You are on page 1of 16

Makalah

PENGEMBANGAN EKSPOR KAKAO Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Ekonomi Pertanian

Oleh:

IRLANGGANA (071510101054) BUDIDAYA PERTANIAN / AGRONOMI

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2009

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan dan juga salah satu komoditas ekspor utama sektor pertanian di Indonesia. Pengembangan kakao ke depan secara global diarahkan pada upaya mewujudkan agribisnis kakao yang efisien dan efektif sehingga tercipta peningkatan pendapatan petani (khususnya petani kakao) dan hasil kakao yang berdaya saing. Indonesia merupakan produsen kakao dunia pada urutan ke-tiga (lihat Tabel l.) Produksi kako Indonesia menurun pada tahun 2002, namun terus meningkat hingga 2004/2005. Tabel 1. Produksi Kakao Dunia, 2001-2005 (000 ton) Kelompok 20012002200320042005 1.273,0 586,0 435,0 190,0 3.289,0 Negara 2002 2003 2004 Cote dIvoire 1.264,7 1.351,5 1.407,2 Ghana 340,6 497,0 737,0 Indonesia 455,0 410,0 420,0 Nigeria 185,0 173,2 175,0 Total Dunia 2.868,4 3.166,7 3.521,6 Sumber : International Cocoa Organization, 2005

Selain produsen ke-tiga dunia, Indonesia juga merupakan negara pengekpor kakao dunia. Pada tahun 2003/4 Indonesia merupakan pengekspor ketiga dunia. Tabel 2. Eksportir Biji Kakao, 2000/1 - 2003/2004 NO 1 2 3 4 5 6 7 Negara Eksportir Cameroon Pantai Gading Ghana Nigeria Brazil Rep. Dominika Equador 2000/01 101,56 903,39 306,83 149,37 2,48 33,81 57,19 Jumlah Ekspor ( 000 ton) 2001/02 2002/03 95,63 1.019,2 5 284,68 160,29 3,50 40,25 58,86 108,19 1.070,9 8 310,33 145,09 3,59 38,39 57,37 2003/04 136,08 1.039,4 8 608,10 161,84 1,56 40,44 85,88

8 9 10 11 12

Venezuela Indonesia Malaysia Papua New Guinea Lainnya Total

7,59 326,46 17,17 38,80 42,07 1.986,7

8,20 364,81 18,45 37,92 46,80 2.138,6

8,30 365,65 21,11 39,07 47,92 2.215,9 7

7,39 314,10 11,84 38,70 74,38 2.519,8 0

2 2 Sumber : International Cocoa Organization, 2004

Jumlah produksi kakao Indonesia pada tahun 2002/2003 menurut Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (2004), sebesar 425.000 ton sedangkan konsumsinya sebesar 12.000 ton, kelebihan produksi ini ditawarkan Indonesia kepada negara lain melalui kegiatan ekspor. 1.2 Permasalahan 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia ? 2. Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia ? 3. Seberapa besar elastisitas masing-masing faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao ?

1.3 Tujuan dan Manfaat 1. Untuk mengetahui perkembangan produksi kakao dari tahun ke tahun. 2. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya produksi kakao. 3. Dapat memberikan gambaran prospek agribisnis dibidang agribisnis ke depannya.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Kakao merupakan tanaman tropis tahunan yang berasal dari Amerika Selatan. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika, dan Asia (Anonymous, 2005). Di Indonesia, budidaya kakao diusahakan oleh perusahaan Perkebunan Negara dan Swasta serta Perkebunan Rakyat. Lokasi perusahaan perkebunan skala besar yang diusahakan negara terletak di Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa timur. Beberapa produk olahan yang dapat dihasilkan dari kakao yaitu, cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake dan cocoa powder. Teori Penawaran Penawaran suatu komoditas, baik barang atau jasa merupakan jumlah komoditas yang ingin dijual pada berbagai tingkat harga di pasar pada jangka waktu tertentu. Hukum penawaran menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang maka akan semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan oleh para produsen. Sebaliknya, jika harga rendah maka semakin berkurang jumlah barang yang ditawarkan oleh produsen. Hal ini dapat diartikan adanya hubungan searah (positif) antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang yang akan dijual, ceteris paribus (Gilarso, 1993). Banyaknya suatu komoditas yang akan dihasilkan dan ditawarkan oleh perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tesebut antara lain : 1) Harga barang itu sendiri, 2) Harga barang substitusi, 3) Harga faktor produksi, 4) Teknologi , dan 5) Harapan produsen terhadap harga produksi di masa mendatang. Teori Perdagangan Internasional Menurut Gonarsyah dalam Safitri (2004), ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain. Faktor-faktor tersebut antara lain, 1) keinginan untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor, 2) memperbesar penerimaan devisa negara bagi kegiatan pembangunan, 3) adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas tertentu, serta 4) adanya perbedaan penawaran dan

