You are on page 1of 15

Financial Inclusion dalam Perspektif Ekonomi Islam: Studi Kasus Investasi Ustadz Yusuf Mansyur dan Investasi Emas

Berlabel Syariah1 Oleh: Khairunnisa Musari2


1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu aktual dalam industri perbankan dan keuangan nasional saat ini adalah financial inclusion. Visi dari program financial inclusion diarahkan untuk mewujudkan akses seluas-luasnya kepada layanan jasa keuangan, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia. Program National Strategy Financial Inclusion (NSFI) di Indonesia sesungguhnya telah dicanangkan bank sentral sejak 2010. Bahkan, sejak 1965, Indonesia sendiri sudah lama melaksanakan program yang dapat dikategorikan sebagai financial inclusion, yaitu program perkreditan untuk mendorong peningkatan pangan sekaligus menanggulangi kemiskinan. Mengacu survei World Bank tahun 2009, sekitar 32 persen atau 76 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa keuangan (financially excluded) dan sekitar 60-70 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum memiliki akses terhadap perbankan. Financial inclusion menjadi andalan bank sentral sebagai metode mengurangi tingkat kemiskinan Indonesia melalui peningkatan kemampuan individu dalam mengelola keuangannya. Konsep ini mengajak masyarakat untuk mengelola uang dan waktunya agar lebih produktif sehingga hasilnya dapat ditabung dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan. Dari 23 butir kebijakan NSFI, semuanya mengerucut pada lima aspek, yaitu kebijakan penguatan stabilitas moneter, kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan, kebijakan meningkatkan ketahanan perbankan, penguatan kebijakan makroprudensial, serta penguatan fungsi pengawasan. Melalui financial inclungan, otoritas berharap dapat meniadakan hambatan akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan sehingga tujuan akhir dari program ini, yaitu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia, dapat terwujud. Tabel 1 menunjukkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia tahun 2011 lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Mengacu pada target yang diproyeksikan, secara bertahap, hingga tahun 2014 diharapkan tingkat pengangguran akan turun di bawah pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tingkat kemiskinan, meski belum dapat berada di
1 Makalah ini disampaikan pada kegiatan sosialisasi dan edukasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kerjasama Risk Management International (RMI), Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Jember, dan Mahad Tahfizh Quran Ibnu Katsir Jember, tanggal 6 September 2013, dengan tema Financial Inclusion: Tugas dan Kewenangan OJK. 2

Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI).

bawah tingkat pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan terjadi penurunan di bawah satu digit.
Tabel 1: Target Indikator Makro pada RPJMN 2010-2014

Sumber: Brodjonegoro (2012)

Persoalan pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia salah satunya tidak lepas dari belanja negara yang tidak optimal. Gambar 1 menunjukkan rencana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) kementerian/lembaga (K/L) serta realisasinya sepanjang 2005-2011 yang mengindikasikan ketidakmampuan menyerap anggaran secara optimal. Rata-rata penyerapan belanja K/L berkisar 85%. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan ini adalah masalah internal K/L, mekanisme pengadaan, mekanisme revisi, pengadaan tanah serta faktor lainnya seperti iklim, geografis, faktor kehati-hatian serta keterbatasan kapasitas pihak ketiga di daerah.

Gambar 1: Rencana dan Realisasi APBN K/L 2005-2011


Sumber: Brodjonegoro (2012)

Banyak faktor yang menyebabkan pengentasan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Faktor lain yang turut menghambat keberhasilan upaya penanganan kemiskinan dan pemerataan di Indonesia, diantara: (1) Belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar Pulau Jawa, daerah terpencil, dan daerah perbatasan. Padahal, sekitar 63,5 persen penduduk miskin hidup di daerah pedesaan. Persentase kemiskinan di luar Pulau Jawa termasuk Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua juga lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. (2) Kemiskinan sangat terkait dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar. (3) Masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi, bencana alam, dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. (4) Kondisi kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok. Fluktuasi ini berdampak besar pada daya beli masyarakat miskin.
2

Gambar 2 menunjukkan belanja negara untuk sejumlah program prioritas yang menunjukkan tren peningkatan. Belanja negara untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki alokasi anggaran yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan pemerintah sebagai otoritas fiskal telah berupaya untuk melakukan pengentasan kemiskinan dan pemerataan pada layanan yang menyentuh langsung hidup masyarakat.

