You are on page 1of 26

PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT) PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA) UMUR 65 - 70 TAHUN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT) PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA) UMUR 65 - 70 TAHUN

A. Pendahuluan Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang metabolik yang ditandai oleh reduksi kepadatan tulang sehingga mudah terjadi patah tulang. Osteoporosis terjadi sewaktu kecepatan absorpsi tulang melebihi kecepatan pembentukan tulang. Tulang yang dibentuk normal, namun jumlahnya terlalu sedikit sehingga tulang menjadi lemah. Semua tulang dapat mengalami osteoporosis, walaupun osteoporosis biasanya timbul di tulang-tulang panggul, paha, pergelangan tangan, dan kolumna vartebralis (Corwin, 2001). Kita telah mengetahui bahwa kelemahan mental, kerapuhan tulang, punggung membungkuk, dan berat badan yang menurun sering dianggap hal normal, sebagai bagian dari ketuaan. Semua ini sebenarnya adalah gejala penyakit osteoporosis yang bisa dicegah bila diambil tindakan sejak muda. Jika tidak ditangani, osteoporosis bisa membawa penderitaan, cacat, dan kematian pada lansia (manusia lanjut usia). Untungnya, sekarang kepedulian pada osteoporosis di kalangan para dokter dan masyarakat umum meningkat dan telah ada terobosan penting dalam diagnosis dan penanganannya. Pengurangan massa tulang akibat penuaan memang gejala biasa, namun menjadi penyakit bila massa tulang mencapai tingkat yang membuatnya mudah patah. Pada orang dewasa normal, tulang kuat dan hanya

patah bila mengalami trauma berat, misalnya kecelakaan lalu lintas. Dengan bertambahnya usia dan penyakit tertentu tulang jadi lebih tipis dan rapuh, sehinga lebih mudah patah. Patahnya tulang karena kerapuhan merupakan pertanda osteoporosis yang sering terjadi pada pergelangan tangan, tulang belakang, dan tulang pinggul (Compston, 2002). Walau paling sering menyerang wanita lansia, osteoporosis bisa pula menyerang pria dan bisa terjadi pada usia berapa pun. Frekuensi

kejadian osteoporosis di berbagai belahan dunia berbeda, namun yang paling tinggi di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Osteoporosis lebih banyak menyerang orang kulit putih dan Asia daripada rang kulit hitam. Berjalan dan modifikasinya seperti berlari, berjalan cepat merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu mempunyai cara berjalan yang unik yang kadang kala merupakan ciri khas dari individu yang bersangkutan. Namun meski demikian semua pola jalan mempunyai kesamaan dasar yang bersifat umum. Pola jalan atau gait ialah cara seseorang berjalan yang dikarakterisasikan oleh ritme, irama (cadence), langkah, jarak langkah, dan kecepatan. Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi yang dikontrol oleh susunan saraf pusat, dimana reflek postural mengambil peranan yang sangat penting. Stimulus afferen berasal dari tumit kaki dengan asupan impuls propioseptif yang berasal dari anggota gerak bawah, trunkus, dan leher. Dalam pola jalan yang normal satu siklusnya terdiri dari fase

stance (heel strike, mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, midswing, deselerasi) (Galley dan forster, 2002).

B. Identifikasi Masalah Analisa pengaruh osteoporosis pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun sampai dengan terjadinya pola jalan (gait) yang salah.

C. Pembatasan Masalah Mengingat adanya keterbatasan waktu, biaya, tenaga, dan tempat maka penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) terutama pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

D. Rumusan Masalah Apakah osteoporosis berpengaruh terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun ?

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap fase stance (heel strike, mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, mid-swing, deselerasi).

F. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sarana informasi bagi mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya tentang pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada

lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun. 2. Memberikan sumbangan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh

osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

G. Deskripsi Teori 1. Osteoporosis Tulang adalah struktur hidup, tersusun oleh protein dan mineral yang terus mengalami penghancuran dan pembentukan kembali. Osteoporosis biasanya tejadi akibat proses penuaan normal, ketika laju penghancuran meningkat sedangkan pembentukan kembali menurun, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh. Struktur tulang normal terdiri dari lapisan tulang padat (tulang kortikal) yang mengelilingi lempengan dan serabut tulang (tulang berongga atau trabekular) yang diselingi sumsum tulang. Ketebalan lapisan luar yang padat ini berbeda-beda pada setiap bagian rangka, sebagai contoh tulang

tengkorak dan tulang anggota tubuh jauh lebih besar di bandingkan tulang belakang. Kekuatan rangka terutama dihasilkan oleh tulang padat ini, namun tulang berongga juga ikut berperan penting. Penyusun utama tulang sesungguhnya adalah protein yang disebut kolagen serta mineral tulang yang mengandung kalsium. Tulang adalah jaringan hidup yang harus terus diperbaharui untuk menjaga kekuatannya. Tulang yang tua selalu dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat. Bila proses ini, yang terjadi di permukaan tulang dan disebut dengan peremajaan tulang, tidak terjadi, rangka kita akan rusak karena keletihan ketika kita masih muda. Ada tiga jenis sel utama dalam tulang, yakni osteoklast, yang merusak tulang, osteoblast, yang membentuk tulang baru, dan osteosit, sel tulang dewasa yang berasal dari osteoblast. Ketiga sel ini dibentuk dalam sumsum tulang. Osteoklast dan osteoblast

terbentuk setiap saat di bawah pengaruh rangsangan beberapa hormon. Osteoklast terbentuk dari sel osteoprogenitor dengan pengaruh rangsangan hormon paratiroid, hormon tiroid, hormon pertumbuhan, vitamin D, dan ion kalsium. Adapun osteoblast terbentuk dari osteoklast dibawah rangsangan kalsitonin, hormon pertumbuhan, ion fosfor, dan stres makanik. Perubahan osteoklast menjadi osteoblast dihambat oleh hormon paratiroid, ion kalsium, dan glukokortikoid (Dalimartha, 2004). Pembentukan tulang berlangsung secara terus-menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan

hormon , faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat adanya aktivitas sel-sel pembentuk tulang (osteoblast) (Corwin, 2001). Pada osteoporosis, masa tulang padat dan berongga berkurang. Menipisnya lapisan tulang padat sangat mengurangi kekuatan tulang dan meningkatkan kemungkinan patah tulang. Pengurangan massa tulang pada tulang berongga menyebabkan lempeng dan serabut tulang yang tebal menjadi tipis dan terputus-putus. Perubahan ini menambah lemahnya tulang (Compston, 2002). a. Perubahan Massa Tulang Massa tulang mengalami perubahan selama hidup melalui tiga fase, yaitu fase tumbuh, fase konsolidasi, dan fase involusi. Sekitar 90 % massa tulang dibentuk pada fase tumbuh. Setelah masa pertumbuhan, pembentukan tulang berhenti sehingga berhenti pula proses pertumbuhan pemanjangan tulang. Ini berarti, tinggi badan sudah tidak dapat bertambah (Dalimartha, 2004). Setelah fase pertumbuhan berhenti, mulai fase konsolidasi yang berlangsung sekitar 10-15 tahun. Pada fase ini kepadatan tulang bagian korteks dan trabekular akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia 30-35 tahun. Keadaan ini disebut massa tulang tertinggi/puncak (peak bone mass). Seseorang yang mempunyai massa tulang tertinggi/puncak yang tinggi akan mempunyai kekuatan tulang yang cukup bila terjadi penurunan densitas tulang akibat usia, sakit berat, atau menurunnya

