You are on page 1of 7

BAB II PEMBAHASAN 2.

1 Pengertian Tri Hita Karana Secara Etimologi Tri hita karana terdiri dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kemakmuran, kebaikan, kesenangan, kegembiraan, keselarasan, kebahagiaan, dan karana berarti penyebab. Kata-kata ini adalah kata dalam bahasa sansekerta. Jadi Tri hita karana mengandung arti tiga penyebab kemakmuran atau tiga hal yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kemakmuran atau kebahagiaan. Hubungan ketiga unsur tri hita karana yang dimaksud adalah hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan.dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan. Parhyangan berasal dari katahyang yang berarti Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan (baca : agama hindu) dalam rangka memuja Hyang Widhi. Hyang Widhi adalah Maha Pencipta (Prima Causa). Beliau adalah sumber dari pada segala yang ada. Beliaulah mengadakan alam semesta ini beserta isinya. Beliau adalah asal dan tujuan akhir dari kehidupan. Palemahan berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam dan dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal. Pawongan berasal dari katawong(dalam bahasa jawa ) yang berarti orang. Pawongan berarti prihal yang berkaitan dengan orang-orang atau keorangan dalam suatu kehidupan masyarakat (community). 2.2 Pengertian Etika Agama Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. itulah diperlukan etika, yaitu untuk

mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmuilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika Agama adalah bagaimana tingah laku dalam hidup beragama, tidak memandang berasal dari agama apa, semuanya sama dalam etika agama namun berbeda dalam penyampaian dan pengimplementasiannya dalam kehidupan sehari-hari, jadi dasarnya adalah tingkah laku dari manusia itu sendiri. Etika agama ada dimaksudkan agar bagaimana kita bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk sehingga terjadi keseimbangan hidup antar umat beragama itu sendiri, karena kita di indonesia hidup pluralistik (beragam) agama tidak hanya satu saja yang berkembang disini, karena itu diperlukan etika agama agar terciptanya keharmonisan antar umat beragama, disini kia harus menyadari bahwa tidak ada satu agama yang paling baik, semua agama itu sama yang dasarnya itu sama yaitu tuhan dan kitab suci dan pada setiap agama memiliki tuhan dan kitab sucinya masing-masing dan yang perlu diingat disini tuhan itu satu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam setiap agama tersebut memiliki caranya masing-masing dalam pembelajaran etika agama dan salah satunya agama hindu dapat menerapkan ajaran Tri Hita Karana dalam pembelajaran etika agama kepada umatnya. 2.3 Hubungan Tri Hita Karana dengan Etika Agama Dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan beragama Tri Hita Karana memiliki peranan penting dalam pembelajaran Etika Agama itu. Nilai-nilai dan ajaran dalam Tri Hita Karana dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam melaksanakan Etika Agama itu sendiri.

Dalam menimplementasikan konsep Tri Hita Karana haruslah secara utuh tidak ada yang paling istimewa dari ketiganya, dia senantiasa seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai konsep keharmonisan, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam berbagai bentuk aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk kepentingan ritual. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan konsep manyamabraya, paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat Twam Asi yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah-tamah. Lebihlebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Dalam agama hindu ada namanya hari raya Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang untuk segala macam ternak, Tumpek Landep untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan jagat raya, dan lain sebagainya. Peranan Tri Hita Karana kaitannya dengan Etika Agama : 1. Parhyangan diwujudkan dalam bentuk aktivitas keagamaan dalam rangka memuja dan berbakti kepada Hyang Widhi. Terutama sekali adalah sarana tempat memuja adalah sanggah/merajan, pura. 2.Palemahan yang diwujudkan dalam bentuk wilayah atau teritorial meliputi : tempat tinggal, sawah, tegal, pasar, sekolah, instansi, tempat bekerja. Bhuwana Agung ciptaan Sang Hyang Widhi yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.

3. Pawongan diwujudkan dalam bentuk manusia, keluarga, masyarakat, dan warga. Terutama sesama manusia melalui suatu hubungan komunikasi yang misalnya : Saling memberi dan menerima Saling menghargai dan menghormati Saling asah asih asuh Saling maaf memaafkan Dan lain-lain, siap pengamalan konsep pawongan harmonis

Jadi, peranana Tri Hita Karana dalam Penerapan Etika Agama dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting agar terciptanya kehidupan yang harmonis, selaras dan seimbang untuk kita umat beragama, sesama manusia dan seluruh alam semesta.

