You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang mengakibatkan oklusi dan

strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis (Siroky, 2004). Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Terdapat kecenderungan penurunan insiden sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas. Testis kiri lebih sering terjadi dibanding testis kanan, hal ini mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi postnatal (Reynard, 2006). Tumor testis jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian di seluruh dunia telah meningkat sejak tahun 1960-an, dengan tingkat prevalensi tertinggi di Skandinavia, Jerman, dan Selandia Baru (Einhorn LH, 2007). Kasus torsio testis harus segera ditangani untuk menghindari hilangnya fungsi fisiologis testis. Pembedahan torsio testis akan diikuti oleh detorsio yang akan menyebabkan reperfusi jaringan. Reperfusi dari jaringan yang sebelumnya iskemia dapat menyebabkan timbulnya cedera sel yang mengurangi manfaat dari reperfusi itu sendiri. Cedera sel ini disebut cedera reperfusi. Oleh karena itu keadaan reperfusi dapat dikatakan sebagai keadaan dilematis. Keadaan yang diperlukan oleh jaringan tetapi juga dapat memicu cedera iskemia. Sindrom ini sering memicu testis ipsilateral dan kontralateral menjadi infertil (Raju, et al., 2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi 1. Funiculus Spermaticus Funiculus spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur yang melalui canalis inguinalis dan berjalan menuju ke dan dari testis. Funiculus spermaticus diliputi oleh 3 lapisan konsentris facia yang berasal dari lapisan-lapisan dinding anterior abdomen. Funiculus spermaticus berawal pada annulus inguinalis profundus yang terletak lateral terhadap arteria epigastrica inferior struktur-struktur pada funiculus spermaticus sebagai berikut (Snell, 2006). a. Vas deferens b. Arteria testicularis c. Venae testicularis (plexus pampidiformis) d. Pembuluh limfatik testis e. Saraf-saraf otonom f. Prosesus vaginalis g. Arteria cremasterica h. Arteria duktus deferentis i. Ramus genitalis nervus genitofemoralis yang menyarafi musculus cremaster 2. Scrotum Scrotum merupakan kantong yang menonjol keluar dari bagian bawah dinding anterior abdomen. Scrotum berisi testis, epididimis dan ujung bawah funiculus spermaticus. Dinding scrotum mempunyai lapisan (Snell, 2006): a. b. Cutis Facia superficialis, musculus dartos menggantikan panniculus spermatica externa yang berasal dari musculus oblikus externus abdominis
2

c. d. e.

Fascia cremasterica yang berasal dari musculs oblicus internus abdominis Fascia spermatica interna yang berasal dari fascia tranversalis Tunica vaginalis

3. Testis Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran testis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Testis sinistra biasanya terletak lebih rendah dibandingkan testis dextra. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Pada permukaan anterior dan lateral, testis dan epididimis dikelilingi oleh tunika vaginalis yang terdiri atas 2 lapis, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan di sebelah luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke muskulus dartos pada dinding skrotum. Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil (Snell, 2006; Purnomo, 2012). Permukaan dalam kapsula terbentang banyak septa fibrosa yang membagi bagian dalam organ menjadi lobulus-lobulus (lobuli testis). Dalam setiap lobulus terdapat satu sampai tiga tubuli seminiferi yang berkelok-kelok. Tubuli seminififeri bermuara ke dalam jalinan saluran yang dinamakan rete testis. Ductuli efferentes menghubungkan rete testis dengan ujung atas epididimis (Snell, 2006; Martini, 2012). Testis diperdarahi oleh arteri testicularis yang berupakan cabang langsung aorta abdominalis. Vena testicularis keluar dari testis dan epididymis sebagai jalinan vena yang disebut plexus pampiniformis. Jalinan ini bakan mengecil dan berjalan ke atas melalui canalis inguinalis. Vena testicularis dextra mengalirkan darahnya ke vena cava inferior, dan vena testicularis sinistra bermuara ke vena renalis (Martini, 2012).

Gambar 1. Struktur Anatomi Funiculus Spermaticus, Scrotum, dan Testis (Martini, 2012)

Gambar 2. Struktur Testis (Martini, 2012) B. Etiologi Masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis, epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpluntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan testis mengalami torsio intravaginal.

