You are on page 1of 59

LAPORAN DISKUSI PBL BLOK 19: Kegawatdaruratan Medis MODUL 2 : Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang

Disusun oleh : Kelompok V


Ayu Putri Anggraeni Danu Kusuma Wardhani Destina Ribkah ST Ira Karlina Hajrah Helnida M.Iqbal Rahmatul Yasiro Yunistira Sylvia Slamet

Tutor: drg. Sinar Yani, M.Kes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN 2010

1|Laporan modul 2

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas taufik dan hidayah-Nya lah laporan diskusi PBL Modul 2 Blok 19 kali ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini berisi pembahasan diskusi Seven Jumps berdasarkan skenario modul 2 dengan topik Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. drg. Sinar Yani,M.Kes selaku tutor kelompok V yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil di Blok 19 Modul 2 mengenai. 2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian diskusi kelompok kecil ini. 3. Teman-teman kelompok V yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini. 4. Teman-teman Fakultas Kedokteran Umum Universitas Mulawarman angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kesempurnaan hanyalah milik Allah, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran baik dalam pembuatan laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini maupun dalam kegiatan perkuliahan PBL lainnya. Samarinda, 24 September 2010 laporan hasil

Penyusun

2|Laporan modul 2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........1 KATA PENGANTAR.........2 DAFTAR ISI........3 BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang......4 Manfaat.....4 BAB II: ISI Step 1 ...5 Step 2....6 Step 3....6 Step 4....11 Step 5....11 Step 6....11 Step 7....12 BAB III: PENUTUP Kesimpulan dan Saran..........................................57 DAFTAR PUSTAKA......58

3|Laporan modul 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Stroke merupakan penyakit yang sering timbul pada usia tua sebagai komplikasi dari kelainan vascular yang sebelumnya dialami dan tidak terkontrol dengan baik. Jika serangan stroke tidak tertangani dengan baik pun juga dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih parah. Sehingga diperlukan pengetahuan yang baik untuk dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda dan gejala awal pada saat serangan dan diharapkan dapat memberikan pertolongan yang baik dan benar. Keadaan awal pasien pada saat serangan memerlukan identifikasi yang cermat dan pertolongan awal yang cepat. Sehingga pengetahuan yang baik dan benar sangat diperlukan untuk dapat menangani keadaan tersebut agar kerusakan yang ditimbulkan dapat ditekan seoptimal mungkin. 1.2. Manfaat Manfaat dari modul ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan metode desain penelitian. Kompetensi yang ingin dicapai mulai dari : 1. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE. 2. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE. 3. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk. 4. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak. 5. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.

4|Laporan modul 2

6. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN INTRASEREBRAL. 7. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF. .

5|Laporan modul 2

BAB II ISI Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang Skenario awal Seorang laki-laki umur 45 tahun diantar keluarganya siang hari ke UGD RS AWS dalam keadaan tidak sadar. Sebelumnya penderita mengeluh sakit kepala. Setelah beberapa jam dirawat di ICU, pasien mendadak kejang. 2.1.1. Step I ( Terminologi Asing ) o Kejang : gangguan muatan listrik, karena perubahan mendadak aktivitas listrik di korteks serebri. 2.2.1. Step II ( Identifikasi Masalah ) 1. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan sakit kepala ? 2. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran ? 3. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran ? 4. Mengapa bisa timbul kejang ? 5. Hubungan antara sakit kepala dan kejang ? 6. Hubungan antara gejala-gejala yang dialami dengan usia ? 2.3.1. Step III ( Brain Storming ) 1. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri kepala adalah ; Lokal : Kontraksi otot-otot di sekitar kepala
6|Laporan modul 2

Peningkatan tekanan intracranial, karena edema otak, abses, tumor dan infrak yang luas karena stroke, dan hematom karena perdarahan selaput otak ( perdarahan subaraknoid ). Sehingga menyebabkan pendesakkan yang hebat pada jaringan saraf disekitarnya dan menimbulkan nyeri yang hebat

Sistemik : Hipertensi

Psikologis : Stress psikologis.

2. Penurunan kesadaran disebabkan karena berkurangnya suplai O2 dan glukosa ke jaringan otak, sehingga metabolisme otak terganggu. Contoh kasus-kasus dengan penurunan kesadaran : o Syok hipovolemik / hemorragik o Kelainan organik ( perdarahan intraserebral (PSI), perdarahan subaraknoid (PSA), stroke iskemik dll. o Esefalopati metabolic o Epilepsi o Koma diabetikum 3. Faktor-faktor yang dapat menurunkan aliran darah ke otak (ADO), dipengaruhi oleh 3 faktor : o Tekanan untuk memompakan darah dari system arteri-kapiler ke system vena

7|Laporan modul 2

o Tahanan (perifer) pembuluh darah otak o Darah viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan ntuk membeku) 4. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemunginan besar bersifat pusat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang 5. Kejang dapat merupakan tanda awal (aura) atau merupakan efek samping dari peningkatan tekanan intracranial sehingga menyebabkan rupturnya pembuluh darah dan turunya suplai O2 ke jaringan otak, Hal ini akan mengganggu metabolisme jaringan otak sehingga timbul gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit akhirnya timbul aktivitas listrik yang abnormal (kejang). 6. Usia merupakan salah satu faktor resiko yang tidak dapat dihindari, karena usia tua berkaitan erat dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan system vaskular, seperti hiperlipidemia, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus dll. Sehingga menimbulkan kerentanan terhadap penyakit serebrovaskular, yang menyebabkan deficit neurologis Skenario Lanjutan Sebelum kejadian tersebut, penderita pagi harinya bekerja disawah. Karena merasakan badanya kesemutan dan tungkainya lemah, pasien langsung pulang ke rumah. Ada riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia. 2.1.2 Step I ( Terminologi Asing )

