You are on page 1of 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep nyeri 1.

Definisi Nyeri adalah perasaan tidak nyaman dan sangat individual yang tidak dapat dirasakan atau dibagi dengan orang lain. Setiap individu akan merasakan reaksi dan persepsi yang berbeda. Nyeri menyangkut dua aspek yaitu psikologis dan fisiologis yang keduanya dipengaruhi faktorfaktor seperti budaya, usia, lingkungan dan sistem pendukung, pengalaman masa lalu, kecemasan dan stress serta efek plasebo (Potter, 2005; Smeltzer dan Barre 2002). Adapun definisi menurut IASP, 1979 (Intenational Association for Study of Pain) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2007).

Sedangkan menurut Jamie (2006), nyeri merupakan segala sesuatu yang dikatakan seseorang dan dirasakannya berhubungan dengan rasa tidak nyaman. Berdasarkan Dari ketiga definisi yang terdapat diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang dan bersifat individual yang berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual dan potensial yang menyangkut dua aspek yaitu aspek psikologis dan aspek fisiologis.

2. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory) Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori Gate control theory dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menjelaskan bahwa impuls nyeri diatur oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mechanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, musik, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter dan Perry, 2005). 3. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri Menurut Smeltzer & Barre (2004). Faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri usia, jenis kelamin, budaya, perhatian. a. Usia Batasan usia menurut DepKes RI (2009) yaitu anak-anak mulai usia 0-12 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia

usia lebih dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan pada

lansia. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah

normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan. Usia sebagai faktor penting dalam pemberian obat. Perubahan Metabolik pada orang yang lebih tua mempengaruhi respon terhadap analgesik opioid. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi nyeri dan hasilnya sudah tidak

konsisten. Washington, Gibson dan Helme (2000) menemukan bahwa orang tua membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri dibandingkan orang usia muda. Menurut Edwards & Fillingham (2000) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persepsi nyeri antara orang muda dengan orang tua, sedangkan menurut Li, Green-wald dan Gennis (2001) menemukan bahwa nyeri pada lansia pasien merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih muda b. Jenis kelamin Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Logan dan Rose (2004) telah melakukan penelitian terhadap mengetahui perbedaan respon sampel 100 pasien untuk antara laki-laki dan

nyeri

perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki. c. Budaya Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Suza (2003), menemukan bahwa orang Jawa dan Batak mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri. Dia menemukan bahwa pasien Jawa mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan hanya diam, menunjukkan sikap tabah, dan mencoba mengalihkan rasa sakit melalui kegiatan

keagamaan. Ini berarti bahwa pasien Jawa memiliki kemampuan untuk mengelola nya atau rasa sakitnya. Di sisi lain, pasien Batak merespon nyeri dengan berteriak, menangis, atau marah dalam rangka untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, sehingga menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan dalam cara yang berbeda yang mempengaruhi persepsi nyeri.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU ada tiga meliputi fisik, psikososial dan lingkungan (Morton & Fontaine, 2009). a. Faktor fisik Faktor fisik yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU termasuk gejala penyakit kritis (misalnya, angina, infark miokard, dyspnea), luka (pasca-trauma, pasca operasi), gangguan tidur, keterbatasan gerak karna alat-alat invasif yang

terpasang, faktor fisik lainnya adalah hipertermi karena proses penyakit yang dialami. Penyakit yang paling umum atau cedera dirawat di ICU: infark miokard, bedah torax, penyakit cardiovaskuler dan penyakit traumatik dan untuk beberapa pasien nyeri dianggap terus menerus dan durasi selama menjalani perawatan di ruang ICU (Pasero & McCaffery, 2002).