Cara Berbusana
Sloka yang mengatur dengan tegas (hitam di atas putih) tentang cara berbusana bagi para walaka (bukan Sulinggih) belum saya temukan, mungkin rekan-rekan lain ada yang tahu, silakan memberi masukan. Bagi para Sulinggih (Pandita, Bhiksu/ Wiku) disebutkan dalam Silakrama tentang Satyabrata dan Amari Wesa. Jika disimak lebih jauh mengenai pengertian Bhiksuka, bahwa tidak hanya Pandita saja yang bisa dikatakan bhiksuka, tetapi juga para walaka yang sudah memahami Weda dan taat melaksanakan ajaran-Nya. Mereka melaksanakan Satyabrata khususnya satyabrata berpakaian, misalnya pakaian seharihari memakai kain dan selempod yang menutupi tubuh bagian bawah dan dada. Namun demikian sesuai perkembangan budaya khususnya tentang tata busana dari jaman ke jaman mempunyai nilai berbeda. Misalnya ketika Raja-Raja di Bali dilantik oleh J.Mol (Residen Bali & Lombok tahun 1940) di Singaraja, ada raja yang berbusana lengkap dengan keris, tetapi tidak bersepatu/ sandal. Tahun 1964 saya masih melihat gadis-gadis Bali yang berjualan di pasar, bekerja di sawah, sebagai buruh bangunan, jalanan, dll. banyak yang topless. Di tahun itu juga saya melihat di Desa Marga, Tabanan, wanita dan lelaki mandi telanjang bulat campur aduk di sungai (tempat) yang sama. Bahkan ketika si wanita sudah berpakaian dan mau pulang membawa kendi (jun) berisi air, dia minta bantuan sembarang lelaki yang sedang telanjang bulat membantu ngootin (mengangkat kendi untuk dijunjung). Sekarang kita melihat wanita-wanita di Bali ke Pura mengenakan kebaya dari bahan yang seperti kaca atau jala. Jadi jika disimak lebih jauh yang membuat kita risih melihat orang tidak menutupi bagian tubuhnya yang vital dengan sempurna, sebenarnya berkembang dari pikiran kita sendiri, Seperti yang diungkapkan dalam: Sarasamuscaya, sloka 82: SARVAM PASYATI CAKSUSMAN MANOYUKTENA CAKSUSA, MANASI VYAKULE JATE PASYANNAPI NA PASYATI Artinya: Mata dikatakan dapat melihat berbagai benda, tiada lain sebenarnya pikiranlah yang menyertai mata, sehingga jika pikiran bingung maka nafsulah yang menguasai; maka pikiranlah yang memegang peranan utama. Sarasamusccaya, sloka 86:

PARIVRATKAMUKASUNAMEKASYAM PRAMADATANAU, KUNAPAH KAMINIBHAKSYAMITI TISRO VIKALPANAH Artinya: Ada Wiku (pendeta) yang melakukan brata, ada pemuda yang besar nafsu sex-nya, dan ada serigala yang sangat lapar. Ketiganya melihat seorang wanita cantik. Maka Wiku berkata: godaan, saya tidak melihatnya; si pemuda merah padam mukanya tiada henti memandang wanita itu karena nafsu ingin segera menggauli; si serigala menetes air liurnya ingin memakan wanita itu. Nah sekali lagi pikiranlah yang menguasai tingkah laku kita. Maka kendalikanlah pikiran menuju hal-hal yang baik (dharma) dengan berbagai latihan. Cara berbusana dewasa ini mestinya mengikuti norma-norma susila, etika, dan pertimbangan yang bijaksana. Jangan hanya memikirkan kesenangan dan kepuasan diri pribadi, tetapi juga pertimbangkan pikiran orang lain. Syukurlah jika pikiran orang lain seperti Sang Wiku dalam contoh di atas; bagaimana kalau pikiran orang lain seperti pemuda yang energik itu? Bukankah ini akan mengundang bahaya bagi yang berbusana tidak patut itu? Atau dengan berpakaian minim dapat menggangu konsentrasi rekan sedharma yang sedang sembahyang.

Etika Berbusana ke Pura


QUESTION: Saya ingin menanyakan pada Ida Pandita bagaimana seharusnya etika berbusana ke pura yang baik dari sudut pandang agama, etika, filosofis, dan opini Ida Pandita sendiri? Saya berpendapat bahwa saat ini kebanyakan pemuda atau bahkan orang tua saat sembayang ke pura terkesan seperti menampakkan modernitas dalam berbusana, asal pake kebaya meski brokat dan terlihat transparan, ketat tidak apa2 dan sah2 saja, terlebih untuk kaum perempuan. Menurut Ida Pandita sendiri bagaimana menyikapi tatanan umat sekarang perihal etika berbusana ke pura? Kemudian apakah ada dalam weda atau kitab hindu lainnya menetapkan bagaimana sebenarnya aturan atau tata tertib dalam berbusana ke pura? ANSWER: Berpakaian ke Pura, dibahas dalam Paruman Sulinggih yang diadakan tahun 1976 ditetapkan bahwa busana untuk ke Pura: Bagi Pria:

Baju Kampuh Kain panjang

Sabuk Alas kaki (fakultatif)

Bagi wanita:

Baju/kebaya Kain panjang Sesenteng Sabuk Alas kaki (fakultatif)

Kesopanan dalam berpakaian ke Pura diatur pula dalam Tata-Tertib masuk ke Pura seperti yang telah diputuskan dalam seminar di Amlapura tahun 1975, di mana dinyatakan bahwa pakaian ke Pura adalah yang sopan, rapi, bersih, dan tidak menonjolkan bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang, serta dandanan yang sederhana dalam artian tidak menggunakan hiasan berlebihan.

You might also like