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar leher dengan IMT (laki-laki, r=0,83; perempuan, r=0,71; masing-masing, p<0,0001) dan lingkar pinggang (laki-laki, r=0,86; perempuan, r=0,56; masingmasing, p<0,0001). Lingkar leher 37 cm untuk laki-laki dan 34 cm untuk wanita merupakan cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan IMT 25 kg/m2, lingkar leher 39,5 cm untuk laki-laki dan 36,5 cm untuk wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan obesitas (IMT 30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk perempuan (Liubov et al., 2001). Berikut tabel nilai perbandingan pengukuran lingkar leher dan lingkar pinggang :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3. Nilai Perbandingan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang (Liubov et al., 2001) Pengukuran Normal Lingkar leher Lingkar pinggang Perbandingan lingkar leher dan lingkar pinggang 38-40cm 94-102cm 0,39 PRIA Besar >40cm >102cm >0,39 WANITA Normal 34-37cm 80-88cm 0,44 Besar >37cm >88cm >0,44

2.3. Fisiologi Tekanan Darah Menurut Dorlan (2000) tekanan darah adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh jantung yang berkontraksi seperti pompa sehingga darah terus mengalir dalam pembuluh darah, kekuatan tersebut mendorong dinding pembuluh arteri (nadi). Tekanan darah dinyatakan dalam dua angka misalnya 120/80 mmHg. Angka 120 disebut dengan tekanan darah atas (sistolik) dan angka 80 disebut dengan tekanan darah bawah (diastolik). Tekanan sistolik menunjukkan tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berkontraksi, sedangkan tekanan diastolik adalah tekanan ketika jantung sedang berelaksasi. Menurut Arisman (2008) pada umumnya batas tekanan darah normal atau biasa disebut normotensi adalah 110/70 mmHg untuk wanita dan 120/80 mmHg bagi pria. Tekanan darah akan sedikit naik sesuai dengan pertambahan usia dan berat badan seorang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tekanan darah adalah kekuatan yang mendorong jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas atau pada saat melakukan aktifitas fisik. Setelah situasi ini berlalu tekanan darah akan kembali normal. Namun apabila tekanan darah tetap tinggi, maka inilah yang disebut dengan tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Universitas Sumatera Utara

Dalam buku-buku bahasa Inggris digunakan istilah Hypertension yang diambil dari kata latin hyper yang berarti super atau luar biasa dan kata tension yang juga dari bahasa latin tensio berarti tekanan atau tegangan. Istilah lain yang sering digunakan adalah High Blood Pressure yang berarti tekanan darah tinggi.Tekanan darah tinggi terjadi apabila suatu tekanan yang berlebihan menekan dinding pembuluh arteri. Sampai saat ini belum ada keseragaman pengertian mengenai tekanan darah tinggi dan angka pasti yang menjadi patokan seseorang terkena hipertensi (Sherwood, 2001)

2.4. Hipertensi sebagai Faktor Risiko Sindroma Metabolik 2.4. 1. Definisi Hipertensi Berikut ini ada beberapa definisi hipertensi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Dorlan (2000) hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tingginya tergantung umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu tergantung posisi tubuh, umur dan tingkat stres yang dialami. Baughman (2000) menyebutkan bahwa hipertensi dapat ditetapkan sebagai tekanan darah secara menetap dimana tekanan sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia hipertensi ditetapkan sebagai tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Selanjutnya WHO (2008) menjelaskan tekanan darah dianggap tinggi atau disebut hipertensi apabila mempunyai tekanan sistolik sama dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan atau lebih tinggi dari 95 mmHg. Jika pengobatan tidak dilakukan sedini mungkin hipertensi akan meningkat sedemikian sehingga dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti jantung, otak dan ginjal. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang tingginya tergantung umur individu yang terkena dan dapat disebabkan oleh beberapa faktor serta dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti otak, jantung dan ginjal.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Etiologi hipertensi Tonstad (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi merupakan kondisi degeneratif yang disebabkan oleh diet beradab dan cara hidup yang berbudaya. Menurut David (2004) faktor pemicu hipertensi dibedakan atas: a. Yang tidak dapat dikontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, umur. b. Yang dapat dikontrol, seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi garam dan konsumsi alkohol yang berlebih. Peningkatan tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet dan kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum-minuman yang mengandung kafein dan alkohol. Menurut Fasli (2008) faktor keturunan tidak lagi diragukan pengaruhnya terhadap timbulnya hipertensi hanya saja belum dapat dipastikan apakah ini disebabkan oleh sepasang gen tunggal atau oleh banyak gen. Bagi yang memiliki faktor resiko ini seharusnya lebih waspada dan lebih dini dalam melakukan upaya-upaya pencegahan. Contoh yang paling sederhana adalah rutin