Gambar 3. Perbedaan Anatomi Testis Normal dengan Torsio Testis (Ringdahl & Teague, 2006)

Faktor predisposisi lain terjadinya torsio adalah peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006). Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis (Wilson & Hillegas, 2006).

C. Patofisiologi Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga abdomen untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan berlebihan itu, antara lain (Purnomo, 2012): 1. Perubahan suhu yang mendadak (seperti saat berenang),
2. Ketakutan, 3. Latihan yang berlebihan, 4. Batuk, 5. Celana yang terlalu ketat, 6. Defekasi, 7. Trauma yang mengenai skrotum.

Terpeluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis,dan iskemia. Akhirnya testis dapat mengalami nekrosis (Purnomo, 2012) .

ETIOLO GI Immobil isasi testis


Trau ma testi s
Spasme otot kremaster

Tum or testi s

Adescend ens testicular is Testis berotasi bebas

Perubahan keadaan extreme

Bellclapper

Aliran darah terhenti Iskemia testis

Nekrosis

Nyeri menjalar ke abdomen

Impuls dari saraf


Stimulasi mualmuntah dari otak

Demam

Terasa terbakar saat berkemih

Gambar 4. Bagan Patofisiologi Torsio Testis (Wim De Jong, 2005) D. Penegakkan diagnosis Torsio testis dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila diagnosis torsio testis masih diragukan atau pasien tidak menunjukan bukti klinis nyata (Minevich, 2007).

1. Tanda dan gejala a. Anamnesis 1) Penderita mengalami nyeri akut di daerah skrotum akibat torsio testis ini. Nyeri ini bersifat mendadak dan disertai dengan pembengkakan pada skrotum. Sifatnya yang mendadak ini yang membedakan torsio testis dengan epididimitis. Keadaan nyeri hebat ini disebut dengan akut skrotum (Purnomo, 2012). 2) Jika penderitanya seorang bayi, gejalanya menjadi tidak khas, yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui (Purnomo, 2012). 3) Biasanya penderita pernah memiliki riwayat melakukan olah raga berat ataupun trauma tumpul ringan pada daerah tersebut (Rothrock & Brennan, 2007). 4) Sebagian penderita juga mengalami mual dan muntah akibat akut skrotum ini, selain itu sebagian penderita juga mengalami demam. Namun gejala demam ini tidak tentu dialami oleh semua penderita (Rothrock & Brennan, 2007). 5) Sebagian besar penderita pernah merasakan adanya episode nyeri yang hebat seperti itu sebelumnya, namun dapat sembuh tanpa ditangani, sehingga tidak menjadi keluhan yang berarti (Rothrock & Brennan, 2007).

Gambar 5. Gambaran Penderita Torsio Testis (Wilson & Hillegas, 2006)


9

2. Pemeriksaan Fisik 1) Ditemukan keadaan testis yang membengkak, testis yang mengalami torsio akan terletak lebih tinggi dan lebih horisontal dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya (Purnomo, 2012). 2) Pemeriksaan refleks kremaster juga perlu dilakukan pada proses pemeriksaan fisik. Testis yang mengalami torsio ini akan kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster ini (Agarwal, Aitken, & Alvarez, 2012). Namun, pada penderita yang berusia di bawah 30 bulan, normal jika tidak memiliki refleks kremaster. Tanda ini penting untuk membedakan torsio testis dengan penyakit lain yang memiliki gejala akut skrotum (Rothrock & Brennan, 2007). 3) Letak testis lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral (Minevich, 2007). 4) Pada testis yang mengalami torsio akan teraba testis yang seperti terpelintir, sudut yang abnormal dari testis, terutama jika dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya dan terdapat penebalan funikulus spermatikus (Rothrock & Brennan, 2007; (Minevich, 2007). 5) Namun, jika testis berotasi 360 atau 270 derajat, maka epididimis kemungkinan akan terlihat seperti normal (Rothrock & Brennan, 2007). 6) Testis tampak hiperemis, eritem, dan edema yang meluas hingga skrotum sisi kontralateral (Minevich, 2007). 7) Nyeri tidak berkurang walaupun telah dilakukan elevasi testis (Prehn sign) (Minevich, 2007). 3. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien torsio testis didapatkan hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Minevich, 2007). a. Adanya leukosit pada urin b. Peningkatan acute fase protein (CRP)
10