permintaan antar negara karena tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya. Adam Smith dalam Tatakomara (2004), menyatakan bahwa perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolut advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditas lain yang memiliki kerugian absolut. Sedangkan Ricardo dalam Salvatore (2004), menyatakan bahwa perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditas ini memiliki kerugian komparatif). Teori Ekspor Ekspor suatu negara merupakan selisih antara jumlah komoditas yang tersedia untuk ditawarkan dengan permintaan dalam negeri dan stok pada tahun berjalan. Menurut Soekartawi (2005), ekspor sebagai bagian dari perdagangan internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi, antara lain : 1) Adanya kelebihan produksi dalam negeri, sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar negeri melalui kebijaksanaan ekspor. 2) Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk walaupun produk tersebut hanya tersedia sedikit karena adanya kekurangan produk dalam negeri.

3)

Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri daripada penjualan di dalam negeri, dikarenakan harga di pasar dunia yang lebih menguntungkan.

4) Adanya kebijaksanaan ekspor yang bersifat politik. 5) Adanya barter antarproduk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan tak dapat diproduksi di dalam negeri. Besarnya ekspor suatu komoditas di pasar internasional dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditas tersebut. Harga yang terjadi pada pasar internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia dan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga (Salvatore, 2004). Banyak faktor yang mempengaruhi penampilan ekspor. Menurut Darmansyah dalam Soekartawi (2005), faktor-faktor ini adalah harga internasional komoditas tersebut, nilai tukar uang (exchange rate), kuota eksporimpor, kuota, dan tarif serta nontarif. Penawaran ekspor kakao Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut diperkirakan adalah produksi kakao Indonesia, konsumsi kakao domestik, jumlah ekspor kakao tahun sebelumnya, harga kakao domestik, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, serta situasi perekonomian (dummy). Produksi kakao Indonesia diduga berpengaruh karena bila produksi dalam negeri berlebih maka kelebihan ini dapat ditawarkan ke negara lain melalui kegiatan ekspor. Naik-turunnya jumlah konsumsi kakao domestik diduga berpengaruh terhadap jumlah penawaran ekspor kakao Indonesia. Harga kakao internasional dan harga kakao domestik digunakan dalam penelitian ini, karena dalam hukum penawaran maupun permintaan, harga dapat mempengaruhi jumlah penawaran dan permintaan. Jumlah ekspor kakao pada tahun sebelumnya digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi, karena naik turunnya jumlah ekspor kakao pada saat ini dapat diperkirakan oleh jumlah ekspor kakao pada tahun sebelumnya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika merupakan faktor

pendukung yang memungkinkan terjadinya perdagangan Internasional. Serta Situasi perekonomian sebelum dan setelah terjadinya krisis moneter (Dummy), karena diduga mempengaruhi jumlah penawaran ekspor kakao. pemikiran operasional ditunjukkan pada Gambar 1.
Ekspor Kakao Indonesia Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia : PDt KDt JEt-1 HIt HDt = Produksi Kakao Domestik (ton) pada tahun t = Konsumsi Kakao Domestik (ton) pada tahun t = Jumlah Ekspor Kakao (ton) pada tahun sebelumnya t -1 = Harga Kakao Internasional (US $/ton) pada tahun t = Harga Kakao Domestik (Rp/ton) pada tahun t

Kerangka

Diolah dengan Program SPSS Model Regresi Linier Berganda JEK = bo+ b1 PDt + b2 KDt + b3 JEt-1 + b4 HIt + b5 HDt- + b6 NTt- + b7 D+