8|Laporan modul 2

o Hipertensi : tingginya tekanan arterial diatas nilai normal, dimana tekanan sistolik > 130 mmHg dan tekanan diastolic > 80 mmHg. o Hiperkolesterolemia : Tingginya kadar kolesterol total dalam darah ( > 200 mg/dl) 2.2.2 Step II ( Identifikasi Masalah ) 1. Apa hunbungan antara riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia dengan gejala klinis yang timbul ? 2. Diangnosis kerja yang mungkin untuk kasus diatas ? 3. Bagaimana penatalaksanaan awal ? 4. Apa komplikasi yang mungkin timbul ? 2.3.2 Step III ( Brain Storming ) 1. Hubungan antara hipetensi dan hiperkolesterolemia terhadap gejala klinis yang timbul, berasal dari tingginya kadar LDL dan TG didalam darah,serta rendahnya kadar HDL (hiperkolesterolemia) yang menyebabkan terjadinya penumpukan lemak didalam pembuluh darah (plak/aterosklerosis), menumpuknya plak ini menyebabkan berkurangnya luas permukaan pembuluh darah, sehingga resistensinya meningkat dan diperlukan tekanan yang kuat untuk memompakan darah agar distribusinya merata ke seluruh tubuh (hipertensi). Sumbatan yang terjadi didalam pembuluh darah otak akibat plak aterosklerosis menyebabkan gangguan aliran darah otak, sehingga perfusi ke daerah otak berkurang, dan jaringan otak menjadi iskemik, kemudian timbul gangguan neurologis. Kurangnya perfusi ke daerah serebrum mengakibatkan timbulnya gangguan fungsi gerak anggota tubuh, gangguan sensorik dan gangguan fungsi luhur lainnya. 2. Diangnosis dari kelainan diatas dapat ditegakkan melalui : Anamesis :

9|Laporan modul 2

o Timbulnya gejala deficit neurologis mendadak ( kesemutan dan kedua tungkainya lemah) o Nyeri kepala yang tidak jelas asalnya o Terdapat faktor resiko seperti hiperensi dan hiperkolesterolemia. Pemeriksaan Fisik : o Vital sign : TD, nadi, RR dan suhu o Ditemukan penurunan fungsi motorik Pemeriksaan Penunjang o Laboratorium : Darah Lengkap, Profil lipid ( HDL, LDL dan TG), gula darah. o Radiologis : Ct-Scan o EKG: mencari kelainan organic dari jantung Diangnosis Kerja o Stroke nonhemoragik o Ensefalopati hipertensi o Hematom subdural dan intraserebral 3. Penatalaksanaan awal yang dilakukan terhadap pasien : o Karena pasien kejang diazepam iv 10 mg/kgBB 4. Komplikasi yang mungkin timbul : o Kelumpuhan anggota gerak o Koma

10 | L a p o r a n m o d u l 2

o Mati batang otak

Hiperkolesterolemia PlakAterosklerosis Tahanan pembuluh darah Resistensi HI P ERT EN SI


komplikasi

Timbul Gangguan Neurologis GejalaKlinis Kesadaran Kejang Gangguan fungsi motorik Anamesis Diagnosis : Stroke, Ensefalopati hipertensi, Hematomsubdural & Intraserebral Tatalaksana Komplikasi Sakit kepala

2.4. Step 4 ( Skema )

11 | L a p o r a n m o d u l 2

2.5. Step 5 (Learning objective) 8. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE. 9. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE. 10. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk. 11. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak. 12. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran. 13. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN INTRASEREBRAL. 14. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF. 2.6. Step 6 (Belajar Mandiri) Setelah diskusi kelompok kecil yang pertama kami berusaha untuk mencari bahan yang akan didiskusikan lagi pada diskusi kelompok kecil kedua. Selain untuk menjelaskan learning objective, juga untuk menjawab pertanyaan yang mungkin belum terjawab sepenuhnya.

2.7. Sintesis

12 | L a p o r a n m o d u l 2

Sintesis merupakan hasil dari belajar mandiri yang telah didiskusikan pada kelompok kecil dua. Pembahasan yang dilakukan berupa penjabaran-penjabaran dari learning objective yang telah ditentukan pada diskusi kecil dua sebelumnya. 2.7.1. Stroke
Pengertian Stroke Penyakit serebrovaskuler ( CVD ) atau stroke adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Stroke adalah gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke bagian otak. Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya, bahkan kejadian stroke dapat berulang.Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.

Klasifikasi Stroke 1. Stroke Iskemik (Stroke akibat penurunan aliran darah ke otak), yang dapat disebabkan oleh trombus (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher) atau embolus (bekuan darah atau material lain yang berasal dari tempat lain). 2. Stroke Perdarahan, disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Faktor risiko yang berhubungan dengan stroke a. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi Hipertensi Penyakit Jantung Merokok Diabetes Kadar kolesterol darah yang tinggi Konsumsi alkohol

13 | L a p o r a n m o d u l 2

Kegemukan Kontrasepsi oral Kurang aktivitas fisik

b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi Usia Jenis Kelamin Ras Keturunan

Stroke Iskemik Definisi Stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Disebabkan oleh peyumbatan pembuluh darah akibat adanya emboli, ateroskelosis, atau oklusi trombotik pada pembuluh darah otak. Etiologi Trombosis Ateroslekerosis (tersering) Gangguan darah (polisitemia, hemoglobinopati) Embolisme Vaskulitis (poliarteritis nodusa) Jantung (atrium fibrilasipaling byk, infark mi kard, pnykt jantung rematik, kardiomiopati iskemik) Kontrasepsi oral, karsinoma Subtype stroke iskemik a. Trombosis Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi seperti : Manifestasi Klinik