Gambar 2: Belanja Negara untuk Program Prioritas


Sumber: Brodjonegoro (2012)

Dalam mengelola perekonomian negara, maka kebijakan otoritas fiskal dan moneter merupakan ujung tombak yang tidak bisa terpisahkan. Keduanya harus saling bersinergi dan bekerja simultan. Salah satu program yang patut menjadi prioritas bagi otoritas moneter dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia adalah financial inclusion dengan mengedepankan financial literacy sebagai sarana edukasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Di Indonesia, tingkat financial literacy masih sangat rendah bila dibanding negaranegara sekawasan Asia Tenggara. World Bank tahun 2009 mencatat hanya sekitar 33% penduduk di Tanah Air yang sudah bersentuhan dengan bank. Bila lebih dikhususkan ke usia produktif, jumlahnya menurun menjadi hanya 20%. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, upaya untuk meningkatkan financial literacy di Indonesia membutuhkan kerja yang lebih keras, berkesinambungan, dan waktu lebih panjang. Hal ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa Indonesia masih memiliki potensi yang besar bagi industri
3

keuangan, utamanya perbankan, untuk mengelolanya, terlebih dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk perbankan tahun 2020. Berdasarkan hal tersebut, maka Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter meyakini program NSFI dalam kurun lima tahun sejak pencanangannya merupakan cara utama untuk meningkatkan financial literacy guna peningkatan kemampuan individu dalam mengelola keuangannya. Sebagai bagian dari financial inclusion, maka sektor perbankan sebagai mayoritas kegiatan jasa keuangan di Indonesia menjadi frontliner bagi program tersebut. Strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan financial inclusion meliputi lima pilar, yaitu edukasi keuangan, meningkatkan eligibilitas keuangan, regulasi yang mendukung, peningkatan fasilitasi intermediasi, serta reformasi kebijakan yang meliputi perlindungan nasabah, agent banking, dan phone banking. Ke depan, industri keuangan, utamanya perbankan, harus memetakan potensi masyarakat dan sektor usaha yang menjadi sasaran dari program financial inclusion. Apalagi, seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah serta masih dominannya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum mengakses perbankan, maka dibutuhkan keberpihakan dan strategi yang komprehensif dari industri keuangan untuk memperluas akses layanan jasa bagi masyarakat, utamanya dalam mempersiapkan produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan tabungan dan investasi bagi masyarakat. Tabel 2 menunjukkan jumlah usaha dan kontribusi lapangan kerja di Indonesia berdasarkan Sensus Ekonomi 2006. Usaha mikro mendominasi seluruh sektor usaha sebesar 83,25% dengan jumlah pekerja di dalamnya hingga 62,51%. Berikutnya sektor usaha kecil menguasai 15,78% dengan jumlah pekerja di dalamnya sekitar 21,36%. Lalu disusul secara berturut-turut sektor usaha menengah dan sektor usaha besar.
Tabel 2: Jumlah Usaha dan Kontribusi Lapangan Kerja
Kategori Usaha Mikro Permanen Tidak Permanen Usaha Kecil Permanen Tidak Permanen Usaha Menengah Permanen Tidak Permanen Usaha Besar Permanen Tidak Permanen Tidak Dapat Diklasifikasikan Permanen Tidak Permanen Jumlah Sumber: Sensus Ekonomi (2006) Jumlah Usaha 18,928,220 10,336,514 8,591,706 3,587,574 2,400,168 1,187,406 164,839 160,205 4,634 44,048 43,459 589 12,107 12,107 0 22,736,788 Persentase Usaha (%) 83.25 45.46 37.79 15.78 10.56 5.22 0.72 0.70 0.02 0.19 0.19 0.00 0.05 0.05 0.00 100.00 Jumlah Pekerja 31,047,663 21,447,768 9,599,895 10,608,535 8,942,571 1,665,964 3,050,067 3,038,318 11,749 4,761,776 4,760,083 1,693 202,126 202,126 0 49,670,167 Persentase Pekerja (%) 62.51 43.18 19.33 21.36 18.00 3.35 6.14 6.12 0.02 9.59 9.58 0.00 0.41 0.41 0.00 100.00