b. Faktor psikososial Faktor psikososial mempunyai pengaruh terhadap nyeri pada pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator mekanik faktor faktor itu antara lain cemas dan depresi, gangguan komunikasi, ketidakmampuan untuk melaporkan dan menggambarkan rasa sakit, takut sakit, cacat, tidak adanya keluarga yang menunggu disamping pasien sebagai support

system, kejenuhan yang dialami oleh pasien yang terpasang ventilator mekanik. Cemas merupakan faktor yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU seperti lingkungan yang asing tidak adanya keluarga yang menunggu, rasa aman dan nyaman didapat dari keluarga, teman, kenyakinan beragama (Hupcey, 2000).

c. Faktor lingkungan Lingkungan perawatan ICU merupakan faktor yang menyebabkan nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU. Banyak alat elektronik yang ada di ruang ICU seperti ventilator mekanik, bedside monitor, syiring pump, infus pump suara yang ditimbulkan alat-alat tersebut membuat kebisingan di ruang ICU (Puntillo, dkk, 2004). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Puntillo dkk (2004) melaporkan bahwa selama pasien menjalani perawatan di ruang ICU, 15% dari mereka mengalami keadaan tidak nyaman, 50% dari mereka mempunyai pengalaman tidak nyaman, dan 35% dari mereka mengalami sangat tidak nyaman (nyeri).

5. Alat pengukuran nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik Penilaiaan skala nyeri harus dilakukan secara terus menerus tetapi pada pasien yang terpasang ventilator mekanik banyak kendala dalam penilaian skala nyeri yang sebabkan karna pasien tidak bisa komunikasi secara verbal dan terpasanng endotrakeal tube (ETT) dan terjadi perubahan tingkat kesadaran (Hamill-Ruth & Marohn, 1999.; Herr & Kwekkeboom, 2001; Shannon & Bucknall, 2003). Hal ini diperlukan pengetauan yang cukup tentang penilaian skala nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik. Menurut Gelinas (2007) dan Payen (2001) menyatakan bahwa penilian skala nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU bisa dilakukan dengan mengamati prilaku pasien walaupun kondisi pasien tidak sadar.

Penilaian nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik dengan menitik beratkan data obyektif yang terlihat secara nonverbal (AHCPR, 1992; Jacobi, 2002). Sebuah penelitian yang dikukan oleh Gelinas & Arbour (2009) pada 257 pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU hasilnya menunjukan ekspresi rasa nyeri ditunjukan dengan cara meringis, kekakuan otot, kepatuhan saat penggunaan ventilator mekanik (melawan kerja ventilator). Penilaian respon nyeri menggunakan parameter dari tanda-tanda vital. Meskipun tanda-tanda vital meningkat selama perawatn di ruang ICU. (Gelinas, 2007; Young, 2006), peningkatan tanda-tanda vital tidak selalu terjadi pada pasien yang mengalami nyeri (Gelinas, 2007). The American Society Managemen Pain Nurse (ASMPN) merekomendasikan bahwa tanda-tanda vital tidak boleh dianggap sebagai indikator utama dari penilaian nyeri, karena kondisi ini bisa disebabkan karna perubahan homestatic dan pengaruh dari obatobatan (Herr, 2006).

Penilaian nyeri pada pasien yang terjadi penurunan kesadaran dapat menggunakan beberapa parameter atau instrumen, instrumen yang dapat digunakan adalah menggunakan BPS (Behabioral Pain Scale ), CPOT (Critcal Pain Obserb Tool), PACU-BPRS (Post Anesthesia Care Unit Behavioral Pain Rating Scale), PAIN (Pain Assessment and Intervention Notation) algoritma (Herr, 2006; Anand & Craig, 1996). Instrumen yang digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU dengan ventilator adalah menggunakan Skala Nyeri dengan Perilaku (BPS) dan Critcal Pain Obserb Tool (CPOT) (Herr, 2006; Anand & Craig, 1996).

Penjelasan instrumen CPOT yang digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik dapat di lihat pada Tabel 2.1.

The Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) (Gelinas dkk, 2006) Tabel.2.1
Indikator Ekspresi wajah Kondisi Rilek Kaku Meringis Skor 0 1 2 Keterangan Tidak ada ketegangan otot. Mengerutkan mengangkat alis. Menggigit selang ETT. kening,

Gerakan tubuh

Tidak ada abnormal

gerakan

Lokalisasi nyeri

Gelisah

Aktivasi Alarm ventilator mekanik

Pasien kooperatif terhadap kerja ventilator mekanik Alarm Aktif tapi mati sendiri Alarm selalu aktif

Tidak bergerak (tidak kesakitan) atau posisi normal (tidak ada gerakan lokalisasi nyeri) Gerakan hati-hati, meyentuh lokasi nyeri,mencari perhatian melalui gerakan. Mencabut ETT, mencoba untuk duduk, tidak mengikuti perintah, mengamuk, mencoba keluar dari tempat tidur. Alarm tidak berbunyi.

1 2 0

Batuk, alarm berbunyi tetapi berhenti secara spontan. Alarm sering berbunyi Bicara dengan nada pelan.

Berbicara jika diekstubasi.

pasien

Berbicara dalam nada normal atau tidak ada suara Mendesah, mengeran Menangis Tidak ada ketegangan otot Tegang, kaku Sangat kaku tegang atau

1 2 0 1 2

Mendesah, mengerang. Menangis, berteriak. Tidak ada ketegangan otot. Gerakan otot pasif. Gerakan sangat kuat.

Ketegangan otot

TOTAL

Keterangan Ekspresi wajah a) Skor 0 : Tidak ada ketegangan otot b) Skor 1 : Mengerutkan kening, mengangkat alis c) Skor 2 : Menggigit selang ETT Gerakan tubuh a) Skor 0 : Tidak bergerak (tidak kesakitan) atau posisi normal (tidak ada gerakan lokalisasi nyeri) b) Skor 1 : Gerakan hati-hati, meyentuh lokasi nyeri, mencari perhatian melalui gerakan c) Skor 2 : Mencabut ETT, mencoba untuk duduk, tidak mengikuti perintah, mengamuk, mencoba keluar dari tempat tidur. Kepatuhan dengan ventilator mekanik a) Skor 0 : Alarm ventilator mekanik tidak berbunyi b) Skor 1 : Batuk, alarm berbunyi tetapi berhenti secara spontan c) Skor 2 : Alarm sering berbunyi Nada bicara (tidak terpasang selang ETT) a) Skor 0 : Bicara dengan nada pelan b) Skor 1 : Mendesah, mengerang c) Skor 2 : Menangis, berteriak Ketegangan otot a) Skor 0 : Tidak ada ketegangan otot b) Skor 1 : Mengerutkan kening, mengangkat alis c) Skor 2 : Tidak ada ketegangan otot Catatan: Skor 0 : tidak nyeri Skor 1-2 : nyeri ringan Skor 3-4 : nyeri sedang Skor 5-6 : nyeri berat Skor 7-8 : nyeri sangat berat.

Petunjuk penggunaan CPOT menurut Gelinas, dkk (2006). 1. Amati pasien selama satu menit 2. Kemudian pasien harus diamati selama mendapatkan tindakan pengobatan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi 3. Pasien harus diamati sebelum dan pada puncak tindakan pengobatan untuk menilai apakah pengobatan efektif atau tudak dalam

menghilangkan nyeri 4. Penilaian diambil nilai yang tertinggi dari niali CPOT 5. Amati nilai CPOT setelah dilakukan tindakan pengobatan.

