You are on page 1of 7

BERSINERGI MEWUJUDKAN MASYARAKAT GEMAR MEMBACA

Oleh: Agus Saputera

Setiap tahun tanggal 14 September selalu diperingati sebagai Hari Buku Nasional.

Peringatan Hari Buku Nasional biasanya bersempena bulan gemar membaca dan hari

kunjung perpustakaan yang jatuhnya setiap bulan September. Minat/kegemaran membaca

memang tidak bisa dipisahkan dari kunjungan perpustakaan. Sebab indikator tinggnya minat

baca masyarakat salah satunya bisa diukur dari tingginya frekwensi kunjungan perpustakaan.

Itulah sebabnya maka peringatan hari buku nasional senantiasa dikaitkan dengan kegemaran

membaca dan kunjungan perpustakaan.

Bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan pertama sekali dicanangkan

oleh mantan Presiden Suharto pada tanggal 14 September 1996 sebagai bentuk komitmen dan

perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap buku, minat baca, dan perpustakaan. Bukan

itu saja mantan Presiden Megawati Sukarnoputri dulu pernah mencanangkan Gerakan

Membaca Nasional 12 Nopember 2003 dengan meresmikan secara serentak rumah baca yang

ada di seluruh Indonesia, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mencanangkan

Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat 17 Mei 2006.

Isu tentang buku, minat baca, dan perpustakaan tampaknya selalu menjadi topik

pembicaraan yang menarik karena berkaitan dengan budaya baca masyarakat. Masyarakat

yang berbudaya baca tinggi merupakan salah satu ciri masyarakat maju dan modern.

Budaya baca yang tinggi diawali dari tumbuhnya minat baca, kemudian menjadi

gemar dan cinta membaca, akhirnya memelihara dan mengembangkan minat baca tersebut

menjadi suatu yang bermanfaat. Paling tidak bagi individu yang bersangkutan akan

menambah pengetahuan, memperoleh ketrampilan, dan memperluas wawasan. Tentu kita

sudah tidak asing lagi dengan istilah “buku adalah jendela dunia, membaca buku berarti
1
membuka jendela dunia”, “dengan membaca buku kita telah melakukan petualangan

intelektual”, dan sebagainya.

Diantara ciri masyarakat yang berbudaya baca tinggi adalah besarnya apresiasi

mereka terhadap buku, pengarang, dan penulis. Dimana terdapat hubungan yang positif

antara minat baca, kebiasaan membaca, serta kemampuan membaca dan menulis. Minat baca

yang tinggi akan menimbulkan kebiasaan membaca yang baik, sehingga mempertinggi

kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan minat baca dalam

rangka mewujudkan masyarakat gemar membaca, antara lain: (1) Tersedianya peraturan

perundang-undangan perpustakaan (Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang

Perpustakaan yaitu UU no. 43/2007) - diantara isinya ialah tentang kewajiban pemerintah

menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan. (2) Adanya

pemerintah, lembaga, atau institusi sebagai stake holder perpustakaan (pemilik modal atau

pemangku kepentingan). (3). Cukup memadainya sumberdaya tenaga perpustakaan. (4).

Tersedianya koleksi perpustakaan, pelayanan, dan fasilitas perpustakaan. (5). Partisipasi

masyarakat sebagai pengguna.

Minat dan Kemampuan Baca Rendah

Menurut hasil survei yang dilakukan UNESCO dua tahun lalu, minat baca masyarakat

Indonesia adalah paling rendah di ASEAN. Sedangkan survey yang dilakukan terhadap 39

negara-negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-38. Sekarang masih ada wanita yang

buta aksara di Indonesia sekitar 7 juta orang. Suatu fakta yang sangat menyedihkan. Dilihat

dari jumlah penduduk, persentase bacaan koran sangat kecil sekitar 1%. UNESCO

menetapkan sebaikya 10%. (Adhitama, 2008).

2
Berdasarkan rasio penduduk, idealnya satu surat kabar dibaca oleh sepuluh orang. Di

Indonesia saat ini satu surat kabar dikonsumsi oleh 45 orang. Masih di bawah Srilanka yang

tergolong negara belum maju, satu koran dibaca oleh 38 orang.

Minat baca pelajar dan mahasiswa kita juga masih tergolong rendah. Di kalangan

perguruan tinggi masih sedikit sekali mereka yang mempunyai kebiasaan membaca yang

baik. Rendahnya minat dan kemampuan baca mahasiswa salah satunya dipicu oleh adanya

kecenderungan bahwa tanpa membaca buku textbook dan referensi lain sudah dapat lulus

ujian. Selain itu mereka tidak terlatih untuk mencari bahan tambahan tentang bidang yang

dibahas.