Secara keseluruhan, hal ini mengindikasikan bahwa sektor UMKM mendominasi sektor perekonomian di Indonesia. Adapun produk jasa lembaga keuangan yang berhasil diakses UMKM sebagian besar masih berupa kredit modal kerja dan sangat terbatas untuk kredit investasi. Hal ini disebabkan oleh sulitnya memenuhi persyaratan pinjaman, meskipun jenis usaha yang digeluti UMKM sebenarnya layak dan memiliki potensi besar. Tuntutan sektor perbankan terhadap UMKM untuk memenuhi persyaratan bankable menyebabkan UMKM masih kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan. Secara umum, permasalahan ini timbul karena kedua belah pihak tidak mempunyai standar manajemen yang sama. Di satu pihak, sebagian besar karakter UMKM bersifat informal atau tidak memiliki badan hukum resmi, belum menjalankan bisnisnya dengan prinsip-prinsip manajemen modern, serta memiliki aset yang terbatas. Di lain pihak, dengan tujuan untuk menekan resiko kredit, lembaga perbankan mensyaratkan para calon nasabahnya untuk memiliki prinsip-prinsip bisnis atau manajemen modern (formal), antara lain mempunyai izin usaha resmi, mempunyai aset yang cukup sebagai jaminan kredit serta mempunyai pembukuan perusahaan yang rapi dan sebagainya. Untuk mendekatkan jarak antara UMKM dengan perbankan, atau memberikan kemudahan UMKM dalam mengakses modal, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya. Mulai tahun 1973 pemerintah melaksanakan program kredit KIK (kredit investasi kecil) dan KMKP (kredit modal kerja permanen). Akibat mengalami kredit macet yang cukup tinggi, pada tahun 1990 program ini dihentikan. Sebagai ganti program KIK/KMKP, mulai tahun 1990 pemerintah melaksanakan program KUK (kredit usaha kecil). Pada kenyataannya program inipun tidak berhasil menumbuhkan UMKM seperti yang diharapkan, dan oleh karenanya pada tahun 1998 program ini juga dihentikan. Setelah progam KUK dihentikan, sampai saat ini pemerintah belum menggulirkan kebijakan permodalan yang secara khusus ditujukan untuk UMKM. Jika dulu UMKM yang mengajukan kredit ke perbankan cukup dengan kelayakan usaha, saat ini mereka harus menyertakan jaminan minimal 20% dari plafon kredit. Syarat demikian dinilai makin menyulitkan UMKM. Bank Indonesia (BI) meyakini bahwa 40 juta usaha kecil tidak mempunyai akses pada layanan perbankan, terutama bank komersial. Keadaan ini cenderung membuat UMKM mencari alternatif sumber pembiayaan praktis dan cepat meskipun dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Lembaga keuangan mikro (LKM), baik yang ditangani secara formal oleh lembaga perbankan maupun institusi-institusi lain, semestinya makin diperkuat untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi UMKM. Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas operasionalisasi LKM, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada 11 Desember 2012 telah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM menjadi UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM. Ke depan, pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan didelegasikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Bila pemerintah kabupaten/kota belum siap, maka OJK dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada pihak lain yang ditunjuk. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada LKM, pemerintah daerah dan/atau LKM dapat membentuk lembaga penjamin simpanan LKM. Selanjutnya, LKM wajib bertransformasi menjadi bank, jika LKM terkait melakukan kegiatan usaha melebihi 1 wilayah
5

kabupaten/kota tempat kedudukan LKM, atau telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan OJK. Dalam hal ini, OJK, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga akan melakukan inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum dan harus diselesaikan paling lambat 2 tahun terhitung sejak UU LKM berlaku. Berikutnya, dalam rangka memberi perlindungan terhadap konsumen guna menghindari penipuan berkedok investasi, OJK menerbitkan peraturan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan untuk melindungi konsumen dari kecurangan, penyimpangan dan penyesatan dan pengaburan informasi yang dilakukan pelaku usaha jasa keuangan. Terdapat sejumlah prinsip dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha jasa keuangan. OJK memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha ini bila melanggar, baik berupa peringatan tertulis, denda sampai pembekuan dan pencabutan izin kegiatan usaha.

2. KAJIAN LITERATUR Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan ekonomi syariah. Fenomena ini, jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional economics (NIE), pandangan tersebut mendekati kebenaran. Dalam ekonomi Islam, isu pertumbuhan ekonomi serta pengurangan tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan merupakan salah satu filosofi yang sudah digaungkan sejak munculnya Islam. Perintah untuk mendistribusikan kekayaan agar tidak berputar dalam kelompok masyarakat menjadi legitimasi dalam ekonomi Islam bahwa uang harus digunakan pada sektor produktif agar dapat menggerakkan perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan moneter Islam dapat tercermin dari up and down-nya sektor riil karena menggunakan mekanisme velocity of money. Quantity Theory of Money sesungguhnya merupakan pemikiran yang berabad-abad sebelumnya telah digagas oleh pemikir muslim, Taqiyuddin Ahmad Al-Maqrizi. Al-Maqrizi telah mencoba menghubungkan pasokan uang dengan tingkat inflasi sehingga tercetus bahwa velocity of money adalah jawaban untuk mereduksi inflasi. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, Siapa saja yang memiliki uang, hendaklah ia menginvestasikannya. Dan siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya. Diriwayatkan pula dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang tidak menjadi milik seseorang, maka ia lebih berhak (atas tanah itu). Hal ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa ekonomi Islam mengajarkan agar seluruh komponen modal dapat digunakan pada kegiatan produktif dalam rangka menggerakan perekonomian dan mendorong velocity of money.
6