Uji Hipotesis

Penerapan Model : Elastisitas

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Hasil Penelitian Terdahulu Kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Sambudi (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Arabika Indonesia adalah harga ekspor kopi Arabika, harga domestik kopi Arabika, nilai tukar rupiah terhadap dollar, trend waktu, pendapatan perkapita, lag ekspor, produksi, dan dummy. Semua variabel yang terdapat dalam model ekspor masing-masing berpengaruh nyata terhadap ekspor kecuali pendapatan perkapita dan trend waktu. Dalam jangka pendek semua variabel dalam model ekspor memiliki nilai elastisitas kurang dari satu. Sedangkan dalam jangka panjang ekspor kopi Arabika Indonesia responsif terhadap perubahan harga domestik, nilai tukar, produksi, dan lag ekspor. Sedangkan ekspor kopi Arabika Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga ekspor. Peningkatan jumlah ekspor ini disebabkan oleh faktor kurs, yaitu terdepresiasinya rupiah terhadap dollar Amerika yang membuat harga kopi Arabika Indonesia relatif lebih murah (variabel dummy). Karabain (2001), mengkaji perdagangan kakao Indonesia ke Malaysia. Ekspor kakao Indonesia ke Malaysia dipengaruhi secara nyata oleh harga kakao Indonesia ke Malaysia, konsumsi kakao Indonesia, dan tidak dipengaruhi secara nyata oleh produksi Indonesia. Sedangkan impor kakao Malaysia dari Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh produksi kakao Malaysia, konsumsi kakao Malaysia, dan pendapatan per kapita Malaysia. PERKEMBANGAN KAKAO INDONESIA Produksi Produksi biji kakao Indonesia pernah mengalami penurunan pada tahun 1997 dan 1999, hal tersebut disebabkan terjadinya musim panas dan penurunan luas areal tanaman kakao itu sendiri. Jika sebelum tahun 1987, produksi biji kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan besar Negara dengan porsi 50 sampai 80%, maka semenjak tahun 1987 (lebih dari 50%) pangsa pasar terbesar untuk produksi kakao diduduki oleh Perkebunan Rakyat. Perdagangan Kakao Indonesia

Pengembangan tanaman kakao di Indonesia hingga tahun 2003 telah mencapai 964.223 ha dengan produksi 698.816 ton biji kakao kering yang diperkirakan pada tahun 2005 naik menjadi 992.448 ha dengan produksi 652.396 ton biji kakao kering, tersebar di 31 propinsi. Indonesia pada saat ini sebagai negara produsen kakao terbesar ke-tiga dunia setelah Cote dIvoire dan Ghana. Jumlah petani kakao mencakup 1,098 juta kepala keluarga. Ekspor komoditi kakao mencapai nilai US $ 546,56 juta dengan volume 0,367 juta ton pada tahun 2004 (Departemen Pertanian, 2006). Kelembagaan yang menangani perkakaoan di Indonesia meliputi Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) yang mewakili petani, Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) yang mewakili pengusaha, Direktorat Jenderal Perkebunan yang mewakili pemerintah, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PUSLITKOKA) yang mewakili lembaga penelitian. Menurut Askindo 2006, sebagian besar petani kakao belum menjual langsung hasil panennya kepada perusahaan. Hal ini disebabkan antara lain, (1) tempat tinggal petani relatif tersebar dan (2) jumlah produksi kakao seorang petani setiap kali panen relatif sedikit (satu sampai lima kilogram per dua minggu). Mata rantai perdagangan kakao dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini. Petani kakao yang bertempat tinggal jauh dari Ibukota Kecamatan/Kabupaten biasanya menjual kakao mereka kepada para pedagang pengumpul, karena jumlah kakao yang akan dijual petani tidak lebih dari 20 kg (Departeman Pertanian dalam Karabain, 2001), sehingga menjual langsung kepada para pedagang menjadi tidak efisien, karena memerlukan ongkos angkut relatif besar. Hal ini akan terus berlangsung selama pengetahuan petani terhadap informasi mengenai kualitas, mutu, serta harga jual kurang. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan informasi atau penyuluhan mengenai penanganan pascapanen agar hasil produksi mereka menjadi lebih baik sehingga akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Pedagang antarkota disini adalah para pedagang yang membeli kakao pada suatu daerah kemudian menjualnya kembali ke luar kota/daerah yang