6. Management nyeri Management nyeri bisa dilakukan dengan pharmakologic dan non pharmakologic, terapi pharmakologic untuk mengatasi nyeri diberikan oleh dokter melalui intra vena atau rute epidural (Smeltzer dan Bare, 2004). a. Management nyeri dengan pharmakologic. Management pharmakologic untuk mengatasi nyeri di ruang ICU adalah Opioid, Non opioid, dan adjuvant (anti convulsan, anti depresan, dan obat bius lokal). Analgesik golongan opiod yaitu morfin, fentanil, kodein, efek samping analgesik opoid adalah depresi pernafasan, hipotensi, retensi urin, penurunan cardiac output, pusing mual dan bahkan mengancam nyawa pasien. Golongan analgesik non opiod yang dipakai untuk mengatasi nyeri di ruang ICU adalah Acetaminophen, Ketorolac dan Adjuvant (Pasero & McCaffery dalam Urden, 2008). Penjelasan obat-obat yang biasa di pakai untuk mengatasi nyeri di ruang ICU adalah sebagai berikut; 1) Morfin Morfin merupakan analgesik opiod yang sering digunakan untuk menyatasi nyeri di ruang ICU, efek samping dari morfin adalah vaso dilatasi pembuluh darah sehingga bermanfaat untuk mengurangi beban kerja miokard dan mempumyai efek untuk mengatasi cemas akibat dari vasodilatasi pembuluh darah akan mengakibatkan

hipotensi efek samping lain dari morfin adalah depresi pernafasan karna morfin mengurangi kerja kemosensitif central di medula oblongata maka saat pemberin morfin harus diawasi secara terusmenerus. Efek samping morfin sangat bahaya bahkan dapat menyebabkan kematian (Pasero & McCaffery dalam Urden, 2008) 2) Fentanil Fentanil merupakan obat pilihan jika terjadi alergi terhadap morfin fentanil larut dalam lemak dan memiliki kerja lebih cepat dari pada morfin dalam pemberianya harus diawasi kondisi tanda-tanda vital efek samping dari fentanil dapat menyebabkan bradikardi (Liu & Gropper, 2003). Satu ampul fentanil 2 ml berisi 0,05 mg/ml , fentanil mempunyai efek analgesik 80 kali lebih kuat daripada morfin daya kerja sampai dengan 3 jam, nilai puncaknya 3 sampai 30 menit setelah 30 menit dari pemberian efek analgesik nya berkurang dan hilang 3 jam setelah pemberian fentanil (Tjay &

Raharja, 2007). 3) Kodein Menurut Mc Caffery & Passero (1999, dalam Chanif, 2012)kodein saat ini jarang diunakan untuk mengatasi nyeri di ruang ICU, kodein mempunyai efek analgesik untuk nyeri ringan sampai sedang dalam pemberiannya harus di kombinasikan dengan analgesik non opiod (Acetaminophen), Kodein dimetabolisme dalam hati Acetaminophen Acetaminophen merupakan analgesik yang digunakan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang, kerja dari Acetaminophen menghambat sintesis dari prostaglandin neurotransmiter di susunan saraf pusat (Lehne, 2007).

b. Management nyeri non pharmakologic Dalam rangka mengembangkan management nyeri non pharmakologic yang efektif dibidang keperawatan pada pasien yang terpasang ventilator mekanik maka perawat perlu mengetahui jenis-jenis management nyeri

non pharmakologic yang bisa dilakukan oleh seorang perawat. Menurut Bulechek dan Dochterman (2004). Management nyeri non

pharmakologic yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri adalah musik therapy , relaksasi, hypnosis therapy, distraksi therapy, terapi bermain, terapi aktivitas, akupuntur therapy, kompres dan pijat.

Menurut Pellino, dkk (2005) Management nyeri non pharmakologic dapat digunakan untuk kombinasi dengan pharmakologic dalam mengatasi nyeri hasil penelitian menunjukan bahwa kombinasi pharmakologic dan non pharmakologic mempunyai efek lebih baik daripada hanya mengunakan analgesik opiod saja. Management nyeri non pharmakologic yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU adalah relaksasi, terapi musik, terapi sentuhan, terapi pijat (Pellino dkk, 2005). 1). Relaksasi Menurut Houston & Jesurum (dalam Chanif, 2011). Relaksasi merupakan management nyeri non pharmakologic yang mempunyai efek sangat baik untuk mengatasi nyeri. Relaksasi akan menyebabkan penuruan hormon adrenalin dengan penurunan hormon adrenalin akan menyebabkan rasa tenang, rasa tenang akan menyebabkan aktifitas saraf simpatik menurun sehingga akan menyebabkan penurunan nyeri. Relaksasi juga akan menyebabkan kondisi rilek pada otot sehingga menyebabkan konsumsi oksigen dalam otot