Pemikir Ibnu Khaldun pun pernah menyatakan bahwa kekayaan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya serta neraca pembayaran yang sehat, di mana neraca pembayaran yang sehat adalah konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi. Hal ini juga kian menegaskan bahwa ekonomi Islam sangat mendorong agar uang dan sektor riil saling berinteraksi. Chapra (2000b) menceritakan, di masa lalu, setelah Islam menghapus riba dan mengorganisasi keseluruhan produksi dan perdagangan berdasarkan mudarabah dan syirkah, kegiatan ekonomi di dunia Islam saat itu mengalami peningkatan kemakmuran. Kemampuan mengkombinasi beberapa faktor politik dan ekonomi, termasuk kemampuan memobilisasi sumber-sumber daya finansial yang memadai, menjadi faktor utama bagi kemakmuran ini. Mudarabah dan syirkah adalah dua metode mobilisasi yang menjadikan perdagangan dan industri sebagai keseluruhan mata air sumber moneter bagi dunia Islam abad pertengahan. Saat ini, Islamic banking and finance menjadi fenomena yang bersifat lintas negara, budaya, dan agama. Penerimaan banyak negara nonIslam terhadap kelembagaan ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi dan keuangan Islam bersifat universal. Di Indonesia, perbankan syariah merupakan motor penggerak sistem ekonomi dan keuangan Islam. Meski tumbuh lambat, pangsa pasar bank syariah di Indonesia diperkirakan akan mencapai 20% dalam kurun 2015-2020 sebagaimana Gambar 3.
25

between 2015-2020
20

15

Market Share Islamic Banks


10

early 2013

Sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas dan terbesar di dunia, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat muslim di Indonesia mendominasi kantong-kantorng kemiskinan. Gerakan pengentasan kemiskinan bagi umat Islam akan menurunkan secara signfikan tingkat kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika perbankan syariah turut andil dalam menjaring lembaga-lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan untuk bersama-sama mengembangkan kegiatan ekonomi dalam rangka pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi syariah.

Oct-01

Oct-02

Oct-03

Oct-04

Gambar 3: Future Market Share


Sumber: Ismal (2012)

Oct-05

Oct-06

Oct-07

Oct-08

Oct-09

Oct-10

Oct-11

Oct-12

Oct-13

Oct-14

Oct-15

Oct-16

Gambar 4 menunjukkan hubungan antara lembaga dalam industri perbankan syariah di Indonesia. Bank konvensional dimungkin untuk mendirikan unit usaha syariah (UUS). Bersama dengan bank umum syariah (BUS), UUS dapat melakukan linkage program terhadap Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan lembaga keuangan mikro seperti Baitul Mal Tamwil (BMT). BUS dan UUS juga dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan sektor UMKM. Hubungan antara lembaga di Indonesia ini terbilang unik dan tidak dapat ditemukan dalam industri perbankan di negara lain. LKM mendampingi BUS, UUS, dan BPRS inilah yang menjadi ujung tombak dalam membumikan sistem ekonomi dan keuangan Islam di tanah air untuk mengakses masyarakat muslim yang menjadi target sasaran program financial inclusion dan financial literacy.

Gambar 4: Linkage Among Institutions


Sumber: Ismal (2012)

Ke depan, OJK bersama Kemenkeu RI dan BI diharapkan dapat terus mendorong program financial inclusion dan financial literacy di Indonesia, utamanya dalam mendorong keberpihakan perbankan dan pasar keuangan terhadap sektor riil dengan memberi kesempatan bagi semua jenis sektor usaha untuk mengakses layanan jasa keuangan. Hal ini mengingat perbankan pada prakteknya juga memiliki peran dalam menghambat proses penyerapan likuiditas di sektor riil sehingga membiarkan pasar keuangan mengalami bubble. Gap antara dana asing dengan dana domestik semakin besar akibat iming-iming suku bunga yang cukup tinggi. Dalam perspektif ekonomi Islam, mekanisme mengelola lack and excess of liquidity dalam konteks kekinian dapat menggunakan instrumen penyertaan modal, seperti sukuk, untuk mengelolanya. Instrumen ini harus mampu menjadi jembatan antara sektor keuangan dan sektor riil sehingga up and down perekonomian dan pasar keuangan tercermin dari kinerja sektor riil. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya pembalikan arah bila ekonomi global pulih dan suku bunga negara maju meningkat dapat tereduksi.
8

Secara keseluruhan, inklusi keuangan dalam perspektif ekonomi Islam sejalan dengan ekonomi mainstream, namun mekanisme yang digunakan berbeda. Hal ini mengingat filosofi ekonomi dan keuangan Islam menuntut adanya keseimbangan, keadilan, dan pemerataan dalam kegiatan perekonomian sehingga tools yang digunakan harus dapat menjadi alat distribusi untuk memenuhi tujuan tersebut.

