Pengujian aktivitas antimikroba terhadap ekstrak non polar dan ekstrak polar (defatted dan non defatted) daun beluntas terhadap sel vegetatif bertujuan untuk mengetahui potensi sifat antimikroba. Pengujian dilakukan dengan metode difusi sumur dan kertas cakram, dengan konsentrasi ekstrak yang diuji adalah 20 persen (wlv) dengan konsentrasi bakteri uji adalah l o4 CFUIml. Hasil yang diperoleh merlunjukkan bahwa dengan metode kertas cakram semua ekstrak yang diuji tidak menunjukkan aktivitas antimikroba. Hal ini kemungkinan disebabkan ekstrak yang menempel pada kertas saring jumlahnya terlalu kecil sehingga tidak marr~pu untuk berdifusi ke dalam media. Oleh karena itu untuk pengujian selanjutnya tjigunakan metode difusi sumur. Pengujian ekstrak non polar dengan medium 0,5 persen Tween 80 terhadap bakteri dan kapang uji tidak menunjukkan aktivitas. Hal ini kemungkinan disebabkan komponen aktif yang terdapat di dalam daun beluntas tidak terekstrak dengan pelarut non polar (heksan). Ekstrak daun beluntas yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri maupirn kapang adalah ekstrak polar (defatted dan non defatted), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 terlihat bahwa diameter penghambatan ekstrak non defatted lebih lebar daripada ekstrak defatted terhadap semua bakteri uji. Hal ini diduga disebabkan komponen aktif lebilh banyak terekstrak dalam ekstrak non defatted. Oleh karena itu ekstrak yang digunakan untuk pengujian selanjutnya adalah ekstrak polar non defatted. Puupponen-Pimia et al. (200'1) menyebutkan bahwa komponen fenolik yang terkandung pada ekstrak berry mampu menghambat beberapa bakteri Gram negatif, diantaranya adalah Salmonella enterica SH-5014 dan E. coli CM871. Naidu (2000), mensitir pernyataan Aqeel et al. (1989), menyatakan bahwa komponen alkaloid yang terdapat pada tanaman Prosopis juliflora mempunyai kemampuan untuk rnenghambat 31 spesies bakteri, dua spesies Candida, lima spesies jamur penyebab sakit kulit, dan dua spesies virus. Lebih lanjut Naidu (2000), mensitir pernyataan Aguwa dan Lawal (1988), menyatakan bahwa pada daun Caliandra portoricensis mengandung tanin yang dapat menghambat aktivitas pertum bu han E. coli, S aureus, dan Streptococcus faecalis. lstilah fenolik atau polifenol dapat didefinisikan secara kimia sebagai suatu substansi yang mempunyai satu cincin aromatik dan minimal satu (kebanyakan lebih dari satu) substitusi gugus hidroksi yang termasuk gugus fungsional. Pada Tabel 4 disajikan kelompok utama fenolik pada tanaman. Senyawa-senyawa fenol~k tanaman yang telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri, diantaranya adalah turunan dari p-benzekuinon seperti : 2,3- dimetoksi-5-metil-p-benzokuinon, 2,6-difenil-p-benzekuinon, dan 2,6-dimetoksi- p-benzokuinon (Nishina et al., 1991). Ekstrak metanol dari tanaman Mitracarpus scaber yang mempunyai komponen asam galat (Gambar 5-a) dan asam 3,4,5-trimetoksi asam benzoat (Gambar 5-b), dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus (MIC 3,90 dan 0,97 pg ml-I), 4- metoksiasetophenon (Gambar 5-c) dan 3,4,5-trimetoksiasetophenon (Gambar 5- 4 yang sangat efektif menghambat Candida albicans (MIC 1,95 pg ml-'), dan komponen kaemferol-3-0-rutir~osida (Gambar 5-e), rutin (Gambar 5-f), dan psoralen (Gambar 5-g), mempunyai aktivitas rendah terhadap bakteri dan kapang (MIC 125-500 pg ml-I) ( Bisignano et a/., 2000). E3enzokuinon 2,6-Dimetoksibenzokuionon Asam fenolik p-Hidroksibenzoat, salisilat Asetofenon 3-Asetil-6- I I I I metoksibenzaldehida I lsoflavonoid Genistein Podo h llotoxin 30 . (C6'C3- Biflavonoid Amentoflavon 9 10 13 14 . c6-c3 . C6-C4 . C6-C1-C6 . C6-C2-C6 N Tanin adalah salah satu kelompok fenolik yang merupakan polimer linear I ~ 6 h - 1 dari flavan-3-01 dan flavan-3,4-diol. Unit-unit tersebut dihubungkan bersama Asam fenilasetat Asam hidroksinamik F:enilpropena Kumarin I!;okumarin Kromonon Naftokuinon Xhantone Stilben c6) 2 (C6-C3),, (c6)n (C6-C3- tanin) oleh rantai-rantai karbon C4 pada unit yang satu dan C6 atau C8 pada unit yang p-Hidroksifenilasetat Caffeic, Ferulik Miristisin, eugenol Ambeliferon, aeskuletin Bergenin Eugenin Juglone,plumbagin Mangiferin Asam lunularik Lignin Katekol melanin Flavolan (kondensat Sumber : Harborne (1 99613). lain (Shahidi dan Baczk, 1995). Tanin bersifat dapat menggumpalkan protein, dapat membentuk kompleks dengan beberapa polisakarida, asam nukleat, dan alkaloid, dapat mempengaruhi warna, dan berkontribusi terhadap rasa dan aroma (Shahidi dan Baczk, 1995). Struktur kimia tanin dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 5. Beberapa senyawa antimikroba fenol dari tanaman M. scaber (a) asam galat; (b) 3,4,5-trimetoksi asam benzoat; (c) 