You are on page 1of 16

Referat Ensefalitis Anti Reseptor NMDA

Pembimbing dr. George Dewanto, Sp.S

Disusun oleh Veronika Stephani Anggraini S (2012-061-084)

Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA 2013
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Referat ini. Penulis menyadari Referat ini mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : dr. George Dewanto, Sp.S selaku pembimbing utama referat dr. Linda, Sp.S selaku penguji dan pembimbing kedua referat Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan Referat ini di kemudian hari. Penulis juga memohon maaf jika ada kata-kata penulis yang kurang berkenan. Akhir kata, penulis berharap agar Referat ini dapat bermanfaat. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, September 2013

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan .................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan .............................................................................................................................. 2 BAB II Isi ................................................................................................................................... 3 2.1. Definisi ............................................................................................................................ 3 2.2. Epidemiologi ................................................................................................................... 3 2.3. Etiologi ............................................................................................................................ 4 2.4. Faktor Risiko ................................................................................................................... 4 2.5. Patogenesis dan Patofisiologi .......................................................................................... 4 2.6. Manifestasi Klinis ............................................................................................................ 5 2.7. Diagnosa .......................................................................................................................... 7 2.8. Diagnosa Banding ........................................................................................................... 9 2.9. Tata Laksana .................................................................................................................. 10 2.10. Komplikasi .................................................................................................................. 10 2.11. Prognosis ..................................................................................................................... 11 BAB III Kesimpulan dan Saran ................................................................................................ 12 3.1. Kesimpulan .................................................................................................................... 12 3.2. Saran .............................................................................................................................. 12

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ensefalitis adalah inflamasi pada parenkim otak.1 Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Diantara etiologi tersebut, infeksi oleh virus merupakan etiologi yang paling banyak dan bisa menyebabkan infeksi yang luas.2 Namun beberapa tahun yang lalu diketahui terdapat penyebab ensefalitis lain yaitu ensefalitis yang disebabkan oleh autoimun. Dimana terdapat antibodi pada antigen membran ekstraseluler yaitu subunit NR1 yang merupakan bagian dari reseptor NMDA (n-Methyl-D-Aspartate). Ensefalitis anti reseptor NMDA adalah ensefalitis yang diperantai oleh proses imun. Pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus tidak ditemukan antibodi terhadap anti reseptor NMDA. Namun pada ensefalitis yang positif terhadap anti reseptor NMDA didapatkan beberapa gejala yang jarang didapatkan pada ensefalitis oleh virus seperti yang memiliki gejala seperti halusinasi, psikosis, perubahan kepribadian, dan iritabilitas.3 Hingga kini belum diketahui dengan pasti prevalensi dari ensefalitis anti reseptor NMDA. Namun pada suatu penelitian dikatakan bahwa 1% dari pasien yang masuk ke perawatan intensif adalah penderita ensefalitis anti reseptor NMDA. Prevalensi ensefalitis anti reseptor NMDA di Inggris adalah sekitar 4%, dimana ensefalitis anti reseptor NMDA merupakan ensefalitis yang diperantai proses imun kedua, setelah acute disseminated encephalomyelitis. Selain itu didapatkan bahwa 80% dari penderita ensefalitis anti reseptor NMDA adalah wanita, dengan 60% diantaranya memiliki teratoma. Hal ini membuat teratoma diduga memiliki peran dalam patogenesis dari ensefalitis anti reseptor NMDA. Ensefalitis anti reseptor NMDA harus dibedakan dengan ensefalitis yang disebabkan oleh etiologi lainnya karena selain manifestasinya yang cukup berbeda, fokus pengobatannya pun berbeda. Pada ensefalitis anti reseptor NMDA, akan diberikan imunoterapi dan deteksi maupun pengangkatan teratoma. Penyembuhan dari ensefalitis ini memerlukan waktu beberapa bulan, dimana diperlukan tim multidisiplin,termasuk di dalamnya adalah rehabilitasi fisik, terapi okupasi, berbicara, dan bahasa, maupun manajemen psikiatri. Prognosis dari ensefalitis anti reseptor NMDA bergantung pada seberapa cepat diagnosis dan terapi diberikan. Diperlukan pengetahuan yang cukup terutama pada gejala dan terapi pada ensefalitis anti reseptor NMDA agar pasien bisa memperoleh penanganan yang tepat sasaran.4 4