menjadi sedikit dengan demikian akan menurunkan frekwensi nadi dan tekanan darah, penurunan frekwensi nadi dan tekanan darah akan menyebabkan penurunan nyeri (Biley, 2000). Menurut penelitian Houston dan Jesurum (dalam Chanif, 2011) penggunaan tehnik

relaksasi (The quick relaxation technique /QRT) dan kombinasi farmakologis yang dilakukan pada 24 pasien yang berumur 70 tahun dimana obyek penelitian sedang menjalani bedah jantung bypass di ruang ICU, hasil penelitian ini menunjukan setengah dari sampel

yang diteliti merasakan nyeri hilang dengan cepat dari pada kelompok yang tidak diberi relaksasi.

2). Terapi Musik (perangsangan auditori murrotal) Terapi musik merupakan bagian dari tehnik relaksasi yang dapat digunakan di ruang ICU yang mempunai efek menenangkan (Biley, 2000). Menurut Oken (2004) musik dapat memiliki efek terapeutik pada pikiran dan tubuh manusia. Efek suara dapat mempengaruhi keseluruhan fisiologi tubuh pada basis aktivasi korteks sensori dengan aktivasi sekunder lebih dalam pada neokorteks dan beruntun ke dalam sistem limbik, hipotalamus dan sistem saraf otonom. Saraf kranial kedelapan dan kesepuluh membawa impuls suara melalui telinga. Dari sini, saraf vagus, yang membantu regulasi kecepatan denyut jantung, respirasi, dan bicara, membawa impuls sensorik motorik ke tenggorokan, laring, jantung, dan diafragma. Para ahli terapi suara menyatakan saraf vagus dan sistem limbik (bagian otak yang bertanggung jawab untuk emosi) merupakan penghubung antara telinga, otak, dan sistem saraf otonom yang menjelaskan bagaimana suara bekerja dalam menyembuhkan gangguan fisik dan emosional (Oken, 2004). Perangsangan auditori murrotal mempunyai efek distraksi yang meningkatkan pembentukan endorphin dalam sistem kontrol desenden dan membuat relaksasi otot. Dapat juga digunakan dasar teori Opiate endogenous, dimana reseptor opiate yang berada pada otak dan spinal cord menentukan dimana sistem saraf pusat mengistirahatkan substansi morfin yang dinamakan endorphin dan enkephalin bila nyeri diterima. Opiate endogen ini dapat dirangsang pengeluaranya oleh stimulasi rangsangan. Opiate reseptor ini berada pada ujung saraf sensori perifer (Monsdragon, 2004).

3). Terapi sentuhan Terapi sentuhan merupakan salah satu metode non pharmacologic yang dilakukan untuk mengurangi nyeri dasar teori ini adalah teori gate control yang oleh Melzack dan Wall (1965) teori ini menjelaskan bahwa ada dua macam serabut saraf yaitu serabut saraf berdiameter kecil dan serabut saraf berdiameter besar yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Impuls rasa sakit yang dibawa oleh saraf berdiameter kecil menyebabkan gate control di spinal cord membuka dan impuls diteruskan ke korteks serebral sehingga akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi impuls rasa sakit ini dapat diblok yaitu dengan memberikan rangsangan pada saraf berdiameter besar yang menyebabkan gate control akan tertutup dan rangsangan sakit tidak dapat diteruskan ke korteks serebral. Pada prinsipnya rangsangan berupa usapan pada saraf berdiameter besar yang banyak pada kulit harus dilakukan awal rasa sakit atau sebelum impuls rasa sakit yang dibawa oleh saraf berdiameter kecil mencapai korteks serebral (Potter dan Perry, 2005).