4- metoksiasetopenon; (d) 3,4,5-trimetoksiasetopenon, (e)kaemferol-3- 0-rutinosida; (9 rutin; (g) prosalen (Bisignano et a/., 2000). GC EGC EGCg Gambar 6. Struktur kimia tamin; (C) Katekin; (EC) Epikatekin; (ECg) Epikatekin galat; (GC) Galokatekin; (EGC) Epigalokatekin; (EGCg) Epigalokatein galat (Sakanaka et a/., 1989). Senyawa-senyawa tanin yang telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri, adalah berasal dari ekstrak teh hijau yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Senyawa aktif dari tanin tersebut adalah galokatekin, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat. Diantara ketiga senyawa aktif tersebut galokatekin mempunyai aktivitas paling tinggi dengan nilai MIC 250 pglml. Penghambatan oleh ketiga senyawa aktif tersebut diduga karena adanya gugus hidroksil (Sakanaka et al., 1989). Secara umum alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung nirogen dan banyak sekali ragamnya termasuk struktur kimianya (Mann, 1996). Aktivitas senyawa-senyawa alkaloid atau senyawa yang mengandung N dari tanaman sebagai senyawa antimiktoba, belum banyak diketahui, salah satu yang dikratahui mempunyai aktivitas antimikroba adalah senyawa alkaloid karbazol dengan struktur dasar seperti disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Struktur dasar alkaloid karbazol (a) dan beberapa senyawa antimikroba alkaloid karbazol (b-e) (Bhattacharyya et al., 1993; Chakraborty et a/., 1995; Ramsewak et al., 1999). Senyawa antimikroba alkaloid karbazol yang terbukti memiliki aktivitas antimikroba, diantaranya adalah (a) senyawa 3-metil-6,7-metilenadioksikarbaml (CI4HllNO2; Gambar 7-b), bersifat antibakteri kuat dengan nilai MIC (pg/ml) terhadap B. subtilis (15), E, coli (25), dan S. aureus (33), senyawa ini diisolasi dari fraksi netral ekstrak dietil eter kulit kayu tanaman Clausena heptaphylla (Bhattacharryya et al., 1993:); (b) 1,8-dimetoksi-3-formilkarbazol (CI5Hl3NO3; Gambar 7-c), merupakan senyawa antibakteri dan antikapang kuat dengan nilai MIC (pglml) terhadap S. aureus (3), E. coli (6), C. albicans (8), P. aeruginosa, dan S. typhi (25), diisolasi dari fraksi netral ekstrak etanol daun tanaman Clausena heptaphylla (Chakraborty et al., 1995); (c) beberapa senyawa alkaloid karbazol lain seperti mahanirrrbina (Gambar 7-dl ), mahanina (Gambar 7-d.2), dan murayanol (Gambar 7-e), diisolasi dari ekstrak aseton daun tanaman Murraya koenigii, terbukti merniliki aktivitas antimikroba khususnya terhadap S. aireus, E. coli, dan S. pyogenes (Ramsewak et a/., 1999). Senyawa 1,8-dimetoksi-0-formilkarbazol (CI5Hl3NO3; Gambar 7-c) memiliki aktivitas antibakteri (S. aureus dan E. coli) lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa 3-metil-6,7-metilenadioksikarbazol (C14HllN02; Gambar 7-b) dari jenis tanaman yang sama. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan dua gugus fungsional metoksi (-0-CH3) pada posisi ikatan 1 dan 8 serta gugus aldehida (- CHO) pada posisi 3 yang bersifat lebih bebas dan terbuka dibandingkan dengan ikatan rnetilenadioksi pada posisi 6 dan 7 pada senyawa 3-metil-6,7- metilenadioksikarbazol sehingga diduga senyawa 1,8-dimetoksi-3-formilkarbazol lebih reaktif terhadap membran sel bakteri dan enzim-enzim respirasi sel bakteri. Steroid terdapat pada hewan, tanaman, dan juga pada mikroorganisme. Kelompok senyawa ini dapat sebagai dalam bentuk ekstrak atau minyak atsiri. Steroid merupakan degradasi dari senyawa karbon C30 dan mempunyai hubungan dengan golongan senyawa terpenoid (Banthorpe, 1996). Steroid merupakan subklas dari triterpenoid (komponen C30). Struktur kimia steroid dapat dilihat pada Gambar 8. Penelitian yang dilakukan oleh Kokpol et a/. (1993) mengidentifikasi kandungan steroid pada ekstrak tanaman Rhizophora apicula. Ekstrak metilen diklorida tanaman R. apicula mengandung tiga komponen steroid, yaitu kampesterol (4,61%), stigrnaterol (18,47%), dan sitosterol (76,92%). Ketiga komponen steroid yang teridentifikasi sebagai senyawa aktif tidak memiliki aktivitas antimikroba. Keller et a/. (1998) melaporkan bahwa kandungan steroid yang mempunyai aktivitas antimikroba merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada fungi Fomitopsis pinicola. Gambar 8. Struktur dasar steroid ; R (Co-Clo) (Banthorpe, 1996). C. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Sel Vegetatif Bakteri dan Kapang Aktivitas antimikroba ekstraK daun beluntas terhadap sel vegetatif dan kapang dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9-a, dapat dilhat bahwa aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap bakteri uji berbeda-beda. Urutan kesensitifitan bakteri ~uji berturut turut adalah B. cereus, B. subtilis, S. typhi, E. coli, S. aureus, dan yi2ng paling resisten adalah P. fluorescens. Bakteri Gram positif mennpunyai kecenderungan lebih sensitif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif ha1 ini disebabkan karena perbedaan struktur dinding sel bakteri. Pada balcteri Gram positif sebagian besar dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan dan asam teikoat, sedangkan pada bakteri Gram negatif dinding selnya terdapat lapiran terluar yang disebut dengan membran luar yang terdiri dari lipopolisakarida, protein dan fosfolipid dan lapisan tipis peptidoglikan (Cano dan Colome, 1986). Membran luar bakteri Gram negatif akan memberikan ketegaran yang lebih kuat dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Adanya ketiga senyawa ini pada membran luar menyebabkan bakteri Gram negatif mempunyai ketahanan terhadap s enyawa antimikroba. E coli 8 S. aureils Mrouxii Rnicillium sp A. f lavus S. typhi a P. fluorescens (a) (b) Gambar 9. Aktivitas ekstrak polar non defatted daun beluntas terhadap (a) sel vegetatif; (b) kapangi. Penelitian ini juga menu~njukkan bahwa ekstrak daun beluntas mampu menghambat bakteri Gram negatif (S. typhi dan E. coli). Penelitian dilakukan oleh Helander et al. (1998), menyebllrtkan bahwa komponen fenolik dari karvakrol dan thymol mampu menghambat bakteri E, coli dan Salmonella, karena kemampuan senyawa ini untuk menghambat: pembentukan DNA dari kedua bakteri tersebut. Hal ini didukung pula oleh Puupponen-Pimia et a/. (2001) yang mensitir pernyataan Stammati et a/. (1999), bahwa senyawa fenolik adalah senyawa mutagenik yang dapat menyebalbkan kerusakan DNA bakteri E. coli. Pengujian aktivitas antimikroba terhadap kapang perusak makanan (M. rouxii dan Penicillium sp.) dan kapang penghasil aflatoksin (A. flavus). Konsentrasi spora kapang yang diuji adalah l o6 CFU/ml. Pada Gambar 8-b dapat dilihat bahwa ekstrak memiliki kemampuan yang berbeda untuk menghambat pertumbuhan kapang. Kapang yang dapat dihambat dengan baik adalah M. rouxii, Penicillium sp. sedikit dihambat, sementara A. flavus tidak dapat dihambat. Data yang diperoleh mer~unjukkan bahwa ekstrak daun beluntas memiliki kemampuan yang rendah dalam menghambat pertumbuhan kapang bila dibandingkan dengan bakteri. Hal ini disebabkan karena kapang adalah organisme eukariot dimana struktur penyusun dinding selnya lebih kompleks dibandingkan dengan bakteri. Struktur dinding selnya terdiri dari polimer glukosa dengan ikatan P-1,3 (Fardiaz, 1989b). Sehingga untuk dapat menghambat pertumbuhan kapang kemungkinan diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Wan eta/. (1998), menyebutkan bahwa diperlukan minyak atsiri daun kemangi dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan kapang M. piriformis, P. candidurn, dan P. expansium. D. Nilai MlC lnaktivasi mikroba dinyatakan dengan nilai MIC yaitu konsentrasi terendah dari suatu komponen antimikroba dimana tidak terjadi pertumbuhan mikroba pada masa inkubasi 24 jam. Konscntrasi ekstrak yang diuji adalah 10-70 persen, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak menunjukkan semakin lebar areal penghambatan. Nilai MIC ekstrak daun beluntas disajikan pada Tabel 5, serta sebagai perbandingan disajikarl pula nilai MIC dari ekstrak daun salam dan ekstrak biji picung. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai MIC ekstrak daun beluntas menunjukkan nilai yang berbeda-beda untuk setiap spesies bakteri. Nilai MIC berkisar antara 2,26 - 3,19 persen. S. typhi adalah bakteri yang paling resisten dibandingkan bakteri lainnya, karena untu~k menghambat pertumbuhan bakteri tersebut diperlukan konsentrasi ekstrak sebesar 3,19 persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nuraida et al. (1999a) bahwa S. typhi merupakan salah satu bakteri Gram negatif yang sangat reslsten. Ketahanan ini karena S. typhi merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki struktur dinding sel yang lebih komplek (Cano dan Colome, 1986), kemudian dikuti berturut-turut oleh S. aureus, E. coli, P. fluorescens, B. subtilis, dan yang paling sensitif adalah B. cereus. Tabel 5. Nilai MIC ekstrak daun beluntas, daun salam, dan biji picung Keterangan : Jumlah bakteri awal l o4. Nuraida dan Dewanti-Hariyadi (2001 b); Jumlah bakteri awal 10'. Nuraida et al. (1999a) ; Jumlah bakteri awal lo6. Tidak diuji. Tabel 5 menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas, daun salam, dan biji picung mempunyai nilai MIC yang berbeda untuk setiap spesies bakteri. Nilai MIC ekstrak daun salam berkisar antara 0,66 - 3,97 persen, bakteri yang paling sensitif adalah P. fluorescens dan yang paling resisten adalah B. cereus Sedangkan nilai MIC ekstrak biji picung berkisar antara 3,46 - 6,25 persen dengan bakteri yang paling sensitif adalah S. aureus dan paling resisten adalah B. cereus. Tingginya resistensi B. cereus diduga karena sebagian sel 6. cereus berada dalam bentuk spora yang secara alami jauh lebih resisten terhadap perlakuan kimia dan fisik bila dibandingkan dengan sel vegetatif baik bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Nuraida et a/., 1999a). Disamping itu, perbedaan efektifitas dalam menghambat bakteri, diduga disebabkan perbedaan komponen aktif yang terdapat di dalam masing-masing ekstrak. E. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Spora Pengujian aktivitas antimikroba terhadap spora dilakukan terhadap B. cereus dan B. subtilis. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas bila dibandingkan dengan sel vegetatif. Pengujian aktivitas antimikroba terhadap spora dilakukan pada kultur cair berumur 48 jam, karena pada umur tersebut hampir semua sel vegetatif telah membentuk spora berdasarkan pengamatan dengan mikroskop setelah pewarnaan. Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas disajikan pada Gambar 10. 10 , - EI Sel vegetat~f ~ S p o r a , , B. cereus B, subtilis Gambar 10. Aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap spora dan sel vegetatif Dari Gambar 10 dapat tlilihat terdapat perbedaan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap spora bakteri bila dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Areal penghabatan terhadap sel vegetatif lebih lebar bila dibandingkan dengan spora. Ini menunjukkan bahwa spora mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Penelitian yang dilakukan~ oleh Ultee et a/. (1998) dan Nuraida et a/. (1999a), menyebutkan bahwa spora lebih tahan terhadap aktivitas senyawa antimikroba alami bila dibandingkan dengan sel vegetatif telah dilaporkan Ultee et a/. (1998), melaporkan balhwa karvakrol mempunyai aktivitas sporosidal terhadap spora 6. cereus baik pada konsentrasi 1,75 dan 2,O mmolll. Spora lebih tahan dibandingkan dengan sel vegetatif karena diperlukan waktu inkubasi yang lebih lama untuk menurunkan lkonsentrasi selnya. Pada konsentrasi 2 mmolll diperlukan waktu inkubasi 37 rnenit untuk menurunkan spora sebanyak 2 log (CFUlml), sedangkan untuk sel vegetatif diperlukan waktu inkubasi selama 20 menit. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et a/. (1999a), menunjukkan bahwa ekstrak biji picung marripu menghambat spora 6. cereus dengan areal penghambatan sebesar 1 mm, sedangkan terhadap sel vegetatif ekstrak mampu menghasilkan areal penghambatan yang lebih lebar yaitu sebesar 4,2 mm. Perbedaan ketahanan ini diduga karena perbedaan struktur fisik dan kimia antara spora dengan sel vegetatifnya (Cano dan Colome, 1986 ; Fardiaz, 1992d). Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa struktur spora yang kompak terdiri dari dari beberapa lapisan. Pada spora terdapat lapisan terluar yang tipis dan lembut yang disebut dengan eksosporium. Di bawah lapisan eksosporium terdapat suatu lapisan lagi yang disebut dengan bungkus spora (kor spora) yang terdiri dari satu lapisan atau berlapis-lapis yang membentuk struktur yang mirip dengan dinding sel. Dibawah bungkus spora terdapat korteks yang terdiri dari peptidoglikan. Adanya struktur yang berlapis-lapis pada spora akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi ekstrak daun beluntas. Disamping itu kandungan air yang lebih rendah yaitu 15 lpersen bila dibandingkan dengan sel vegetatif yang mempunyai kandungan air 75 persen akan menyebabkan spora lebih tahan dibandingkan dengan set vegetatifnya (Cano dan Colome, 1986). Kandungan asam dipikolinat dan tingginya kandungan ion kalsium yang hanya dimiliki oleh spora juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan spora tahan terhadap perlakuan kimia (Fardiaz, 1992d). Gambar 11. Struktur spora ; G (Komponen DNA), IM (membran dalam), / C (korteks), OM (membran luar), SC (kor spora), dan E (eksosporium) (Cano dan Colome, 1986). F. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun BeluntasTerhadap Sferoplas dan Protoplas Pengujian aktivitas antiniikroba terhadap sferoplas dan proroplas dilakukan dengan tujuan untuk menduga mekanisme penghambatan antimikroba ekstrak daun beluntas. Pengujian dilakukan terhadap sferoplas S. typhi dan protoplas B. cereus dan S. aureus. Sferoplas dan protoplas adalah adalah bagian set bakteri yang hanya terdiri dari membran sel sitoplasma dan materi sel intraselulernya (Williams dan Gladhill, 1991). lstilah sferoplas untuk bakteri Gram negatif dan protoplas untuk bakteri Gram positip. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap sferoplas dan protopla s disajikan pada Gambar 12. B. cereus S. aureus Gambar 12. Aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap ; (a) sferoplas ; (b) protoplas. Gambar 12 dapat dilihat bahwa sferoplas S. typhi lebih sensitif dibandingkan dengan bentuk sel utuhnya, demikian pula protoplas B. cereus dan S. aureus. Adanya penurunan resistensi disebabkan karena dinding sel bakteri telah terhidrolisis dengan adanya aktivitas enzim lisozim yang ditambahkan pada saat preparasi sferoplas dan protoplas. Enzim lisozim yang ditambahkan pada saat preparasi sel berfungsi untuk memecah ikatan N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat pada peptidogilan dinding sel bakteri (Fardiaz, 1989b). Dengan terhidrolisisnya dinding sel bakteri menyebabkan ekstrak daun beluntas lebih mudah berpenetrasi ke dalam sel. Diduga mekanisme penghambatan mikroba oleh ekstrak daun beluntas disebabkan karena bereaksi terhadap membran sel atau komponen-komponen di dalam sitoplasma, bukan terhadap dinding sel bakteri. Pada Gambar 13 dapat dilihat mekanisme penghambatan bakteri oleh beberapa senyawa antimikroba. FormaMehid Broponol Germai i I 1 I Membran Dinding sel i sitoplasma Paraben phenlletanol Fenol Asam llpofllat lemah n Sistem elektron Bahan kationik n blsfenol Paraben Asam llpofilat Gambar 13. Mekanisme penghambatan bakteri oleh beberapa senyawa antimikroba (Hugo dan Russel, 1987). Gambar 13 menunjulckan bahwa ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) bereaksi dengan dinding sel bakteri. EDTA akan mengikat ion ca2' dan ~ g * ' pada membran luar yang akan mengakibatkan hidrolisis komponen LPS. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan membran sel bakteri, mengganggu proses transport, pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan koagulasi komponen sitoplasma sel, dan mengganggu sistem proton motive force yang berperan dalam produksi energi pada sel. Diduga senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun belunta:~ seperti fenol hidrokuinon dan tanin sebagai senyawa aktif yang mempunyai mekanisme yang sama dengan senyawa fenol yang terdapat pada Gambair 13. Kemampuan senyawa fenol hidrokuinon sebagai senyawa antimikroba karena adanya gugus hidroksil (OH), gugus keton (CO), dan gugus metoksi (OCH3) (Nishina et a/., 1991; Bisignano et a/., 2000), sedangkan tanin sebagai senyawa antimikroba karena mempunyai gugus hidroksil (Sakanaka et a/., 1989). Senyawa lain yang juga berperan dalam mekanisme penghambatan sel bakteri diantaranya adalah paraben yang dapat mengganggu proses transpol? dan mengganggu sistem proton motive force, klorheksidin yang dapat mengganggu sistem kerja enzim ATPase dan dapat mempengaruhi komponen sitoplasma, akridin menyebabkan inaktivasi fungsi materi genetik, formaldehid mampu mempengaruhi enzim-enzim yang terdapat pada membran dan sitoplasma sel (Hugo dan Russel, 1987). Mekanisme penghambatan ekstrak yang bereaksi dengan membran sel diantaranya telah dilaporkan oleh Nuraida et a/. (1999); Kim et a/. (1995); dan Nishina et a/. (1991). Nuraida et a/. (1999a) menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba dari ekstrak polar biji picung dengan konsentrasi 60 persen menyeba bkan pening katan sensitifitas sferoplas S. typhi sebesar 77,8 persen dibandingkan dengan sel utuhnya. Mekanisme aktivitas antimikroba dari komponen minyak atsiri (karvakrol, sitral, dan geraniol) dapat mengakibatkan terganggunya lapisan fosfolipid dari membran sel, sehingga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel, sehingga akan menyebabkan kehilangan unsur pokok yang menyusun sel (Kim et a/., 1995). Sedangkan Nishina et a/. (1 999) menunjukkan bahwa kinerja inaktivasi dari komponen anetol biji jintan manis dapat mengakibatkan rusaknya struktur membran plasma bakteri dan asam nukleat DNA dalam sel aktif. G. Pengaruh Garam (NaCI) Terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Pengujian pengaruh perlakuan garam atau NaCl bertujuan untuk mengetahui kestabilan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas. Garam diketahui sebagai bahan yang dapat mempengaruhi kestabilan bahan pangan dan kestabilan mikroorganisme (Jay, 1997). Larutan garam yang telah disterilkan berfungsi sebagai medium ekstrak daun beluntas. Konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 1-5 persen, sedangkan konsentrasi ekstrak uji adalah 30 persen. Pengujian dilakukan terhadap bakteri dalam bentuk sel vegetatif maupun spora dengan konsentrasi l o4 CFUIml. Aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas dengan berbagai konsentrasi garam disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas bervariasi untuk setiap bakteri uji baik dalam bentuk sel vegetatif maupun sporanya. Analisis statistik menunjukkan bahwa larutan garam