Kemudian kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki koleksi, fasilitas,

dan pelayanan perpustakaan yang memadai. Begitu juga dengan jumlah terbitan berbentuk

jurnal dan majalah ilmiah masih sangat minim. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang

termotivasinya para tenaga edukatif di perguruan tinggi untuk meneliti dan menulis.

Ada banyak faktor yang menyebabkan budaya atau minat baca masyarakat Indonesia

(masih) rendah. Menurut Yahya (2006), minat baca yang rendah disebabkan antara lain oleh:

(1). Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat pelajar/mahasiswa harus membaca

buku, mencari dan menemukan informasi lebih dari sumber yang diajarkan di sekolah atau

kampus. Seorang mahasiswa dapat lulus dengan mudah pada mata kuliah tertentu tanpa perlu

bersusah payah mendatangi perpustakaan cukup bermodal catatan kuliah di kelas. Ditambah

lagi kurang atau jarangnya guru atau dosen memberikan tugas yang membuat anak didik

harus mencari informasi di perpustakaan. (2). Budaya baca memang tidak pernah diwariskan

oleh nenek moyang kita. Kita lebih terbiasa mendengar orangtua atau kakek nenek kita

bercerita, mendongeng, ketimbang membacakan buku-buku cerita atau bahan bacaan lain.

(3). Pengaruh budaya dengar-tonton dan media elektronik yang berkembang pesat sangat

mendominasi tiap-tiap rumah tangga. Acara-acara televisi menjadi daya tarik yang sangat
3
kuat bagi anak-anak dan remaja sehingga mewarnai gaya hidup dan cara bergaul mereka.

Waktu belajar anak-anak di rumah banyak yang tersita untuk menonton televisi. (4).

Kebiasaan para orang tua di rumah tangga belum memotivasi anak anak untuk gemar

membaca, ditambah lagi tidak/kurang tersedianya bahan bacaan sesuai dengan usia anak. (5).

Sebagian besar masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya untuk bekerja, sehingga tidak

tersedia waktu untuk membaca. Kalaupun ada waktu yang tersisa pada umumnya digunakan

untuk membaca koran, majalah atau bacaan ringan. Hanya kalangan tertentu saja yang benar-

benar mencurahkan waktunya untuk membaca dan/atau menulis seperti wartawan, guru,

dosen, peneliti, pustakawan, dan lain-lain, itupun dalam jumlah terbatas. (6). Kurang

tersedianya buku-buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, sehingga buku masih

menjadi barang mewah. Buku juga dianggap sebagai kebutuhan yang kurang penting bagi

sebagian besar masyarakat. (7). Kurang tersedianya perpustakaan di tempat-tempat umum

yang mudah dijangkau, serta tidak memadainya koleksi, fasilitas, dan pelayanan yang ada.

(8). Tidak meratanya penerbitan buku dan distribusinya ke seluruh pelosok tanah air

Indonesia. Buku-buku terbaru dan bermutu lebih terkonsentrasi di kota-kota besar.

Oleh karena itu, sesuai dengan amanat yang terdapat di dalam Undang-undang

Perpustakaan (UU no. 43/2007), pemerintah berkewajiban menggalakkan promosi gemar

membaca dengan memanfaatkan perpustakaan. Tujuan didirikannya perpustakaan adalah

untuk memberikan layanan informasi kepada masyarakat, meningkatkan kegemaran

membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa. Disamping itu peran masyarakat juga tak kalah pentingnya dalam meningkatkan

kegemaran membaca.

4
Upaya Memasyarakatkan Budaya Baca

Masyarakat yang sudah maju, berdaya, dan cerdas bisa tercermin dari tingginya

budaya baca mereka. Budaya baca yang tinggi diawali oleh tumbuhnya minat baca, kemudian

menjadi kegemaran membaca, akhirnya memelihara dan mengembangkan minat baca

tersebut menjadi suatu kegiatan yang mendatangkan manfaat.

Membaca tidak sekedar bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi

orang lain dengan mengembangkan dan menyebarkan hasil bacaan menjadi informasi, ilmu

pengetahuan, dan life skill (ketrampilan hidup). Karena itu membaca akan semakin berfaedah

apabila mengolah, menyajikan kembali seluruh hasil bacaan menjadi bentuk tulisan, sehingga

informasi dan ilmu pengetahuan tetap awet, terjaga dalam masa yang lama dan bisa

memberikan manfaat kepada generasi berikutnya.