Tidak terjadi dengan tiba-tiba Bervariasi sesuai dengan lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di ajringan otak yang terkena Afasia, hemiplegic/parestesia setengah tubuh. Sebagian besar terjadi saat tidur.bangun di pagi hari--pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamiuka

14 | L a p o r a n m o d u l 2

sirkulasi menurun
b. Embolisme serebral Terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah otak oleh partikel/ debris yang berjalan di dalam aliran darah yang berasal dari tempat lain. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang - cabangnya sehingga menimbulkan kerusakan sirkulasi serebral. Manifestasi klinik

Terjadi tiba-tiba Deficit neurologis tiba-tiba, Hemiparesis/hemiplegia tiba-tiba, afasia, kehilangan kesadaran (related to causa jantung),

Serangan biasanya terjadi saat beraktifitas

c. Infark lakunar Terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu cabang penetrans sirkulus willis, arteri serebri media atau arteri vertebralis dan basilaris. Thrombosis yang terjadi di dalam pembuluh darah ini akan membentuk daerah-daerah infark yang kecil dan lunak, dikenal dengan nama lacuna. Penjelasan

Gejala Biasanya muncul dalam beberapa jam atau hari 4 sindrom lakunar yangs erring dijumpai : a. Disartria, hemiparesis ataksik, gerakan lengan atau tangan yang canggung akibat infark pons basal b. Stroke sensorik murni akibat infark talamus c. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior d. Hemiparesis murini akibat infark pars anterior kapsula interna (kelumpuhan yang terjadi dominan pada tungkai, gerakan volunteer tungkai yang terkena terganggu)

Patogenesis Adanya aterotrombosis atau emboli akan memutuskan aliran darah otak

15 | L a p o r a n m o d u l 2

(cerebral blood flow/CBF). Nilai normal CBF = 53 ml/100 mg jaringan otak/menit

Jika CBF < 30 ml/100 mg/menit akan menimbulkan iskemik Jika CBF < 10 ml/100 mg/menit kekurangan oksigen proses fosforilasi oksidatif terhambat produksi ATP (energi) berkurang pompa Na-K ATPase tidak berfungsi depolarisasi membran sel saraf pembukaan kanal ion Ca kenaikan influks Ca secara cepat gangguan Ca homeostasis Ca merupakan signalling molekul yang mengaktivasi berbagai enzim memicu proses biokimia yang bersifat eksitotoksik kematian sel saraf (nekrosis maupun apotosis) gejala yang timbul tergantung pada saraf mana yang mengalami kerusakan/kematian.

Causa Trombosis Sumbatan aliran di a. carotis interna mengakibatkan stroke yang sering terjadi pada usia lanjut sering mengalami pembentukan plaque.

Causa tromboemboli Trombus yang bermetastase dan menjadi emboli ke arteri yang lebih kecil menyumbat iskemik Causa emboli dari darah ke darah Emboli arteri besar ( a. Carotis interna) arteri kecil (a.Cerebri media) menyumbat iskemik Causa emboli dari jantung Emboli yang disebabkan oleh katup /miokard infark/atrial myxoma berjalan ikut sirkulasi sampai ke arteri di otak menyumbat iskemik. Manifestasi Klinik
Gejala yang muncul bervariasi tergantung di mana terjadi serangan stroke iskemia, misalnya: unilateral weaknesses biasanya hemiparesis (lumpuh separo) unilateral sensory complaints numbness, paresthesia (mati rasa)

16 | L a p o r a n m o d u l 2

Aphasia language comprehension

Monocular visual loss gangguan penglihatan sebelah.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan atas hasil: 1) Penemuan klinis Anamnesis: terutama terjadinya keluhan atau gejala deficit neurologis yang mendadak, tanpa trauma kepala, dan adanya faktor resiko stroke. Pemeriksaan fisik: adanya efisit neurologis fokal, dan ditemukan faktor risiko seperti hipertensi, kelainan jantung, bising jantung ataupun kelainan pembuluh darah lainnya. 2) Pemeriksaan tambahan / Laboratorium CT Scan: amat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama fase akut Angiografi serebral Pemeriksaan liquor serebrospinalis

3) Pemeriksaan lain Pemeriksaan untuk mencari faktor resiko, seperti darah rutin, hitung jenis dan gambaran darah. Komponen kimia darah, gas dan elektrolit Doppler, EKG, ECG, dll.

Penatalaksanaan

1) Fase akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit) Sasaran pengobatan adalah untuk menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu fungsi otak. Perlu diperhatikan fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan darah, kadar gula, keadaan gawat atau koma, elektrolit, balans cairan dan asam basa darahh.

17 | L a p o r a n m o d u l 2

Medikamentosa yang dapat diberikan: Anti-edema otak: manitol dosis 0,25-0,50 gr/KgBB/hari, 6x100 cc salaam 7-10 hari kemudian diturunkan secara tapering off. Anti-agregasi trombosit: acetyl salisilat acid (ASA), seperti aspirin/aspilet dengan dosis rendah 2x50 mg. Metabolic activator: Choline 2x250 mg iv, piracetam 12 g/hari/iv.drip (masa akut), dan piracetam 2x200 mg (waktu keluar rumah sakit). 2) Fase pasca akut Rehabilitasi Batasi kecacatan penderita, fisik dan mental dengan fisioterapi terapi wicara dan psikoterapi. Terapi preventif Terapi bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulya serangan baru stroke dengan jalan antara lain: mengobati dan menghinari faktor-faktor risiko stroke dengan cara mengobati DM, hipertensi, obesitas, menghindari rokok, stress dan berolah raga secara teratur.
Stroke Hemoragik Menurut WHO, dalam International Classificatiom of Diseases and Related Healtd Problem 10th Revision, SH dibagi menjadi perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan subaraknoid (PSA) Perdarahan Intraserebral Definisi PIS adalah perdarahan primer yang berasal dari peembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan olehtrauma, Epidemiologi