produksi seks steroid. Pencapaian massa tulang tertinggi ini ternyata lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan (Dalimartha, 2004). Massa tulang tertinggi sangat penting dalam menentukan apakah seseorang berisiko terkena osteoporosis dikemudian hari. Jika rendah, sedikit saja massa tulang berkurang bisa berakibat patah tulang (Danielle, 1994). Untuk jangka waktu tertentu, keadaan massa tulang tetap stabil sampai akhirnya memasuki fase involusi, yaitu mulai terjadinya pengurangan massa tulang sesuai dengan pertambahan usia. Pada usia 4045 tahun, baik laki-laki maupun perempuan mulai terjadi proses penipisan masssa tulang yang penyusutannya berkisar 0,3-0,5 % per tahun. Seiring dengan turunnya kadar hormon estrogen yang terjadi secara fisiologis pada perempuan maka kehilangan massa tulang akan meningkat 2-3 % per tahun yang dimulai sejak massa premenapouse dan terus berlangsung sampai 10-15 tahun setelah menapouse. Pada usia lanjut, yaitu setelah usia 65 tahun atau usia geriatri, kehilangan massa tulang tetap terjadi, tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah. Secara keseluruhan, selama hidupnya pada perempuan akan kehilangan 40-50 % massa tulangnya, sedangkan laki-laki 20-30 %. Penurunan massa tulang ini ternyata tidak sam di seluruh tulang rangka. Penurunan yang paling cepat terjadi di tulang telapak tangan (metacarpal), leher tulang paha (collum femoris), dan ruas tulang belakang (corpus

vertebra).Tulang kerangka lainnya juga mengalami proses tersebut, tetapi berlangsung lebih lambat (Dalimartha, 2004).

b. Penentu Massa Tulang Tertinggi Faktor-faktor penentu massa tulang tertinggi belum sepenuhnya dipahami, namun sangat dipengaruhi oleh gen, selain asupan kalsium dan olahraga yang diperkirakan juga ikut berperan penting. Begitupun dengan hormon seks. Amenore (tidak mendapat haid), yang disebabkan anoreksia nervosa atau penyakit lain, akan menurunkan massa tulang tertinggi, selain ada bukti kuat bahwa penggunaan kontrasepsi oral bisa memperbesar massa tulang tertinggi. Berkurangnya massa tulang pada pria dan wanita akibat usia dimulai sekitar usia 40 tahun sampai akhir hanyat. Sekitar 35 persen tulang padat (tulang kortikal) dan 50 persen tulang berongga (tulang trabekular) pada wanita akan hilang, sedangkan pria hanya kehilagan sekitar 2/3 dari jumlah tersebut. Wanita kehilangan lebih banyak tulang dibandingkan dengan lakilaki, karena selama menopause laju berkurangnya tulang meningkat selama beberapa tahun. Bila sejak semula tulangnya lebih sedikit, laju pengurangan yang meningkat selama menopause dan usia yang lebih panjang, maka wanita tersebut lebih berisiko menderita osteoporosis. Pada umur 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa tulang yang

sedemikian kecilnya, sehingga mereka cenderung mengalami patah tulang bila terjatuh (Compston, 2002). Penyebab berkurangnya massa tulang akibat usia belum

sepenuhnya dipahami, namun kita tahu bahwa defisiensi estrogen adalah faktor utama massa tulang berkurang pada wanita. Ketika wanita memasuki masa menapouse, fungsi ovariumnya menurun, yang

mengurangi produksi dua hormon yaitu estrogen dan progesteron. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Kekurangan hormon estrogen akan mengakibatkan lebih banyak resorpsi tulang daripada pembentukan tulang. Akibatnya, massa tulang yang sudah berkurang karena bertambahnya usia, akan diperberat lagi dengan berkurangnya hormon estrogen setelah menapouse. Pada banyak orang massa tulang yang berkurang akibat usia bisa menimbulkan osteoporosis pada usia lanjut. Namun pada kasus tertentu, fakto-faktor lain memperbesar hilangnya massa tulang sampai di atas batas normal (Topan, 2005).

c. Jenis-jenis Oteoporosis Menurut Riggs dan Melton (1983) terdapat dua jenis osteoporosis yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder.