c. Tidak ditemukan aliran darah menuju testis pada pemeriksaan USG Doppler Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna menentukan diagnosa banding pada keadaan akut skrotum lainnya. Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien. Namun pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin dan pemeriksaan darah yang tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami keradangan steril (Boddy, 2003). Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut skrotum. Pada pemeriksaan cairan prostat yang dilakukan untuk membedakan epididimitis dari torsio testis. Dari 50 kasus epididimitis yang belum memperoleh antibiotika, pasien mendapatkan cairan prostatnya penuh dengan leukosit (Boddy, 2003). Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan technetum 99m (99mTc) pertechnetate dengan akurasi diagnostik 90%. Kedua metode tersebut digunakan untuk menilai aliran darah ke testis dan membedakan torsio dengan kondisi lainnya (Iroky, 2004). Berikut adalah gambar pada pemeriksaan doppler ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan technetum 99mm (99mTc) ( Iroky, 2004).

11

Gambar 6. Pemeriksaan Doppler Ultrasonografi ( Iroky, 2004) Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan torsi akut penurunan aliran darah di testis kiri dibandingkan dengan testis kanan pada seorang anak 14 tahun yang mengalami nyeri akut selama empat jam (Iroky, 2004).

Gambar 7. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Torsi Akut (Iroky, 2004) Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan akhir torsi mempengaruhi testis kanan pada anak 16 tahun yang mengalami nyeri selama 24 jam. Terdapat peningkatan aliran darah di sekitar testis kanan tetapi tidak adanya aliran dalam substansi testis (Iroky, 2004).

12

Gambar 8. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Akhir Torsi (Iroky, 2004)

E. Terapi Medikamentosa dan Non Medikamentosa 1. Non operatif Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus dapat mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2012). Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012). Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis
13

mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan detorsi manual akan memperburuk derajat torsio (Purnomo, 2012). 2. Operatif Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan (Purnomo, 2012). Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis (Purnomo, 2012). Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Purnomo, 2012): a. b. c. d. e. Untuk memastikan diagnosis torsio testis Melakukan detorsi testis yang torsio Memeriksa apakah testis masih viable Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis masih viable Memfiksasi testis kontralateral Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada testis kontralateral. Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain waktu (Purnomo, 2012).

14

Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi pada tunika dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari (Purnomo, 2012). F. Prognosis Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4, yaitu (S. Tekgul et all, 2008): 1. Fertilitas Terdapat variasi prognosis dan saling bertentangan karena belum ada kepastian, namun dalam suatu penelitian torsio unilateral dapat berakibat serius terhadap spermatogenesis pada 50% pasien, dimana terjadi penurunan produksi mencapai 20% 2. Subfertilitas Subfertilitas terjadi pada 36-39% pasien setelah terjadi torsio testis. Artinya ditemukan antibodi yang sama antara pasien setelah terjadi torsio testis dengan pasien infertilitas 3. Tingkat androgen Tingkat produksi androgen mengalami penurunan pada pasien dengan masalah setelah Torsio testis 4. Kanker testis Pada pasien dengan masalah torsio testis memiliki risiko terkena kanker testis sebesar 3,2 x lebih berisiko.

15

Secara umum jika penangan terhadap torsio testis cepat dilakukan maka prognosisnya akan semakin membaik (bonam) (S. Tekgul et all, 2008).

16

F. Komplikasi Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas terlihat setelah 2 jam dari torsi. Putusnya suplai darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian ini bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari (Greenberg, 2005; Graham, 2009). Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya testis, infeksi, infertilitas, deformitas kosmetik, kanker testis, penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma (spermatogenesis) (Graham, 2009; S. Tekgul et all, 2008).