18 | L a p o r a n m o d u l 2

Usia rata-rata pada umur 55 tahun, interval 40-75 tahun, insidens pada pria sama dengan pada wanita. Angka kematian mencapai 60-90% dan dari seluruh yang meninggal setelah 3 hari, dan 72% setelah seminggu. Etiologi Terbanyak disebabkan karena hipertensi. Faktor etiologi lain adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemophilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan dalam jangka waktu lama, arteriovenous malformation (AVM) dan malformasi mikroangimatosa dalam otak, tumor otak (primer dan metastasis) yang tumbuh cepat, amiloidosisserebrovaskuler, dan yang jarang pada eklamsia, terapi elektrosyok dan sebagainya. Patologi dan patofisiologi 70% kasus terjadi di kapsula interna, 20% di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). Adanya ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak, diikuti pembentukan edema dalam jaringan otak di sekitar hematoma. Akibatnya,terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematoma dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan mengakibatkan penyempitan/penyumbatan sehingga terjadi iskemik pada jaringan yang dilayaninya. Gejala klinis yang timbul bersumber dari dekstruksi jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak/iskemik, dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya. Manifestasi klinis Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan seringkali di sianghari, waktu aktifitas atau emosi/marah. Nyeri kepala merupakan nyeri yang hebat sekali. Mual-muntah sering terdapat pada permulaan serangan. Hemiparesi/hemiplegi biasa terjadi sejak permulaan serangan. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma, 65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara -2 jam, dan 12% terjadi setelah 2 jamsampai 19 hari. Diagnosis Didasarkan atas gejala dan manifestasi klinis, dan hasil pemeriksaan terutama hasil CT Scan paling terpercaya.

19 | L a p o r a n m o d u l 2

Gejala/hasil tes

PIS + + Berdarah (90%) Abnormal Pergeseran garis tengah +

EH + Jernih Normal -

1. Definisi saraf unifokal 2. Hipertensi maligna 3. Likuor 4. CT scan 5. Ekhosenfalografik 6. Kelainan pupil

Gejala Klinis

PIS Berat Amat jarang Menit/jam

PSA Ringan 1-2 menit Sangat hebat Sering

SNH Berat/ringan + (biasa) (jam/hari) Ringan/tidak ada Tidak, Lesi di otak kecuali batang

1. Gejala deficit local 2. SIS sebelumnya 3. Permulaan (onset) 4. Nyeri kepala 5. Muntah awalnya

pada Hebat
Sering

6. Hipertensi 7. Kesadaran 8. Kaku kuduk 9. Hemiparesis 10. Deviasi mata 11. Gangguan bicara 12. Likuor 13. Perdarahan subhialoid 14. Paresis/gangguan N.III
Biasa hilang Jarang Sering awal Bisa ada Sering berdarah sejak Bisa sebentar Biasanya ada Permulaan Tidak ada Tidak ada hilang Hampir selalu Biasanya tidak

Sering kali Dapat hilang Tidak ada Sering dari`awal Mungkin ada Sering

20 | L a p o r a n m o d u l 2

Tidak ada -

Jarang

Jernih Tak ada

Selalu Berdarah Bisa ada Mungkin (+) -

Terapi Penderita dalam keadaan koma, sedapat mungkin di intensive care unit (ICU) dilakukan tindakan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi dengan intubasi untuk membuat PCO2 28-34 mmHG. 2. Bila kejang injeksi valium 10 mg iv, kemudian dilanjutkan dengan dilantin 1 x 1 denagn dosis yang sama. 3. Tranexamid acid biasanya digunakan bila ada darah di ruangan ventrikel dengan dosis 6x1 g selama 7 hari dengan tapering off. 4. Manitol 0,25 g/kg/BB 6x100 selama 7-10 hari kemudian tapering off. 5. Bila tekanan sistolik > 200 mmHg diturunkan 10-20%.
Prognosis Dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkatkan kesadaran, sadar 16% meninggal, somnolen 39% mati, stupor meninggal 71%, dan bila koma maka 100% meninggal; Usia, Pada usia 70 tahun atau lebih angka kematian meningkat tajam; Jenis kelamin lelaki lebih banyak (61%) yang meninggal daripada perempuan (41%); Tekanan darah, tensi tinggi prognosis jelek; lain-lainnya misalnya cepat dan tepatnya pertolongan. Perdarahan Subaraknoidal Definisi

21 | L a p o r a n m o d u l 2

PSA adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid. Etiologi dan epidemiologi Sebanyak 50% karena pecahnya aneurisma, pecahnya AVM (5%), asalnya primer dari PIS (20%), dan 25% kausanya tak diketahui. PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus stroke. Insidensnya, 6296 PSA timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pada AVM, laki-laki lebih banyak daripada wanita. Manifestasi klinis Gejala prodromal: nyeri kepala hebat dan perakut hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit kepala. Kesadarann sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit delirium sampai koma. Gejala/tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, tanda Kernig (+). Fundus okuli: 10% penderita mengalami edema-papil beberapa jam setelah perdarahan. Sering terdapat perdarahan subhialoid kerana pecahnya aneurisma pada a. komunikans anterior atau a. karotis interna. Gejala-gejala neurologic fokal bergantung pada lokasi. Gangguan fungsi saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan meningeal, dan demam tinggi bila melibatkan hipotalamus. Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardia, ada hubungannya dengan hipotalamus. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena (stress ulcer), dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG. Diagnosis Diagnosis didasarkan atas: 1. gejala-gejala dan tanda klinis