4). Terapi Pijat Pijat merupakan tehnik managemen non pharmakologic untuk mengurangi nyeri dan dapat menyebabkan pasien rilek dan pasien dapat memenuhi kebutuhan istirahat tidur. Ruang ICU dianggap penyebab ketidaknyamanan pasien baik fisik dan psikis. Menurut

Monsdragon (2004) mekanisme pijat dapat menurunkan nyeri adalah serabut nyeri membawa stimulasi nyeri ke otak perjalanan sensasi nyeri yang dibawa oleh otak lebih kecil dari pada serabut sentuhan yang luas. Ketika sentuhan dan nyeri dirangsang bersama, sensasi sentuhan berjalan ke otak menutup pintu gerbang dalam otak. Dengan adanya pijatan yang mempunyai efek distraksi juga dapat meningkatkan pembentukan endorphin dalam sistem kontrol

desenden dan membuat relaksasi otot. Dapat juga digunakan dasar

teori Opiate endogenous, dimana reseptor opiate yang berada pada otak dan spinal cord menentukan dimana sistem saraf pusat mengistirahatkan substansi morfin yang dinamakan endorphin dan enkephalin bila nyeri diterima. Opiate endogen ini dapat dirangsang pengeluaranya oleh stimulasi kulit melalui pijatan. Opiate reseptor ini berada pada ujung saraf sensori perifer.

Efek terapi pijat telah dilakukan penelitian oleh Chanif (2012) pasien yang mengalami nyeri post laparotomi di RS. Dr. Karyadi Semarang dalam penelitian tersebut diketahui bahwa setelah 5 jam pemberian obat analgesik ketorolac pasien mengalami nyeri dengan intervensi pemberian pijat kaki pada pasien post laparotomi hasilnya menunjukan bahwa pijat kaki dapat mengurangi nyeri.

B. Perangsangan Auditori Murrotal 1. Perangsangan Auditori Perangsangan Auditori adalah memberikan perangsangan pada

pendengaran dengan menggunakan suara. Suara bergerak di udara dengan kecepatan 340 m/detik, terdiri dari getaran-getaran dari sumbernya sampai mencapai telinga, kemudian melalui telinga ini ia menyebar ke seluruh tubuh. Sel yang terpengaruhi oleh vibrasi suara, berespon dengan mengubah vibrasinya sendiri, yang berarti bahwa kerja mekanik dari sel ini dapat meningkat dan menjadi lebih kuat. Sel-sel otak bervibrasi serta mengirimkan gelombang magnet dan eletromagnetik yang mewakili aktivitas otak. Sel-sel otak dipengaruhi oleh segala vibrasi apapun jenisnya dan darimanapun sumbernya (Oken, 2004).

Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa efek suara berkaitan impuls suara yamg ditransmisikan ke dalam tubuh. Saraf kranial kedelapan dan kesepuluh membawa impuls suara melalui telinga dan otak. Dari telinga dan otak, saraf vagus membantu meregulasi kecepatan denyut jantung,

respirasi, dan bicara, membawa impuls sensorik motorik ke tenggorokan, laring, jantung, dan diafragma. Para ahli terapi suara menyatakan saraf vagus dan sistem limbik (bagian otak yang bertanggung jawab untuk emosi) merupakan penghubung antara telinga, otak, dan sistem saraf

otonom yang menjelaskan bagaimana suara bekerja dalam menyembuhkan gangguan fisik dan emosional (Oken, 2004).

2. Perangsangan Auditori Murrotal Perangsangan Auditori Murrotal adalah perangsangan pendengaran dengan bacaan Ayat-ayat Suci Al-quran yang dikemas dalam bentuk MP3. Ayatayat Suci Alquran mempunyai efek terapeutik bagi yang membaca dan yang mendengarkan (Oken, 2004). Terapi audio dengan membacakan Alquran telah diteliti oleh Qadhi (2009) mengungkapkan bahwa pemberian perangsangan murrotal (Ayat-ayat suci Al-quran) dapat mengurangi kecemasan, nyeri dan mempercepat proses penyembuhan penyakit. Mendengarkan Ayat Suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer. Gelombang delta merupakan gelombang yang mengindikasikan bahwa kondisi responden dalam kondisi sangat rilek. Salah satu surah didalam Alquran yang memiliki efek terapeutik adalah surah Ar-rahman. Dasar pemilihan surah Ar-rahman dalam penelitian ini adalah surah Ar-rahman terdiri dari 78 Ayat memiliki makna mengenai kemurahan dan sifat kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya serta terdapat Ayat yang diulang sampai 31 kali yaitu Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? yang artinya mengajarkan rasa syukur yang harus kita lakukan setiap saat kepada tuhan (Qadhi, 2009).