1.2. Tujuan Mengetahui mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tata laksana, komplikasi dan prognosis.

BAB II ISI

2.1. Definisi Ensefalitis adalah proses inflamasi pada otak yang menyebabkan disfungsi neurologi yang terjadi dengan onset akut dan gejala berkembang dengan cepat.6,7,8,9 Reseptor NMDA adalah reseptor ionotropik glutamat yang terdiri dari 2 subunit NR1 (GluN1) dan 2 subunit NR2/3 (GluN2/3). Nantinya subunit ini akan berikatan dengan glutamat dan membentuk ikatan dengan asam amino. Reseptor NMDA penting dalam proses belajar dan memori. Penurunan fungsi reseptor NMDA dapat menimbukan gejala mirip skizofrenia, sedangkan peningkatan aktivitas pada reseptor NMDA akan berkaitan dengan kondisi demensia atau kejang.10 Ensefalitis anti reseptor NMDA adalah penyakit inflamasi otak dimana terjadi proses autoimun dengan sasaran subunit dari NMDA yaitu NR1 dan mengakibatkan beberapa gejala.4,5,7,10 Gejala pada ensefalitis anti reseptor NMDA dapat meliputi gejala psikiatri ataupun gejala inflamasi sistem saraf pusat.7

2.2. Epidemiologi Hingga kini angka kejadian ensefalitis anti reseptor NMDA pada anak-anak dan dewasa belum diketahui secara pasti. Pada suatu penelitian retrospektif ditemukan bahwa 1% dari pasien dewasa dengan ensefalitis yang tidak diketahui dengan pasti sebabnya di ruang intensif memiliki antibodi terhadap reseptor NMDA. Pada penelitian prospektif di Inggris, ditemukan bahwa 4% pasien ensefalitis merupakan pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA.4,5 Ensefalitis anti respetor NMDA merupakan ensefalitis autoimun yang paling banyak ditemukan dibandingkan ensefalitis autoimun yang lain.5 Penelitian The California Encephalitis didapatkan data bahwa 10 dari 20 pasien ensefalitis positif terhadap anti reseptor NMDA dan menunjukan hasil negatif pada pemeriksaan terhadap virus. Pada penelitian ini rata-rata usia sampel nya adalah 18,5 tahun dengan predileksi penduduk Asia dan kepulauan di Pasifik. Pada beberapa penelitian didapatkan 40-55% penderita ensefalitis anti reseptor NMDA berusia kurang dari 18 tahun.4 Sekitar dari 80% dari pasien ensefalitis anti reseptor NMDA adalah perempuan.11

2.3. Etiologi Secara umum etiologi ensefalitis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu infeksi dan sistem imun. Pada ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi, agen infeksi yang paling banyak ditemukan adalah virus. Pada ensefalitis yang diperantarai oleh sistem imun, proses imun bisa terjadi karena proses imun akibat infeksi sebelumnya ataupun akibat reaksi terhadap agen non infeksius, misalnya tumor. Ensefalitis anti reseptor NMDA sendiri merupakan salah satu ensefalitis yang disebabkan oleh sistem imun.6 Ensefalitis anti reseptor NMDA pertama kali diteliti lebih lanjut pada tahun 2005, dimana pada saat itu ada laporan kasus wanita dengan teratoma ovarium yang memiliki sindrom gangguan neurologi berupa defisit memori, gejala psikiatri, penurunan kesadaran, dan hipoventilasi. Sesudah diteliti lebih lanjut, ditemukan bahwa pada kasus tersebut terdapat antibodi spesifik pada otak yang menyerang reseptor NMDA, antibodi inilah yang diduga menyebabkan munculnya sindrom tersebut.5,7