22 | L a p o r a n m o d u l 2

2. likuor: hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm 3. Warna xantrokom timbul dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit hilang (lisis) dalam 7 hari, kecuali adanya perdarahan baru. 3. angiografi dilakukan dalam beberapa hari setelah mulai perdarahan. 4. CT Scan: aneurisma yang 7mm tak terlihat. Dengan pengentaraan kontras, dapat terlihat aneurisma maupun AVM. Terapi Cara pengobatan yang digunakan untuk PIS, dipakai juga untuk PSA pada fase akut. Setelah fase akut lewat, dianjurkan angiografi untuk mencari lesi (aneurisma atau angioma, AVM) sumber PSA. Bila ditemukan, maka bisa dilakukan operasi bedah saraf (kliping, ligasi, dll). Prognosis Bergantung pada: 1. etiologi: llebih buruk pada aneurisma 2. lesi tunggal/multiple: anuerisma multiple lebih buruk 3. Lokasi aneurisma/lesi: pada a.komunikans anterior dan a. serebri anterior lebih buruk, karena sering perdarahan masuk ke intraserebral atau ke ventrikel (perdarahan ventrikel) 4. umur: prognosis jelek pada usia lanjut 5. kesadaran: bila koma lebih dari 24 jam, buruk hasil akhirnya. 6. gejala: bila kejang, memperburuk keadaan/prognosis 7. spasme, hipertensi, dan perdarahan ulang, semuanya merugikan bagi prognosis Rehabilitasi Penderita dan Prevensi Stroke Rehabilitasi Program rehabilitasi penderita stroke diberika setelah terjadi dan bermodalkan kesembuhan anatomis, dengan tujuan agar tercapai kesembuhan fungsional, melalui

23 | L a p o r a n m o d u l 2

proses belajar kembali. Caranya ialah dengan memberikan sensasi/stimulasi sesering mungkin pada bagian yang menderita, dan mengajarkan`kembali motorik sejak masa bayi. Program rehabilitasi dimulai ketika penderita mulai dirawat, yaitu sebelum program mobilisasi dan latihan aktif, dimulai dengan pemberian posisi yang menguntungkan pemulihan fungsi tubuh, mencegah spastisitas dan sikap tubuh abnormal; dan dengan nasehat serta pengarahan kepada penderita dan keluarganya. Tindakan mobilisasi perlu menunggu waktu, dengan pola sebagai berikut: Penderita stroke karena thrombosis atau emboli tanpa komplikasi/penyakit lain, mobilisasi dimulai 2-3 hari setelah serangan; Perdarahan subaraknoidal: mulai setelah 2-3 minggu; Pada thrombosis/emboli dengan infark miokardium tanpa komplikasi, program mobilisasi dilakukan setelah minggu ke-3; namun jika penderita segera menjadi stabil tanpa aritmia, mobilisasi dapat dilakukan dengan hati-hati mulai pada hari ke-10. Progressive stroke, tunggu sampai tercapai complete stroke, baru mulai diberikan latihan pasif, untuk proses/lesi vertebra-basiler perlu tunggu sampai 72 jam, sebelum menetapkan tak adanya progresi lagi. Prevensi Stroke Pencegahan terhadap serangan stroke baru, maupun ulangan (pada sisi yang sama), perlu dilakukan dengan: Pengobatan penyakit/faktor resiko, misalinya pengobatan DM, hipertensi, dll. Dengan anti agregasi trombosit anti thrombosis, misalnya dengan ASA dosis rendah dipyridamol 75-150 mg/hari. Nasehat, antara lain latihan/olahraga teratur, mengendalikan makanan, dan psikoterapi. Pendidikan dan penyuluhan kepada penderita, keluarga dan masyarakat tentang bahaya penyakit stroke perlu diberikan. Demikian pula cara-cara menghindarinya, dan kepada penderita tentang pengaturan posisi dan gerak tubuh/anggota yang berorientasi pada perkembangan

24 | L a p o r a n m o d u l 2

bagaimana/ kepada siapa selayaknya mereka segera minta pertolongan bila mengalami stroke. Komplikasi pada penderita stroke Selama menjalani perawatan di Rumah Sakit, pasien stroke dapat mengalami komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Selain itu, berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut: Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan. Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik. Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi diafragma. Transformasi hemoragik dari infark Hidrosefalus obstruktif Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa hari kemudian. Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius. Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu, pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT). Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita komplikasi gangguan ritme jantung. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti imobilitas, hipersekresi dll. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang.

25 | L a p o r a n m o d u l 2

Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer, atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat stroke.

Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.

Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan komunikasi dll. Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan. Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.

2.7.2. Identifikasi Kelemahan Anggota Gerak

Kelemahan Anggota Gerak (Paralisis Flaksid) Sistem motorik sering dibagi menjadi neuron motorik atas da neuron motorik bawah. Lesi di neuron motorik bawahneuron motorik spinalis dan kranialis yang secara langsung mempersarafi otot menyebabkan paralisis flaksid (kelumpuhan lunglai), atrofi otot, dan hilangnya respon refleks. Sindrom kelumpuhan spastik dan refleks regang hiperaktif tanpa atrofi otot dikatakan disebabkan oleh kerusakan neuron motorik atas, yaitu neuron di otak dan medula spinalis yang mengaktifkan neuron motorik. Namun, harus diperhatikan bahwa terdapat tiga jenis neuron motorik atas. Lesi di banyak dari jalur pengatur postur menyebabkan kelumpuhan spastik, tetapi lesi yang terbatas di jalur kortikospinalis dan kortikobulbaris lebih sering menimbulkan kelemahan (paresis) dibanding kelumpuhan, dan otot yang terkena umumnya mengalami hipotoni. Lesi serebelum menimbulkan gangguan koordinasi. Sistem kortikospinalis terutama memperantarai gerakan-gerakan volunter halus dan berlainan pada tangan dan jari tangan, misalnya gerakan yang diperlukan suplementer untuk dan melakukan pramotorik, pekerjaan dengan jahit-menjahit. masukan dari Daerah motorik serebroserebelum,