dengan konsentrasi 1-5 persen tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap aktivitas antimikroba pada 6. cereus (sel vegetatif), S.typhi, tlan P. fluorescens. Hasil analisis uji lanjut beda nyata tengah (BNT) menunjukkan bahwa larutan garam satu persen merupakan konsentrasi yang dapat meningkatkan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap B. cereus (spora) dan B, subtilis (sel vegetatif dan spora). Peningkatan konsentrasi garam dari 2-5 persen mengakibatkan terjadi penurunan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas. 0 Diameter Diameter penghambatan Diameter Diameter penghambatan 5 penghambatan (mm) 2 2 (mm) penghambatan (mm) O h ) P C n 0 3 0 , O N P c n C o --L (mm) U 0 N A O ) O J O 0 - N o P C n o * e A 7i ii P 2 -A - < - TI s 5 ( D 0) (D s - mw 3 81 3250% 4 , n, ii 2- . o 2 m s 0 3 s a? 3- 2 V) $zap m q 8. a s @ s w 3 s ~ g s CD - Q J B cn. 3 mg 3 (n 3 A - . (n -- 3 s s < ( D 2 3 s 3 3 -so n, X ( n mQ wl ul o, FD s s 3 cn %= -- -i u-n, O e - . x Diameter penghambatan Diameter pengham batan Diameter penghambatan -n,-=. Diamater pengham batan G". s 5 (mm) (mm) Cn 0 * 0 N P a ) C O (mm) (mm) n 9) C n C n u l - J C n 0 N P Q ) C O O A N W P C n ~ ~ [ b c n o n , 4 % ~ C D g i ii = m 2 3 w e e - . x - (n q A c CD s n, c - 0 , ( n w - - - . - 0 . N - 7 (D an, x f 3 s $0: g 3 V) -- I - 2 b . l 3-9" q s n 2 [b n, E. - . C n O ) 3 Cn s VI - 3 - . ( D" Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi garam akan menurunkan aktivitas antimikroba beberapa senyawa antimikroba (Beuchat et a/., 1994 ; Lachowicz et a/., 1998 ; Casey dan Condon, 2002 ; Nuraida et al., 2002~). Beuchat et a/. (1994) melaporkan bahwa NaCl pada konsentrasi 5 persen dapat memberikan efek perlindungan pada proses inaktivasi L. monocytogenes pada ekstrak jus wortel. Disebutkan lebih lanjut bahwa efek perlindungan ini disebabkan oleh adanya penghambatan mekanisme senyawa atau bahan yang dapat menyebabkan inaktivasi L. monocytogenes. Lachowicz et a/. (1998), melaporkan adanya efek sinergisme anise oil dengan NaCl pada konsentrasi 5 persen dan pada pH 4,2 terhadap pertumbuhan Lactococcus curvatus yang ditunjukkan dengan semakin lamanya time detection growth (TDG). Pengaruh garam dan pH dapat meningkatkan TDG, yang berarti dapat memperpanjang masa adaptasi bakteri L. curvatus. Data ini menunjukkan bahwa adanya efek sinergisme antara garam, pH, dan anise oil sehingga dapat memperpanjang fase adaptasi pertumbuhan Lact. curvatus. Penelitian yang dilakukan oleh Casey dan Condon (2002), menunjukkan bahwa NaCl pada konsentrasi 4 persen dapat menurunkan efek bakterisidal asam laktat terhadap pertumbuhan E. coli 01 57:H45 sebanyak 3 log. Pengaruh ini disebabkan karena adanya peningkatan pH sitoplasma (pH,) sel sebanyak 0,56 unit dengan adanya penambahan NaCI. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et a/. (2002c), menunjukkan bahwa larutan garam dengan konsentrasi 1- 5 persen terhadap aktivitas antimikroba daun salam berpengaruh nyata pada pertumbuhan S. aureus, E. coli, S. typhi, dan P. fluorescens dengan kecenderungan semakin tinggi konsentrasi garam yang ditambahkan pada eksktrak akan menyebabkan penurunan aktivitas antimikroba. Sementara itu hasil uji larijut BNT menunjukkan bahwa adanya perbedaan konsentrasi garam tidak menunjukkan perbedaan terhadap penghambatan S. aureus dan E. coli. Gambar 14-e dan Gambar 14-g menunjukkan kecenderungan bahwa peningkatan konsentrasi larutan garam 4 dan 5 persen akan menyebabkan penurunan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas. Efek perlindungan dari larutan garam diduga disebabkan adanya sifat atau kemampuan pengikatan air oleh garam sehingga akan menurunkan jumlah air bebas yang terdapat di dalam sel bakteri maupun di dalam medium (Troller, 1987). Kemampuan pengikatar~ ini tercermin dari nilai a, yang dihasilkan oleh larutan garam, seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai a, larutan garam berbagai konsentrasi Konsentrasi garam (% blv) 1 Nilai a, I Penurunan jumlah air bebas di dalam set akan mengakibatkan sel mengering sehingga akan menyebabkan peningkatan ketahanan bakteri (Fardiaz, 1 992d). H. Pengaruh Gula Terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Konsentrasi larutan gula yang digunakan adalah 10-50 persen, sedangkan konsentrasi ekstrak daun beluntas adalah 30 persen. Pengujian dilakukan terhadap bakteri dalam bentuk sel vegetatif maupun spora dengan konsentrasi l o4 CFUIml. Aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas dengan berbagai konsentrasi gula disajikan pada Gambar 15. Aktivitas antimikroba bervariasi untuk setiap bakteri uji. Analisis statistik menunjukkan bahwa larutan gula dengan konsentrasi 10- 50 persen berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap aktivitas antimikroba pada semua bakteri uji. Pada Tabel 7 disajikan konsentrasi gula pada ekstrak yang meningkatkan penghambatan. Tabel 7 juga merupakan hasil analisis lanjut BNT terhadap masing-masing bakteri uji yang memberikan pengaruh secara nyata. 