memeriksakan darahnya minimal satu bulan sekali disertai dengan menghindari faktor pencetus timbulnya hipertensi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab penyakit hipertensi antara lain faktor keturunan, berat badan, diet, alkohol, rokok, obat-obatan dan faktor penyakit lain. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap kemunculan serangan hipertensi. Kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti pola makan yang tidak seimbang dengan kadar kolesterol yang tinggi, rokok dan alkohol, garam, minimnya olah raga dan porsi istirahat sampai stres dapat berpengaruh terhadap kemunculan hipertensi baik bagi seseorang yang belum maupun yang sudah terkena tekanan darah tinggi (Tonstad, 2007). Berdasarkan uraian di atas maka dapat digolongkan bahwa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi antara lain: a) Faktor fisiologis yang meliputi pola makan atau diet, kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti rokok dan

Universitas Sumatera Utara

alkohol, faktor genetik (keturunan), obesitas (kegemukan) dan berbagai macam penyakit, b) Faktor psikologis yang meliputi faktor stres dan manajemen stres.

2.4.3. Klasifikasi hipertensi Menurut Kaplan (2006), hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5 menit sampai 30 menit setelah merokok atau minum kopi. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan mejadi dua golongan antara lain:

a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya namun ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan terjadinya hipertensi tersebut antara lain: 1) Faktor keturunan, seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi, 2) Ciri perseorangan, ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur, jenis kelamin dan ras, 3) Kebiasaan hidup, yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi, kegemukan, makan berlebih, stres, merokok, minum alkohol, minum obat-obatan tertentu (misalnya prednisone dan epinefrine).

b. Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa penyakit antara lain: 1) Penyakit parenkim ginjal, 2) Penyakit renovaskuler, 3) Hiperaldeseronisme primer, 4) Sindrom Crusig, 5) Obat kontrasepsi dan 6) Koarktasio aorta. Berikut ini dipaparkan dalam table mengenai klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa berdasarkan JNC-VII (The Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure).Classification BP)*

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4. Classification of Blood Pressure (Kaplan, 2006) Category SBP mmHg DBP mmHg (Systolic Blood Presurre) (Diastolic Blood Presurre) Normal <120 and <80 Prehypertension Hypertension, Stage 1 Hypertension, Stage 2 120139 140159 160 or 8089 or 9099 or 100

2.4.4. Diagnosis hipertensi Sherwood (2001) menyatakan bahwa tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama lima menit. Misalnya diperoleh angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak dua kali pada dua hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi tetapi digunakan juga untuk menggolongkan beratnya hipertensi. Setelah diagnosis ditegakkan dilakukan pemeriksaan terhadap organ utama terutama pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal. Pemeriksaan untuk menentukan penyebab dari hipertensi terutama dilakukan pada penderita usia muda. Pemeriksaan ini bisanya berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongent dada serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu. Berdasarkan uraian di atas diagnosa hipertensi tidak bisa diberikan hanya dalam satu kali pengukuran. Untuk lebih meyakinkan adanya hipertensi diperlukan pengukuran tekanan darah sebanyak kurang lebih dua sampai tiga kali dengan dokter yang sama.

Universitas Sumatera Utara

You might also like