10

1) Osteoporosis Primer Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang terjadi akibat adanya proses penuaan. Jenis osteoporosis adan dua tipe, yaitu osteoporosis post menopausal dan osteoporosis senilis. a) Tipe I (osteoporosis post menopausal) Osteoporosis ini timbul setelah haid berhenti (menapouse) sebagai akibat rendahnya hormon estrogen. Pada masa menapouse, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam mineralisasi tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklast melalui penghambatan produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen dalam darah menurun, proses pengeroposan tulang dan pembentukan tulang mengalami ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan. Oleh karena itu, diperlukan tambahan hormon estrogen agar kedua proses tersebut dapat berjalan seimbang (Wirakusumah, 2007). Tipe osteoporosis ini terjadi pada usia 55-70 tahun. Perlu diketahui bahwa masa premenapouse (haid berkurang dan tidak beraturan) mulai umur 45 tahun, masa menapouse sekitar umur 50 tahun, dan masa pascamenapouse sekitar umur 60 tahun. Pada usia 55-70 tahun, perempuan lebih banyak terkena osteoporosis daripada laki-laki dengan rasio 6: 1 (Dalimartha, 2004).

11

b) Tipe II (osteoporosis senilis pada pria) Seperti halnya osteoporosis tipe I, pada tipe II juga disebabkan oleh berkurangnya hormon endokrin, dalam hal ini hormon tertosteron. Osteoporosis ini timbul pada usia lanjut dengan usia berkisar 70-85 tahun. Perempuan resikonya 2 kali lebih besar dari pada laki-laki. Massa tulang berkurang didaerah korteks dan trabekular. Pada laki-laki timbulnya osteoporosis lebih lambat karena penurunan hormon seks yang lebih lambat dan densitas pencak tulang yang di capainya pun lebih tinggi daripada perempuan. 2) Osteoporosis Sekunder Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Contohnya yaitu : a) Penyakit endokrin : tiroid, hyperparatiroid, hypogonadisme, b) Penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan absorbsi zat gizi (kalsium, fosfor, vitamin D, dll) menjadi terganggu, c) Penyakit keganasan (kanker), d) Konsumsi obat-obatan (kortikosteroid), e) Gaya hidup tidak sehat (merokok, minum minuman beralkohol, kurang olah raga, dan lain-lain).

12

d. Gejala dan Tanda-tanda Osteoporosis Osteoporosis hanya menunjukkan gejala bila ada tulang yang patah atau fraktur sehingga di istilahkan juga sebagai penyakit silent disease karena sering tidak memberikan gejala hinga pada akhirnya terjadi patah (fraktur). Perlu disadari bahwa menurunnya massa tulang tidak menimbulakn rasa sakit atau gejala lain. Sakit punggung, misalnya, bukan disebabkan oleh rendahnya massa tulang kecuali bila ada tulang yang patah. Patah tulang akibat osteoporosis menimbulkan sakit dan kecacatan. Pada sebagian kasus keadaan ini akan dirasakan sepanjang hayat, namun pada kasus lain lambat laun akan hilang atau membaik (Topan, 2005). Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien osteoporosis sebagi berikut: 1) Nyeri pada tulang Rasa nyeri yang timbul pada osteoporosis bisa akut maupun kronik. Rasa nyeri akut berasal dari tulang atau periosteum akibat fraktur yang baru terjadi. Adapun rasa nyeri kronik berasal dari jaringan lunak akibat teregangnya ligamentum dan otot karena adanya deformitas. 2) Berkurangnya tinggi badan Penyusutan tinggi badan terjadi akibat adanya komfresi fraktur di ruas tulang belakang. Biasanya disertai dengan gejala nyeri hebat selama beberapa hari sampai beberapa bulan atau tanpa gejala apapun

13

(asimptomatis). Tinggi badan makin lama semakin pendek karena beberapa kali terjadi fraktur di beberapa tempat pada ruas tulang belakan. Tinggi badan akan menjadi lebih pendek daripada panjang rentangan kedua lengan. Pada keadaan normal, kedua ukuran ini sama. Panjang rentangan kedua lengan diukur dari ujung jari tengah tangan kanan melintasi dada ke ujung jari tengah tangan kiri. 3) Tubuh bungkuk (kifosis) Deformitas atau kelainan bentuk tulang belakang bisa terjadi akibat kompresi fraktur. Punggung yang bungkuk disebut dengan kifosis.