3. STUDI KASUS Tidak bisa dipungkiri, pesatnya perkembangan pasar keuangan dan perbankan Islam menjadi motor penggerak dibumikannya sistem ekonomi Islam. Namun demikian, tidak sedikit yang menjadikannya sebagai alat komersil untuk menarik pasar sebesarbesarnya dengan mengabaikan filosofi yang sesungguhnya. Maraknya produk investasi yang berlabel syariah sepatutnya diapresiasi sebagai suatu bentuk inovasi untuk merekonstruksi produk-produk keuangan konvensional. Namun demikian, proses kehatihatian tak mustahil untuk terlalaikan. Pasalnya, untuk dapat melahirkan sebuah produk ekonomi, keuangan, dan perbankan Islam, membutuhkan integrasi pengetahuan tentang syariah Islam dan ekonomi Islam yang memadai. Pada tataran inilah, sangat dimungkinkan terjadi misleading karena penciptaannya terlahir pada sistem ekonomi kapitalis yang sistemik yang berpotensi menimbulkan friksi-friksi, bahkan tak jarang diinisiasi oleh itikat yang tak syari. 3.1 Kasus Investasi Ustadz Yusuf Mansyur3 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ~Pasal 33 UUD 1945 Ayat 1. Didasari oleh keinginan Ustadz Yusuf Mansyur (YM) untuk mensejahterakan umat Islam dan warga negara Indonesia ternyata berujung kontroversi. Gerakan patungan usaha ala Ustadz YM dilatarbelakangi oleh penilaiannya bahwa kondisi perekonomian Indonesia tidak memberi kesempatan pada masyakarat luas untuk menikmati kue pembangunan. Kontroversi patungan usaha menjadikan Ustadz YM bulan-bulanan. Setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menemui Ustadz YM, gerakan patungan usaha kemudian ditutup sementara waktu sembari memperbaiki sistem dan perijinannya. Meski saat ini gerakan tersebut dihentikan sementara sembari memperbaiki legalitas, polemik yang muncul di masyarakat masih belum surut. Sejumlah pihak meragukan kapabilitas bisnis investasi Ustadz YM. Tudingan bahwa bisnis ini bak investasi bodong, money game atau multi level marketing (MLM) membuat Ustadz YM seolah dipojokkan. Bahkan, tidak sedikit yang menyayangkan jika seorang tokoh agama berkecimpung di sektor investasi. Bisnis investasi dengan konsep patungan usaha ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM) menuai kontroversi. Jika disimak, isu penting yang harusnya dihadirkan adalah perihal mobilisasi dana masyarakat, yaitu bagaimana memberi perlindungan kepada dana publik
Studi kasus ini sudah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 25 Juli 2013. Artikel ini ditulis untuk merespon polemik di masyarakat, termasuk di dunia maya, terkait bisnis investasi ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM). Tulisan ini mencoba melihat persoalan dari perspektif berbeda. 9
3

10

tersebut. Di sinilah isu governance muncul, yaitu bagaimana mengelola benturan kepentingan antara pengelola dana dengan masyarakat yang menyerahkan dananya. Prinsip yang lazim digunakan adalah TARIF (Trasparency, Accountability, Responsibility, Integrity, dan Fairness). Ekonomi Konstitusi Semangat patungan usaha ala Ustad YM sesungguhnya sejalan dengan semangat ekonomi konstitusi. Setidaknya hal ini tercermin dari ciri-ciri ekonomi Pancasila. Mubyarto (1981) menyatakan ciri khas ekonomi Pancasila diantaranya adalah: (1) roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) adanya kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan pemerataan sosial dan sesuai asas-asas kemanusiaan; (3) prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh dimana nasionalisme menjiwai kebijaksanaan ekonomi. Menurut Bung Hatta (1963), sistem ekonomi Pancasila pada hakikatnya adalah sistem ekonomi berdasarkan sosialisme religius atau sosialisme Indonesia yang timbul dari tiga faktor. Pertama, karena suruhan agama. Etika agama yang menghendaki adanya rasa persaudaraan dan tolong-menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup. Hal ini pula yang mendasari Ustadz YM yang memunculkan konsep patungan usaha berdasarkan nilai-nilai agama. Sebagai catatan, sosialisme tidak harus merupakan marxisme dan tidak harus diartikan sebagai hasil hukum dialektika. Sosialisme dalam konteks ini adalah tuntutan hati nurani untuk memperjuangkan kemakmuran bagi semua orang. Kedua, sosialisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah. Penguasaan asing atas aset vital di negeri ini bukan isu baru. Patungan usaha ala Ustadz YM juga didasari oleh keresahan atas kaki tangan asing yang menguasai sektor-sektor yang menjadi hajat hidup orang banyak. Gerakan ini adalah gerakan sosial dan humanisme yang ingin bangsa Indonesia dapat menjadi tuan di rumah sendiri. Ketiga, pemimpin Indonesia seyogyanya mencari sumber-sumber sosialisme dalam masyarakat sendiri. Sosialisme menjadi tuntutan jiwa untuk mendirikan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan institusional, yang bersumber dari lubuk hati yang murni berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial dengan menjadikan agama sebagai penerangnya. Patungan usaha ala Ustadz YM secara jelas memperlihatkan corak kolektif sebagai sendi bangunan usaha sosial ekonominya. Lebih jauh, model koperasi yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia yang paling mendasar adalah filosofi yang dibangun oleh Ustadz YM dalam menjalankan patungan usaha. Model ini bukan ide baru. Founding fathers negeri ini telah menggaungkannya sejak Indonesia merdeka. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 juga menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sayangnya, sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan Indonesia memang sangat diametral. Di barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Dengan kekuatannya, koperasi di barat meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan internasional.
10