2.4. Faktor Risiko Faktor resiko yang diduga mampu mencetuskan munculnya autoantibodi yang

menyerang NMDA reseptor adalah tumor atau teratoma. Berdasarkan data statistik dari beberapa penelitian didapatkan bahwa banyak penderita dari penyakit ini adalah perempuan berusia kurang dari 18 tahun dan memiliki teratoma ovarium. Namun makin muda pasien, makin sedikit tumor yang teridentifikasi.5,11

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Pada ensefalitis anti reseptor NMDA terbentuk suatu autoantibodi yang menyerang reseptor glutamat NMDA. Target utama dari antibodi pada ensefalitis anti NMDA reseptor adalah NR1 yang merupakan subunit dari NMDA. Hal ini akan membuat permukaan reseptor NMDA berkurang dikarenakan antibodi akan berikatan dengan NR1.4,10 Antibodi yang telah berikatan ini akan merusak reseptor NMDA.10 Antibodi ini dapat ditemukan di serum atau cairan serebrospinal. Pada pasien dengan ensefalitis anti NMDA reseptor tidak ditemukan patogen yang menyebabkan ensefalitis pada limbik.4 Sesudah aktivasi respon imun terdapat ekspansi respon imun di sistem saraf pusat. Adanya antibodi di sistem saraf pusat diduga karena ada kerusakan pada sawar darah otak, sehingga antibodi yang disintesis sel plasma bisa menyerang sistem saraf pusat. Kerusakan sawar darah otak ini mungkin disebabkan oleh penyakit prodromal lainnya. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, diduga proses autoimun pada ensefalitis anti reseptor NMDA terjadi di daerah hipokampus dan kortikal.10,11 Diduga hampir tidak 7

terjadi reaksi imun pada serebelum. Hal ini dikaitkan dengan jumlah NR2 yang lebih banyak ditemukan pada hipokampus dan kortikal. Walaupun antibodi berikatan pada NR1, namun diduga NR2 juga turut serta dalam proses ikatan antibodi dengan NR1.10 Reseptor NMDA berperan pada proses plastisitas sinaptik. Plastisitas sinaptik diduga berperan untuk mekanisme memori, belajar dan kognisi.12 Diduga dengan adanya penurunan reseptor NMDA, inhibisi oleh GABA dan sinaps glutamat mengakibatkan disinhibisi dari jalur eksitatori dan peningkatan kadar glutamat di ekstraseluler. Keadaan ini menyebabkan kerja frontostriatal terganggu dan menyebabkan munculnya gejala psikosis, katatonia, rigiditas, distonia, dan mutisme. Apabila keadaan ini terjadi pada batang otak maka akan muncul gejala berupa gangguan gerak yang kompleks dan gangguan pernapasan yang bisa menimbulkan disfungsi respirasi.4 Perjalanan penyakit dari ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki beberapa tahap, dimana tahapan ini dapat berakhir pada penyembuhan yang sempurna atau terbatas, ataupun kematian.13 Sindrom pada ensefalitis bergantung pada progresivitas dari penurunan jumlah reseptor NMDA yang tersedia. Makin sedikit jumlah reseptor NMDA yang mampu berfungsi dengan normal, maka ensefalitis anti reseptor NMDA yang diderita akan bertambah parah.4,7 Tumor diduga dapat meningkatkan respon imun terhadap reseptor NMDA dengan cara menurunkan toleransi imun. Walaupun tumor dapat berperan pada patogenesis dari ensefalitis anti reseptor NMDA, penyakit ini masih dapat terjadi tanpa ditemukannya tumor.4 Ada atau tidaknya tumor tidak mempengaruhi tingkat keparahan ensefalitis anti reseptor NMDA.5

2.6. Manifestasi Klinis a. Gejala Prodromal 70% dari pasien ensefalitis anti reseptor NMDA mengalami fase prodromal. Gejala prodromal yang dialami adalah flu like syndrome, seperti demam, malaise, nyeri kepala, rhinitis, mual, muntah, dan diare.
4,5