Pemberian murrotal surat Ar-rahman akan menimbulkan rasa percaya diri, rasa optimisme (harapan kesembuhan), mendatangkan ketenangan, damai dan merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sehingga mengakibatkan

rangsangan ke hipotalamus untuk menurunkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF akan merangsang kelenjar pituitary anterior untuk menurunkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini akan merangsang kortek adrenal untuk menurunkan sekresi kortisol dimana menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi tingkat kecemasan dan nyeri (Oken, 2004). Pramisiwi, Pratiwi, Frita, dkk (2011) mengatakan bahwa Surah Ar-rahman mempunyai Timbre medium, pitch 44 Hz, harmony reguler dan consistent, Rythm andate (mendayu-dayu), volume 60 decibel, intensitas medium amplitudo, sehingga mempunyai efek relaksasi jika di perdengarkan pada pasien yang sedang dalam perawatan di rumah sakit terutama di ruang ICU. Menurut Pramisiwi, dkk (2011) karakteristik Surah Ar-Rahman yang dilantunkan oleh Ahmad Saud telah divalidasi oleh seorang ahli di laboratorium seni Fakultas Budaya dan Seni Universitas Negeri Semarang. Uji reliabilitas dari MP3 Surah Ar-Rahman menunjukan setiap yang

mendengarkan mendapatkan kualitas , durasi yang sama dari suara yang dihasilkan, karakteristik alat dan lantunan MP3 Surah Ar-Rahman yang mempunyai efek terapeutik lihat tabel 3.3 dan 3.4. Tabel 2.2 Karakteristik auditori Pramisiwi, dkk (2011)
Jenis Alat MP3 Headphone Sensitivity Frequency response Power handling capacity Impedance Mass Approx Karakteristik Votre MP3 Player 2GB Spesifikasi merk extreme Bass 120 dB 20-20001 Hz 0,2 W 32 276 gr

Tabel 2.3 Karakteristik Lantunan Surat Ar-Rahman Pramisiwi, dkk (2011)


Nada Tone Timbre Pitch Harmony Intensity Rythm Interval Volume Length Karakteristik Tone E Medium 44 Hz Reguler and consistent tone colour Medium amplitude Andante E, G, B minor 60 decibel 13 min 55 sec

C. Ventilator Mekanik 1. Definisi Ventilator mekanik adalah Alat bantu nafas yang memeberian bantuan nafas denga cara membantu sebagian atau mengambil alih semua fungsi pernafasan guna untuk mampertahankan hidup (Ufahsyam, 2009).

2. Fisiologi pernafasan pada ventilator Mekanik Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot-otot interkostalis, rongga dada mengembang karena terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara masuk ke paru-paru sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif, pada pernafasan ventilator mekanik mengirimkan udara dengan memompa ke paru-paru pasien sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorak paling positif (Ufahsyam, 2009).

3. Indikasi pemasangan ventilator mekanik Indikasi pemasangan ventilator mekanik adalah pada pasien yang mengalami gangguan gangguan pernafasan, disfungsi otot pernafasan seperti kelelahan otot pernafasan, kelainan dinding thorak, penyakit neuromuskuler (guillaine bare syndrome, poliomylitis, myastenia),

peningkatan tahanan jalan pernafasan (COPD, Severe Asma) dan gangguan pusat pernafasan yang disebabkan oleh keracunan, trauma kapitis (Ufahsyam, 2009). Menurut Thelan (dalam Ernawati, 2007) pasien yang mengalami gangguan oksigenasi (gagal nafas) dapat disebabkan oksigen yang kurang, pneumoni, kontusio paru. Gangguan oksigenasi yang disebabkan karna hipoksia yaitu karena gangguan pada jantung yang akhirnya mengakibatkan edema paru, AMI (akut infark miocard), Cardiomyopati dan hipertensi heart disease. Gangguan oksigenasi juga dapat disebabkan karna Anemia yang disebabkan perdarahan hebat dan belum mendapatkan transfusi darah.