17

BAB III PEMBAHASAN

A. Teori Baru Penatalaksanaan Torsio Testis Prinsip penatalaksanaan torsio testis adalah tindakan untuk

mengembalikan perfusi jaringan dan mencegah hilangnya fungsi fisiologis dari testis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani torsio testis dapat dikelompokkan menjadi tindakan operatif dan non operatif (Raju, et al., 2010). Tindakan non peratif untuk menangani torio testis adalah detorsi manual funikulus spermatikus. Detorsi manual dilakukan dengan cara memutar testis berlawanan dengan arah torsio. Detorsi menual merupakan cara terbaik untukk memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012). Tindakan operatif untuk torsio testis harus segera dilakukan mengingat torsio testis adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan. Tujuan dilakukannya tindakan pembedahan adalah untuk memastikan diagnosis torsio testis, melakukan detorsi, memeriksan viabilitas testis, membuat atau memfiksasi testis, dan memfiksasi testis kontralateral (Purnomo, 2012):. Tindakan non operatif maupun operatif akan menyebabkan terjadinya reperfusi jaringan. Reperfusi iskemia memicu timbulnya ROS yang disebabkan oleh aktivasi sistem xanthine oxidase di sel parenkim atau karena leukosit yang masuk ke jaringan intersisial. Oleh karena itu terapi detorsio sangat mungkin dapat mencederai testis. Saat darah kembali mensuplai jaringan, oksigen dibutuhkan untuk konversi hipoxanthine ke asam urat untuk disuplai ke testis. Proses perubahan ini menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas. Radikal bebas ini bereaksi dengan lemak pada sel dan membran mitokondria mengubah permeabilitas dan integritas sel (Raju, et al., 2010). Oleh karena itu, terapi antioksidan dapat menjadi pilihan terapi non-hormonal baru pada laki-laki dengan infertilitas yang diakibatkan ROS seperti pada torsio testis (Dokmeci, 2006).
18

B. Kekurangan dan Kelebihan Teori Baru


Stres oksidatif merupakan suatu patofisiologi infertilitas pria. Begitu pula

dengan strees oksidatif yang disebabkan oleh torsio testis .Suatu penelitian
menunjukan bahwa pada keadaan infertilitas terjadi peningkatan dari ROS pada seminal. Pada keadaan ROS yang meningkat juga diiringi peningkatan konsentrasi LDL pada pasien hiperlipidemia, namun tidak selalu diiringi dengan peningkatan konsentrasi HDL. Hal inilah yang memacu timbulnya stres oksidatif. (Siti, 2009). Stres oksidatif timbul sebagai konsekuensi peningkatan yang berlebihan dari produksi ROS dan menyebabkan terganggunya mekanisme pertahanan oleh antioksidan. Bersamaan dengan itu, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia menyebabkan peningkatan ROS dan kadar lipidperoksida di jaringan yang berasosiasi dengan penurunan efek antioksidan. Bersamaan dengan itu, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia menyebabkan peningkatan ROS dan kadar lipidperoksida di jaringan yang berasosiasi dengan penurunan efek antioksidan. Tymoquinon yang terkandung dalam Nigella sativa (Jintan Hitam) diketahui memiliki efek antioksidan yang berperan dalam penghambat lipid peroksida. ( Siti, 2009) Nigella sativa memiliki berbagai efek farmakologis adapun efek Nigella sativa yang berperan dalam meningkatkan kualitas spermatozoa adalah karena adanya kandungan asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen utama dari minyak Nigella sativa berperan dalam sintesis hormon testosteron dengan cara meningkatkan aktivitas dari enzim 17 beta-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim ini merupakan enzim yang penting dalam jalur sintesis testosteron, di mana hormon testosteron ini berperan dalam proses spermatogenesis (Bashandy, 2006). Selain itu, jintan hitam juga mengandung berbagai zat yang mempunyai efek sebagai antioksidan yang dapat menekan produksi radikal bebas yang mana radikal bebas tersebut merupakan zat yang dapat menyebabkan kerusakan sel, termasuk sel-sel sertoli, sel-sel leydig dan spermatozoa itu sendiri serta zat antioksidan dari Nigella sativa juga berperan dalam melindungi sel sel tubuh dari stress oksidasi dan peroksidasi lipid yang berlebihan (Bashandy, 2006).