26 | L a p o r a n m o d u l 2

merencanakan perintah motorik volunter yang disampaikan ke neuron-neuron motorik yang sesuai oleh korteks motorik primer melalui sistem desendens ini. Sistem multineuron, sebaliknya terutama berperan dalam mengatur postur tubuh keseluruhan yang melibatkan gerakan involunter kelompok otot-otot besar di badan dan tungkai. Sebagai masukan yang berkonvergensi di neuron-neuron motorik bersifat eksitatorik, sementara yang lain inhibitorik. Gerakan terkoordinasi bergantung pada keseimbangan yang sesuai dengan aktivitas kedua masukan tersebut. Jika sistem inhibitorik yang yang berasal dari batang otak terganngu, otot-otot menjadi hiperaktif (tonus otot meningkat; refleks anggota badan menguat) karena aktivitas masukan eksitatorik ke neuron motorik tidak dilawan, suatu keadaan yang dikenal sebagai paralisis spastik. Sebaliknya, hilangnya masukan eksitatorik, seperti yang menyertai kerusakan jalur-jalur eksitatorik desendens yang keluar dari korteks motorik primer, menimbulkan paralisis flaksid (otot melemas; ketidakmampuan menimbulkan kontraski otot secara volunter, walaupun aktivitas refleks masih ada). Kerusakan pada korteks motorik primer di salah satu sisi otak, seperti yang terjadi pada stroke, menyebabkan paralisis flaksid di separuh badan yang berlawanan (hemiplegia, atau paralisis salah satu sisi tubuh). Gangguan di semua jalur desendens, seperti trauma berat pada korda spinalis, disertai dengan paralisis flaksid di bawah tingkat kerusakan kuadraplegia (paralisis keempat anggota badan) pada kerusakan korda spinalis bagian atas dan paraplegia (paralisis kedua tungkai) pada cedera korda spinalis bagian bawah. Kerusakan neuron-neuron motorik baik badan sel maupun serat-serat eferennyamenyebabkan paralisis flaksid dan tidak adanya respons refleks pada otot yang terkena. Kerusakan serebelum atau nukleus basal tidak menimbulkan paralisis tetapi menyebabkan aktivitas yang tidak terkoordinasi dan canggung serta pola gerakan yang tidak seuai. Daerah-daerah ini dalam keadaan normal bertugas memperhalus aktivitas yang dimulai secara volunter. Kerusakan di daerah-daerah korteks yang lebih tinggi yang erperan dalam perencanaan aktivitas motorik menyebabkan

27 | L a p o r a n m o d u l 2

ketidakmampuan membiat perintah motorik yang sesuai untuk menyelesaikan gerakan yang diinginkan.
2.7.3. Identifikasi dan Penatalaksanaan pada Penurunan Kesadaran

Pengertian Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Sementara penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu : 1. Kompos mentis Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dalam. 2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun. 3. Stupor / Sopor Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri. 4. Soporokoma / Semikoma Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif. 5. Koma
28 | L a p o r a n m o d u l 2

Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara maupun reaksi motorik. Etiologi Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah SEMENITE yaitu : a. S : Sirkulasi Meliputi stroke dan penyakit jantung b. E : Ensefalitis Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan. c. M : Metabolik Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum d. E : Elektrolit Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. e. N : Neoplasma Tumor otak baik primer maupun metastasis f. I : Intoksikasi Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran g. T : Trauma Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. h. E : Epilepsi Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Manifestasi Klinis Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah : Penurunan kesadaran secara kwalitatif GCS kurang dari 13

29 | L a p o r a n m o d u l 2

Sakit kepala hebat Muntah proyektil Papil edema Asimetris pupil Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif Demam Gelisah Kejang Retensi lendir / sputum di tenggorokan Retensi atau inkontinensia urin Hipertensi atau hipotensi Takikardi atau bradikardi Takipnu atau dispnea Edema lokal atau anasarka Sianosis, pucat dan sebagainya.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran yaitu : Laboratorium darah ;Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN ), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ). CT Scan ; pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak PET ( Positron Emission Tomography );untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak. SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography );untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke. MRI ; Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak. Angiografi serebral ; Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi arteriovena.

30 | L a p o r a n m o d u l 2

Ekoensefalography ; Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas dan neoplasma.

EEG ( elektroensefalography ); Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak, infeksi otak. EMG ( Elektromiography ); Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain. Pengkajian Primer 1. Airway a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas b. Terjadi penurunan kesadaran c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan e. Gelisah f. Sianosis g. Kejang h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan i. Suara serak j. Batuk 2. Breathing a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll b. Sianosis c. Takipnu d. Dispnea e. Hipoksia f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi 3. Circulation a. Hipotensi / hipertensi b. Takipnu c. Hipotermi

31 | L a p o r a n m o d u l 2

d. Pucat e. Ekstremitas dingin f. Penurunan capillary refill g. Produksi urin menurun h. Nyeri i. Pembesaran kelenjar getah bening Pengkajian Sekunder 1. Riwayat penyakit sebelumnya Apakah klien pernah menderita : a. Penyakit stroke b. Infeksi otak c. DM d. Diare dan muntah yang berlebihan e. Tumor otak f. Intoksiaksi insektisida g. Trauma kepala h. Epilepsi dll. 2. Pemeriksaan fisik a. Aktivitas dan istirahat Data Subyektif: kesulitan dalam beraktivitas kelemahan kehilangan sensasi atau paralysis. mudah lelah kesulitan istirahat nyeri atau kejang otot

Data obyektif: Perubahan tingkat kesadaran Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
32 | L a p o r a n m o d u l 2

gangguan penglihatan

b. Sirkulasi Data Subyektif: Riwayat penyakit stroke Riwayat penyakit jantung Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial. Polisitemia.