Gejala ini biasanya berlangsung

hingga 5 hari, namun dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu sebelum gejala pada fase selanjutnya muncul.

b. Gejala Psikiatri Selanjutnya dalam waktu sekitar 2 minggu, pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA akan mulai menunjukan gejala psikiatri, seperti cemas, paranoia, ketakutan, psikosis, mania, dan insomnia. Pada fase psikotik ini biasanya pasien memeriksakan 8

diri ke psikiater dan terdiagnosis sebagai psikosis akut atau skizofrenia. Gejala disregulasi mood dan depresi dapat berkembang ke gangguan perilaku dan kepribadian, delusi, atau gangguan berpikir, ide paranoid, dan halusinasi.4,13 Delapan puluh lima persen pasien dewasa dengan ensefalitis anti reseptor NMDA awalnya ke psikiater untuk keluhan seperti kecemasan, agitasi, dan halusinasi auditori dan visual. Pada penelitian ensefalitis anti reseptor NMDA pada anak, 87% dari sampel menunjukan adanya perubahan perilaku seperti tantrum, hiperaktif, dan iritabel ataupun perubahan kepribadian. Pada kasus ensefalitis anti reseptor NMDA pada remaja perempuan ditemukan adanya mania akut dengan psikosis.4,5 Gejala psikiatri pada ensefalitis anti reseptor NMDA seringkali mendominasi keadaaan klinis pasien.9

c. Gejala Neurologi Gejala neurologi biasanya muncul sesudah onset 1 bulan.9 Gejala neurologi utama yang bisa muncul pada anak adalah gangguan gerak, bangkitan, dan gangguan kognitif. Gejala lain yang sering muncul pada ensefalitis anti reseptor NMDA dewasa adalah gangguan otonom dan tidur. Gangguan gerak yang sering terjadi pada anak dengan ensefalitis anti reseptor NMDA adalah diskinesia orofasial, koreoatetosis, dan distonia. Pada beberapa kasus ditemukan pula opistotonus dan krisis okulogirus dan rigiditas. Diskenesia orofasial adalah gerakan seperti mengunyah, menggigit lidah, lip smacking, dan facial grimacing. Keadaan opistotonus, distonia, dan krisis okulogirus berhubungan dengan takikardi dan hipertensi. Bangkitan berupa kejang parsial, kejang generalisata, dan status epileptikus dapat terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA. Namun diantara bangkitan ini, kejang parsial merupakan bangkitan yang sering terjadi. Epilepsi dengan onset pada wanita usia muda dan remaja dapat merupakan manifestasi klinis dari ensefalitis anti reseptor NMDA. Gangguan kognitif berupa kehilangan ingatan jangka pendek, penurunan kemampuan berbicara, dan ekolalia sering ditemukan pada ensefalitis anti reseptor NMDA. Gejala ini sering diikuti dengan penurunan kesadaran dan periode agitasi dan katatonik. Keadaan di mana pasien dalam keadaan tidak responsif dengan hipoventilasi, instabilitas otonom, dan diskinesia merupakan tahapan sesudah fase psikotik. Pada tahapan ini pasien dalam keadaan membuka mata namun tidak responsif pada rangsangan visual. Pasien biasanya diam atau hanya bergumam kata-kata yang tidak 9

jelas. Tonus otot meningkat dan status katatonik dengan distonik dan postur kataleptik bisa terjadi. Diskinesia dimulai dari wajah atau mulut dan bermanifestasi dengan menggeretakkan gigi atau distonia rahang. 4

d. Disfungsi Otonom Gejala disfungsi otonom berupa takikardi, hipertensi, dan hipertermia banyak terjadi pada kasus ensefalitis anti reseptor NMDA pada anak.4 Gejala seperti hipotensi, hipotermia, disfungsi ereksi, dan retensi urin juga dapat terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA.11 Instabilitas otonom dan disritmia pada kelompok usia dewasa terjadi lebih berat dibanding pada kelompok anak. Hipertermia sebagai gejala pada ensefalitis anti reseptor NMDA dapat digunakan untuk mengeksklusikan penyakit infeksi. Hipersalivasi dan inkontinensia urin juga sering terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA.4,11 Pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA biasanya memiliki 3 atau lebih gangguan otonom.11