11

Secara keseluruhan, semangat patungan usaha Ustadz YM sesungguhnya sudah sejalan dengan ekonomi konstitusi di negeri ini. Orientasi kemandirian ekonomi yang dihembuskannya seiring dengan tuntutan riil ekonomi konstitusi. Sebagai seorang muslim, Ustadz YM juga tengah membumikan ekonomi Islam yang membawa pesan untuk meraih falah, yaitu kesejahteraan di dunia dan akherat. Perintah untuk mendistribusikan kekayaan agar tidak berputar dalam kelompok masyarakat tertentu menjadi legitimasi dalam ekonomi Islam bahwa uang harus digunakan pada sektor produktif agar dapat menggerakkan perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan moneter Islam dapat tercermin dari up and down-nya sektor riil karena menggunakan mekanisme velocity of money dan menggunakan konsep underlying asset. Dengan tetap mengapresiasi itikat baik yang melatarbelakangi penggalangan dana yang dilakukan Ustadz YM, tidak bisa dipungkiri, minimnya literasi keuangan bukan saja menjadi kelemahan Ustadz YM, tetapi juga bagi kebanyakan masyarakat yang berpolemik tanpa dasar sehingga isu yang mengemuka bak bola liar. Jelas, menyoal kasus ini, literasi keuangan (financial literacy) yang digaungkan bersama dengan program inklusi keuangan (financial inclusion) sudah mendesak untuk disosialisasikan secara masif. Literasi Keuangan Ilmu keuangan merupakan ilmu dinamis. Prakteknya menjadi keseharian bagi setiap orang. Literasi keuangan menjadi keniscayaan bagi setiap orang untuk dapat membuat keputusan keuangan serta mengoptimalkan instrumen dan produk keuangan yang tersedia. Secara sederhana, literasi keuangan adalah pengetahuan mengenai konsep-konsep dasar keuangan. Literasi keuangan mencakup beberapa aspek dalam keuangan, yaitu pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi (basic personal finance), manajemen uang (money management), manajemen kredit dan utang (credit and debt management), tabungan dan investasi (saving and investment), serta manajemen risiko (risk management). Literasi keuangan dibutuhkan agar setiap orang memiliki pengetahuan untuk mengelola sumber daya keuangan secara efektif demi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan individu dan produk keuangan yang semakin kompleks menuntut masyarakat untuk memiliki literasi yang memadai. Minimnya literasi keuangan dapat mengakibatkan rendahnya akses terhadap lembaga keuangan. Minimnya literasi keuangan juga dapat mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian keuangan karena tidak memahami resiko yang membayang dari produk atau instrumen keuangan yang dipilih. Ditambah lagi jika pada saat yang sama terjadi penurunan kondisi perekonomian. Perilaku masyarakat yang konsumtif juga menambah daya boros dari sistem ekonomi dan keuangan yang ada saat ini. Hadirnya OJK yang menaungi kegiatan investasi di Indonesia juga menjadi peta baru bagi masyarakat awam. Literasi keuangan terhadap produk dan regulasi di sektor keuangan tak semuanya dapat dipahami. Sosialisasi yang dilakukan OJK nyatanya masih belum cukup untuk mengedukasi masyarakat luas. Hal ini tercermin pula dengan Ustadz YM yang tidak mengetahui bahwa setiap penarikan dana masyarakat dengan memberikan imbal hasil adalah bentuk investasi. Sesuai aturan, investasi yang beranggotakan 50 orang ke atas wajib meminta izin OJK. Bila OJK belum mengeluarkan izin, maka sudah dapat dipastikan kegiatan investasi tersebut dilarang.
11

12

Edukasi Keuangan Edukasi keuangan (financial education) menjadi tantangan terbesar untuk meningkatkan literasi masyarakat dalam rangka inklusi keuangan. Edukasi adalah proses panjang yang mendorong setiap orang untuk memiliki rencana keuangan di masa depan demi mendapatkan kesejahteraan yang ingin dicapai. Era konsumsi dewasa ini cenderung membuat masyarakat menjadi kian tidak rasional dalam memenuhi keinginannya yang bukan menjadi kebutuhan. Melalui edukasi keuangan, diharapkan dapat terbangun perilaku keuangan (financial behaviour). Perilaku keuangan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperlakukan, mengelola, menggunakan, dan memaknai sumber daya keuangan yang ada padanya. Individu yang memiliki perilaku keuangan akan cenderung untuk memanfaatkan uang atau aset secara efektif, mulai dari membuat anggaran, menghemat uang, mengendalikan belanja, berinvestasi, serta membayar kewajiban tepat waktu untuk semua tingkat penghasilan. Lebih jauh, edukasi keuangan akan menghasilkan outcome berupa literasi keuangan yang baik. Tepat kiranya bila OJK memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa edukasi aturan pengelolaan dana kepada Ustadz YM atas kegiatan pengelolaan dananya, termasuk menjanjikan pendampingan dalam hal mengurus legalitas. Tidak bisa dipungkiri, literasi keuangan adalah hal mendesak dalam melindungi dana masyarakat. Sistem keuangan yang rentan akan munculnya mobilisasi dana manipulatif atau spekulatif yang beresiko tinggi menuntut masyarakat untuk paham akan karakter produk keuangan yang ditawarkan. Beragam jenis produk di pasar keuangan yang sarat moral hazard serta kerap menghadirkan asymmetric information menuntut literasi keuangan bagi masyarakat. Yang terpenting, urgensi literasi keuangan adalah sebagai pengetahuan bagi masyarakat dalam hal menyiasati keterbatasan sumber daya yang dimilikinya untuk dialokasikan pada berbagai kebutuhan secara efektif untuk memperoleh kesejahteraan yang diharapkan.