membutuhkan suplai barang. Usaha dagang yang dimaksud adalah usaha yang bergerak pada jual beli biji kakao, sedangkan pedagang perantara dapat diartikan sebagai pedagang kecil, yang umumnya mereka tidak khusus berusaha sebagai pedagang hasil pertanian artinya hanya sebagai usaha sampingan. Perdagangan Kakao Dunia Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder, dan cocoa paste) volumenya relatif kecil. Tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton dan re-ekspor 235 ribu ton. Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir (cokelat) mencapai 2,9 juta ton. Sementara volume ekspor kakao butter, kakao powder, dan kakao paste masing-masing sebesar 528 ribu ton, 2004). Eksportir utama biji kakao dunia tahun 2003/04 ditempati oleh Pantai Gading dengan total ekspor 1 juta ton. Eksportir terbesar berikutnya adalah Ghana, Indonesia, dan Nigeria dengan volume masing-masing 608 ribu ton, 314 ribu ton, dan 161 ribu ton. Di sisi lain, importir terbesar biji kakao dunia adalah Belanda dengan volume 561 ribu ton, diikuti Amerika Serikat, Jerman, Malaysia, Prancis, Belgia, dan Inggris dengan volume impor masing-masing 488 ribu ton, 212 ribu ton, 181 ribu ton, 154 ribu ton, 139 ribu ton dan 138 ribu ton. Belanda sebagai importir terbesar biji kakao sekaligus berperan sebagai reekspor terbesar biji kakao dunia dengan volume 78,2 ribu ton. Perkembangan Konsumsi Kakao Dunia Konsumsi kakao dapat dibedakan antara konsumsi biji kakao dan konsumsi cokelat. Konsumsi biji kakao dihitung berdasarkan kapasitas pengolahan atau grinding capacity, sedangkan konsumsi cokelat dihitung berdasarkan indeks per kapita. Dalam perdagangan kakao, konsumsi biji kakaolah yang berkaitan langsung dengan produksi dan interaksi keduanya menentukan harga kakao dunia. Harga kakao bergerak naik jika konsumsi biji kakao lebih besar dari produksinya 594 ribu ton, dan 341 ribu ton (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia,

dan sebaliknya harga kakao akan merosot apabila konsumsi biji kakao lebih kecil dari produksi. Konsumsi biji kakao dunia sedikit berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Negara konsumen utama biji kakao dunia adalah Belanda yang mengkonsumsi 445 ribu ton pada tahun 2000/01. Konsumsi negara ini menurun menjadi 418 ribu ton tahun 2001/02 dan 440 ribu ton tahun 2002/03. Namun kembali meningkat pada tahun 2003/04 menjadi 445 ribu ton. Konsumen besar lainnya adalah Amerika Serikat, diikuti Pantai Gading, Jerman, dan Brazil yang masing masing mengkonsumsi 440 ribu ton, 265 ribu ton, 225 ribu ton, dan 205 ribu ton pada tahun 2000/01. Tahun 2001/02 dan 2002/03 konsumsi negara-negara konsumen utama kakao dunia ini relatif stabil, dan sedikit mengalami penurunan. Sementara itu konsumsi cokelat dunia masih didominasi oleh negaranegara maju terutama masyarakat Eropa yang tingkat konsumsi rata-ratanya sudah lebih dari 1,87kg per kapita per tahun. Konsumsi per kapita tertinggi ditempati oleh Belgia dengan tingkat konsumsi 5,34 kg/kapita/tahun, diikuti Eslandia, Irlandia, Luxembur, dan Austria masing-masing 4,88 kg, 4,77 kg, 4,36 kg dan 4,05 kg/kapita/tahun (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2004) .