e. Gejala Lain Gejala lain yang sering terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA kelompok dewasa adalah insomnia, dimana gejala ini sering kali menjadi gejala awal. Gangguan siklus tidur dan bangun seringkali terganggu, dimana pasien lebih banyak dalam keadaan sadar. Hipersomnia dapat terjadi pada proses penyembuhan dari ensefalitis anti reseptor NMDA.4

2.7. Diagnosa 1. Anamnesa Ensefalitis anti reseptor NMDA biasanya terjadi pada usia kurang dari 50 tahun, terutama pada anak atau remaja. Biasanya keluhan yang membuat pasien datang ke dokter adalah perubahan perilaku atau psikosis, gerakan atau pergerakan yang abnormal (diskinesia), kejang, dan instabilitas otonom, seperti hipoventilasi.5

2. Pemeriksaan Fisik Ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan gejala sistemik maupun neurologis yang nonspesifik. Hal ini membuat tidak ada penunjuk spesifik pada pemeriksaan fisik. Gejala seperti perubahan kesadaran, gangguan gerak, bangkitan, dan gangguan neuropsikiatri dapat menjadi pertimbangan dalam diagnosa ensefalitis anti reseptor NMDA. Dari pemeriksaan neurologi dapat ditemukan disfungsi serebral yang difus 10

seperti peningkatan refleks tendon, respon plantar ekstensor, abnormalitas tonus, ataksia, dan kesulitan dalam melakukan motorik halus.

3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan saraf, seperti CT (Computed Tomography) scan kepala tidak terlalu bermanfaat karena sensitivitasnya yang rendah. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) otak pada 50% kasus ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan hipersensitivitas pada hipokampus, serebelum, frontobasal, ganglia basalis, medulla oblongata dan medulla spinalis. Pemeriksaan MRI berkala pada ensefalitis anti reseptor NMDA tidak menunjukan perubahan yang signifikan, dimana hasil MRI tetap dalam keadaan normal atau hanya menunjukan sedikit perubahan.4 Bahkan didapatkan mayoritas pasien ensefalitits anti reseptor NMDA memiliki hasil pencitraan saraf yang normal. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pencitraan memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendiagnosis ensefalitis anti reseptor NMDA.4,7 Pada pemeriksaan EEG (Electroencephalograms), pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukkan gelombang yang abnormal, dimana muncul perlambatan yang tidak spesifik. Pada fase katatonik terjadi perlambatan aktivitas pada gelombang delta-theta. Keadaan ini tidak berhubungan dengan gerakan abnormal dan tidak membaik dengan pemberian obat antiepilepsi.4 Pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA pada serum atau cairan serebrospinal merupakan pemeriksaan diagnostik.4,7 Pada pemeriksaan ini didapatkan bahwa antibodi pada serum bereaksi dengan epitope subunit NR1, dimana reseptor NMDA merupakan hematomer dari subunit NR1. Pasien dengan teratoma memiliki titer antibodi terhadap reseptor NMDA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa teratoma.4 Titer antibodi terdapar reseptor NMDA lebih tinggi dibanding titer pada serum.11 Pada pasien yang telah mendapat terapi IVIG (Intravenous

Immunoglobulins), maka antibodi terhadap reseptor NMDA hanya terdeteksi pada cairan serebrospinal. Titer antibodi terhadap reseptor NMDA akan naik terus pada pasien yang tidak mendapat terapi.4,5 Walaupun pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA merupakan

pemeriksaan diagnostik pada ensefalitis anti reseptor NMDA, hal ini tidak berarti semua pasien yang memiliki antibodi terhadap reseptor NMDA menderita penyakit ini. Pada sebuah penelitian, diketahui bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia maupun narkolepsi dengan gejala psikotik memiliki antibodi terhadap reseptor 11