2. Pola Jalan (Gait) Menurut Jones Kim (1996) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat berikutnya dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak bergantian berulangulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan tertentu. Sedangkan berjalan merupakan aktivitas resiprokal yang terkoordinasi dengan baik yang menggambarkan sebuah pola baku tertentu. Pada dasarnya fungsi tungkai adalah untuk ambulasi (berjalan). Dalam keadaan normal bila seseorang berjalan, maka pada tungkai terjadi beberapa peristiwa yang dalam biomekanika dikenal dengan istilah Fase

14

(Phase). Pada prinsipnya siklus berjalan normal dibagi menjadi dua fase yaitu: 1) Stance Phase (Fase Menumpu), terdiri dari: a. Heel strike, yaitu saat dimana tumit menyentuh atau bertumpu pada lantai. b. Mid Stance, yaitu saat dimana seluruh telapak kaki menyentuh atau bertumpu pada lantai. c. Push-off, yaitu saat dimana hanya sebagian depan dari kaki (jari-jari) sajayang menyentuh atau atau bertumpu pada lantai. 2) Swing Phase (Fase Mengayun atau Melayang) , terdiri dari: a. Asselerasi, yaitu saat dimana sudut kaki baru terangkat. b. Mid-swing, yaitu saat dimana kaki dari tungkai yang menganyun berada tepat disamping tungkai yang menyanggga. c. Deselerasi, yaitu saat dimana sendi lutut bergerak kearah ekstensi yang diakhiri hingga sesaat sebelum tumit menyentuh lantai. Apabila seseorang mengalami kelainan/gangguan/kerusakan baik pada otot tungkai, tulang pembentuk tungkai maupun persendian yang ada pada tungkai maka fungsi tungkai untuk berjalan akan mengalami gangguan. Dengan kata lain, sebagian atau seluruh dari fase jalan akan mengalami gangguan atau bahkan hilang sama sekali. Oleh karena masing-masing peristiwa dari fase jalan melibatkan sendi serta kerja otot dari otot yang berbeda, maka hanya dari observasi

15

terhadap pola jalan seseorang, terkadang kita sudah dapat menentukan letak kerusakan/gangguan/kelainan yang dialami orang tersebut.

a. Parameter Pola Jalan (Gait) Normal 1) Lebar base (bidang tumpu) yaitu 5-10 cm (2-4 inchi) 2) Panjang langkah yaitu 35-45 cm, tetapi tergantung dari usia, jenis kelamin, dan tinggi bada atau panjang tungkai. 3) Center Of Graviti (COG) pada orang normal yaitu pada Linea mediana ( 2 cm dari Lumbal 2). 4) Rotasi pelvis pada saat fase swing 40. 5) Pada saat berjalan semua tungkai dalam keadaan fleksi kecuali pada saat heel stike posisi tungkai dalam keadaan ekstensi. 6) Pergeseran columna vertebralis (pelvis dan trunk) yaitu 1 inchi 7) Jumlah langkah permenit yaitu 90-120 langkah/menit.

b. Elemen Gerakan Pola Jalan (Gait) Normal 1) Kepala tegak. 2) Shoulder sejajar. 3) Trunk vertikal. 4) Lengan terayun (kecepatan rata-rata). 5) Langkah sama panjang (sinkron dengan waktu). 6) Posisi badan vertikal .

16

c. Faktor essensial yang diperlukan dalam pola jalan normal adalah : 1. Tubuh dapat berdiri tegak sedang berat badan tersangga secara merata pada kedua anggota gerak bawah. 2. Tubuh dapat disangga oleh satu tungkai secara bergantian saat tungkai yang satu terayun kedepan. 3. Komponen gerak yang diperlukan untuk berjalan tersedia dan dapat dikoordinasikan. Galley dan Forster (1982), Kaplan (1986) menyatakan ada 6 faktor determinan dalam hubungannya dengan proses berjalan, yaitu : 1. Rotasi Pelvis Rotasi pelvis ialah gerakan pelvis pada bidang transversal, dimana saat mengayun terjadi rotasi kedepan sebesar 40 dan selama fase stance terjadi rotasi ke belakang sebesar 40. 2. Tilting pelvis Tilting pelvis terjadi pada bidang frontal dengan besaran 50 dengan arah kaudal. Hilangnya tilting pelvis akan mempengaruhi titik gravitasi tubuh atau center of gravity. 3. Fleksi lutut Lutut akan mengalami ekstensi penuh menjelang heel strike (initial contact) pada saat foot flat (loading respon) terjadi fleksi 150 dan terus dipertahankan dalam posisi fleksi selama mid-stance. Fleksi lutut terjadi dua kali selama fase stance. Lutut akan ekstensi saat heel off (terminal stance) dan fleksi lagi saat toe off (pre-swing).