4. Mode ventilator mekanik Mode ventilator mekanik terdiri dari : a. Control Mode, Assist mode, IMV (Intermiten Mandatory Ventilator); pernafasan pasien diatur sepenuhnya oleh mesin ventilator mekanik. b. SIMV(Synhcronize Intermiten mandatory Ventilator); pasien diberi kesempatan untuk bernafas disela-sela bantuan ventilator mekanik. c. Pressure Support/Spontan Mode Control, mode ini memungkinkan pasien menerima volume, pressure dan frekuensi sesuai yang telah diatur atau semua fungsi pernafasan diambil alih oleh mesin ventilator mekanik. d. Asisst Mode adalah memungkian pasien menerima volume dari mesin dan batuan nafas tetapi hanya sedikit pasien diberi kesempatan untuk bernafas spontan jumlah pernafasan dan volume ditentukan oleh pasien. e. IMV(Intermiten Mandatory Ventilator); pasien diberi kesempatan untuk bernafas sendiri, ventilator mekanik memberikan bantuan nafas dimana saja namun pada mode ini bantuan nafas dari ventilator mekanik tidak terjadi pada saat pasien barnafas sendiri sehingga tidak terjadi benturan antara pernafasan pasien dengan ventilator mekanik. f. Pressure Support/Spontan Mode; memberikan bantuan nafas dengan cara memberikan tekanan positif yang telah ditentukan pada saat pasien inspirasi. g. CPAP(Contineus Positif Airways Presure)/spontan mode; respirstory rate dan volume tidal ditentukan oleh pasien sendiri (Ufahsyam, 2009)

D. Kerangka Teori.
Gangguan pusat pernafasan Gagal nafas Kelainan dinding dada Gangguan neuromuskuler Tahanan jalan nafas.

Pemasangan endotracheal tube (ETT), pemasangan ventilator mekanik

Management pharmakologic : Analgesik opiod, non opiod, sedasi dan adjuvant (morfin, fentanil, Acetaminophen, kodein) Faktor yang mempengaruhi respon nyeri; 1. usia. 2. jenis kelamin. 3. budaya. 4. perhatian terhadap nyeri.

Management non pharmakologis : Relaksasi, terapi sentuhan, terapi musik(perangsangan auditori murrotal), terapi pijat. Faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri pada pasien yang yang terpasang ventilator mekanik; 1. Faktor lingkungan; bedside monitor, syiring pump, infus pump . 2. Faktor fisik; angina, infark (miokard, dyspnea), luka (pasca-trauma, pascaoperasi), gangguan tidur, keterbatasan gerak karna alat-alat invasif yang terpasang (ETT, CVP). 3. Faktor psikososial; Cemas, depresi, gangguan komunikasi, takut sakit, takut cacat

Nyeri Nyeri

Skema.2.1 Sumber ; Pellino, dkk (2005), Sheen (2009), Smeltzer & Bare (2004).

E. Kerangka konsep

Variabel Independent

Variabel Dependent

Peransangan Auditori murrotal (Ayat-ayat suci Alquran).

nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik.

Skema 2.2 kerangka konsep

F. Variabel penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah ; 1. Variabel independent yaitu perangsangan auditori murrotal (Ayat-ayat suci Alquran) 2. Variabel Dependent yaitu penurunan nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik

G. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah ; Ada perdedaan intensitas nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik sebelum dan setelah pemberian perangsangan auditori murrotal (Ayat-ayat suci Al-quran).

You might also like