BAB III. PEMBAHASAN Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Kakao Indonesia 1) Produksi Kakao Domestik Variabel produksi kakao Indonesia memiliki pengaruh yang positif dengan nilai koefisien sebesar 0,255 dan nilai t hitung sebesar 1,813 (lebih besar dari t tabel 1,771) nyata pada taraf kepercayaan 95%. Koefisien regresi tersebut berarti jika terjadi peningkatan produksi kakao domestik sebesar satu ton dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus), maka akan meningkatkan volume penawaran ekspor kakao Indonesia sebesar 0,255 ton. Nilai elastisitas produksi kakao domestik Indonesia adalah sebesar 0,327, artinya apabila produksi kakao domestik ditingkatkan sebesar 1 persen, maka penawaran ekspor kakao Indonesia akan meningkat sebesar 0,327 persen. Nilai elastisitas sebesar 0,327 (< 1) menunjukkan bahwa produksi kakao domestik bersifat inelastis, artinya apabila produksi kakao domestik ditingkatkan maka peningkatan ekspor kakao Indonesia tidak terlalu besar. Keadaan ini menunjukkan bahwa volume penawaran ekspor kakao Indonesia bersifat tidak responsif terhadap produksi kakao domestik. 2) Harga Kakao Domestik Koefisien regresi dari variabel harga domestik adalah sebesar -0,041 dan nilai thitung sebesar 2,712 (lebih besar dari ttabel 2,650), nyata pada taraf kepercayaan 99%. Tanda koefisien regresi yang bersifat negatif ini memberi arti bahwa jika terjadi peningkatan harga kakao domestik sebesar Rp. 1 per ton dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus), maka akan menurunkan volume penawaran ekspor kakao Indonesia sebesar 2,712 ton. Tanda negatif (-) dari variabel ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya. Harga kakao domestik bila dibandingkan dengan harga kakao internasional dapat dikatakan rendah, apalagi ditambah dengan adanya automatic detention yang diberlakukan oleh Amerika terhadap kakao Indonesia. Jika harga kakao domestik tinggi maka akan menurunkan penawaran ekspor

kakao Indonesia ataupun sebaliknya. Oleh karena itu harga kakao Indonesia yang rendah menarik minat para negara pengimpor dan para eksportir akan meningkatkan penawaran ekspor kakao ke negara-negara lain. Nilai elastisitas harga kakao domestik Indonesia adalah sebesar -0,543, artinya apabila harga kakao domestik ditingkatkan sebesar 1 persen, maka penawaran ekspor kakao Indonesia akan berkurang sebesar 0,543 persen. Nilai elastisitas sebesar 0,543 (lebih kecil dari 1) menunjukkan bahwa harga kakao domestik bersifat inelastis. Keadaan ini menunjukkan ekspor kakao Indonesia tidak terlalu responsif terhadap harga kakao domestik. 3) Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS Variabel nilai tukar memiliki pengaruh yang positif terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia dengan nilai koefisien sebesar 19,913 dan nilai thitung sebesar 2,590 (lebih besar dari ttabel 1,771), nyata pada taraf kepercayaan 95%. Tanda koefisien regresi yang bersifat positif ini mengartikan bahwa jika terjadi penguatan nilai tukar sebesar satu satuan dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus), maka akan meningkatkan volume penawaran ekspor kakao Indonesia sebesar 19,913 satuan. Atau dengan kata lain nilai tukar rupiah memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah ekspor kakao Indonesia, pada taraf kepercayaan 95%. Tanda positif (+) dari variabel ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya. Keadaan ekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari krisis moneter serta situasi politik yang bergejolak menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah. Terdepresiasinya nilai tukar rupiah memungkinkan harga komoditas dalam negeri menjadi lebih murah sehingga daya saing komoditas pertanian Indonesia di pasar luar negeri menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu penawaran ekspor kakao Indonesia dapat meningkat. Elastisitas sebesar 0,376 (lebih kecil dari 1) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah bersifat inelastis terhadap volume penawaran ekspor kakao Indonesia. Ini dapat diartikan bahwa peningkatan volume ekspor kakao Indonesia tidak responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut : 1) Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia adalah produksi kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar. 2) Koefisien regresi variabel produksi kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar, masing-masing adalah +0,255, -0,041, dan + 19.913. 3) Nilai elastisitas dari variabel produksi kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara berturut-turut adalah sebesar 0,327, 0,543, dan 0,376 4.2 Saran Saran untuk meningkatkan penawaran ekspor kakao Indonesia di masa yang akan datang, adalah 1) pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberlakuan pajak ekspor untuk kakao, 2)menghapus beberapa pungutan yang bermasalah, seperti pungutan antar pulau, pungutan antar daerah, dan sumbanganpihak ke-tiga

DAFTAR PUSTAKA Assosiasi Kakao Indonesia. 2005. Prospek Agroindustri Kakao Indonesia Di Pasaran Dunia Sampai Dengan 2010. ASKINDO : Jakarta Downey, W. David dan Steven P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Erlangga : Jakarta Anonim. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. http: //www.litbang.Deptan.go.id Bun. 2005. Kakao Dunia Kurang Sempurna Tanpa Kakao Indonesia. http: //www.kapanlagi.com

You might also like