17

4. Gerakan kaki dan pergelangan kaki Saat heel strike (initial contact) pergelangan kaki akan dorsi fleksi kemudian plantar fleksi dan dorsi fleksi lagi saat foot flat (loading respon), kemudian melakukan plantar fleksi lagi sewaktu heel off (terminal stance) dan toe off (pre-swing). 5. Hubungan antara lutut dan pergelangan kaki. Perubahan yang terjadi pada pergelangan kaki sewaktu berjalan dikoordinir oleh pergerakan sendi lutut. 6. Gerakan lateral pelvis Gerakan lateral pelvis ini terjadi pada bidang frontal berupa gerakan dari sisi ke sisi yang akan berpengaruh terhadap posisi tungkai sewaktu menerima berat badan. Saat berjalan normal, ketika pelvis berotasi kedepan akan mengakibatkan trunkus bagian bawah akan berotasi dengan arah yang sama sedang trunkus bagian atas, gelang bahu dan lengan akan berotasi ke arah yang berlawanan. Dengan cara demikian tubuh akan bergerak kedepan tanpa menimbulkan gerakan pada daerah kepala. Gerak resiprokal antara Anggota Gerak Bawah dan Anggota Gerak Atas berlangsung secara ritmis. Pada kebanyakan orang sewaktu berjalan jarak antara kedua kaki berkisar kurang lebih 7,5 cm, panjang langkah 35-40 cm. Panjang langkah pada setiap orang berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan tinggi badan. Arah dan bagian dalam kaki selalu mendekati garis lurus,

18

sehingga berjalan akan sangat ekonomis dipandang dari aspek penggunaan energi.

H. Kerangka Berfikir Dengan semakin berkembangnya zaman yang sangat cepat, menuntut orang untuk bekerja cepat pula, untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Tuntutan hidup dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan yang mengakibatkan sikap kerja yang salah, sikap kerja yang dapat menimbulkan cidera pada jaringan lunak, tulang maupun saraf. Penderitaan dan cacat yang disebabkan oleh osteoporosis menjadi masalah kesehatan dalam populasi lansia di dunia barat, osteoporosis juga merupakan penyebab kematian penting bagi lansia. Penurunan aktivitas fisik ikut berperan menimbulkan osteoporosis.

Lansia

Wanita

Pria

Kadar Estrogen

Kadar Testosteron

Osteoporosis

19

Kecacatan

Pola jalan (Gait)

I. Kerangka Konsep Osteoporosis pada lansia terutama pada wanita menapouse dapat mempermudah terjadinya patah tulang terutama pada daerah pergelangan, tulang belakang, dan pinggul, namun bisa pula terjadi pada bagian lain terutama panggul dan lengan atas.

Lansia

Osteoporosis

Pola Jalan (gait)

Stance phase

Swing phase

- Heal strike - Mid-stance - Push off

- Asselerasi - Mid-swing - Deselerasi

20

J. Hipotesis Dalam suatu penelitian, hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap penelitiaan atau dugaan yang sifatnya sementara yang kebenarannya akan dibuktikan pada penelitian tersebut. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

K. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitan Terdapat beberapa jenis penelitian, antara lain adalah penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

a. Penelitian kuantitatif, adalah penelitian dengan maksud memperoleh data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2003). b. Penelitian kualitatif, adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar. Data kualitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (skoring) (Sugiyono, 2003). Berdasarkan teori tersebut di atas maka dapat diambil pengertian bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan metode yang rasional. Berdasarkan pada judul yang dikemukakan maka jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif (crossecsional), di mana data yanga diperoleh dari sampel populasi penelitian kemudian