1 6. cereus (s~ora) I 50 I Tabel 7. Konsentrasi gula pada ekstrak yang meningkatkan penghambatan 6akteri I ' Konaentrisj ad6 (%) I B. subtilis (sel veaetatin 1 30 1 6. cereus (sel veaetatif) 20 I E. coli I 40 I B. subtilis (spora) I P. fluorescens I 50 1 40 dan 50 Penambahan gula 50 persen dapat meningkatkan aktivitas antimikroba daun beluntas terhadap spora 6. cereus secara nyata. Sedangkan pada konsentrasi gula 40 dan 50 persen meningkatkan aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas terhadap spora B. subtilis. S. t v ~ h i 40 iameter pengham batan Diameter Dis ~enghambatan (mm) O N P r n a , meter penghambatan Dian (mm) A X neter penghambatan (mm) O V I d G - (b p, x m a ( n Diameter pengharnbatan Diameter penghambatan Diameter penghambatan Diameter penghambatan x q c p, (mm) (mm) ! ggzg mrn) A o h , Pa ) ~ o h , & A 2 A (mm) 2 A 2 A ONPa) 030h, P r m c n 3 O N P O ~ , O " - . % 3 w n 7 5 ii a&, x - . p, 9'- (D 2 -5 F"p 0 s 1 s 0 ' " s " ~ I 8 N -- (n 7 i ii8 - - $ s 7 0 CD s s s r 39, -h 2 - z* 3 0 3 w g. 3 pl-, g. s g g (0 IP 0 8 f s O C Z =( D p, s s - . 0 CDp ul - - h 0 = w p , 8 - =.w s s ?J? P U1 U1 Terhadap sel vegetatif 81. cereus dan B. subtilis penghambatan tertinggi ekstrak daun beluntas terjadi pada konsentrasi gula 20 dan 30 persen. Adanya penurunan aktivitas antimikroba terhadap sel vegetatif B. cereus dan B. subtilis diduga karena terjadi penurunlan a, (Tabel 8). Penurunan jumlah air bebas di dalam sel akan mengakibatkan sel mengering sehingga akan menyebabkan peningkatan resistensi bakteri (Fardiaz, 19924). Hal yang sama juga diamati oleh Nuraida et a/., (2002c), yang menunjukkan penambahan gula 20 persen dapat meningkatkan aktivitas antimikroba ekstrak daun salam terhadap sel vegetatif B. cereus dan penambahan gills 30 persen dapat meningkatkan aktivitas antimikroba ekstrak daun salam terhadap sel vegetatif B. subtilis. Sementara itu hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa penambahan gula pada ekstrak daun beluntas tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba terhadap S. aureus. Tabel 8. Nilai a, larutan aula berbaaai konsentrasi I. Pengaruh pH Terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas disajikan pada Gambar 16. Pengaruh pH menunjukkan bahwa semakin rendah pH ekstrak daun beluntas semakin tinggi sifat antimikrobanya, kecuali terhadap P. fluorescens Hal ini disebabkan karena secara umum pH dapat mempengaruhi aktivitas antimikroba dengan cara mempengaruhi komponen aktif yang terdapat pada ekstrak daun beluntas. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pH berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas dalam menghambat semua bak.teri uji, kecuali terhadap spora B. subtilis. Mekanisme penghambata~n ekstrak beluntas lebih efektif pada pH rendah. Hal ini disebabkan oleh kemampuan ekstrak sebagai bahan pengawet yang lebih aktif pada pH rendah, karena berhubungan dengan bentuk tak terdisosiasi. Branen dan Davidson (1993), lbentuk tak terdisosiasi dari senyawa antimikroba akan semakin efektif bila pada pH rendah. Komponen aktif yang terdapat dalam ekstrak daun beluntas, seperti fenol kuinon dan tanin merupakan kelompok fenolik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Raman dan Hougton (1998), bahwa fenolik adalah senyawa asam lemah yang bersifat relatif polar. Komponen fenolik yang terdapat di dalam ekstrak tanaman semakin efektif pada pH rendah berhubungan dengan kenyataar~ bahwa komponen fenolik bersifat lebih hidrofobik dan mempunyai kelarutan yang baik pada fase lipid pada membran sel (Tassou et a/. , 1 995). Komponen fenolik yang terdapat di dalam ekstrak daun beluntas akan bereaksi dengan komponen sel bakteri. Struktur gugus hidroksil senyawa fenol memegang peranan penting dalam aktivitas antimikroba dan terjadi pada pH rendah, terutama terjadinya reaksi alkilasi dan tingkat hidroksilasi sehingga akan meningkatkan distribusi gugus fenol pada fase air dan fase lipid pada membran sel bakteri (Dorman dan Deans, 2000 ; Puupponen-Pimia, 2001). Gambar 16. Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas. (a) B. cereus (sel vegetatif) ; (b) B. cereus (spora) ; (c) B. subtilis (sel vegetatif) ; (d) B. subtilis (spora) ; (e) S. aureus ; (f) S. typhi ; (g) E. coli ; (h) P. fluorescens Keefektifan senyawa antimikroba alami pada pH rendah dalam menghambat beberapa bakteri telah dilaporkan oleh Ultee et a/. (1998) ; Tassou et a/. (1995) ; Beuchat et a/. (1994). Ultee et a/. (1998) melaporkan bahwa karvakrol efektif menghambat B. cereus pada pH 5 sampai 6, bila dibandingkan pada pH 7. Tassou et a/. (1995), melaporkan bahwa senyawa fen01 pada minyak atsiri mint lebih efektif pada pH 5,5-6 dalam menghambat S. enteridis dibandingkan pada pH 7 dan 8. Beuchat et a/. (1994),menyebutkan bahwa pada pH 5,O dan 6,4 efek penghambatan jus wortel dapat mengakibatkan kematian pada L. monocytogenes. Lambert dan Startford (1999), menyebutkan bahwa bahan pengawet kelompok asam lemah lebih efctktif pada pH rendah dimana akan meningkatkan bentuk tak terdisosiasi. Penghambatan yang terjadi melalui difusi yang cepat molekul tak terdisosiasi melalui membran plasma, dapat mengakibatkan pengasaman sitoplasma sehingga akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Mekanisme penghambatannya disebabkan karena pada kondisi asam sel bereaksi untuk mempertahankan pH konstan di dalam sel. Jika pH diturunkan maka proton yang terdapat dalam jumlah tinggi dalam medium akan masuk ke dalam sitoplasma sel. Sehingga proton ini harus dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pengasaman dan denaturasi komponen-komponen sel. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan gradien konsentrasi sehingga memerlukan energi. Semakin rendah pH semakin dibutuhkan energi dalam jumlah tinggi untuk menghilangkan proton tersebut dan lama-kelamaan sel akan mengalami kematian (Fardiaz, 1992d). Bentuk tak terdisosiasi suatu komponen antimikroba akan semakin mengakibatkan proton lebih cepat masuk ke dalam sel. J. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas dapat dilihat pada Gambar 17. Perlakuan pemanasan ekstrak daun beluntas menghilangkan aktivitas antimikroba terhadap S. typhi. Analisis statistik menunjukkan bahwa suhu pemanasan berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap semua bakteri uji, sedangkan waktu pemanasan berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap spora B. cereus dan sel vegetatif S. aureus, sementara terhadap sel vegetatif B. cereus dan P. fluorescen tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Gambar 17 menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas masih menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap sel vegetatif B. cereus setelah pemanasan 75 OC pada berbagai lama pemanasan. Aktivitas antimikroba mengalami penurunan setelah ekstrak dipanaskan pada suhu 100 OC, tetapi pemanasan pada suhu 121 OC dapat meningkatkan kembali aktivitas antimikroba ekstrak. Aktivitas antimikroba ekstrak terhadap spora B. cereus mengalami penurunan dengan peningkatan suhu dan lama pernanasan, walaupun ekstrak masih aktif pada suhu 100 OC selama 20 menit. Ekstrak daun beluntas menunjukkan aktivitas terhadap sel vegetatif S. aureus setelah pemanasan 75 OC pada berbagai waktu pemanasan. Aktivitas antimikroba mengalami peningkatan setelah ekstrak dipanaskan pada suhu 100 OC. Pemanasan ekstrak pada suhu 121 OC selama 10 menit, mengakibatkan terjadinya penurunan aktivitas antimikroba, tetapi dengan peningkatan waktu pemanasan pada 20 dan 30 menit, dapat kembali meningkatkan aktivitas antimikroba. Ekstrak daun beli~ntas masih menunjukkan aktivitas terhadap sel vegetatif P. fluorescens setelah pemanasan 75 OC. Terjadi peningkatan aktivitas antimikroba setelah ekstrak (lipanaskan pada suhu 100 dan 121 OC pada berbagai lama pemanasan. Peningkatan aktivitas antimikroba karena pengaruh pemanasan diduga disebabkan oleh terjadinya penguapan medium ekstrak, sehingga ekstrak semakin tinggi konsentrasinya. Disamping itu pula diduga karena terbentuknya senyawal atau komponen lain yang berperan sebagai senyawa antimikroba. Sementara itu beberapa laporan menyebutkan bahwa komponen antimikroba dari ekstrak tanaman menunjukkan aktivitas antimikroba yang menurun karena adanya pengaruh pemanasan. Ewald et a/. (1999), pemanasan kuersetin dan kaemferol dari golongan flavonoid pada suhu 60 OC selama 2 jam akan menurunkan aktivitas sebanyak sebesar 48 dan 68 persen. Shashikant et a1 (1981), melaporkan bahwa aktivitas antimikroba tetap stabil selama 48 jam bila disimpan pada suhu 37 OC, dan hanya stabil selama 36 jam bila suhu penyimpanan dinaikkan menjadi~ 58 OC. Molins et al. (1984), pemanasan dengan otaklaf (121 OC ; 15 menit) akan menurunkan efektivitas daya hambat fosfat pada pertumbuah S. typhimurium dim P. aeruginosa hingga lebih dari 50 persen selama inkubasi 24 jam. Gambar 17. Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas. (a) B. cereus (sel vegetatif) ; (b) B. cereus (spora) ; (c) S. aureus ; (d) P. fluorescens ; ( K) kontrol (tanpa perlakuan)