3.2 Kasus Investasi Emas Berlabel Syariah4 Emas memang selalu memikat. Nilainya yang terus meningkat dalam jangka waktu menengah dan panjang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Tak heran jika terus bermunculan perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa investasi emas. Termasuk pula salah satunya perusahaan berlabel syariah yang memberi penawaran imbalan hasil yang menggiurkan bagi investor (www.kontan.co.id, 18 Juni 2012). Harga emas tercatat mengalami kenaikan cukup tinggi mulai tahun 2001 dengan ratarata kenaikan sekitar 17%. Sebelumnya, kenaikan harga hanya di kisaran 6%. Banyak pihak yang meyakini bahwa emas tengah mengalami bubble. Hal ini didasari oleh kian maraknya

4 Studi kasus ini sudah pernah dimuat di Harian Kontan, 22 Juni 2012. Artikel tersebut ditulis sebagai respon atas pemberitaan di Harian Kontan berjudul Waspada, investasi emas berimbal hasil selangit! tentang investigasi Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang merupakan perusahaan investasi emas pertama yang memperoleh predikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

12

13

emas menjadi komoditas dan semakin kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan mengalami kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi. Dapat dipahami jika investasi emas menjadi tampak menarik karena apresiasinya jauh lebih besar daripada deposito atau sejenisnya. Gaung emas pun merambah industri jasa keuangan Islam. Kegiatan rahn dan qardh untuk emas di perbankan syariah menjadi motor penggeraknya. Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini telah mempunyai layanan gadai emas. Emas dalam sejarah ekonomi Islam memang mendapat perhatian besar. Wacana mata uang dinar yang banyak digaungkan para pelaku ekonomi Islam sebagai alat transaksi tidak lepas dari keunggulan nilai emas yang relatif stabil. Namun, stabil bukan berarti tidak mengalami inflasi. Nilai emas yang di-back up oleh intrisiknyalah yang menjadi dasar argumen emas lebih baik daripada fiat money. Namun demikian, keberadaan emas sebagai alat transaksi atau sebagai instrumen hedging harus dipisahkan dengan kinerja emas dalam konteks kekinian. Bubble emas yang tengah berlangsung saat ini terjadi karena adanya spekulan. Pengalaman 2008 menunjukkan perilaku investor dalam mengantisipasi krisis kredit yang menyebabkan pasar saham anjlok adalah dengan memborong emas. Yang terkini, aksi George Soros yang menambah portofolio logam mulianya hingga 273,96% pada Mei lalu. Aksi Soros mengundang pertanyaan mengingat harga emas saat itu sudah jatuh 8,1% per Maret dan tercatat sebagai penurunan terbesar sejak 2004. Fluktuasi Emas Jika sebuah perusahaan investasi emas berlabel syariah berani menawarkan imbal hasil fixed rate yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek, maka pertanyaan yang mengemuka adalah benarkah mekanisme yang ada sudah memenuhi prinsip syariah? Logika ekonomi tentu akan berbicara bahwa investasi emas akan memberi keuntungan jika harga emas mengalami kenaikan. Jika harga emas turun, maka investor akan mengalami kerugian. Dalam jangka menengah dan panjang, pengalaman di masa lalu mungkin dapat menjadi argumen untuk mengatakan harga emas ke depan memiliki tren kenaikan. Namun, dalam jangka waktu pendek yang kurang dari setahun, pengalaman menunjukkan bahwa emas juga mengalami fluktuasi yang mengikuti up and down perekonomian. Mungkin tak banyak yang mengingat bagaimana volatilitas harga emas bulanan dan tahunan selama 10 tahun terakhir. Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah terjadi sebesar 16% di bulan September 2008 ke Oktober 2008. Secara tahunan, penurunan harga emas tertinggi pernah terjadi hingga 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Mei 2012 lalu, kontrak emas berjangka untuk pengantaran Juni merosot 0,6%. Nilai ini adalah posisi terendah dalam empat bulan terakhir seiring dengan kekacauan politik yang kian memburuk di Yunani yang memberi sentimen positif terhadap US Dollar sebagai aset lindung nilai. Secara keseluruhan, bukti empirik ini menunjukkan bahwa fluktuasi emas cukup tajam dalam jangka waktu pendek. Kinerja emas saat ini bukanlah berbasis sektor riil murni yang dapat dipertanggungjawabkan kealamiahan penawaran-permintaannya. Emas sebagai
13