NDMA. Hal ini membuktikan bahwa dalam penegakan diagnosis, hasil positif pada antibodi reseptor NMDA harus dikombinasikan pula dengan gejala klinis dari pasien tersebut.14

2.8. Diagnosa Banding Ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki gejala klinis yang kurang khas. Hal ini membuat diagnosa banding dari penyakit ini cukup luas, yaitu semua penyakit inflamasi pada otak. Beberapa diantaranya adalah ensefalitis yang disebabkan oleh virus dan bakteri, beberapa entiologi di antaranya ialah virus herpes simplex tipe 1, human herpes virus tipe 6, enterovirus, dan mycoplasma.4 Virus herpes simplex dan human herpes virus 6 (HHV-6) adalah virus yang paling sering menyebabkan ensefalitis virus.7 Ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki gejala psikiatri yang sering kali salah didiagnosis sebagai psikosis onset awal. Pasien yang salah didiagnosa tersebut biasanya mendapat pengobatan anti psikotik, seperti haloperidol, dan ketika gejala seperti rigiditas dan instabilitas mulai muncul, biasanya pasien akan didiagnosa sebagai sindrom neuroleptic malignant. Selain itu obat-obat yang memblok reseptor NMDA seperti phencyclidine akan memberikan gejala yang mirip dengan ensefalitis anti reseptor NMDA.

Tabel 1. Diagnosa banding dari ensefalitis anti reseptor NMDA.4 12

2.9. Tata Laksana Penatalaksanaan pada ensefalitis anti reseptor NMDA berpusat pada imunoterapi dan deteksi serta pengangkatan teratoma. Imunoterapi pada awal ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan penyembuhan yang lebih cepat dan menurunkan morbiditas. Imunoterapi sebagai lini pertama yang digunakan saat ini adalah kortikosteroid, plasmaferesis, atau IVIG. Kombinasi pengobatan yang bisa digunakan misalnya, IVIG 0,4g/kg berat badan untuk 5 hari dan methylprednisolone 1g/hari untuk 5 hari. Terapi ini lebih mudah digunakan dibandingkan dengan plasmaferesis. Walaupun plasmaferesis dapat menurunkan titer antibodi terhadap reseptor NMDA dalam beberapa minggu, namun pelaksanaannya lebih sulit, terutama pada pasien anak, pasien yang kurang kooperatif ataupun pasien dengan instabilitas otonom.5 Pada pasien yang sudah menjalani pengangkatan tumor maka efektivitas terapi lini pertama akan meningkat. Pasien tanpa tumor, terlambat didiagnosis, ataupun pasien yang tidak menunjukan respon setelah 10 hari diterapi dengan lini pertama memerlukan imunoterapi lini kedua seperti rituximab, cyclophosphamide atau keduanya. Pada pasien dewasa digunakan rituximab dengan dosis 375 mg/m2 tiap minggu dalam 4 minggu dan dikombinasikan dengan cyclophosphamide 750mg/m2 yang diberikan dengan dosis pertama dari rituximab, kemudian akan diikuti dengan pemberian cyclophosphamide tiap bulan. Terapi ini akan dihentikan apabila pasien sudah menunjukan perbaikan klinis, yang biasanya diikuti dengan penurunan kadar antibodi terhadap reseptor NMDA di serum maupun cairan serebrospinal. Untuk gejala psikiatri yang muncul, seperti agitasi, gejala psikotik, misalnya halusianasi visual dan auditorik, ide paranoid, delusi, gangguan tidur berupa hypersomnia atau insomnia, dan gangguan mood dapat diatasi dengan antipsikotik seperti haloperidol, chlorpromazine; antipsikotik atipikal seperti olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone, dan pada pengobatan ekstrim menggunakan pentobarbital atau fentanyl. Deteksi dan pengangkatan tumor dalam 4 bulan sejak onset, menunjukan pemulihan yang lebih baik dibanding pasien ensefalitis anti reseptor NMDA tanpa tumor. Selain itu ensefalitis anti reseptor NMDA tanpa tumor juga memiliki angka relaps yang lebih tinggi, yaitu 20-25%. Pada pasien tersebut disarankan menggunakan imunosurpresan (mycophenolate mofetil atau azathioprine) selama 1 tahun sesudah imunoterapi dihentikan.5