19

C. Harapan Penatalaksanaan Torsio Testis Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dalam bidang bedah sehingga diagnosis dini serta penanganan tepat waktu penting untuk menyelamatkan testis dari nekrosis. Pemilihan tatalaksana torsio testis, baik tindakan operasi maupun non operasi perlu dipertimbangkan dengan baik berdasarkan letak dan derajat keparahan torsio. Keadaan testis setelah operasi juga perlu diperhatikan untuk mencegah timbulnya torsio testis kembali atau bahkan keadaan infertilitas yang akan dialami oleh penderita. Terapi dengan menggunakan minyak jintan hitam, bisa menjadi salah satu terapi dalam menekan stress oksidatif yang menyebabkan infertiklitas pada penderita torsio testis. Namun, keadaan minyak jintan hitam masih jarang keberadaannya, dan dalam penyembuhan dengan metode tersebut bias diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lama. Disamping hal tersebut penggunaan minyak jintan hitam juga harus disesuaikan dengan kondisi penderita, mulai dari dosis dan pengaruhnya terhadap pengobatan yang lain, agar tidak terjadi kesalahan dalam pengobatan. Penelitian akan minyak jintan terhadap pemulihan akan infertilitas dari pasien torsio testis juga harus dilakukan lebih dalam, mengingat belum banyaknya penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pemberian minyak jintan pada infertilitas yang diakibatkan oleh torsio testis.

20

BAB IV KESIMPULAN 1. Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididimis. 2. Komplikasi yang ditimbulkan oleh torsio testis antara lain infertilitas, kanker testis, penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma (spermatogenesis) bahkan jika tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis 3. Tanda dan gejala yang timbul diantaranya penderita mengalami nyeri akut di daerah skrotum, mengalami mual dan muntah, keadaan testis yang membengkak, kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster dan teraba testis yang seperti terpelintir
4. Umumnya untuk menangani penderita torsio testis menggunakan detorsi

manual, pembedahan, dan orkidopeksi (fiksasi testis). 5. Teori baru pada kasus torsio testis menggunakan terapi antioksidan yang merupakan pilihan terapi non-hormonal baru pada laki-laki dengan infertilitas yang diakibatkan ROS seperti pada torsio testis. 6. Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4 yaitu fertility, subfertility, tingkat androgen, dan kanker testis.

21

DAFTAR PUSTAKA Agarwal, A., Aitken, R. J., & Alvarez, J. G. 2012. Studies on Men's Health and Fertility. New York: Springers.
Bashandy AES. 2006. Effect of fixed oil Nigella sativa on male fertility in normal and hyperlipidemic rats, Intl. J. Pharmacol. 2(1): 104-109.

Boddy. A.M, Madden.N.P . 2003. Rob&Smith Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology. London : Churchill Dokmeci, D., 2006. Testicular torsion, oxidative stress and the role of antioxidant therapy. NCBI, 48(3-4), pp. 16-21. Einhorn, LH. 2007. Testicular cancer. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier. Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas & Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249 Greenberg, Michael. 2005. Testicular Torsion page 329. Greenbergs Text Atlas of Emergency Medicine. Lippicott Williams Willkins : Philadelphia Iroky.M.B. 2004. Torsion of the testis dalam Siroky.M.B, Oates.R.D, Babayan.R.K (eds), Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelphia: Lippincot William&Wilkins. Martini, Federic. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th ed. New York: Benjamin Cummings. Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm Purnomo, Basuki P. 2012. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. Reynard.J. 2006. Oxford Handbook of Urology. New York : Oxford University Press Raju, A. B. et al., 2010. Evaluation of Oxidant and Anti-Oxidant Balance in Experimentally Induced Testicular Injury by Ischemia Reperfusion in Rats, European Journal of General Medicine, 8(2), pp. 118-120. Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2006. Testicular Torsion. Columbia : American Family Physician. University of MissouriColumbia School of Medicine:.

22

Rothrock, S. G., & Brennan, J. A. 2007. Pediatric Emergency Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier. Siroky.M.B. 2004. Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelpihia : Lippincot William&Wilkins Snell, Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta EGC.
Sopia, Siti. 2009. Pengaruh Pemberian Minyak Jintah Hitam (Nigella sativa) Terhadap Motilitas Spermatozoa Tikus Wistar Hiperlipidemia . Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Tekgul, S. H. Riedmiller. Gerharz et all. 2008. European association of urology. Guidelines on Paediatric Urology Halaman 14

Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.. .

23

You might also like