14

komoditas dan faktor spekulan adalah salah satu variabel laten utama yang mempengaruhi emas menjadi bubble. Pertanyaannya kemudian, jika yang terjadi ke depan adalah penurunan harga emas secara signifikan, lalu bagaimana perusahaan jasa investasi emas berlabel syariah itu dapat memenuhi janjinya untuk memberi bonus hingga 30% untuk kontrak setahun? Perspektif Islam Dalam peta industri jasa keuangan Islam, bisnis investasi emas boleh jadi termasuk dalam komponen pasar modal syariah. Jika dipetakan, industri jasa keuangan Islam meliputi tiga komponen utama, yaitu perbankan Islam, pasar modal Islam, dan takaful yang masing-masing di dalamnya terdiri dari beberapa subkomponen. Kecilnya pasar jasa keuangan Islam boleh jadi tidak memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri, pertumbuhannya yang pesat mendorong banyak sektor untuk turut menyandang label syariah demi mengakses pasar yang masih sangat besar. Sebuah kajian tentang dampak pergerakan harga emas kepada Capital Adequacy Ratio (CAR) individual bank Islam memberikan pesan penting. Skenario penurunan harga emas sebesar 25% dan 50% ternyata berpotensi menurunkan CAR sejumlah bank Islam hingga di bawah 8%. Kajian ini mengindikasikan bahwa industri jasa keuangan Islam pun rentan terhadap fluktuasi harga emas. Oleh karena itu, dapat dipahami jika iming-iming imbal hasil yang menggiurkan dari perusahaan investasi emas berlabel syariah menimbulkan dugaan adanya kegiatan spekulasi yang mengarah pada unsur maysir. Di kalangan ekonom Islam, memang masih terdapat perdebatan tentang praktek spekulasi berbasis maysir ini. Sebagian berpendapat bahwa maysir bermakna pengambilan risiko yang tidak mampu ditanggung. Sebagian lain berpendapat bahwa maysir adalah spekulasi yang tidak meningkatkan agregat pasokan barang dan jasa. Apapun itu, janji imbal hasil yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek memberi ruang besar untuk mempertanyakan keabsahan Islamic compliance dalam mekanisme investasi dan pemberian imbal hasil. Kalau sudah begitu, semoga saja Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat segera merespon kegiatan investasi tersebut melalui fatwanya untuk memperjelas keabsahannya.

DAFTAR PUSTAKA

BI, 2011. Gerai Info. Edisi XV. Juni 2011. Tahun 2. Newsletter Bank Indonesia (BI). Brodjonegoro, Bambang S., 2013. Branchless Banking Model: A Financial Inclusion Program. Sebuah paper yang dipresentasikan di pertemuan G 20 di Rusia. Diakses dari g20russia.ru/load/780988296. Brodjonegoro, Bambang S., 2012. Alokasi APBN dalam Mendukung Program Memberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan. Sebuah paper yang dipresentasikan di The 1st International Islamic Financial Inclusion Summit 2012. Surakarta. 18 Juli. Chapra, M. Umer, 2000a. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Economics Series: 21. United Kingdom (UK): The Islamic Foundation.
14

15

Chapra, M. Umer, 2000b. Sistem Moneter Islam. Terjemahan dari Towards a Just Monetary System. Cetakan Pertama. Jakarta: Gema Insani Press-Tazkia Institute. November. Haritsi, Jaribah bin Ahmad Al-, 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Terjemahan dari Al-Fiqh Al-Iqtishadi: Li Amiril Mukminin Umar ibn Al-Khaththab. Cetakan Pertama. Jakarta: KHALIFA. Oktober. Hatta, Mohammad, 1963. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hlm. 1-29. Ismal, Rifki, 2012. The Indonesian Islamic Banking: Performance and Outlook. Panel Discussion at Bakrie University. Jakarta. 6 February. Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Institutional Economic?. Opini. Harian Republika. 24 Januari. Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2013. Rentannya Gadai Emas di Bank Syariah. Opini. Harian Bisnis Indonesia. Hlm. 2. Mubyarto dan Budiono (ed.), 1981. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE-UGM. Hlm. 6-7. Musari, Khairunnisa, 2013. Investasi ala Ustadz Yusuf Mansyur: Mendesaknya Literasi Keuangan. Opini. Bisnis Indonesia. 25 Juli. Hlm. 2. Musari, Khairunnisa, 2012. Hasil Investasi Emas yang Menggiurkan. Opini. Harian Kontan. 22 Juni. Hlm. 23. Perwataatmadja, Karnaen A. & Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Cicero Publishing. Februari.

Sumber Internet: http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/29/financial-literacy-helping-overseasmigrant-workers-create-wealth.html. http://archive.bisnis.com/articles/financial-inclusion-ke-depan-praktiknya-dipimpinpemerintah. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113944. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333063.

15

You might also like