2.10. Komplikasi 13

Komplikasi dari ensefalitis anti reseptor NMDA yang ridak diobati adalah sepsis, sudden cardiac arrest, acute respiratory distress, status epileptikus refrakter, dan perburukan dari tumor.4 Komplikasi ini dapat menyebabkan kematian pada ensefalitis anti reseptor NMDA.

2.11. Prognosis Prognosis pada ensefalitis anti reseptor NMDA berkaitan dengan kapan diagnosis ditegakan, terapi imunomodulator, dan pengangkatan tumor pada kasus neoplasma. Pada suatu penelitian dengan sampel 31 anak dengan ensefalitis anti reseptor NMDA, 29% pasien sembuh sempurna, 45% perbaikan dengan defisit yang sedang, 26% dengan perbaikan yang terbaas, defisit yang parah, dan perbaikan yang lambat. Pada fase akut, pasien biasanya perlu dirawat di rumah sakit selama 3-4 bulan, diikuti dengan rehabilitasi selama beberapa bulan. Gejala yang tersisa biasanya menunjukan adanya disfungsi frontal dan limbik, termasuk fungsi eksekutif yang terbatas. Pemeriksaan berkala menunjukkan bahwa pasien dengan gejala ini akan membaik, termasuk masalah perilaku dan bahasa. Atrofi otak pada pemeriksaan MRI berkala akan menunjukan perbaikan. Walaupun ensefalitis anti reseptor NMDA dapat membaik sempurna, terutama pada pasien yang memperoleh diagnosis dan terapi yang sesuai, penyakit ini dapat berulang pada pasien yang telah sembuh sempurna sebelumnya, terutama pasien ensefalitis anti reseptor NMDA yang tidak memiliki tumor.4,6,9 Angka kekambuhan dari ensefalitis anti reseptor NMDA adalah sekitar 20-25% dengan jangka waktu relaps sekitar 2 tahun.11 Selain itu pada California Encephalitis Project, 10% pasien yang memiliki antibodi terhadap reseptor NMDA meninggal. Persentase ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan ensefalitis yang disebabkan oleh enterovirus, namun jauh lebih rendah dibanding ensefalitis dengan etiologi HSV-1 dan rabies. Pada pasien yang diikuti perkembangannya selama 6 bulan, 4% di antaranya meninggal. Median waktu kematian dari penelitian ini adalah 3,5 bulan.4

14

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1. Kesimpulan Ensefalitis anti reseptor NMDA merupakan suatu penyakit autoimun yang

menyebenabkan inflamasi pada parenkim otak. Pada penyakit ini autoimun akan menyerang reseptor NMDA terutama subunit NR1 yang ada di parenkim otak dan memiliki fungsi dalam proses plastisitas sinaptik. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan fase-fase tersertentu, dimana terdapat fase prodromal, yaitu muncul flu like syndrome Pada fase kedua yaitu fase psikiatri, dimana pada pasien ini bisa muncul gejala psikosis. Pada fase ketiga bisa didapatkan gejala neurologi, seperti gangguan dalam pergerakan ataupun gangguan kognitif. Diagnosis dari ensefalitis anti reseptor NDMA agak sulit ditegakan apabila hanya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, karena tidak ada gejala khas yang bisa ditemukan. Sebagai diagnosis pasti digunakan pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA papda cairan serebrospinal ataupun serum. Pemeriksaan pencitraan saraf dianggap tidak terlalu bermakna dalam menegakkan diagnosis ensefalitis anti. Diagnosis banding dari ensefalitis anti reseptor NMDA adalah ensefalitis virus. Pasien ensefalitis anti reseptor NMDA pada fase psikiatri sering salah didiagnosis dengan psikosis akut onset awal. Tata laksana pada pasien ensefalitis anti reseptor NMDA adalah imunoterapi lini pertama yaitu berupa kortikosteroid, IVIG atau plasmaferesis pada pasien awal atau sudah menjalani pengangkatan tumor. Sedangkan lini kedua berupa rituximab, cyclophosphamide atau keduanya, diberikan bagi pasien yang tidak menunjukan respon baik terhadap lini pertama. Komplikasi yang bisa muncul pada pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA adalah epsis, sudden cardiac arrest, acute respiratory distress, status epileptikus refrakter, dan perburukan dari tumor. Prognosis dari ensefalitis anti reseptor NMDA berkaitan dengan kecepatan diagnosis dan ketepatan terapi. Namun apabila tidak memperoleh pengobatan yang tepat, maka pasien bisa meninggal ataupun mengalami kecacatan.