Data obyektif: Hipertensi arterial Disritmia Perubahan EKG Pulsasi : kemungkinan bervariasi Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal c. Eliminasi Data Subyektif: Inkontinensia urin / alvi Anuria

Data obyektif Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ) Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )

d. Makan/ minum Data Subyektif: Nafsu makan hilang Nausea Vomitus menandakan adanya PTIK Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan Disfagia

33 | L a p o r a n m o d u l 2

Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah

Data obyektif: Obesitas ( faktor resiko ) e. Sensori neural Data Subyektif: Syncope Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral perdarahan sub arachnoid. Kelemahan Kesemutan/kebas Penglihatan berkurang Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka Gangguan rasa pengecapan Gangguan penciuman atau

Data obyektif: Status mental Penurunan kesadaran Gangguan menyerang) Gangguan fungsi kognitif Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam Wajah: paralisis / parese Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya. ) tingkah laku (seperti: letargi, apatis,

34 | L a p o r a n m o d u l 2

Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil Kehilangan kemampuan mendengar Apraksia motorik : kehilangan kemampuan menggunakan

Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil isokor / anisokor, diameter pupil

f.

Nyeri / kenyamanan Data Subyektif: Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya Data obyektif: Tingkah laku yang tidak stabil Gelisah Ketegangan otot

g. Respirasi Data Subyektif : perokok ( faktor resiko ) h. Keamanan Data obyektif: Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan Perubahan persepsi terhadap tubuh Kesulitan untuk melihat objek Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan Berkurang kesadaran diri
35 | L a p o r a n m o d u l 2

i.

Interaksi sosial Data obyektif: Problem berbicara Ketidakmampuan berkomunikasi

3. Menilai GCS Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan Skala Coma Glasgow : Respon motorik Respon bicara Pembukaan mata

Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan. Penilaian pada Glasgow Coma Scale Respon motorik Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan, menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan gangguan. Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya. Nilai 3 : fleksi abnormal . Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity ) Nilai 2 : ekstensi abnormal. Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
36 | L a p o r a n m o d u l 2

Nilai 1 : Catatan : -

Sama sekali tidak ada respon

Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif

Respon verbal atau bicara Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien : Dispasia atau apasia Mengalami trauma mulut Dipasang intubasi trakhea (ETT) pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara . Nilai 4 : Nilai 3 : orientasi waktu, tempat , orang, siapa dirinya , berada dimana, tanggal hari. pasien confuse atau tidak orientasi penuh bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (ngrenyem), suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri Respon membukanya mata : Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya Catatan: Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata. Nilai 4 : Nilai 3 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan membuka mata

Nilai 5 :

37 | L a p o r a n m o d u l 2

Nilai 2 : Nilai 1 :

Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri

4. Menilai reflek-reflek patologis : a. Reflek Babinsky Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar b. Reflek Kremaster : Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya corticulspinal 5. Uji syaraf kranial : NI.N. Olfaktorius penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup N.II. N. Opticus Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik, atau mengerutnya testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus

38 | L a p o r a n m o d u l 2

Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan ) bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam) N.VIII/ Vestibulo - acusticus Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan garpu tala. N.IX/ N.XI / Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam. Diagnosis dan Intervensi 1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam. Kriteria hasil :

39 | L a p o r a n m o d u l 2

Tidak ada tanda tanda peningkatan TIK Tanda tanda vital dalam batas normal Tidak adanya penurunan kesadaran

Intervensi : Mandiri : Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana Pantau tekanan darah Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur Pantau suhu lingkungan Pantau intake, output, turgor Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai Tinggikan kepala 15-45 derajat Berikan oksigen sesuai indikasi Berikan obat sesuai indikasi Kolaborasi :

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam. Kriteria hasil: Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas Ekspansi dada simetris Bunyi napas bersih saat auskultasi Tidak terdapat tanda distress pernapasan

40 | L a p o r a n m o d u l 2

GDA dan tanda vital dalam batas normal

Intervensi: Mandiri : Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal Penghisapan sekresi Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam Kolaborasi : Berikan oksigenasi sesuai advis Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi

3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan Tujuan : Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam Kriteria hasil: RR 16-24 x permenit Ekspansi dada normal Sesak nafas hilang / berkurang Tidak suara nafas abnormal

Intervensi : Mandiri : Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Auskultasi bunyi nafas. Pantau penurunan bunyi nafas. Berikan posisi yang nyaman : semi fowler Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan

41 | L a p o r a n m o d u l 2

Kolaborasi : Berikan oksigenasi sesuai advis Berikan obat sesuai indikasi

4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasiperfusi sekunder terhadap hipoventilasi Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat Kriteria Hasil : Pasien mampu menunjukkan : Mandiri : Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter. Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2 Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen. Pantau irama jantung Berikan cairan parenteral sesuai pesanan Kolaboraasi : Bunyi paru bersih Warna kulit normal Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :

42 | L a p o r a n m o d u l 2

Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

2.7.4. Hematoma Epidural Hematoma Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya terjadi kompresi otak. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Gejala-gejala yang terjadi : Penurunan tingkat kesadaran Nyeri kepala Muntah Hemiparesis Dilatasi pupil ipsilateral Pernapasan dalam cepat kemudian. Penurunan nadi Peningkatan suhu Kesadaran menurun hingga koma Gejala fokal, akibat herniasi tentorial timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+) pada daerah kontralateral midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya direct / indirect (-). Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema. LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi) Berdasarkan gejala klinis dan Radiologik , plain foto kepala, CT scan kepala.

Diagnosa :

43 | L a p o r a n m o d u l 2

Tindakan Operasi trepanasi Prognosa Baik bila cepat dioperasi. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam. 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Hematoma Subdural Definisi Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya venavena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

44 | L a p o r a n m o d u l 2

Gb. Hematoma Subdural

Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Gg. Perdarahan pada subdural

45 | L a p o r a n m o d u l 2

Patofisiologi Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.