21

dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan lalu diinterpretasikan. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta. Sedang lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso Surakarta yang beralamat di Jl. Jendral Ahmad Yani Pabelan Kartasura Surakarta. 3. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah semua kelompok senam osteoporosis yang ada di Surakarta. 4. Cara Pengambilan Sampel Sampel adalah sebagian yang di ambil dari keseluruhan obyek yang dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok senam osteoporosis yang ada di Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso Surakarta. Sedangkan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nonrandom sampling (purposive random sampling).

22

L. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian adalah angket, cek lis (chek list) atau daftar tentang pedoman wawancara dan pedoman pengamatan. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu Valid dan Reliabel. a. Uji Validitas Hasil suatu penelitian dikatakan valid apabila terdapat kesamaan data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang yang diinginkan, dan mampu mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran yang tentang variabel yang dimaksud (Sugiyono, 2005). b. Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah istilah untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau lebih. Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk mengetahui keajegan instrumen atau data yang diteliti (Suharsimi, 2003).

23

1. Variabel Penelitian a. Variabel Independen / Variabel Bebas Yaitu variabel yang merupakan rangsangan untuk

mempengaruhi variabel yang lain. Yang menjadi variabel independen adalah Osteoporosis. b. Variabel Dependen / Variabel Terikat Yaitu suatu jawaban atas hasil dari perilaku yang dirangsang. Dalam hal ini yang menjadi variabel dependen adalah Pola jalan (gait). 2. Definisi Konseptual Osteoporosis tidak terjadi dengan serta merta, penyakit ini biasanya berkembang dalam beberapa dekade, di pengaruhi oleh seberapa banyak massa tulang yang dimiliki pada awal usia dewasa. Kita membangun massa tulang hingga kira-kira berusia 20 hingga 30 tahun dan kemudian mempertahankannya hingga usia kira-kira 50 tahun untuk wanita dan 70 tahun untuk pria. 3. Definisi Operasional Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan terjadinya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang sehinga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis yang merupakan penyakit metabolik tulang disebut juga penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga sebagai penyakit silent disease karena sering tidak memberikan gejala hingga pada akhirnya terjadi fraktur atau patah tulang.

24

Pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat berikutnya dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak bergantian berulang-ulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan tertentu. Sedangkan berjalan merupakan aktivitas resiprokal yang terkoordinasi dengan baik yang menggambarkan sebuah pola baku tertentu.

M. Tekhnik Analisa Data 1. Deskripsi Data a. Primer b. Sekunder : Kuisioner : Observasi dan dokumentasi

2. Hipotesa Statistik Ho : Ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun. Ha : Tidak ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun. 3. Uji Statistik Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji beda lebih dari dua sampel terpisah (one way anova) kemudian masing-masing data dianalisis menggunakan SPSS versi 13.0.

25

DAFTAR PUSTAKA

Wirakusumah, Emma. 2007. Mencegah Osteoporosis Lengkap dengan 39 Jus dan 38 Resep Makanan. Jakarta: Penebar Plus. Dalimarta, Setiawan. 2007. Resep Tumbuhan Osteoporosisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Obat Untuk Penderita

Corwin. Elizabet. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi Alfabeta. Jakarta. Subagyo, Pangestudan Djarwanto. 19997. Statistik Induktif. Yogyakarta : BPFE. Moleong, L.J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatatif. Bandung: Penerbit Remaja Karya. Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. Andrew, A. 1998. Geriatric Physical Therapi. Philadelpia: Guccione Mosby. Susan, J. G . 2003. Dasar- Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Yogyakarta: Hipokrates. Sidharta, Priguna. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Chusid, J.G. 1999. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lane, Nancy. 2001. Lebih Lengkap Dengan Osteoporosis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Compston, Juliet. 2002. Osteoporosis. Jakarta: Dian Rakyat.

26

You might also like