3.2. Saran Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai penegakan diagnosis secara klinis, dimana mungkin bisa dibuat kriteria diagnosis yang. Selain itu perlu dilakukan pula penelitian mengenai efektivitasan terapi sehingga klinisi lain mampu memberikan terapi yang sesuai.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine: Volumes 1 and 2, 18th Edition. 18th ed. McGraw-Hill Professional; 2011. 2. Dewanto, George., Wita JS, Budi R, dan Yuda T. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2007. 3. Gable MS, Gavali S, Radner A, Tilley DH, Lee B, Dyner L, et al. Anti-NMDA receptor encephalitis: report of ten cases and comparison with viral encephalitis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28:1421-1429. 4. Jones KC, Benseler SM, dan Moharir M. Anti-NMDA Receptor Encephalitis. Neuroimag Clin N Am. 2013; 23: 309-320. 5. Dalmau J, Lancaster E, Hernandez EM, Rosenfeld MR, dan Gordon RB. Clinical Experience and Laboratory Investigations In Patients With Anti-NMDAR Encephalitis. Lancet Neurol. 2011; 10(1): 63-74. 6. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL, et al. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Disease Society of America. CID. 2008; 47: 303-327. 7. Luca N, Daengsuwan T, Dalmau J, Jones K, deVeber G, Kobayashi J, Laxer RM, dan Benseler SM. Anti-N-Methyl-D-Aspartate Receptor Encephalitis: A Newly Recognized Inflammatory Brain Disease in Children. Arthritis Rheum. 2011;63(8): 2516-2522. 8. Lewis P dan Glaser CA. Encephalitis. Pediatrics in Review. 2005; 26: 353-363. 9. Lennox BR, Coles AJ, dan Vincent A. Antibody-mediated encephalitis: a treatable cause of schizophrenia. BJPsych. 2012; 200: 92-94. 10. Gleichman AJ, Spruce LA, Dalmau J, Seeholzer SH, dan Lynch DR. Anti-NMDA Receptor Encephalitis Antibody Binding is Dependent on Amino Acid Identity of a Small Region within the GluN1 Amino Terminal Domain. The Journal of Neuroscience. 2012; 32(32): 11082-11094. 11. Ferdinand P dan Mitchell L. Anti-NMDA Receptor Encephalitis. J Clin Cell Immunol. 2012; S10:1-6. 12. Hughes EG, Peng X, Gleichman AJ, Lai M, Zhou L, Tsou R, et al. Cellular and Synaptic Mechanisms of Anti-NMDA Receptor Encephalitis. The Journal of Neuroscience. 2010; 30(17): 5866-5875. 13. Chapman MR dan Vause HE. Anti-NMDA Receptor Encephalitis: Diagnosis, Psychiatric Presentation, and Treatment. Am J Psychiatry. 2011; 168(3): 245-251. 14. Tsutsui K, Kanbayashi T, Tanaka K, Boku S, Ito W, Tokunaga J, et al. Anti-NMDA-receptor antibody detected in encephalitis, schizophrenia, and narcolepsy with psychotic features. BMC Psychiatry. 2012; 12: 37.

16

You might also like