Upaya untuk memasyarakatkan budaya baca atau meningkatkan minat baca tidak

hanya dilakukan oleh pemerintah melalui perpustakaan baik di tingkat pusat maupun daerah,

tetapi juga oleh masing-masing kita sebagai pribadi, kelompok masyarakat, maupun kepala

keluarga/orangtua. Orangtua memiliki peran yang sangat besar untuk menumbuhkan minat

baca anak sejak usia dini sampai usia prasekolah. Diantara upaya yang bisa dilaksanakan oleh

para orangtua seperti dikemukakan oleh Ratnaningsih (1998), yaitu:

(1). Menyediakan di rumah buku-buku bacaan bergambar sesuai dengan usia anak – bila

mungkin dengan cara membelikannya, kalau tidak mungkin bisa meminjamnya di

perpustakaan. (2). Ajaklah anak-anak sesering mungkin mengunjungi perpustakaan atau

taman-taman bacaan anak. (3). Sertakan anak dalam kegiatan acara story telling yang

dilakukan oleh pustakawan di perpustakaan. (4). Bimbinglah anak untuk mengenal huruf dan

gambar yang mudah, indah, dan menarik. (5). Memberikan contoh kepada anak dengan

sesering mungkin membaca di dekatnya dan mintalah si anak mengambil sendiri bukunya

kemudian bersama-sama membaca.


5
Anak yang sudah terbiasa membaca nantinya setelah berangkat dewasa tidak perlu

dipaksa untuk membaca karena kegiatan tersebut sudah menjadi kebutuhnnya.

Meningkatkan minat baca yang paling efektif bisa juga dilakukan dengan

menumbuhkan kebiasaan membaca secara disiplin lewat jalur pendidikan formal. Oleh sebab

itu peran guru di sekolah-sekolah sangat mempengaruhi kecenderungan membaca anak. Para

guru paling tidak harus mempunyai pengetahuan dasar tentang teknik dan strategi untuk

menumbuhkan dan meningkatkan minat baca anak didik mereka. Misalnya membekali setiap

murid dengan kartu yang mencatat jumlah buku yang dibaca (selain buku pelajaran) selama

satu atau dua minggu yang kemudian mewajibkan si anak untuk menceritakan kembali hasil

bacaannya tersebut di depan kelas. Bisa juga dengan membentuk klub-klub pecinta buku di

sekolah.

Untuk itu sekolah harus menjamin ketersediaan buku-buku dan bahan-bahan bacaan

yang bermutu. Konsekwensi logisnya pendirian perpustakaan di sekolah menjadi suatu

keniscayaan. Untunglah Indonesia saat ini sudah memiliki undang-undang perpustakaan yang

mewajibkan setiap institusi, organisasi, dan lembaga-lembaga pendidikan agar memiliki unit

perpustakaan, dokumentasi, dan informasi (pusdokinfo).

Dengan semakin bertambahnya unit pusdokinfo, maka peran tenaga perpustakaan

(pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan) pada saat ini menjadi sangat penting dan

strategis, karena mereka dibutuhkan untuk mengelola perpustakaan secara profesional. Jadi

para pustakawan dan calon pustakawan tersebut harus benar-benar dipersiapkan dengan

ketrampilan, keahlian, dan kompetensi sesuai dengan perkembangan teknologi informasi

dewasa ini. Konsekwensinya pemerintah berkewajiban untuk mendirikan dan menambah

pusat-pusat pendidikan, pelatihan, dan kursus-kursus kepustakawanan.

Pemerintah juga hendaknya memotivasi, mendorong, dan membuka kesempatan

seluas-luasnya untuk mendirikan taman-taman bacaan masyarakat, rumah baca, sudut baca,
6
perpustakaan pribadi, dan sebagainya. Program penghibahan buku, donor buku, motor pintar,

mobil perpustakaan keliling, serta pendirian taman-taman bacaan swadaya masyarakat, paling

tidak ikut menggalakkan promosi gemar membaca di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, upaya mewujudkan masyarakat gemar membaca harus dilakukan

secara bersinergi dan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun

masyarakat. Dengan demikian hak yang seluas-luasnya untuk mengaskses informasi,

memperoleh layanan, dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan dipastikan akan diperoleh

oleh seluruh anggota masyarakat seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang

Perpustakaan (UU No. 43/2007).

You might also like