Gb. Lapisan pelindung otak Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar

46 | L a p o r a n m o d u l 2

sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua

47 | L a p o r a n m o d u l 2

mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. 2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama

48 | L a p o r a n m o d u l 2

kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Gejala Klinis 1. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 2. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

49 | L a p o r a n m o d u l 2

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun tekanan perlahan-lahan intrakranial dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya seiring pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tandatanda neurologik dari kompresi batang otak. 3. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

50 | L a p o r a n m o d u l 2

Kerusakan pada Otak Tertentu Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

Kerusakan Lobus Frontalis

51 | L a p o r a n m o d u l 2

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya. Kerusakan Lobus Parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Kerusakan Lobus Temporalis, lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.

52 | L a p o r a n m o d u l 2

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. Penatalaksanaan Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor

53 | L a p o r a n m o d u l 2

dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan Pascabedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Tanda-tanda dan gejalanya adalah : Nyeri kepala Bingung Mengantuk Menarik diri Berfikir lambat Kejang Udem pupil Diagnosis anamnesa gejala klinis EEG Ct scan kepala Tindakan : operasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

54 | L a p o r a n m o d u l 2

Intracerebral Hematoma Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Perdarahan yang terjadi di korteks yang menimbulkan lesi desak ruang dan meimbulkan edmea kolateral. Terbanyak pada lobus temporalis selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong. Disamping kehilangan kesadaran, kelainan ini ditandai oleh adanya defisit neurologik, cairan serebrospinal yang berdarah dan hasil pemeriksaan CT scan yang abnormal Tanda dan gejalanya : Nyeri kepala Penurunan kesadaran Komplikasi pernapasan Hemiplegia kontra lateral Dilatasi pupil Perubahan tanda-tanda vital

Perdarahan Subarachnoid Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala Penurunan kesadaran Hemiparese Dilatasi pupil ipsilateral Kaku kuduk

2.7.5. Ensefalopati Hipertensif

Definisi

55 | L a p o r a n m o d u l 2

Ensefalopati Hipertensi merupakan disfungsi neurologi yang disebabkan oleh hipertensi maligna. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan kondisi otak dan biasanya bersifat reversibel. Ensefalopati hipertensi biasanya terjadi pada eklampsia, nefritis akut dan hipertensi krisis. Biasanya sering terjadi pada usia muda dan setengah baya dengan Hipertensi. Etiologi Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati hipertensi, antara lain : Glomerulonefritis akut. Ensefalitis. Meningitis. Agen simpatomimetik ( LSD, amfetamin, kokain, dll). Eklampsia dan Preklampsia. Trauma Kepala. Hiperaktifitas autonom. Vaskulitis, dll.

Patofisiologi Ensefalopati hipertensi terjadi karena perfusi serebral meningkat yang disebabkan oleh hilangnya integritas sawar darah-otak (Blood Brain Barrier) memicu pengeluaran cairan ke otak. Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan vasokonstriksi arteriolar otak.

56 | L a p o r a n m o d u l 2

Pada hipertensi kronis, rentang autoregulatory otak bergeser ke tekanan yg lebih tinggi sebagai adaptasi elevasi tekanan darah sistemik.

Respon autoregulasi yang tidak mampu untuk mengadaptasikan diri terhadap peningkatan tekanan darah sistemik otak yang melebihi autoregulasi menyebabkan terjadinya kebocoran hidrostatik di kapiler dalam sistem saraf pusat.

Vasodilatasi umum, edema serebral, dan papil edema merupakan tanda defisit neurologis secara klinis ensefalopati hipertensi.

Gejala Sakit kepala. Vertigo. Gelisah. Mual (Nausea). Gangguan kesadaran. Kejang (Seizure). Perdarahan retina. Papilledema. Lesi focal otak dapat berhubungan dengan gejala-gejala neurologis yang spesifik. Diagnosa Anamnesa Gejala mulai terjadi setelah 12-48 jam.

57 | L a p o r a n m o d u l 2

Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan vital sign, Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap, urine, kreatinin, enzim jantung, toksikologi urine, Rontgen, dan CT Scan.

Penatalaksanaan Labetalol 20 mg IV bolus Nitrogliserin 300-500 mcg/ menit IV bolus Trimethaphan camsylate 0,5-10 mg/ menit IV infus

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Penurunan kesadaran salah satunya dapat disebabkan oleh stroke yang disebabkan oleh berbagai faktor resiko hipertensi dan hiperkolesterol seperti yang digambarkan pada skenario. Identifikasi dini terhadap tanda dan gejala stroke sangat penting untuk mencegah timbulnya komplikasi atau keadaan yang lebih buruk. Penanggulangan cepat dan tepat terhadap kondisi umum pasien yang buruk seperti adanya obstruksi jalan napas harus diperhatikan. Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, sangat penting bagi

mahasiswa untuk dapat mengetahui dan memahami gejala-gejala awal penderita

58 | L a p o r a n m o d u l 2

stroke, pertolongan pertama yang harus diberikan jika keadaan pasien sedang tidak sadar, dan edukasi pada pasien dan keluarga agar serangan tidak terulang. 3.2. Saran Dengan memahami laporan diatas, kami mengharapkan mahasiswa dapat menggunakan dan menerapkan etika penelitian dalam penelitian masing-masing.. Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2007.

DAFTAR PUSTAKA Ethical Issues in Biomedical Research, ICMR Guidelines, New Delhi, 1997 Government Regulation No. 39/1995 on Health Research and Development. Jakarta, 1995 http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subject (CIOMS-WHO, 1993)

59 | L a p o r a n m o d u l 2

You might also like